Selasa, 16 November 2021

NUANSA ROMANTIS DALAM KEHIDUPAN MEMBIARA


      

Albertus Mandat 

Cinta pada hakekatnya membungkamkan rasa pada satu irama keharmonisan. Dalam ruang dan waktu cinta itu seakan memikat sekaligus mendatang rasa yang terpenuhi dalam jiwa. Cinta adalah hakekat dari suatu rasa yang tidak mengenal batasan ketakberhinggaan. Model atau gagasan pemikiran demikian sebenarnya mau mengafirmasihkan cinta pada tatanan kehidupan membiara yang secara spesifik mengukir cinta dalam nuansa religius kepada suatu tatananan Ilahi. Paul Suparno dalam bukunya yang berjudul “Seksualitas Kaum Berjubah” menggagaskan bahwa: “Dimensi spiritual adalah membantu kita untuk menyadari relasi kita denagn Tuhan dalam kehadiran kita yang berseksulitas, bagaimana kita menjadi sadar bahwa seksualitas tidak bertentangan dengan aspek spiritualitas, tetapi justru saling membantu dan menguatkan, bagaimana menghadirkan Tuhan dalam misteri seksual dalam diri kita”.

Pada era abad ke- 20 ini, dalam lingkup Gereja Katolik bahwasannya banyak terjadi kasus kaum berjubah. Problem ini sangat mencoreng wajah dan kewibawaan Gereja. Dalam kajiannya, kasus ini meliputi berbagai konteks dan warna yang sedianya memanipulasi warta cinta kasih. Dari banyaknya kasus yang terjadi, sedikitnya terjadi pada anak-anak dibawa usia yakni kasus pedofilia.  Dimana seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu, beberapa imam yang melakukan pelecehan sesksual terhadap putra-putri altar sehingga beberapa imam ini dimasukan karantina karena melakukan sexsual abuse. Kasus ini seakan mempertanyakan dan mengkritik Gereja, berkaitan dengaan aturan dan ketetapan bagi kaum tertabis perihal untuk tidak menikah dan memilih untuk hidup selibat. Jungstifikasi pemikiran demikian sangat menyudutkan Gereja yakni apakah problem keanggotaan dapat mengklaim otoritas Gereja yang sedianya sudah lama terpelihara dan dihidupi ratusan tahun yang lalu? Pengkabaran problem ini memantik Gereja untuk kembali memutuskan dan mengambil sikap yang pantas untuk mencari solusi yang muthakitr dalam tahap penyelesaian. Sebap dengan adanya kasus-kasus ini, sangatlah merusak model karya kerasulan Gereja di tenga masyarkat dan umat beriman. Adapun hal lain yang memicu problem ini yakni budaya perempuan yang dianggap sebagai kelas dua dalam hal relasi, berkembanngnya budaya pornografi, penyalahgunaan kekuaasan atau otoritas, ketidakseimbangan antar aspek psikoemosinal dan aspek lainnya dan lemahnya penegak hukum dalam menyikapi problem yang ada.

 

 

Mengenal Keterbatasan Diri

Pada hakikatnya manusia adalah makluk yang dinamis dan unik. Menurut Adelbert Snijders dalam bukunya berjudul “Manusia dan Kebenaran” mengatakan bahwa: “Setiap manuisia bersifat unik. Dan dalam kebenaran dan segala keunikan terdapat kesamaan yang menjadi dasar sifat mutlak dan umum”. Manuisa mampu berkreasi dan megektifitaskan dirinya dalam banyak segi tau model kehidupan. Keunggulan ini mengklaim manusia adalah makluk yang paling istimewa yakni mempunyai akal budi, ratio. Hal ini ysang membedakan manuisa dengan makluk ciptaan yang lainnya.

Dalam kebaikan keunggulan ini tidak selamanya manuisa itu sempurna adanya, sebab adapun aspek-aspek keterbatasan yang ada dalam diri manuisa. Aspek keterbatasan itu melingkupi pertama seksualitas dan piskoemosional, kedua akal budi dan kehendak untuk memutuskan dan bertindak, ketiga seksualitas dan spiritual. Pertama aspek seksualitas dan psikoemosinal. Aspek ini adalah pintu masuk dalam mengenal ruang keterbatasan dalam diri manusia.

Pengulasan yang mutakhir akan disublimasikan dari pengertian seksualitas. Pengklaiman dari beberapa pihak manusia melihat seksualitas adalah suatu yang jahat sekaligus baik dan berguna yang tergantung pada konteks dan duduk kesalahannya dimana rasa itu diaplikasihkan. Dalam pengimajinasian tentang apa itu seksualitas mampu membawa kita pada penyesatan pemikiran. Dasar pemicu problem sesat ini, dimana daya rasionalitas yang tidak mampu mensubordinasikan satu solusi yang baik dalam hal keseimbnagan mengatur dan menjaga ketahanan dan keegohan dalam diri seseorang. Adapaun model penyempitan dalam mengelola daya rasional mampu mendatang problem ini.  

Pada dasarnya dengan adanya seksualitas berarti kita mengakui keberadaan kita sebagai makluk yang diciptakan Tuhan. Sebap dalam seksualitas bukan hanya menyangkut soal seks secra lahiria atau hubungan antara perempuan dan laki-laki tetapi meyangkut seluruh kepribadian diri kita. Sebagaimana menurut, Rolheiser dalam buku yang berjudul” Seksualitas Kaum berjubah” yang dikutip Paul Suparno mengatakan bahwa: “Sesksualitas adalah energi yang indah, baik, sangat kuat, dan suci yang diberikan Tuhan dan dialami dalam seluruh hidup kita, sebagai suatu dorongan yang tidak dapat ditekan, yang mendorong orang untuk mengatasi ketidaklengkapan, keterbatasan, menujuh kesatuan yang utuh.

Seksualitas adalah suatu energi dalam diri kita yang mendorong kita untuk dapat mencintai, berkomunikasih, membangun persahabatan, bergembira, mempunyai perasaan afeksi, compassion, membangun intimacy, dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta dan Tuhan”. Pandangan ini sekaligus memberi suatu wejangan yang sangat urgen bahwa seksualitas merupakan suatu yang bersifat utuh yang berproses dan terbentuk dalam Tuhan, Dia sebagai yang pengada. Selain aspek seksualitas adapun aspek psikoemosiaonal di dalamnya. Aspek ini sedianya dipengaruh oleh perkembangan tubuhnya. Menurut Delamater dan Friedrich bahwa manusia adalah makluk sesksual dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak dari dalam kadungan ibunya. Aspek psikoemosinal dalam tahap perkembanagan mengikuti beberapa ritme atau tahap perkembnagan dimana yang dimulai dari masa kanak- kanak, masa remaja hingga mencapai usia atau masa dewasa.

Dari rentetan perkembangannya masnusia selalu berproses searah dan sesuai dengan konteks sosial lingkungan dimana dia berada. Ruang dimensi diamana pribadi itu berproses megukuhan berbagai nilai positif guna untuk menjaga keseimbangan. Ruang dimensi-dimensi itu dapat mencakup dimensi biologi, emosi, sosial, moral, dan spiritual. Dimensi-simensi ini sedianya sangat membatu manusia dalam menemukan jati dirinya. Jika satu dimnesi ini hilang alhasilnya dapat menilbulkan suatu kofrontasi atau problem pemicu munculnya berbagai hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun berdasarkan kajian ini pobelm yang melanda kaum berjubah dengan berbagai masalah seksualitas karena kurang menjaga komitmen dan dalam tahap awal berproses kurang memperhatikan dimensi-dimeasi yang ada. Kedua aspek seksualitas dan spiritulitas. Menurut Rolheiser bahwa aspek seksualitas merupakan suatu energi yang bersifat suci dan kuat yang diberikan Tuhan, yang selalu mendorong kita untuk membangun hubungan kita dengan orang lain, alam dan Tuhan. Aspek ini jika dikaitkan dengan aspek spiritualitas seakan mengantar kita pada kompleksitas kepenuhan dalam suatu masa kajian tentang manuisa. Intimitasi aspek spiritualitas juga menyentuh pada rana Ilahi yakni yang sealau berhubungan dengan Tuhan.

Dalam ruang lingkup hidup membiara pemaknan aspek spiritulitas sangat penting. Karena aspek ini merupakan suatu kepenuhan batinia dimana seorang religius dalam mensubyekkan dirinya dalam relasi khusus dengan Tuhan. Relasi yang mendalam dengan Tuhan lewat pembentukan aspek ini layaknya sebuah jembatan yang menghubungkan dengan entitas dunia lainnya yakni dunia yang bersifat Ilahi. McBrien mengatakan bahwa apek spiritulitas berkaitan dengan gaya hidup sesorang yang dengan suatu cara mengalami Tuhan dan hidupnya diubah karena pengalaman dengan Tuhan. Peristiwa inkarnasi dalam perspektif penulis mengklaim kedua aspek ini, dimana Tuhan yang bersifat absolut mnejelma menjadi manuisa dalam keselurhan keutuhanya. Dalam proses penjelmaan ini daya spiritulitas disatupadukan dalam perkadungan Bunda Maria yang menjadi tubuh nyata yakni Yesus kristus. Pengintegrasian kedua aspek ini mampu melahirkan suatu makna keutuhan dalam kesempurnaan cinta dalam pribadi Yesus Kristus. Jika dilihat problem yang melingkupi kaum berjubah, penulis dapat membuat suatu kesimpulan nyata lewat sebuah pertanyaan yakni bagaimana kita dapat mewartakan luapan cinta kasih jika dalam diri kita tidak adanya keseimbangan antar aspek-aspek ini? 

Mengahadapi dorongan seksualitas

Gagasan ini dibangun karena adanya faktor negativ yang melatarbelakangi munculnya problem ini. Gereja dalam menyikapi beberapa kasus ini dengan terbuka menerima beberapa kritikan dan dialog guna melaburi kembali wajah dan kewibawaan Gereja yang tercoreng dengan problem ini. Dengan sikap Gereja menyampaikan permohonan maaf dan berusaha untuk memperbaharui kembali lewat rana pendekatan pastoral kepada setiap korban pelecehan seksul seperti yang disapaikan oleh Kardinal Roger Mahony dari California dalam artikelnya yang berjudul My Hope for Dallas (2002: 6-9). Dalam buku yang berjudul “Seksualitas Kaum Berjubah” Paul Suparno mengutip beberpa aksi nyata Gereja dalam menyikapi problem pelecehan kaum berjubah yakni: “Membentuk komisi nasional awam yang akan menangani dan memperlajari kasus miskonduk dan pelecehan seskual, menekankan zero toleransi tidak tempat bagi minismeter atau imam yang melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak, menentukan satndar proseduer nasional yang minimum termasuk hukum, menetapkan sisitem accountable untuk membantu para uskup, menguatkan para imam sekitar 98% agar tidak melakukan pelecehan seksual sehingga mereka ikut kena menaggung malu, meningkatkan usaha prevetif yakni lebih teliti dalam menerima calon imam dan memberikan pendidikan seksualitas yang sehat”. Selain beberapa hal diatas, membicarakan mengenai seksualitas dan spiritual menghadirkan suatu peranan Roh yang absolut dalam tubuh. Hal ini mau menegaskan bahwa ini adalah sebuah peritiwa mujizat dimana terjadinya inkarnasi Roh kedalam badan yang terus menerus terjadi. Dengan terjadinya peristiwa ini secara tidak langsung seluruh dimensi- dimensi dan strukturalis dalam diri manuisa turut terpengaruh dijiwai oleh daya Ilahi yakni Roh Allah. Kesatuan ini membentuk suatu relasi keintiman yang saling menjaga keseimbangan dan secara aktif dan kreatif salin mempengaruhi satu sama lain. Mgr. Andre Leonard dalam bukunya yang berjudul ­“Yesus dan Tubuhmu” mengungkapkan bahwa: “Relasi tubuh dan roh mengadung suatu benih kehidupan yang pada hakikatnya terjalin erat. Yang dimaksudkan ialah seksualitas sebagai alat komunikasi jiwa dan raga antar pribadi dan seksualitas sebagai pembiakan genital”. Esesnsi roh dan tubuh mengungkapkan suatu kemampuan yang memampukan menghasilkan kehidupan baru, dalam hal memberi cinta kasih dan kenikmatan dalam mengungkapkan keagungan dan martabat tubuh untuk dikomunikasihkan.

 

Cinta mengabadikankepenuhan total dalam Allah

Nuansa roamantisme dalam lingkup kehidupan membiara mengartikulasikan makna relasi cinta yang inti dan absolut. Keabsolutan meghadirkan otoritas yang Ilahi yakni Tuhan. Tuhan yang tidak kelihatan diyakini sebagai subjek kepenuhan total itu. Jika relasi ini ditelah melalui daya rasionallitas akan terasa akan sedikit ganjil dan aneh. Maka dalam mewujudkan cinta yang total kepada Allah, seorang calon religius mesti menjaga keseimbanagan anatara aspek seksualitas dan spiritualitas. Dalam mewujudkan keseimbnagn ini, Chen menawarkan beberapa hal yang membantu seorang untuk menjaga keseimbangan itu yakni pertama adanya intimacy yakni ada keinginan dihati untuk membangun relasi dengan orang lain lebih mendalam tidak menutup diri terhadap orang lain mau didekati, kedua bersyukur atas hidup dan cinta yang merupakan pemberian Tuhan yang mampu menghantar orang untuk menerima dirnya sepenuhnya termasuk kelemahan dalam dirinya, ketiga generosity murah hati yakni adanya keinginan untuk membagi cinta kepada yanglain layaknya seperti seorang Samaria yang murah hati, keempat compassion yakni perhatian terhadap kebaikan orang lain, pekah terhdap orang lain, merasakan pergulatan, penderitaan dan kebahagiaan mereka, kelima melakukan integritas seksual menurut kepercayaan mereka dan kesetiaan pada komitmen yang telah dibuat sebagai perintah besar yaitu cinta, keenam menghadirkan makna pengampunan, ketujuh hormat serta jujur terhadap relasi dengan orang lain, diri sendiri, dan kedelpan solitude yakni meyediakan waktu dan ruang untuk melakukan refleksi dan berdoa tentang seksualitas.

Sebagai seorang kaum religius dia harus terlebih dahulu menemukan jatidirinya dan mensubordinasikan dalam kepenuhan cinta dengan Tuhan. Kepenuhan itu tidak hanya dalam hal menuntut kerohanian yang tinggi tetapi dalam kesaksian dirinya dalam mengahdirkan diri ditengah dunia dalam setiap perbuatan yang merupakan aplikasi dari perasaan cinta Tuhan yang terinkarnasi.

Albert Mandat, Mahasiswa semester 7 STFK LEDALERO, Maumere, Flores-NTT

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda