MENGAIS SERPIHAN MAKNA DI AKHIR SENJA
MENGAIS SERPIHAN MAKNA DI AKHIR SENJA
Sejenak aku ingin diam, diam, dan diam dalam lautan seribu bahasa
Dalam diam itu, kelopak mataku seakan-akan mengarahkanku pada lukisan di akhir Senja itu
Kata tanya “apa” dan “mengapa” seakan semakin menggerutu dalam puri batinku,
Sebab apa dan mengapa, hanyalah kebingungan yang menjadi duri dalam kehampaan itu,
Namun entah mengapa, aku hanya ingin di sana menemani sang Senja di ufuk kematian,
Mungkin jawaban “ya” dan “karena” sebagai jawaban kepastian akan arti dan makna dibalik Senja itu. Meskipun semuanya adalah kepastian, namun sebenarnya ketaksampaian, sebab hanya anganku terpatri di Senja itu, ragaku tak berkutik sedikitpun
Ya ketaksampaian,
Di saat-saat seperti ini, aku ingin membangun dermaga kecana yang dibaluti dengan permata emas murni untuk ragaku yang rapu ini
Ya ketaksampaian,
Di saat-saat seperti ini, aku ingin membangun dermaga kecana yang dibaluti dengan permata emas murni untuk ragaku yang rapu ini
Dan meskipun aku rapu dan tak berdaya, namun Senja adalah kepastianku,Aku adalah Senja itu,
Dalam setiap tapak menuju ke mesbah kemasyuran sang Senja itu,dalam langkah-langkah yang tertatih-tatih, kurapalkan mantra penyejuk jiwa untuk ragaku, demi memikat hati Sang Seniman Agung itu,kuangkat tanganku, ingin merangkulmu dalam dekapan peluk hangatku, kumohon...janganlah beranjak pergi, jika ragaku sedang melangkah,ku mohon...nantikan aku di telaga penuh dengan kemilauan agar jiwaku tenang bersamamu
Hanya engkaulah, kepenuhan arti dan maksud bagikuaku ingin bersamamu dalam seribu tahun lagi, dalam dekapan Sang Seniman Agung,
Kepada nadar keagungan Sang Pencipta,aku melambungkan segala serpihan makna di akhir Senja itu dengan lantunan syair-syair Mazmur kebaktian,
Aku hanya ingin berkata: “Tuhan, dalam kesenian-Mu yang Mahakarya, aku ingin Engkau sekali lagi menggoresi pena-Mu pada serpihan makna di akhir Senja itu, agar aku dapat mengerti dan memahami makna kehadiranku di akhir Senja itu”Aku adalah serpihan makna di akhir Senja.
*Albert Minggu, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores-NTT.
Label: Puisi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda