NUANSA ROMANTIS DALAM KEHIDUPAN MEMBIARA
Albertus Mandat
Cinta pada hakekatnya membungkamkan rasa pada satu
irama keharmonisan. Dalam ruang dan waktu cinta itu seakan memikat sekaligus
mendatang rasa yang terpenuhi dalam jiwa. Cinta adalah hakekat dari suatu rasa
yang tidak mengenal batasan ketakberhinggaan. Model atau gagasan pemikiran
demikian sebenarnya mau mengafirmasihkan cinta pada tatanan kehidupan membiara
yang secara spesifik mengukir cinta dalam nuansa religius kepada suatu tatananan
Ilahi. Paul Suparno dalam bukunya yang berjudul “Seksualitas Kaum Berjubah”
menggagaskan bahwa: “Dimensi spiritual adalah membantu kita untuk menyadari
relasi kita denagn Tuhan dalam kehadiran kita yang berseksulitas, bagaimana
kita menjadi sadar bahwa seksualitas tidak bertentangan dengan aspek spiritualitas,
tetapi justru saling membantu dan menguatkan, bagaimana menghadirkan Tuhan
dalam misteri seksual dalam diri kita”.
Pada era abad ke- 20 ini, dalam lingkup Gereja Katolik bahwasannya
banyak terjadi kasus kaum berjubah. Problem ini sangat mencoreng wajah dan
kewibawaan Gereja. Dalam kajiannya, kasus ini meliputi berbagai konteks dan
warna yang sedianya memanipulasi warta cinta kasih. Dari banyaknya kasus yang
terjadi, sedikitnya terjadi pada anak-anak dibawa usia yakni kasus pedofilia. Dimana seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat beberapa
tahun yang lalu, beberapa
imam yang melakukan pelecehan sesksual terhadap putra-putri altar sehingga
beberapa imam ini dimasukan
karantina karena melakukan sexsual abuse.
Kasus ini seakan mempertanyakan dan mengkritik Gereja, berkaitan dengaan aturan
dan ketetapan bagi kaum tertabis perihal untuk tidak menikah dan memilih untuk hidup
selibat. Jungstifikasi pemikiran demikian sangat menyudutkan Gereja yakni apakah
problem keanggotaan dapat mengklaim otoritas Gereja yang sedianya sudah lama
terpelihara dan dihidupi ratusan tahun yang lalu? Pengkabaran problem ini
memantik Gereja untuk kembali memutuskan dan mengambil sikap yang pantas untuk
mencari solusi yang muthakitr dalam tahap penyelesaian. Sebap dengan adanya
kasus-kasus ini,
sangatlah merusak model karya kerasulan Gereja di tenga masyarkat dan umat beriman. Adapun hal lain yang
memicu problem ini yakni budaya perempuan yang dianggap sebagai kelas dua dalam
hal relasi, berkembanngnya budaya pornografi, penyalahgunaan kekuaasan atau otoritas,
ketidakseimbangan antar aspek psikoemosinal dan aspek lainnya dan lemahnya
penegak hukum dalam menyikapi problem yang ada.
Mengenal Keterbatasan
Diri
Pada hakikatnya manusia adalah makluk yang dinamis dan
unik. Menurut Adelbert Snijders dalam bukunya berjudul “Manusia dan Kebenaran”
mengatakan bahwa: “Setiap manuisia bersifat unik. Dan dalam kebenaran dan
segala keunikan terdapat kesamaan yang menjadi dasar sifat mutlak dan umum”.
Manuisa mampu berkreasi dan megektifitaskan dirinya dalam banyak segi tau model
kehidupan. Keunggulan ini mengklaim manusia adalah makluk yang paling istimewa
yakni mempunyai akal budi, ratio. Hal
ini ysang membedakan manuisa dengan
makluk ciptaan yang lainnya.
Dalam kebaikan keunggulan ini tidak selamanya manuisa
itu sempurna adanya, sebab adapun aspek-aspek keterbatasan yang ada dalam diri
manuisa. Aspek keterbatasan itu melingkupi pertama
seksualitas dan piskoemosional, kedua
akal budi dan kehendak untuk memutuskan dan bertindak, ketiga seksualitas dan spiritual. Pertama aspek seksualitas
dan psikoemosinal. Aspek ini adalah pintu masuk dalam mengenal ruang
keterbatasan dalam diri manusia.
Pengulasan yang mutakhir akan disublimasikan dari
pengertian seksualitas. Pengklaiman dari beberapa pihak manusia melihat seksualitas
adalah suatu yang jahat sekaligus baik dan berguna yang tergantung pada konteks
dan duduk kesalahannya dimana rasa itu diaplikasihkan. Dalam pengimajinasian tentang
apa itu seksualitas mampu membawa kita pada penyesatan pemikiran. Dasar pemicu problem
sesat ini, dimana daya rasionalitas yang tidak mampu mensubordinasikan satu
solusi yang baik dalam hal keseimbnagan mengatur dan menjaga ketahanan dan
keegohan dalam diri seseorang. Adapaun model penyempitan dalam mengelola daya
rasional mampu mendatang problem ini.
Pada dasarnya dengan adanya seksualitas berarti kita
mengakui keberadaan kita sebagai makluk yang diciptakan Tuhan. Sebap dalam
seksualitas bukan hanya menyangkut soal seks secra lahiria atau hubungan antara
perempuan dan laki-laki tetapi meyangkut seluruh kepribadian diri kita. Sebagaimana
menurut, Rolheiser dalam buku yang berjudul” Seksualitas Kaum berjubah” yang
dikutip Paul Suparno mengatakan bahwa: “Sesksualitas adalah energi yang indah,
baik, sangat kuat, dan suci yang diberikan Tuhan dan dialami dalam seluruh
hidup kita, sebagai suatu dorongan yang tidak dapat ditekan, yang mendorong
orang untuk mengatasi ketidaklengkapan, keterbatasan, menujuh kesatuan yang
utuh.
Seksualitas adalah suatu energi dalam diri kita yang
mendorong kita untuk dapat mencintai, berkomunikasih, membangun persahabatan,
bergembira, mempunyai perasaan afeksi, compassion,
membangun intimacy, dan berelasi dengan
diri sendiri, orang lain, alam semesta dan Tuhan”. Pandangan ini sekaligus memberi
suatu wejangan yang sangat urgen bahwa seksualitas merupakan suatu yang
bersifat utuh yang berproses dan terbentuk dalam Tuhan, Dia sebagai yang
pengada. Selain aspek seksualitas adapun aspek psikoemosiaonal di dalamnya. Aspek ini
sedianya dipengaruh oleh perkembangan tubuhnya. Menurut Delamater dan Friedrich
bahwa manusia adalah makluk sesksual dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak
dari dalam kadungan ibunya. Aspek psikoemosinal dalam tahap perkembanagan
mengikuti beberapa ritme atau tahap perkembnagan dimana yang dimulai dari masa
kanak- kanak, masa remaja hingga mencapai usia atau masa dewasa.
Dari rentetan perkembangannya masnusia selalu berproses
searah dan sesuai dengan konteks sosial lingkungan dimana dia berada. Ruang
dimensi diamana pribadi itu berproses megukuhan berbagai nilai positif guna
untuk menjaga keseimbangan. Ruang dimensi-dimensi itu dapat mencakup dimensi
biologi, emosi, sosial, moral, dan spiritual. Dimensi-simensi ini sedianya sangat
membatu manusia dalam menemukan jati dirinya. Jika satu dimnesi ini hilang
alhasilnya dapat menilbulkan suatu kofrontasi atau problem pemicu munculnya
berbagai hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun berdasarkan kajian ini pobelm
yang melanda kaum berjubah dengan berbagai masalah seksualitas karena kurang
menjaga komitmen dan dalam tahap awal berproses kurang memperhatikan
dimensi-dimeasi yang ada. Kedua aspek
seksualitas dan spiritulitas. Menurut Rolheiser bahwa aspek seksualitas
merupakan suatu energi yang bersifat suci dan kuat yang diberikan Tuhan, yang
selalu mendorong kita untuk membangun hubungan kita dengan orang lain, alam dan
Tuhan. Aspek ini jika dikaitkan dengan aspek spiritualitas seakan mengantar
kita pada kompleksitas kepenuhan dalam suatu masa kajian tentang manuisa.
Intimitasi aspek spiritualitas juga menyentuh pada rana Ilahi yakni yang sealau
berhubungan dengan Tuhan.
Dalam ruang lingkup hidup membiara pemaknan aspek spiritulitas sangat
penting. Karena aspek ini merupakan suatu kepenuhan batinia dimana seorang
religius dalam mensubyekkan dirinya dalam relasi khusus dengan Tuhan. Relasi
yang mendalam dengan Tuhan lewat pembentukan aspek ini layaknya sebuah jembatan
yang menghubungkan dengan entitas dunia lainnya yakni dunia yang bersifat
Ilahi. McBrien mengatakan bahwa apek spiritulitas berkaitan dengan gaya hidup
sesorang yang dengan suatu cara mengalami Tuhan dan hidupnya diubah karena
pengalaman dengan Tuhan. Peristiwa inkarnasi dalam perspektif penulis mengklaim
kedua aspek ini, dimana Tuhan yang bersifat absolut mnejelma menjadi manuisa
dalam keselurhan keutuhanya. Dalam proses penjelmaan ini daya spiritulitas
disatupadukan dalam perkadungan Bunda Maria yang menjadi tubuh nyata yakni Yesus
kristus. Pengintegrasian kedua aspek ini mampu melahirkan suatu makna keutuhan
dalam kesempurnaan cinta dalam pribadi Yesus Kristus. Jika dilihat problem yang
melingkupi kaum berjubah, penulis dapat membuat suatu kesimpulan nyata lewat
sebuah pertanyaan yakni bagaimana
kita dapat mewartakan luapan cinta kasih jika dalam diri kita tidak adanya
keseimbangan antar aspek-aspek ini?
Mengahadapi dorongan seksualitas
Gagasan ini dibangun karena adanya faktor negativ yang
melatarbelakangi munculnya problem ini. Gereja dalam menyikapi beberapa kasus
ini dengan terbuka menerima beberapa kritikan dan dialog guna melaburi kembali
wajah dan kewibawaan Gereja yang tercoreng dengan problem ini. Dengan sikap Gereja
menyampaikan permohonan maaf dan berusaha untuk memperbaharui kembali lewat
rana pendekatan pastoral kepada setiap korban pelecehan seksul seperti yang
disapaikan oleh Kardinal Roger Mahony dari California dalam artikelnya yang
berjudul My Hope for Dallas (2002:
6-9). Dalam buku yang berjudul “Seksualitas Kaum Berjubah” Paul Suparno
mengutip beberpa aksi nyata Gereja dalam menyikapi problem pelecehan kaum
berjubah yakni: “Membentuk komisi nasional awam yang akan menangani dan
memperlajari kasus miskonduk dan
pelecehan seskual, menekankan zero
toleransi tidak tempat bagi minismeter atau imam yang melakukan pelecehan
seksual kepada anak-anak, menentukan satndar proseduer nasional yang minimum
termasuk hukum, menetapkan sisitem accountable
untuk membantu para uskup, menguatkan para imam sekitar 98% agar tidak
melakukan pelecehan seksual sehingga mereka ikut kena menaggung malu,
meningkatkan usaha prevetif yakni lebih teliti dalam menerima calon imam dan
memberikan pendidikan seksualitas yang sehat”. Selain beberapa hal diatas, membicarakan
mengenai seksualitas dan spiritual menghadirkan suatu peranan Roh yang absolut
dalam tubuh. Hal ini mau menegaskan bahwa ini adalah sebuah peritiwa mujizat dimana
terjadinya inkarnasi Roh kedalam badan yang terus menerus terjadi. Dengan terjadinya
peristiwa ini secara tidak langsung seluruh dimensi- dimensi dan strukturalis
dalam diri manuisa turut terpengaruh dijiwai oleh daya Ilahi yakni Roh Allah. Kesatuan
ini membentuk suatu relasi keintiman yang saling menjaga keseimbangan dan
secara aktif dan kreatif salin mempengaruhi satu sama lain. Mgr. Andre Leonard
dalam bukunya yang berjudul “Yesus dan Tubuhmu” mengungkapkan bahwa: “Relasi
tubuh dan roh mengadung suatu benih kehidupan yang pada hakikatnya terjalin
erat. Yang dimaksudkan ialah seksualitas sebagai alat komunikasi jiwa dan raga
antar pribadi dan seksualitas sebagai pembiakan genital”. Esesnsi roh dan tubuh
mengungkapkan suatu kemampuan yang memampukan menghasilkan kehidupan baru,
dalam hal memberi cinta kasih dan kenikmatan dalam mengungkapkan keagungan dan
martabat tubuh untuk dikomunikasihkan.
Cinta
mengabadikankepenuhan total dalam Allah
Nuansa roamantisme dalam lingkup kehidupan membiara
mengartikulasikan makna relasi cinta yang inti dan absolut. Keabsolutan
meghadirkan otoritas yang Ilahi yakni Tuhan. Tuhan yang tidak kelihatan
diyakini sebagai subjek kepenuhan total itu. Jika relasi ini ditelah melalui
daya rasionallitas akan terasa akan sedikit ganjil dan aneh. Maka dalam mewujudkan
cinta yang total kepada Allah, seorang calon religius mesti menjaga
keseimbanagan anatara aspek seksualitas dan spiritualitas. Dalam mewujudkan
keseimbnagn ini, Chen menawarkan beberapa hal yang membantu seorang untuk
menjaga keseimbangan itu yakni pertama
adanya intimacy yakni ada keinginan
dihati untuk membangun relasi dengan orang lain lebih mendalam tidak menutup diri
terhadap orang lain mau didekati, kedua bersyukur
atas hidup dan cinta yang merupakan pemberian Tuhan yang mampu menghantar orang
untuk menerima dirnya sepenuhnya termasuk kelemahan dalam dirinya, ketiga generosity murah hati yakni
adanya keinginan untuk membagi cinta kepada yanglain layaknya seperti seorang
Samaria yang murah hati, keempat
compassion yakni perhatian terhadap kebaikan orang lain, pekah terhdap
orang lain, merasakan pergulatan, penderitaan dan kebahagiaan mereka, kelima melakukan integritas seksual
menurut kepercayaan mereka dan kesetiaan pada komitmen yang telah dibuat sebagai
perintah besar yaitu cinta, keenam menghadirkan
makna pengampunan, ketujuh hormat serta
jujur terhadap relasi dengan orang lain, diri sendiri, dan kedelpan solitude yakni meyediakan waktu dan ruang untuk melakukan
refleksi dan berdoa tentang seksualitas.
Sebagai seorang kaum religius dia harus terlebih
dahulu menemukan jatidirinya dan mensubordinasikan dalam kepenuhan cinta dengan
Tuhan. Kepenuhan itu tidak hanya dalam hal menuntut kerohanian yang tinggi
tetapi dalam kesaksian dirinya dalam mengahdirkan diri ditengah dunia dalam
setiap perbuatan yang merupakan aplikasi dari perasaan cinta Tuhan yang terinkarnasi.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda