Senin, 15 November 2021

PERANAN AKAL BUDI DALAM MENERAWANG KETAKBERHINGGAAN



 


Albert Mandat


Dunia dewasa ini dilputi dengan kebingungan yang fundamental dalam kaitan dengan iman sebagai model penghayatan yang sejati. Dunia sekan mempertanyakan dan mengkaji apa iman itu sehingga membuat manusia sampai pada taraf kebingungan. Hal ini disebapkan karena ketegaran hati dan keingintahuan manusia yang menggebuh-gebuh dalam hati ingin melampaui yang ketakberhinggaan itu. Semua uji penganalogian yang serampangan dan kritikan yang seakan menjatuhkan dan melumpuhkan pemikiran ideologi lainnya nayatanya menjadi suatu jalan untuk membekukan kelompok lainnya. Hal itu bukan terjadi dikalangan masyarakat kecil, namun disebabkan oleh para pemuka agama dan para pemikir intelektual lainnya. Mereka seakan menyerang kelompok lainnya dengan ideologi dan dalil-dalil serta argument yang kuat. Gambaran sikap problematik yang diungkapkan ini adalah digolongkan sebagai manusia yang tidak mencintai keaneragaman, kevariasian dan model kajian nilai pluralisme yang ada. Mereka adalah model pribadi yang mengingingkan kecapain summum bonum yaitu kebaikan tertinggi yang diusahkan unutuk memberantas soliadritas dan toleransi sebagai model kecapakan hidup masyarakat sosoial.

Kajian model ketakberhinggaan itu dalam kaitan dengan model penghayatan iman Kristen yakni mengimani Allah Tritunggal Mahakudus sebagai satu kesatuan yang dapat tak dapat dipisahkan. Berdasarkan model pengahayatan iman ini mendapat tanggapan negativ dari pihak atau kelompok lainnya yakni dalam hal ini mereka yang berbedah keyakinan. Banyak dari klaim mereka melihat iman model ini adalah bukan perwjudan dari model iman yang bersifat monoteisme. Kajian yang dilangsungkan, jika ditilik dari segi isi dan model argument yang diaspirasikan bersifat ekslusif yakni berangkat dai penalaran yang tidak murni berasal dari tonggak kebenaran isi warta Kitab Suci yang dimiliki. Dan model argument demikian tidak dapat dibenarkan, bahwa tidak adanya keseimbangan dalam penalaran ideologi yang otentik. Setiap kajian pelanaran yang diajukan berupa kritikan terhadap kelompok harus bersifat universal dan terbuka. Hal itu untuk menghindari terjadi perdebatan dan percecokan yang terjadi. Sikap universal memang harus menjadi suatu unusur utama untuk membangun kesepakatan dalam suatu konggres pertemuan dalam hal apapun. Nah berdasarkan problem diatas penulis ingin menelisik lebih jauh dan lebih mendalam apa yang menjadi dasar lahir klaim demikian sambil mencari dan menemukan suatu solusi mutakhir yakni bagaimana akal budi mampu mencapai ketakberhinggan dalam ini berkaitan dengan iman.

Gereja pada masa peradaban, menyatakan bahwa gereja berasal dari Allah Tritunggal Mahakudus. Dalam tubuh keanggotaan gereja itu adanya model pengahayatan iman yang bukan merupakan refleksi dari penafsir tertentu, namun betul adanya kebenaran. Kebenaran itu adalah adanya hakikat atau unsur transeden dan sekaligus imanen yaitu adanya eksitensi Tuhan sebagai pengada dari segala yang ada. Thomas Aquino membenarkan pernyataan ini dalam tesisnya berjudul Summa Teologie yang berisikan pengandaian tentang  “ada itu ada karena ada yang mengadakannya”. Dalam hal ini gereja mengimani Allah Tritunggal Mahakudus sebagai suatau kepastian iman berdasarkan warta dari Kristus Yesus yang diterimahkan kepada pararasul sebagai memprakarsai pemakluman kebenaran itu. Yesus dalam seluruh warta keselamatan secara terus-menerus mengatakan dan memaklumkan kebenaran iman itu yakni “Bapa, Anak, dan Roh Kudus” (Bdk. Mat, 28:19-20). Dan yang menjadi problem ialah keterbatasan mansuia itu sendiri. Keterbatasan dalam hal ini berkaitan dengan peran akal budi ratio dalam mencapai ketakberhinggaan itu sendiri. Nah pada tahap ini entah dari pihak yang mau dipersalahkan? Yang pastinya perlunya adanya titik pencerahkan dari Tuhan sebagai sumber pengada kepada mansuia agar manusia mampu sampai pada kebenaran itu. Dan model pencerahan itu sudah dianugerakan sedari awal penciptaan dan ketika peristiwa Pentekosta. Daria awal kisah penciptaan itu, manusia dibentuk Allah menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Secara tidak langsung dalam diri manusia tersalur energi-energi Ilahi dan anugera Ilahi untuk mengerti dan memahami maksud dan kehendak Ilahi. Namun dalam perajalan waktu manusia jatuh kedalam kuasa dosa yang mengakibatkan kehilangan rahmat. Dimana menurut St. Agustinus sebagai “Doctor Gratiae” tentang dosa dan rahmat bahwa “manusia itu jatuh kedalam dosa karena kesalahannya sendiri karena ia tidak suka menuruti kehendak Allah, oleh sebap itu manusia mengalami situasi yang sangat mengerihkan dan ia jatuh kedalam dosa dan persekutuan dengan Tuhan pun terputus, sehingga mengakibatkan kehilangan rahmat”. Dan melalui peristiwa Pentakosta manusia mencapai kembali “titik pencerahan itu sendiri” dimana peranan Roh Kudus sebagai pengudus yang memberikan daya pencerahan mata batin dan akal budi untuk mampu sampai pada ketakberhinggaan itu. Sehingga, pararasul dalam pemakluman Injil tentang kebenaran iman yakni Yesus Kristus adalah TUHAN dan juruselamat memperoleh titik pencapaian keseluruh penjuruh dunia dan berhasil membawa manusia pada pertobatan yang sejati. Nah, apakah masih bisa dipertahankan warta keselamtan dan iman itu sendiri, dimana terdapat banyak petikaian dan percecokan tentang kebenaran iman itu sendiri?

Gereja dalam menanggapi rongrongan dari pihak tentang kebenaran itu sendiri tidak bersikap pesimitis dan seakan tidak eksklusif terhadap tudingan pengaanalogian dari pihak lain tersebut, melainkan bersifat universal dan terbuka menerima kritikan sebagai sebuah langkah awal untuk menjalani misi pencerahan dan pertobatan.

 Albert Mandat, Mahasiswa Semester 7 STFK LEDALERO, MAUMERE, NTT. Sedang aktif dalam menulis. 

 

 

 

 

 

 

 

 

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda