DEMOKRASI: UPAYA MEMERANGI KEMISKINAN DENGAN SISTEM BERNEGARA DEMOKRASI
DEMOKRASI:
UPAYA MEMERANGI
KEMISKINAN
DENGAN
SISTEM
BERNEGARA DEMOKRASI
Albertus Mandat Minggu
I. PENDAHULUAN
Pada
zaman sekarang, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang ideal, sebagaimana
yang telah dipakai atau dianut oleh banyak negara di dunia ini. Melalui
demokrasi, hak-hak rakyat diakui dan dilindungi demi tercapainya kemaslahatan
bersama. Alhasil, demokrasi menjelma sebagai harapan umat manusia agar dunia
ini menjadi semakin lebih baik di masa-masa yang akan datang.
Akan
tetapi, di tengah euforia akan adanya sistem demokrasi sebagai sistem
pemerintahan yang terbaik dari yang terburuk (minus malum) saat ini, realitas-realitas kehidupan yang
memprihatinkan tetap ada. Salah satu realitas kehidupan yang masih terkategori
sebagai kondisi hidup yang memprihatinkan ialah realitas kemiskinan. Pertanyaanya, sudah sejauh mana pengupayaan perwujudan
negara yang berbasis demokrasi jika masih ada permasalahan di dalamnya?
Apakah demokrasi hanya sebagai slogan semata dibalik
para konglomerat dan para mafia serta para elit politik yang ikut dalam
memanipulasi fakta rill (rakyat melarat dalam kemiskinan di depan wajah demokrasi)
demi kepentingan sepihak?
Kemiskinan
merupakan salah satu realitas hidup yang tidak dapat dielakkan manusia,
meskipun insan dunia sudah eksis dengan peradabaan modern seperti sekarang ini.
Kemiskinan menjadi salah satu persoalan yang akut dan memiluhkan. Ada begitu
banyak manusia yang menderita karena cengkraman kemiskinan. Kemudian, oleh
penderitaan manusia, realitas kemiskinan itu dikaji untuk menemukan solusi yang
solutif-komprehensif dalam mengatasi persoalan kemiskinan yang mengglobal.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji realitas kemiskinan ini agar penulis mampu memberikan sedikit sumbangsih terkait pengentasan kemiskinan di dunia ini. Dalam tulisan ini, penulis tetap menggunakan demokrasi sebagai medium untuk memerangi kemiskinan. Dengan harapan, melalui penguatan nilai-nilai demokrasi, kemiskinan sebagai salah satu masalah global dapat teratasi. Di lain pihak agar visi dan misi demokarasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat terwujud dalam sebuah negara demokrasi
.
II. HASIL DAN
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Demokrasi
Demokrasi,
secara harfiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam artian, secara
formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.[1] Dengan
kata lain, roh dan jiwa demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Semua posisi
kepemimpinan politis datang dari rakyat.
Logikanya, pemimpin itu adalah sebuah cita-cita yang
masih fiktif bagi seseorang dikemudian hari, namun usaha dan kerja keras demi
mewujudkan cita-cita itu dimulai dari rakyat dan kemudian hari diperuntukan
juga rakyat. Kinerja mereka juga dipantau oleh
rakyat, dan semuanya itu bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat.[2] Tujuannya demi terciptanya keadilan juctice dan kebahagian bersama bonum commune dan bukan untuk golongan
dan kepentingan tertentu.
Berbicara mengenai demokrasi yang pada intinya ialah
menyuarakan suara komunikasi antara negara dan rakyat dalam bingkai dialog
bersama yang diatur dengan norma dan undang-undang yang berlaku dalam sebuah
negara. Dan komunkasi mempunyai banyak ragam dan rana bentuk, misalnya sistem
politik trias politika berakaitan
dengan negara hukum dan birokrasi. Dan yang lain adalah civil society berkaitan dengan ekomoni dan masyarakat. Dan bagaimana
dua hal ini saling berkorelasi dan bersinergi dalam membangun masyarakat
demokratis dan negara demokratis. Maka di sana kritik sebagai jalan untuk
menjernihkan visi dan misi dalam dialog bersama atau dalam diskusi publik. Dan
kritik bisa lakukan, di mana kritik merupakan hal yang sangat wajar dan
didorong dalam berdemokrasi agar bonum
commune dan keadilan justice dapat
tercapai dalam sebuah negara demokrasi.
Dalam sebuah negara demokrasi harus berlandaskan pada
tiga aspek ini sebagai bukti kerjasama antara pemerintah dan rakyat, antara
lain kesetaraan, kebebasan, dam sikap respek. Dalam hal ini, kesetaraan tanpa
rasa respek akan mendatangkan perpecahan, jurang pemisah antara pemerintah dan
rakyat di sana akan terciptanya sebuah ceos
kekosongan dan hal ini sama halnya dengan kebebasan tanpa respek akan
menimbulkan pemberontakan, penyelewengan terhadap norma dan undang-undang negara.
Oleh sebab itu sikap respek tetaplah sangat penting yang akan merujuk pada
kedua hal yakni pertama fungsi publik
yang melingkupi semua petugas publik. Dalam hal ini pihak pelayan publik harus
memberikan respek kepada masyarakat. Kedua,
respek harus dialamatkan kepada person
dibalik fungsi respek itu sehingga tidak terjadi separatif yang memanipulasi fungsi publik itu.
Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk
kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung seperti rakyat dapat menentukan segala
sesuatu yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi publik atau dialog
bersama dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip etika dan norma serta
undang-undang yang berlaku dalam sebuah negara.
Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili
oleh orang-orang yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat, dan mereka
inilah yang memastikan bahwa seluruh kerja pemerintah mengacu kepada
kepentingan rakyat. Dari sudut pandang ini, demokrasi mengandaikan nilai-nilai
moral tertentu di dalam praktiknya seperti nilai kejujuran, keadilan,
keterwakilan, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat yang lebih tinggi, dan
bukan pada kepentingan sebagian kecil kelompok ataupun golongan yang ada di
masyarakat.[3]
Di samping itu, proses demokratisasi
sesungguhnya dapat diklarifikasi
ke dalam proses ‘demokratisasi dari bawah’ yaitu
dari masyarakat kecil dan ‘demokratisasi dari atas’ dari pemerintah sekalu sebagai penegak dan pemerhati
hukum. Yang dimaksud ‘demokratisasi dari atas’ adalah
apabila inisiatif demokrasi diprakarsai oleh golongan elite politik, para penegak hukum dan pemerhati undang-undang.
Dan yang kedua adalah yang
dikenal dengan ‘demokratisasi dari bawah’, yakni suatu perjuangan demokratisasi
yang berasal dari rakyat atau melalui popular
struggle menuju demokrasi. Namun, apa yang disebut sebagai proses truly democracy ialah yang dari bawah. [4]
2.2 Dimensi-Dimensi
Demokrasi
Menurut Yoshikazu Sakamoto
(1991), dari International Peace Research
Institute Meigaku-Jepang,
mengajukan apa yang disebutnya sebagai pendalaman demokratisasi, yang
menurutnya dibagi ke dalam empat dimensi sebagai berikut:[5]
Ø Dimensi
pertama adalah pendalaman demokratisasi terhadap lembaga-lembaga politik
formal, sampai pada struktur dan proses sosial politik di masyarakat.
Ø Dimensi
kedua adalah proses pendalaman demokratisasi dari lapisan masyarakat sampai
pada tingkatan bawah, yakni mereka yang tersingkirkan atau mereka yang
mengalami marginalisasi di kalangan masyarakat bawah. Demokrasi tidak saja
difokuskan dalam hal ‘distribusi pendapatan’, tetapi juga termasuk mekanisme
hak-hak keadilan (equal rights) pada
kelompok minoritas, suku bangsa, agama maupun ideologi, serta hak asasi kaum
perempuan, anak-anak, para lansia, dan sebagainya. Demokratisasi dalam aspek
ini tidak saja pada suatu sistem politik, tetapi bisa jadi di luar sistem yang
ada dalam bentuk hak untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Ø Dimensi
ketiga adalah pendalaman demokratisasi dari politik pemerintahan atau negara sampai
pada tingkat tempat kerja, sekolah, organisasi, keluarga ataupun dalam
kehidupan non-politik sehari-hari. Dengan kata lain, proses demokratisasi tidak
saja menjadi proses antara state dan civil society, tetapi perlu proses
demokratisasi di dalam kalangan civil
society itu sendiri. Demokratisasi di tingkat civil society berarti mempertanyakan segala macam bentuk kekuasaan
dalam kehidupan sehari-hari.
Ø Dimensi
keempat ialah pendalaman demokratisasi dapat dilakukan di dalam suatu negara
tertentu sampai ke tingkat global. Proses demokratisasi tidak bisa lagi
dibatasi dalam satu negara, tetapi telah menjadi urusan global. Dalam hal ini, proses
demokratisasi tidak lagi mengenal batas negara.
2.3 Nilai-Nilai Demokrasi
Menurut Harrison, demokrasi memiliki
nilai-nilai dasar yang memiliki aspek universal. Dalam artian, nilai-nilai
dasar tersebut diakui oleh cukup banyak orang sebagai nilai-nilai yang baik.
Berpijak pada pemikiran Harrison, Reza Wattimena pun menjabarkan nilai-nilai
dasar yang menopang paham maupun sistem politik demokratis, di antaranya[6]:
ØNilai
pengetahuan.
Semua
kebijakan di dalam masyarakat demokratis haruslah berpijak pada pengetahuan
yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan juga dengan pengetahuan yang
menyeluruh tentang konteks yang ada. Artinya, tidak hanya data yang cocok
dengan realitas, tetapi harus berupa penerapan kebijakan-kebijakan yang tepat.
Untuk itu, pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan amatlah dibutuhkan.
Dapat juga dikatakan, masyarakat demokratis adalah masyarakat pengetahuan. Demokrasi
tidak dapat berfungsi jika pengetahuan tidak dikembangkan melalui
penelitian-penelitian yang bermutu.
ØNilai
otonomi.
Menurut
Harrison, otonomi adalah nilai yang secara universal sangat baik. Dalam artian,
manusia adalah manusia yang utuh jika ia mampu menjadi tuan atas dirinya
sendiri. Dengan demikian, otonomi adalah nilai yang baik karena memberikan kesempatan
kepada manusia untuk mengatur dirinya sendiri. Harrison juga menegaskan bahwa
di dalam masyarakat demokratis, nilai otonomi, yakni kemampuan manusia untuk
mengatur dirinya sendiri, amatlah penting. Otonomi adalah salah satu nilai
dasar dari demokrasi. Tanpa otonomi, tidak akan ada demokrasi. Pada level
individual, orang-orang yang hidup di dalam demokrasi ialah individu-individu
yang mengatur dirinya sendiri dan siap bertanggung jawab atas
keputusan-keputusan yang diambilnya dalam hidup. Pada level kolektif,
masyarakat demokratis adalah masyarakat yang mengatur dirinya sendiri. “Ide
sentral dari demokrasi,” demikian tulis Harrison, “ialah tata kelola diri
sendiri. Di dalam demokrasi, rakyat mengatur dirinya sendiri.”
ØNilai
kesetaraan.
Menurut
Harrison, di masa Yunani Kuno, “kebebasan dan kesetaraan” adalah ciri utama
dari demokrasi. Dengan kata lain, semakin besar kebebasan dan kesetaraan di
dalam suatu masyarakat, semakin demokratislah masyarakat tersebut. Di dalam
sejarah perkembangan masyarakat manusia, dorongan untuk menciptakan masyarakat
demokratis amatlah kuat. Hal ini terlihat dari semakin besarnya tuntutan atas kesetaraan
di pelbagai bidang kehidupan, terutama di bidang politik. “Setiap kekuasaan
penerus”, demikian tulis Harrison, “bertambah sebagai tanda meningkatnya
kesetaraan, membuat kelompok-kelompok yang berbeda masyarakat memiliki kekuatan
politik yang lebih setara.”
Kemudian,
salah satu nilai demokrasi yang juga dapat menopang paham maupun sistem politik
demokratis ialah nilai partisipasi. Sebab, pada dasarnya, pembangunan yang
dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi ialah pembangunan yang
mengundang partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Dalam hal ini, masyarakat
bukan sekadar dijadikan objek pembangunan, melainkan sekaligus sebagai subjek
atau pelaku pembangunan. Artinya, pembangunan tidaklah cukup bila hanya mengadopsi
konsep untuk. Konsep dari dan oleh juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wacana
demokrasi.[7]
Tentu
saja, urgensi mendorong berlangsungnya partisipasi dari dan oleh bukan
dilandasi ketidakpercayaan terhadap para penyelenggara pembangunan, melainkan
oleh semangat dan kebutuhan akan keterbukaan. Bahwa sebagai penyelenggara
kepentingan masyarakat, sebagai pemegang “kedaulatan rakyat”, pemerintah perlu
terbuka terhadap masyarakat, bukan sebaliknya. Konsep terbuka yang dimaksudkan
di sini bukan saja mengandung unsur kontrol dan pembatasan kekuasaan, melainkan
juga mengandung unsur partisipasi.[8]
Terdapat
dua titik fundamental yang mendesak dikedepankan berkaitan dengan kebutuhan
partisipasi. Pertama, bahwa
pembangunan seyogianya berangkat (secara real) dari formulasi atas kebutuhan
dan kepentingan masyarakat banyak, khususnya mereka yang berada di lapisan
bawah struktur sosial. Pada titik ini, kehendak dan keinginan-keinginan
massa-rakyat dituntut untuk dijadikan paradigma dalam menyusun program-program
pembangunan. Kedua, bahwa pembangunan
seharusnya melibatkan atau menghimpun sumber daya dari massa-rakyat. Yang
disebut melibatkan sumber daya dari massa-rakyat di sini bukan memobilisasi
massa-rakyat untuk menjalankan program-program pembangunan atau meminta secara
“suka rela” sumber daya massa-rakyat, melainkan menyertakan tenaga dan pikiran
rakyat secara demokratis. Artinya, rakyat perlu mendapat tempat untuk menyampaikan
gagasan-gagasan kritisnya terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.[9]
Terhadap
partisipasi itu sendiri, paling tidak kita mengharapkan tiga hal pokok, di
antaranya[10]:
Pertama, formulasi real kebutuhan dan
kepentingan massa-rakyat. Untuk bisa menghasilkan kepentingan formulasi yang
demikian, tentunya, keterlibatan rakyat-yang bisa berbicara secara otonom dan
bebas dari kecemasan-kecemasan-amat diperlukan. Kedua, formulasi atas cara mendapatkan kebutuhan dan kepentingan
tersebut. Bagaimanapun rakyat patut diajak untuk berbicara atas metode,
pendekatan dan praktik pembangunan yang dijalankan. Partisipasi mensyaratkan
rakyat yang sungguh terlibat untuk menentukan model dan praktik pembangunan
yang dijalankan. Titik pentingnya ialah agar rakyat tidak dikejutkan bila
sewaktu-waktu praktik pembangunan tersebut mengenai dirinya.
Ketiga, penyediaan
sumber daya. Dengan partisipasi, bisa dipastikan bahwa rakyat akan dengan
sukarela memberikan dukungan konkret guna mencapai target-target pembangunan.
Tradisi gotong royong membangun desa merupakan fakta bahwa rakyat sesungguhnya
adalah pihak yang baik, suka menolong dan memiliki komitmen yang kuat atas
perubahan. Namun, apa yang tidak bisa dimungkiri bahwa kontribusi riil rakyat
hanya akan mungkin terjadi jika rakyat dilibatkan secara penuh dan bukan
sekadar menjadi penghias atau dimobilisasi melalui cara-cara koersif.
Untuk
itulah, ada beberapa hal yang sangat mendesak untuk dilakukan di waktu-waktu
yang akan datang. Pertama, pembukaan
ruang gagasan. Secara sosiologis, pembukaan ruang gagasan, yang memungkinkan
rakyat mengungkapkan aspirasi politik atau kehendak-kehendak mendasarnya, yakni
perubahan, amat mendesak. Dengan ini kita berharap kecerdasan rakyat dapat
muncul ke permukaan, sehingga membuahkan gagasan-gagasan baru yang produktif
dan transformatif. Di samping itu, pembukaan ruang gagasan akan memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk berkembang secara wajar, yang terlepas dari
trauma, ancaman dan kecemasan-kecemasan. Kedua,
pembukaan ruang gerak sosio-politik. Konsep partisipasi hanya akan terwujud
bila rakyat mendapat ruang lebar untuk menghimpun diri dan berkembang dalam
organisasi-organisasi independen. Berbagai restriksi (pembatasan) yang selama
ini dijalankan seyogianya dihilangkan. Hal ini karena bukan saja bertentangan
dengan semangat aspirasi masyarakat yang progres, melainkan juga berlawanan
dengan semangat zaman yang terus bergulir ke arah keterbukaan dan demokrasi.[11]
Bertolak
dari semua ulasan tersebut, kita dapat menyebut dan menjelaskan beberapa bentuk
atau model partisipasi, di antaranya[12]: Pertama, partisipasi nominal, pada
dasarnya memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai alat legitimasi kekuasaan
belaka. Demikian pula partisipasi politik rakyat dalam pemilu, misalnya, lebih
merupakan kepentingan legitimasi kekuasaan negara. Rakyat dalam model
‘partisipasi nominal’ ini hanya diletakkan sebagai ‘pajangan’ (display) dari proyek demokrasi. Kedua, partisipasi instrumen, yakni
suatu proses melibatkan rakyat untuk menyukseskan suatu program yang tidak
selalu atau sering kali bukan kepentingan mereka. Dengan demikian, partisipasi
rakyat diperlukan demi suksesnya ‘pembangunan’ itu sendiri. Misalnya, pelibatan
kaum perempuan dalam pembangunan bukan demi emansipasi dan liberasi kaum
perempuan, melainkan pelibatan itu sendiri menghasilkan ‘efisiensi’
pembangunan.
Ketiga, partisipasi
representatif. Partisipasi representatif ini banyak dianut oleh kalangan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di mana ketika mereka hendak mengembangkan
suatu program pembangunan, partisipasi harus memungkinkan rakyat untuk
menyuarakan kepentingan mereka dalam proyek tersebut. Keempat, partisipasi transformatif. Dalam konsep ini, gagasan
partisipasi bermakna memberikan ruang kepada rakyat untuk menjadi subjek
terhadap proses perubahan sosial, pengambilan keputusan dan aksi melawan
ketidakadilan demi transformasi sosial mereka sendiri. Hal ini berarti, dalam
menjalankan roda pemerintahan, rakyat menjadi subjek dalam proses ekonomi,
sosial, politik, budaya, serta pengembangan pengetahuan, sekaligus meletakkan
rakyat sebagai perencana, pelaksana, maupun yang akan menikmati hasilnya.
III. KEMISKINAN
Meskipun kata kemiskinan itu cukup
populer di telinga manusia, toh kita
masih sulit untuk mendefinisikan kemiskinan itu secara pasti. Mengapa demikian?
Sebab, kemiskinan itu memiliki banyak dimensi dan konteks. Kita tidak dapat
memakai satu konteks saja, tetapi kita harus memakai banyak konteks agar dapat
sesuai dengan situasi dan kondisi dari keadaan geografis dan demografis dari
suatu daerah atau masyarakat tertentu. Oleh karena itu, dalam tulisan ini,
penulis akan menjelaskan kemiskinan secara garis besar sesuai dengan kondisi
dan realitas yang sungguh-sungguh terjadi di dunia ini.
3.1 Pandangan Ideologis Tentang
Kemiskinan
Kemiskinan, di satu pihak sebagaimana
disepakati oleh sebagian besar orang, merupakan suatu masalah sosial. Akan tetapi,
di pihak lain, faktor yang menyebabkan dan bagaimana mengatasinya sangat
bergantung pada ideologi yang digunakan. Paling tidak secara sederhana, kita
dapat melacak ideologi-ideologi tersebut dalam tiga kelompok besar, yakni
konservatisme, liberalisme dan radikalisme. [13]
Kaum konservatif memandang kemiskinan
tidak bermula dari struktur sosial, tetapi berasal dari karakteristik khas
orang-orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena ia tidak mau
bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta,
fatalitas, tidak ada hasrat berprestasi dan sebagainya. Orang-orang miskin
adalah kelompok sosial yang memiliki budaya sendiri (culture of poverty).[14]
Namun, konsep mengenai budaya kemiskinan
ala kaum konservatif sudah sejak lama ditumbangkan secara ilmiah. Charles A.
Valentine, salah seorang pengkritiknya dalam buku berjudul Culture and Poverty, mengemukakan pandangannya yang lebih liberal.
Menurutnya, manusia adalah makhluk yang baik, tetapi sangat dipengaruhi oleh
lingkungan. Bagi para pendukung ideologi ini, budaya kemiskinan itu merupakan realistic and situational adaptation pada
lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sangat sempit. Bila kondisi
sosial ekonomi diperbaiki dengan menghilangkan diskriminasi dan memberikan
peluang yang sama, maka “budaya kemiskinan” akan segera ditinggalkan. Pada
hakikatnya, orang miskin tidak berbeda dengan orang kaya, mereka hanya
mempunyai posisi yang tidak menguntungkan.[15]
Sementara itu, kaum radikal tidak respek sama sekali soal culture of poverty. Mereka lebih
menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial. Mereka miskin karena
memang dilestarikan untuk miskin. Kemiskinan mempunyai fungsi untuk menjamin
kepentingan kelompok dominan (ruling
elites) atau kelas kapitalis. Berbeda dengan kaum konservatif dan liberal,
kaum radikal memandang manusia sebagai makhluk sosial yang kooperatif,
produktif dan kreatif. Bila mereka bersikap sebaliknya, itu terjadi karena
sistem politik dan ekonomi yang memaksa mereka demikian. Orang-orang menjadi
miskin karena dieksploitasi.[16]
3.2 Indikator-Indikator
Kemiskinan
Selain ideologi-ideologi yang digunakan,
kemiskinan juga dapat dianalisis dengan menggunakan indikator-indikator
tertentu. Dalam konteks ini, kemiskinan dibagi menjadi tiga jenis, di antaranya[17]: Pertama, kemiskinan ekonomi yang
menggunakan indikator ekonomi semata-mata. Batasan kemiskinan adalah suatu kondisi
di mana orang tidak memiliki harta benda atau memiliki pendapatan di bawah
batas nominal tertentu. Kemiskinan juga dijabarkan sebagai kondisi keluarga
yang tidak memiliki cukup kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian dan
perumahan. Tingkatan kemiskinan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran materi
seperti pendapatan reguler, kondisi fisik bangunan tempat tinggal atau
lingkungan pemukiman. Pengertian kemiskinan yang sangat ekonomistik ini dinilai
sangat sempit dan akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan
yang dilihat sebagai bantuan ekonomi semata. Misalnya, kebijakan pengentasan
kemiskinan dari pemerintah melalui program JPS (Jaring Pengaman Sosial) hanya
menjadi program penyaluran dana bantuan saja tanpa mencoba memahami kemiskinan
yang terjadi dan faktor penyebabnya. Kebijakan tersebut cenderung makin
memiskinkan karena menimbulkan ketergantungan ekonomi, tanpa memberikan jalan
keluar untuk lepas dari jerat kemiskinan itu sendiri. Konsep kemiskinan seperti
ini juga tidak akan tajam dalam melihat pelbagai macam ketimpangan akses sumber
daya ekonomi yang dibedakan berdasarkan kelas, etnis, ras atau gender. Padahal,
analisis seperti ini diperlukan agar kebijakan-kebijakan melawan kemiskinan
dapat mengarah kepada sasaran yang tepat.
Kedua,
kemiskinan struktural, yang lebih melihat kemiskinan sebagai dampak salah urus
pengelolaan kebijakan. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia ialah bentuk
kemiskinan struktural atau buatan karena sebenarnya secara alamiah, Indonesia
memiliki cukup potensi dan sumber daya untuk tidak mengalami kemiskinan.
Kemiskinan struktural merupakan bagian dari superstruktur yang membuat sebagian
anggota kelompok atau golongan masyarakat tertentu mendominasi secara ekonomis,
politis, sosial dan budaya. Struktur itu menyebabkan tidak adanya kesamarataan,
tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan yang terindikasi dengan melemahnya tingkat kemandirian masyarakat.
Ketiga,
kemiskinan integral atau biasa juga disebut kemiskinan majemuk. Kemiskinan
intergral ini merupakan sebuah pendekatan yang lebih komprehensif dalam
memahami kemiskinan. Jika kemiskinan dalam terminologi positivistik hanya
dilihat dari faktor-faktor ekonomi, maka kemiskinan majemuk melihat kemiskinan
dari pelbagai dimensi. Kemiskinan majemuk adalah suatu kondisi tidak
terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi
meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi,
kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang. Kemiskinan subsistensi pada
masyarakat terjadi karena rendahnya pendapatan, tidak terpenuhinya kebutuhan
akan sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan
perlindungan disebabkan oleh meluasnya budaya kekerasan, serta tidak memadainya
sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar masyarakat miskin. Lalu,
kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan
eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Kemudian,
kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah, selain
faktor kuantitas yang tidak memenuhi kebutuhan. Di samping itu, kemiskinan partisipasi
terjadi karena adanya diskriminasi serta proses peminggiran masyarakat dalam
pengambilan keputusan, dan kemiskinan identitas terjadi karena adanya pemaksaan
nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya tatanan
sosial-kultural yang ada.
3.3. Sifat-Sifat Kemiskinan
Ada
dua sifat kemiskinan, di antaranya: Kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif.[18]
Dalam ilmu-ilmu sosial, ada perbedaan antara kemiskinan mutlak dan relatif,
meskipun pada umumnya masih berkorelasi satu dengan yang lainnya. Kemiskinan
mutlak berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan,
sandang, papan, kesehatan (air bersih dan sanitasi), kerja yang wajar dan
pendidikan dasar tak terpenuhi; apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti
hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan. Jadi,
orang-orang miskin hidup dalam kemelaratan yang sangat jelas. Bentuk yang
paling ekstrem ialah kelaparan yang bisa mengakibatkan kematian. Maka dari itu,
kemiskinan mutlak itu harus diberantas. Sementara itu, kemiskinan relatif
menyangkut pembagian pendapatan nasional dan berarti bahwa ada perbedaan yang
mencolok antar lapisan atau kelas dalam masyarakat. Dengan demikian, pasti ada
orang yang bisa disebut miskin dibandingkan dengan mereka yang sangat kaya
raya. Pada umumnya, terutama di negara-negara berkembang, orang yang relatif
miskin itu dapat miskin secara mutlak. Namun, dalam masyarakat yang sangat
makmur, orang yang miskin secara relatif dapat memenuhi segala kebutuhan pokok
mereka. Oleh karena itu, masalah pemerataan jauh lebih mendesak dalam situasi
di mana masih ada banyak kemelaratan mutlak. Biasanya, kebutuhan-kebutuhan
pokok mereka hanya bisa dipenuhi kalau memang terjadi pemerataan. Akan tetapi,
kalau masalah kemiskinan melulu bersifat relatif, pemerataan barangkali juga
merupakan tuntutan etis tetapi dengan model penalaran yang lain.
3.4 Memerangi Kemiskinan
dengan Demokrasi
Kemiskinan
merupakan salah satu realitas kehidupan yang harus diberantas. Kita tidak boleh
membiarkan kemiskinan meraja atas hidup kita. Kita harus mampu menemukan ‘obat
penawar’atau cara untuk memberantas kemiskinan. Salah satu ‘obat penawar’ atau
cara memberantas kemiskinan ialah dengan mengefektifkan nilai-nilai demokrasi
yang digagas oleh Harrison beserta dengan tambahan nilai demokrasi yang luput
dari perhatian Harrison. Dalam hal ini, kita harus mampu mengimplementasikan
nilai-nilai demokrasi itu dalam hidup sehari-hari. Agar dengan demikian,
nilai-nilai demokrasi yang secara universal sangat positif dan baik dapat
menjadi pendobrak dari akutnya kemiskinan di pelbagai negara, khususnya di
Indonesia. Nilai-nilai demokrasi itu ialah nilai pengetahuan, nilai otonomi,
nilai kesetaraan dan nilai partisipasi.
ØNilai Pengetahuan
Hal yang substansial dari nilai
pengetahuan ialah bahwa semua kebijakan di dalam masyarakat demokratis haruslah
berpijak pada pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan juga
dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang konteks yang ada.
Dalam artian, ketika kita ingin
mengentaskan kemiskinan dengan mengoptimalkan nilai pengetahuan, kita harus
mampu belajar dan memahami kemiskinan secara komprehensif. Kita harus
mengetahui dan memahami terlebih dahulu pengetahuan tentang hakikat kemiskinan,
penyebab-penyebab kemiskinan, corak atau model kemiskinan, pihak yang
mempengaruhi dan dipengaruhi kemiskinan, serta dampak-dampak dari kemiskinan
itu sendiri. Agar dengan demikian, kita (khususnya pemerintah) mampu membangun
konsolidasi dengan masyarakat untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang
disesuaikan dengan pengetahuan yang memadai tentang kemiskinan sekaligus yang
disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu dari situasi kemiskinan tersebut.
Untuk mengetahui secara lebih mendalam
tentang kemiskinan, penelitian-penelitian tentang kemiskinan harus digalakkan.
Tujuannya ialah agar pemerintah bersama rakyat dapat membuat rencana dan
menentukan kebijakan berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada. Asalkan
penelitian-penelitian tersebut sungguh-sungguh berorientasi pada upaya
pengentasan kemiskinan semata-mata, tanpa disisipi oleh kepentingan-kepentingan
terselubung dari pemerintah atau dari para peneliti yang melakukan penelitian.
ØNilai Otonomi
Hal yang substansial dari nilai otonomi
ialah bahwa otonomi adalah nilai yang baik karena memberikan kesempatan kepada
manusia untuk mengatur dirinya sendiri dan siap bertanggung jawab atas
keputusan-keputusan yang diambilnya dalam hidup. Dalam artian, persoalan
kemiskinan dapat dikikis secara perlahan dengan memberikan kesempatan kepada
setiap pribadi dalam masyarakat untuk mencari, berinovasi dan berpikir kreatif.
Hal ini erat kaitannya dengan kebebasan individu, sebagaimana prinsip yang
diagung-agungkan di Barat. Dengan otonomi, setiap pribadi dapat memacu dirinya
untuk mengembangkan semua potensi yang ada di dalam dirinya, tanpa paksaan.
Agar dengan demikian, setiap pribadi dalam sebuah negara demokrasi dapat
menentukan orientasi hidupnya serentak menyiapkan diri untuk menerima semua
konsekuensi yang akan terjadi karena keputusannya. Ketika setiap pribadi
diberikan kebebasan atau otonomi diri untuk mengembangkan kemampuan,
potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan manusia akan menjadi lebih baik (baca:
Sumber Daya Manusia (SDM)) dari hari ke hari. Sebab, ketika SDM manusia menjadi
lebih baik dari hari ke hari, kemiskinan dapat diberantas secara perlahan
melalui keahlian, teknik dan kompetensi.
Di samping itu, nilai otonomi ini
berkorelasi dengan pendekatan kapabilitas yang digagas oleh Amartya Sen.
Menurut Sen, kesejahteraan dan pembangunan mesti dicermati dalam kaitan dengan
kemampuan orang untuk mencapai kefungsian tertentu, yakni kesempatan-kesempatan
efektif seseorang untuk terlibat dalam aktivitas atau tindakan tertentu yang
diinginkan (doing), menjadi seseorang
yang ia inginkan (being). Term being dan doing inilah yang disebut oleh Amartya Sen dengan achieved functionings
(kefungsian-kefungsian yang tercapai). Keduanya merupakan faktor penyumbang
utama bagi terciptanya suatu hidup yang bernilai. Kefungsian-kefungsian ini
mencakup hak untuk bekerja, beristirahat, memperoleh pendidikan, jaminan
kesehatan, menjadi bagian dari suatu komunitas, dihormati dan sebagainya.
Distingsi antara achieved fungtionings dengan
capabilities ialah terletak pada
pencapaian dan kebebasan. Hal yang paling penting ialah bahwa orang mempunyai
kebebasan (kapabilitas) untuk menjalani jenis hidup yang ingin mereka hidupi,
untuk melakukan apa yang ingin mereka
lakukan dan menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Ketika seseorang secara
efektif mempunyai kebebasan ini, ia bisa memilih untuk bertindak berdasarkan
kebebasan-kebebasan tersebut, sesuai dengan idenya sendiri tentang hidup yang
ingin dijalaninya.[19]
Kemudian, suatu kondisi sejahtera (well-being) yang diterima seseorang
dapat terlihat dalam hubungannya dengan kondisi kualitas hidup. Dalam pandangan
Sen, hidup merupakan sesuatu yang terdiri dari suatu kumpulan kefungsian yang
terdiri dari ‘berada’ dan ‘melakukan sesuatu’ (being and doing) atau yang dalam terminologi Sen disebut sebagai functionings. Dalam penjelasannya
tentang functionings, Sen mengatakan
bahwa kondisi sejahtera seseorang secara konstitutif berhubungan langsung
dengan kemampuan seseorang untuk memfungsikan kemampuannya demi meraih
cita-cita kehidupannya. Kualitas hidup seseorang ataupun anggota masyarakat
bukan saja akan terlihat dari apa yang ia miliki, tetapi juga akan terlihat
dalam aktivitas hidupnya. Maka menurut Sen, klaim kefungsian merupakan sesuatu
yang secara konstitutif melekat pada kondisi seseorang dan suatu evaluasi
kesejahteraan melekat pada penilaian atas kondisi tersebut.
Dengan demikian, capability adalah suatu kumpulan unit-unit kefungsian (vectors of functionings) yang
menggambarkan kebebasan seseorang untuk menuju suatu kehidupan yang ia anggap
baik. Pertanyaan yang muncul kemudian dari model ini ialah bagaimana hubungan
antara capability yang merupakan
sekumpulan alternatif kefungsian yang dimiliki seseorang dengan kondisi well-being? Pertama, jika functionings dianggap
berkorelasi secara konstitutif terhadap well-being,
maka kemampuan untuk memfungsikan kemampuannya itu akan berkorelasi dengan
kebebasan seseorang. Di sini, kebebasan dapat diartikan sebagai kesempatan
efektif (real opportunities) yang
dimiliki seseorang untuk meraih kondisi sejahtera (well-being).
Kebebasan memperlihatkan kemampuan
seseorang untuk meraih kondisi well-being.
Kedua, hubungan antara capability dengan
kondisi well-being dilihat sebagai
yang saling memenuhi. Pencapaian hidup seseorang atas cita-cita hidupnya juga
terlihat dari sejauh mana seseorang memiliki kapabilitas atas kefungsian (capability to function). Artinya, capability to function itu berfungsi
untuk menujukkan seberapa besar kebebasan yang dimiliki seseorang atau
kemampuan seseorang untuk meraih apa yang ia anggap baik dalam hidupnya. Dalam
hal ini, Sen melihat bahwa pemilihan individu atas suatu hidup yang bernilai
terlihat dalam set of functionings. Memilih
merupakan bagian dari hidup manusia yang bebas dan menurut Sen, pemberian
kesempatan demi hadirnya ruang pilihan merupakan sesuatu yang memperkaya nilai
kehidupan.[20]
Namun, satu hal penting yang perlu
digarisbawahi ialah bahwa nilai otonomi atau kebebasan ini dapat menjadi nilai
yang tidak tepat sasar jika tidak dikontrol secara baik oleh pihak-pihak yang
berwenang. Dalam artian, nilai otonomi atau kebebasan dapat berdampak negatif
jika tidak dilihat sebagai kesempatan untuk berinovasi, mengembangkan usaha
atau melakukan hal-hal positif lainnya. Oleh karena itu, nilai otonomi atau
kebebasan individu perlu ‘dibatasi’ agar tidak menciptakan persoalan baru dalam
kehidupan bersama, khususnya persoalan kemiskinan baru. Agar dengan demikian,
nilai otonomi atau kebebasan tersebut dapat sungguh berguna atau berfaedah bagi
proses pemba ngunan
yang mengarah kepada usaha pengentasan kemiskinan.
ØNilai Kesetaraan
Hal yang substansial dari nilai
kesetaraan ialah bahwa semakin besar kebebasan dan kesetaraan di dalam suatu
masyarakat, semakin demokratislah masyarakat tersebut. Kebebasan dan kesetaraan adalah ciri utama dari demokrasi.
Dalam hal ini, melalui prinsip atau nilai kesetaraan, semua rakyat ditempatkan
pada kategori yang sama. Tidak ada perbedaan yang fundamental antara rakyat
yang miskin dan kaya, antara warga masyarakat di wilayah barat dengan warga
masyarakat di wilayah timur. Tujuannya ialah agar penentuan kebijakan,
pengambilan keputusan dan pembangunan dapat terbagi secara merata tanpa pandang
bulu. Sebab, jika semua kebijakan, keputusan dan pembangunan dilandasi prinsip
kesetaraan, persoalan kemiskinan dapat dientaskan di semua daerah atau wilayah.
Mengapa? Karena realitas menunjukkan bahwa pelik, rumit dan akutnya persoalan
kemiskinan selama ini disebabkan oleh kebijakan dan pembangunan yang tidak
merata antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya.
Akibatnya, yang mengalami kemajuan
(baca: bertumbuh dan berkembangnya ekonomi dan pelbagai hal lain) dan yang
mengalami ‘sentuhan manis’ pembangunan ialah wilayah-wilayah atau daerah-daerah
tertentu saja, sedangkan daerah-daerah lain terisolasi dan belum dijamah oleh
pembangunan. Kemiskinan pun terus merajalela. Oleh karena itu, upaya
menanggulangi persoalan kemiskinan tidak akan pernah lepas dari nilai
kesetaraan, baik itu kesetaraan dari,
oleh dan untuk.
ØNilai Partisipasi
Hal yang substansial dari nilai
partisipasi dalam mengentaskan kemiskinan ialah bahwa pembangunan harus
mengundang partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Dalam hal ini, masyarakat
bukan sekadar dijadikan objek pembangunan, melainkan sekaligus sebagai subjek
atau pelaku pembangunan. Hemat penulis, ketika semua proses pembangunan turut
melibatkan masyarakat sejak perencanaan, proses pengerjaan dan penyelesaiannya,
proses pembangunan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Di samping itu,
ketika rakyat berpartisipasi aktif dalam setiap proses pembangunan, proses
pembangunan tersebut dapat menghasilkan ‘produk’ yang baik dan berkualitas
karena dilandasi dan didasarkan pada kebutuhan rakyat sendiri.
Dalam artian, pemerintah sebagai stokeholder pembangunan bangsa dan
negara dapat melibatkan rakyat melalui diskusi, musyawarah dan mufakat,
sehingga rakyat mampu menyampaikan aspirasi mereka tentang pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan rakyat. Alhasil, ketika pembangunan tersebut dapat
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kemiskinan dapat teratasi dan kesejahteraan
bersama (bonum commune) pun tercapai.
Sebab, ketika pembangunan yang dilakukan oleh negara dapat sesuai dengan
kebutuhan rakyat, rakyat akan berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan
hasil pembangunan tersebut secara baik. Dampak lanjutannya ialah bahwa ketika
rakyat mampu memanfaatkan produk pembangunan secara baik, angka kemiskinan
dapat berkurang karena rakyat akan memperoleh hasil atau buah dari pembangunan
tersebut.
Intinya bahwa pemerintah sebagai
penguasa perlu memperhatikan tiga prinsip pokok untuk pembangunan yang berpusat
pada rakyat, di antaranya[21]: Pertama, kedaulatan berada di tangan
rakyat, pelaku sosial yang sesungguhnya demi terjadinya perubahan positif.
Tugas pemerintah ialah memungkinkan rakyat untuk menetapkan dan memenuhi agenda
mereka. Kedua, untuk menjalankan
kedaulatan dan menerima tanggung jawab pengembangan diri sendiri dan
masyarakat, rakyat harus menguasai sumber dayanya sendiri, memiliki akses dan
informasi yang relevan dan mempunyai sarana untuk menuntut tanggung jawab dari para
pejabat pemerintah. Kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat menjadi hal
yang sangat penting bagi penerapan kedaulatan rakyat. Pemerintah harus
melindungi hak-hak ini. Ketiga, mereka
yang ingin membantu rakyat dalam pembangunan harus mengakui bahwa merekalah
yang berpartisipasi untuk mendukung agenda rakyat, bukan sebaliknya. Nilai
bantuan akan diukur dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menuntut masa depan
mereka sendiri.
Lebih
lanjut, keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat
menjadi pengontrol dari pihak yang berkuasa, sehingga penguasa tidak dapat
menjalankan praktik-praktik yang jahat dalam pembangunan seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan kata lain, keterlibatan dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dapat membangkitkan dan menumbuhkembangkan salah
satu nilai penting dari demokrasi, yakni nilai transparansi atau keterbukaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Sebab, ketika masyarakat terlibat dalam
pembangunan, transparansi penyelenggaraan pemerintahan dapat terwujud karena
kehadiran rakyat dapat menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintah untuk
melakukan hal-hal yang jahat. Agar dengan demikian, ketika praktik-praktik
jahat sudah dijauhi dari proses pembangunan, pembangunan tersebut menjadi lebih
terarah tanpa dirintangi oleh kepentingan-kepentingan gelap yang ingin
melakukan mafia seperti korupsi, pencucian uang dan pelbagai kejahatan yang
berhubungan dengan “money”. Alhasil,
ketika uang rakyat telah dijauhi dari praktik-praktik gelap, proses pembangunan
dapat menjadi lebih tepat sasar, sehingga kemiskinan ekonomi, kemiskinan
struktural dan kemiskinan integral dapat teratasi sebagaimana mestinya.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa nilai-nilai demokrasi sangat relevan dan berpotensi untuk
memerangi atau memberantas kemiskinan di dunia ini. Nilai-nilai demokrasi
tersebut memiliki daya dan kekuatan yang sangat besar dalam agenda melawan
kemiskinan. Oleh karena itu, agar nilai-nilai demokrasi tersebut dapat
menjalankan fungsinya dengan baik, khususnya dalam memerangi kemiskinan,
nilai-nilai demokrasi tersebut harus selalu dijaga, dipupuk dan
ditumbuhkembangkan dalam kehidupan bersama, sehingga persoalan-persoalan hidup
yang mencengkram kehidupan manusia tidak “bertakhta”.
[1] Reza A. A. Wattimena, Demokrasi: Dasar Filosofis dan Tantangannya (Yogyakarta:
Penerbit PT Kanisius, 2016), hlm. 93.
[2] Ibid., hlm. 11.
[3] Ibid., hlm. 93.
[4] Dr. Mansour Fakih,
“Catatan Perjalanan Panjang Menuju Demokrasi”, Pengantar dalam Dadang Juliantara, Meretas Jalan Demokrasi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm.
9.
[5] Ibid., hlm. 9-11.
[6] Reza A. A. Wattimena, op.cit., hlm. 95-97.
[7] Dadang Juliantara, op.cit., hlm. 155.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 155-156.
[10]Ibid.,
hlm.
156-157.
[11] Ibid., hlm. 157.
[12] Ibid., hlm. 12.
[13] Yohanes Setiawan Da, “Analisis
Problem Kemiskinan di Indonesia dalam Perspektif Pendekatan Kapabilitas Amartya
Sen” (Skripsi Sarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere,
2014), hlm. 18.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm. 18-19.
[17] Ibid., hlm. 19-20.
[18] J. B Banawiratma, S.J
dan J. Muller, S.J., Berteologi Sosial
Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta :
Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 126.
[19] Yohanes Setiawan Da, op.cit., hlm. 33.
[21] Dadang Juliantara, op.cit., hlm. 38.
Label: Artikel