PERANAN AKAL BUDI DALAM MENERAWANG KETAKBERHINGGAAN
Albert Mandat |
Dunia dewasa ini dilputi dengan kebingungan yang
fundamental dalam kaitan dengan iman sebagai model penghayatan yang sejati.
Dunia sekan mempertanyakan dan mengkaji apa iman itu sehingga membuat manusia
sampai pada taraf kebingungan. Hal ini disebapkan karena ketegaran hati dan
keingintahuan manusia yang menggebuh-gebuh dalam hati ingin melampaui yang
ketakberhinggaan itu. Semua uji penganalogian yang serampangan dan kritikan yang
seakan menjatuhkan dan melumpuhkan pemikiran ideologi lainnya nayatanya menjadi
suatu jalan untuk membekukan kelompok lainnya. Hal itu bukan terjadi dikalangan
masyarakat kecil, namun disebabkan
oleh para pemuka agama dan para pemikir intelektual lainnya. Mereka seakan
menyerang kelompok lainnya dengan ideologi dan dalil-dalil serta argument yang
kuat. Gambaran sikap problematik yang diungkapkan ini adalah digolongkan sebagai
manusia yang tidak mencintai keaneragaman, kevariasian dan model kajian nilai
pluralisme yang ada. Mereka adalah model pribadi yang mengingingkan kecapain summum bonum yaitu kebaikan tertinggi
yang diusahkan unutuk memberantas soliadritas dan toleransi sebagai model
kecapakan hidup masyarakat sosoial.
Kajian model ketakberhinggaan itu dalam kaitan dengan
model penghayatan iman Kristen yakni mengimani Allah Tritunggal Mahakudus
sebagai satu kesatuan
yang dapat tak dapat dipisahkan.
Berdasarkan model pengahayatan iman ini mendapat
tanggapan negativ dari pihak atau kelompok lainnya yakni dalam hal ini mereka
yang berbedah keyakinan. Banyak dari klaim mereka melihat iman model ini adalah
bukan perwjudan dari model iman yang bersifat monoteisme. Kajian yang dilangsungkan,
jika ditilik dari segi isi dan model argument yang diaspirasikan bersifat
ekslusif yakni berangkat dai penalaran yang tidak murni berasal dari tonggak
kebenaran isi warta Kitab Suci yang dimiliki. Dan model argument demikian tidak
dapat dibenarkan, bahwa tidak adanya keseimbangan dalam penalaran ideologi yang
otentik. Setiap kajian pelanaran yang diajukan berupa kritikan terhadap kelompok harus bersifat
universal dan terbuka. Hal itu untuk menghindari terjadi perdebatan dan
percecokan yang terjadi. Sikap universal memang harus menjadi suatu unusur
utama untuk membangun kesepakatan dalam suatu konggres pertemuan dalam hal
apapun. Nah berdasarkan
problem diatas penulis ingin menelisik lebih jauh dan lebih mendalam apa yang
menjadi dasar lahir klaim demikian sambil mencari dan menemukan suatu solusi
mutakhir yakni bagaimana akal budi mampu mencapai ketakberhinggan dalam ini
berkaitan dengan iman.
Gereja pada masa peradaban, menyatakan bahwa gereja
berasal dari Allah Tritunggal Mahakudus. Dalam tubuh keanggotaan gereja itu
adanya model pengahayatan iman yang bukan merupakan refleksi dari penafsir
tertentu, namun betul adanya kebenaran. Kebenaran itu adalah adanya hakikat
atau unsur transeden dan sekaligus imanen yaitu adanya eksitensi Tuhan
sebagai pengada dari segala yang ada. Thomas Aquino membenarkan pernyataan ini
dalam tesisnya berjudul Summa Teologie
yang berisikan pengandaian tentang “ada
itu ada karena ada yang mengadakannya”. Dalam hal ini gereja mengimani Allah
Tritunggal Mahakudus sebagai suatau kepastian iman berdasarkan warta dari
Kristus Yesus yang diterimahkan kepada pararasul sebagai memprakarsai
pemakluman kebenaran itu. Yesus dalam seluruh warta keselamatan secara
terus-menerus mengatakan dan memaklumkan kebenaran iman itu yakni “Bapa, Anak,
dan Roh Kudus” (Bdk. Mat, 28:19-20). Dan yang menjadi problem ialah
keterbatasan mansuia itu sendiri. Keterbatasan dalam hal ini berkaitan dengan
peran akal budi ratio dalam mencapai ketakberhinggaan itu sendiri. Nah pada
tahap ini entah dari pihak yang mau dipersalahkan? Yang pastinya perlunya
adanya titik pencerahkan dari Tuhan sebagai sumber pengada kepada mansuia agar
manusia mampu sampai pada kebenaran itu. Dan model pencerahan itu sudah
dianugerakan sedari awal penciptaan dan ketika peristiwa Pentekosta. Daria awal
kisah penciptaan itu, manusia dibentuk Allah menurut gambar dan rupa Allah
sendiri. Secara tidak langsung dalam diri manusia tersalur energi-energi Ilahi
dan anugera Ilahi untuk mengerti dan memahami maksud dan kehendak Ilahi. Namun
dalam perajalan waktu manusia jatuh kedalam kuasa dosa yang mengakibatkan
kehilangan rahmat. Dimana menurut St. Agustinus sebagai “Doctor Gratiae” tentang
dosa dan rahmat bahwa “manusia itu jatuh kedalam dosa karena kesalahannya
sendiri karena ia tidak suka menuruti kehendak Allah, oleh sebap itu manusia
mengalami situasi yang sangat mengerihkan dan ia jatuh kedalam dosa dan
persekutuan dengan Tuhan pun terputus, sehingga mengakibatkan kehilangan rahmat”.
Dan melalui peristiwa Pentakosta manusia mencapai kembali “titik pencerahan itu sendiri” dimana
peranan Roh Kudus sebagai pengudus yang memberikan daya pencerahan mata batin
dan akal budi untuk mampu sampai pada ketakberhinggaan itu. Sehingga, pararasul
dalam pemakluman Injil tentang kebenaran iman yakni Yesus Kristus adalah TUHAN
dan juruselamat memperoleh titik pencapaian keseluruh penjuruh dunia dan
berhasil membawa manusia pada pertobatan yang sejati. Nah, apakah masih bisa
dipertahankan warta keselamtan dan iman itu sendiri, dimana terdapat banyak
petikaian dan percecokan tentang kebenaran iman itu sendiri?
Gereja dalam menanggapi rongrongan dari pihak tentang
kebenaran itu sendiri tidak bersikap pesimitis dan seakan tidak eksklusif
terhadap tudingan pengaanalogian dari pihak lain tersebut, melainkan bersifat
universal dan terbuka menerima kritikan sebagai sebuah langkah awal untuk
menjalani misi pencerahan dan pertobatan.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda