Rabu, 10 Juli 2024

DEMOKRASI: UPAYA MEMERANGI KEMISKINAN DENGAN SISTEM BERNEGARA DEMOKRASI

 



DEMOKRASI:

UPAYA MEMERANGI KEMISKINAN

DENGAN SISTEM BERNEGARA DEMOKRASI

Albertus Mandat Minggu

 

 

I.  PENDAHULUAN

Pada zaman sekarang, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang ideal, sebagaimana yang telah dipakai atau dianut oleh banyak negara di dunia ini. Melalui demokrasi, hak-hak rakyat diakui dan dilindungi demi tercapainya kemaslahatan bersama. Alhasil, demokrasi menjelma sebagai harapan umat manusia agar dunia ini menjadi semakin lebih baik di masa-masa yang akan datang.

Akan tetapi, di tengah euforia akan adanya sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang terbaik dari yang terburuk (minus malum) saat ini, realitas-realitas kehidupan yang memprihatinkan tetap ada. Salah satu realitas kehidupan yang masih terkategori sebagai kondisi hidup yang memprihatinkan ialah realitas kemiskinan. Pertanyaanya, sudah sejauh mana pengupayaan perwujudan negara yang berbasis demokrasi jika masih ada permasalahan di dalamnya? Apakah demokrasi hanya sebagai slogan semata dibalik para konglomerat dan para mafia serta para elit politik yang ikut dalam memanipulasi fakta rill (rakyat melarat dalam kemiskinan di depan wajah demokrasi) demi kepentingan sepihak?

Kemiskinan merupakan salah satu realitas hidup yang tidak dapat dielakkan manusia, meskipun insan dunia sudah eksis dengan peradabaan modern seperti sekarang ini. Kemiskinan menjadi salah satu persoalan yang akut dan memiluhkan. Ada begitu banyak manusia yang menderita karena cengkraman kemiskinan. Kemudian, oleh penderitaan manusia, realitas kemiskinan itu dikaji untuk menemukan solusi yang solutif-komprehensif dalam mengatasi persoalan kemiskinan yang mengglobal.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji realitas kemiskinan ini agar penulis mampu memberikan sedikit sumbangsih terkait pengentasan kemiskinan di dunia ini. Dalam tulisan ini, penulis tetap menggunakan demokrasi sebagai medium untuk memerangi kemiskinan. Dengan harapan, melalui penguatan nilai-nilai demokrasi, kemiskinan sebagai salah satu masalah global dapat teratasi. Di lain pihak agar visi dan misi demokarasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat terwujud dalam sebuah negara demokrasi

.

II.    HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demokrasi

Demokrasi, secara harfiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam artian, secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[1] Dengan kata lain, roh dan jiwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Semua posisi kepemimpinan politis datang dari rakyat.

Logikanya, pemimpin itu adalah sebuah cita-cita yang masih fiktif bagi seseorang dikemudian hari, namun usaha dan kerja keras demi mewujudkan cita-cita itu dimulai dari rakyat dan kemudian hari diperuntukan juga rakyat. Kinerja mereka juga dipantau oleh rakyat, dan semuanya itu bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat.[2] Tujuannya demi terciptanya keadilan juctice dan kebahagian bersama bonum commune dan bukan untuk golongan dan kepentingan tertentu.

Berbicara mengenai demokrasi yang pada intinya ialah menyuarakan suara komunikasi antara negara dan rakyat dalam bingkai dialog bersama yang diatur dengan norma dan undang-undang yang berlaku dalam sebuah negara. Dan komunkasi mempunyai banyak ragam dan rana bentuk, misalnya sistem politik trias politika berakaitan dengan negara hukum dan birokrasi. Dan yang lain adalah civil society berkaitan dengan ekomoni dan masyarakat. Dan bagaimana dua hal ini saling berkorelasi dan bersinergi dalam membangun masyarakat demokratis dan negara demokratis. Maka di sana kritik sebagai jalan untuk menjernihkan visi dan misi dalam dialog bersama atau dalam diskusi publik. Dan kritik bisa lakukan, di mana kritik merupakan hal yang sangat wajar dan didorong dalam berdemokrasi agar bonum commune dan keadilan justice dapat tercapai dalam sebuah negara demokrasi.

Dalam sebuah negara demokrasi harus berlandaskan pada tiga aspek ini sebagai bukti kerjasama antara pemerintah dan rakyat, antara lain kesetaraan, kebebasan, dam sikap respek. Dalam hal ini, kesetaraan tanpa rasa respek akan mendatangkan perpecahan, jurang pemisah antara pemerintah dan rakyat di sana akan terciptanya sebuah ceos kekosongan dan hal ini sama halnya dengan kebebasan tanpa respek akan menimbulkan pemberontakan, penyelewengan terhadap norma dan undang-undang negara. Oleh sebab itu sikap respek tetaplah sangat penting yang akan merujuk pada kedua hal yakni pertama fungsi publik yang melingkupi semua petugas publik. Dalam hal ini pihak pelayan publik harus memberikan respek kepada masyarakat. Kedua, respek harus dialamatkan kepada person dibalik fungsi respek itu sehingga tidak terjadi separatif  yang memanipulasi fungsi publik itu.

 Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung seperti rakyat dapat menentukan segala sesuatu yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi publik atau dialog bersama dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip etika dan norma serta undang-undang yang berlaku dalam sebuah negara. Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili oleh orang-orang yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat, dan mereka inilah yang memastikan bahwa seluruh kerja pemerintah mengacu kepada kepentingan rakyat. Dari sudut pandang ini, demokrasi mengandaikan nilai-nilai moral tertentu di dalam praktiknya seperti nilai kejujuran, keadilan, keterwakilan, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat yang lebih tinggi, dan bukan pada kepentingan sebagian kecil kelompok ataupun golongan yang ada di masyarakat.[3]

Di samping itu, proses demokratisasi sesungguhnya dapat diklarifikasi ke dalam proses ‘demokratisasi dari bawah’ yaitu dari masyarakat kecil dan ‘demokratisasi dari atas’ dari pemerintah sekalu sebagai penegak dan pemerhati hukum. Yang dimaksud ‘demokratisasi dari atas’ adalah apabila inisiatif demokrasi diprakarsai oleh golongan elite politik, para penegak hukum dan pemerhati undang-undang. Dan yang kedua adalah yang dikenal dengan ‘demokratisasi dari bawah’, yakni suatu perjuangan demokratisasi yang berasal dari rakyat atau melalui popular struggle menuju demokrasi. Namun, apa yang disebut sebagai proses truly democracy ialah yang dari bawah. [4]

2.2     Dimensi-Dimensi Demokrasi

Menurut Yoshikazu Sakamoto (1991), dari International Peace Research Institute Meigaku-Jepang, mengajukan apa yang disebutnya sebagai pendalaman demokratisasi, yang menurutnya dibagi ke dalam empat dimensi sebagai berikut:[5]

Ø Dimensi pertama adalah pendalaman demokratisasi terhadap lembaga-lembaga politik formal, sampai pada struktur dan proses sosial politik di masyarakat.

Ø Dimensi kedua adalah proses pendalaman demokratisasi dari lapisan masyarakat sampai pada tingkatan bawah, yakni mereka yang tersingkirkan atau mereka yang mengalami marginalisasi di kalangan masyarakat bawah. Demokrasi tidak saja difokuskan dalam hal ‘distribusi pendapatan’, tetapi juga termasuk mekanisme hak-hak keadilan (equal rights) pada kelompok minoritas, suku bangsa, agama maupun ideologi, serta hak asasi kaum perempuan, anak-anak, para lansia, dan sebagainya. Demokratisasi dalam aspek ini tidak saja pada suatu sistem politik, tetapi bisa jadi di luar sistem yang ada dalam bentuk hak untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Ø Dimensi ketiga adalah pendalaman demokratisasi dari politik pemerintahan atau negara sampai pada tingkat tempat kerja, sekolah, organisasi, keluarga ataupun dalam kehidupan non-politik sehari-hari. Dengan kata lain, proses demokratisasi tidak saja menjadi proses antara state dan civil society, tetapi perlu proses demokratisasi di dalam kalangan civil society itu sendiri. Demokratisasi di tingkat civil society berarti mempertanyakan segala macam bentuk kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Ø Dimensi keempat ialah pendalaman demokratisasi dapat dilakukan di dalam suatu negara tertentu sampai ke tingkat global. Proses demokratisasi tidak bisa lagi dibatasi dalam satu negara, tetapi telah menjadi urusan global. Dalam hal ini, proses demokratisasi tidak lagi mengenal batas negara.

2.3  Nilai-Nilai Demokrasi

Menurut Harrison, demokrasi memiliki nilai-nilai dasar yang memiliki aspek universal. Dalam artian, nilai-nilai dasar tersebut diakui oleh cukup banyak orang sebagai nilai-nilai yang baik. Berpijak pada pemikiran Harrison, Reza Wattimena pun menjabarkan nilai-nilai dasar yang menopang paham maupun sistem politik demokratis, di antaranya[6]:

ØNilai pengetahuan.

        Semua kebijakan di dalam masyarakat demokratis haruslah berpijak pada pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan juga dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang konteks yang ada. Artinya, tidak hanya data yang cocok dengan realitas, tetapi harus berupa penerapan kebijakan-kebijakan yang tepat. Untuk itu, pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan amatlah dibutuhkan. Dapat juga dikatakan, masyarakat demokratis adalah masyarakat pengetahuan. Demokrasi tidak dapat berfungsi jika pengetahuan tidak dikembangkan melalui penelitian-penelitian yang bermutu.

ØNilai otonomi.

         Menurut Harrison, otonomi adalah nilai yang secara universal sangat baik. Dalam artian, manusia adalah manusia yang utuh jika ia mampu menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dengan demikian, otonomi adalah nilai yang baik karena memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengatur dirinya sendiri. Harrison juga menegaskan bahwa di dalam masyarakat demokratis, nilai otonomi, yakni kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri, amatlah penting. Otonomi adalah salah satu nilai dasar dari demokrasi. Tanpa otonomi, tidak akan ada demokrasi. Pada level individual, orang-orang yang hidup di dalam demokrasi ialah individu-individu yang mengatur dirinya sendiri dan siap bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya dalam hidup. Pada level kolektif, masyarakat demokratis adalah masyarakat yang mengatur dirinya sendiri. “Ide sentral dari demokrasi,” demikian tulis Harrison, “ialah tata kelola diri sendiri. Di dalam demokrasi, rakyat mengatur dirinya sendiri.”

ØNilai kesetaraan.

          Menurut Harrison, di masa Yunani Kuno, “kebebasan dan kesetaraan” adalah ciri utama dari demokrasi. Dengan kata lain, semakin besar kebebasan dan kesetaraan di dalam suatu masyarakat, semakin demokratislah masyarakat tersebut. Di dalam sejarah perkembangan masyarakat manusia, dorongan untuk menciptakan masyarakat demokratis amatlah kuat. Hal ini terlihat dari semakin besarnya tuntutan atas kesetaraan di pelbagai bidang kehidupan, terutama di bidang politik. “Setiap kekuasaan penerus”, demikian tulis Harrison, “bertambah sebagai tanda meningkatnya kesetaraan, membuat kelompok-kelompok yang berbeda masyarakat memiliki kekuatan politik yang lebih setara.”

Kemudian, salah satu nilai demokrasi yang juga dapat menopang paham maupun sistem politik demokratis ialah nilai partisipasi. Sebab, pada dasarnya, pembangunan yang dijalankan dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi ialah pembangunan yang mengundang partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Dalam hal ini, masyarakat bukan sekadar dijadikan objek pembangunan, melainkan sekaligus sebagai subjek atau pelaku pembangunan. Artinya, pembangunan tidaklah cukup bila hanya mengadopsi konsep untuk. Konsep dari dan oleh juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wacana demokrasi.[7]

Tentu saja, urgensi mendorong berlangsungnya partisipasi dari dan oleh bukan dilandasi ketidakpercayaan terhadap para penyelenggara pembangunan, melainkan oleh semangat dan kebutuhan akan keterbukaan. Bahwa sebagai penyelenggara kepentingan masyarakat, sebagai pemegang “kedaulatan rakyat”, pemerintah perlu terbuka terhadap masyarakat, bukan sebaliknya. Konsep terbuka yang dimaksudkan di sini bukan saja mengandung unsur kontrol dan pembatasan kekuasaan, melainkan juga mengandung unsur partisipasi.[8]

Terdapat dua titik fundamental yang mendesak dikedepankan berkaitan dengan kebutuhan partisipasi. Pertama, bahwa pembangunan seyogianya berangkat (secara real) dari formulasi atas kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak, khususnya mereka yang berada di lapisan bawah struktur sosial. Pada titik ini, kehendak dan keinginan-keinginan massa-rakyat dituntut untuk dijadikan paradigma dalam menyusun program-program pembangunan. Kedua, bahwa pembangunan seharusnya melibatkan atau menghimpun sumber daya dari massa-rakyat. Yang disebut melibatkan sumber daya dari massa-rakyat di sini bukan memobilisasi massa-rakyat untuk menjalankan program-program pembangunan atau meminta secara “suka rela” sumber daya massa-rakyat, melainkan menyertakan tenaga dan pikiran rakyat secara demokratis. Artinya, rakyat perlu mendapat tempat untuk menyampaikan gagasan-gagasan kritisnya terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.[9]

Terhadap partisipasi itu sendiri, paling tidak kita mengharapkan tiga hal pokok, di antaranya[10]: Pertama, formulasi real kebutuhan dan kepentingan massa-rakyat. Untuk bisa menghasilkan kepentingan formulasi yang demikian, tentunya, keterlibatan rakyat-yang bisa berbicara secara otonom dan bebas dari kecemasan-kecemasan-amat diperlukan. Kedua, formulasi atas cara mendapatkan kebutuhan dan kepentingan tersebut. Bagaimanapun rakyat patut diajak untuk berbicara atas metode, pendekatan dan praktik pembangunan yang dijalankan. Partisipasi mensyaratkan rakyat yang sungguh terlibat untuk menentukan model dan praktik pembangunan yang dijalankan. Titik pentingnya ialah agar rakyat tidak dikejutkan bila sewaktu-waktu praktik pembangunan tersebut mengenai dirinya.

Ketiga, penyediaan sumber daya. Dengan partisipasi, bisa dipastikan bahwa rakyat akan dengan sukarela memberikan dukungan konkret guna mencapai target-target pembangunan. Tradisi gotong royong membangun desa merupakan fakta bahwa rakyat sesungguhnya adalah pihak yang baik, suka menolong dan memiliki komitmen yang kuat atas perubahan. Namun, apa yang tidak bisa dimungkiri bahwa kontribusi riil rakyat hanya akan mungkin terjadi jika rakyat dilibatkan secara penuh dan bukan sekadar menjadi penghias atau dimobilisasi melalui cara-cara koersif.

Untuk itulah, ada beberapa hal yang sangat mendesak untuk dilakukan di waktu-waktu yang akan datang. Pertama, pembukaan ruang gagasan. Secara sosiologis, pembukaan ruang gagasan, yang memungkinkan rakyat mengungkapkan aspirasi politik atau kehendak-kehendak mendasarnya, yakni perubahan, amat mendesak. Dengan ini kita berharap kecerdasan rakyat dapat muncul ke permukaan, sehingga membuahkan gagasan-gagasan baru yang produktif dan transformatif. Di samping itu, pembukaan ruang gagasan akan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berkembang secara wajar, yang terlepas dari trauma, ancaman dan kecemasan-kecemasan. Kedua, pembukaan ruang gerak sosio-politik. Konsep partisipasi hanya akan terwujud bila rakyat mendapat ruang lebar untuk menghimpun diri dan berkembang dalam organisasi-organisasi independen. Berbagai restriksi (pembatasan) yang selama ini dijalankan seyogianya dihilangkan. Hal ini karena bukan saja bertentangan dengan semangat aspirasi masyarakat yang progres, melainkan juga berlawanan dengan semangat zaman yang terus bergulir ke arah keterbukaan dan demokrasi.[11]

Bertolak dari semua ulasan tersebut, kita dapat menyebut dan menjelaskan beberapa bentuk atau model partisipasi, di antaranya[12]: Pertama, partisipasi nominal, pada dasarnya memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka. Demikian pula partisipasi politik rakyat dalam pemilu, misalnya, lebih merupakan kepentingan legitimasi kekuasaan negara. Rakyat dalam model ‘partisipasi nominal’ ini hanya diletakkan sebagai ‘pajangan’ (display) dari proyek demokrasi. Kedua, partisipasi instrumen, yakni suatu proses melibatkan rakyat untuk menyukseskan suatu program yang tidak selalu atau sering kali bukan kepentingan mereka. Dengan demikian, partisipasi rakyat diperlukan demi suksesnya ‘pembangunan’ itu sendiri. Misalnya, pelibatan kaum perempuan dalam pembangunan bukan demi emansipasi dan liberasi kaum perempuan, melainkan pelibatan itu sendiri menghasilkan ‘efisiensi’ pembangunan.

Ketiga, partisipasi representatif. Partisipasi representatif ini banyak dianut oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di mana ketika mereka hendak mengembangkan suatu program pembangunan, partisipasi harus memungkinkan rakyat untuk menyuarakan kepentingan mereka dalam proyek tersebut. Keempat, partisipasi transformatif. Dalam konsep ini, gagasan partisipasi bermakna memberikan ruang kepada rakyat untuk menjadi subjek terhadap proses perubahan sosial, pengambilan keputusan dan aksi melawan ketidakadilan demi transformasi sosial mereka sendiri. Hal ini berarti, dalam menjalankan roda pemerintahan, rakyat menjadi subjek dalam proses ekonomi, sosial, politik, budaya, serta pengembangan pengetahuan, sekaligus meletakkan rakyat sebagai perencana, pelaksana, maupun yang akan menikmati hasilnya.


III.    KEMISKINAN

Meskipun kata kemiskinan itu cukup populer di telinga manusia, toh kita masih sulit untuk mendefinisikan kemiskinan itu secara pasti. Mengapa demikian? Sebab, kemiskinan itu memiliki banyak dimensi dan konteks. Kita tidak dapat memakai satu konteks saja, tetapi kita harus memakai banyak konteks agar dapat sesuai dengan situasi dan kondisi dari keadaan geografis dan demografis dari suatu daerah atau masyarakat tertentu. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan kemiskinan secara garis besar sesuai dengan kondisi dan realitas yang sungguh-sungguh terjadi di dunia ini.

3.1  Pandangan Ideologis Tentang Kemiskinan

Kemiskinan, di satu pihak sebagaimana disepakati oleh sebagian besar orang, merupakan suatu masalah sosial. Akan tetapi, di pihak lain, faktor yang menyebabkan dan bagaimana mengatasinya sangat bergantung pada ideologi yang digunakan. Paling tidak secara sederhana, kita dapat melacak ideologi-ideologi tersebut dalam tiga kelompok besar, yakni konservatisme, liberalisme dan radikalisme. [13]

Kaum konservatif memandang kemiskinan tidak bermula dari struktur sosial, tetapi berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena ia tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalitas, tidak ada hasrat berprestasi dan sebagainya. Orang-orang miskin adalah kelompok sosial yang memiliki budaya sendiri (culture of poverty).[14]

Namun, konsep mengenai budaya kemiskinan ala kaum konservatif sudah sejak lama ditumbangkan secara ilmiah. Charles A. Valentine, salah seorang pengkritiknya dalam buku berjudul Culture and Poverty, mengemukakan pandangannya yang lebih liberal. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang baik, tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Bagi para pendukung ideologi ini, budaya kemiskinan itu merupakan realistic and situational adaptation pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sangat sempit. Bila kondisi sosial ekonomi diperbaiki dengan menghilangkan diskriminasi dan memberikan peluang yang sama, maka “budaya kemiskinan” akan segera ditinggalkan. Pada hakikatnya, orang miskin tidak berbeda dengan orang kaya, mereka hanya mempunyai posisi yang tidak menguntungkan.[15]

Sementara itu, kaum radikal tidak respek sama sekali soal culture of poverty. Mereka lebih menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial. Mereka miskin karena memang dilestarikan untuk miskin. Kemiskinan mempunyai fungsi untuk menjamin kepentingan kelompok dominan (ruling elites) atau kelas kapitalis. Berbeda dengan kaum konservatif dan liberal, kaum radikal memandang manusia sebagai makhluk sosial yang kooperatif, produktif dan kreatif. Bila mereka bersikap sebaliknya, itu terjadi karena sistem politik dan ekonomi yang memaksa mereka demikian. Orang-orang menjadi miskin karena dieksploitasi.[16]

3.2     Indikator-Indikator Kemiskinan

Selain ideologi-ideologi yang digunakan, kemiskinan juga dapat dianalisis dengan menggunakan indikator-indikator tertentu. Dalam konteks ini, kemiskinan dibagi menjadi tiga jenis, di antaranya[17]: Pertama, kemiskinan ekonomi yang menggunakan indikator ekonomi semata-mata. Batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta benda atau memiliki pendapatan di bawah batas nominal tertentu. Kemiskinan juga dijabarkan sebagai kondisi keluarga yang tidak memiliki cukup kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian dan perumahan. Tingkatan kemiskinan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran materi seperti pendapatan reguler, kondisi fisik bangunan tempat tinggal atau lingkungan pemukiman. Pengertian kemiskinan yang sangat ekonomistik ini dinilai sangat sempit dan akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilihat sebagai bantuan ekonomi semata. Misalnya, kebijakan pengentasan kemiskinan dari pemerintah melalui program JPS (Jaring Pengaman Sosial) hanya menjadi program penyaluran dana bantuan saja tanpa mencoba memahami kemiskinan yang terjadi dan faktor penyebabnya. Kebijakan tersebut cenderung makin memiskinkan karena menimbulkan ketergantungan ekonomi, tanpa memberikan jalan keluar untuk lepas dari jerat kemiskinan itu sendiri. Konsep kemiskinan seperti ini juga tidak akan tajam dalam melihat pelbagai macam ketimpangan akses sumber daya ekonomi yang dibedakan berdasarkan kelas, etnis, ras atau gender. Padahal, analisis seperti ini diperlukan agar kebijakan-kebijakan melawan kemiskinan dapat mengarah kepada sasaran yang tepat.

Kedua, kemiskinan struktural, yang lebih melihat kemiskinan sebagai dampak salah urus pengelolaan kebijakan. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia ialah bentuk kemiskinan struktural atau buatan karena sebenarnya secara alamiah, Indonesia memiliki cukup potensi dan sumber daya untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural merupakan bagian dari superstruktur yang membuat sebagian anggota kelompok atau golongan masyarakat tertentu mendominasi secara ekonomis, politis, sosial dan budaya. Struktur itu menyebabkan tidak adanya kesamarataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan yang terindikasi dengan melemahnya tingkat kemandirian masyarakat.

Ketiga, kemiskinan integral atau biasa juga disebut kemiskinan majemuk. Kemiskinan intergral ini merupakan sebuah pendekatan yang lebih komprehensif dalam memahami kemiskinan. Jika kemiskinan dalam terminologi positivistik hanya dilihat dari faktor-faktor ekonomi, maka kemiskinan majemuk melihat kemiskinan dari pelbagai dimensi. Kemiskinan majemuk adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi meliputi kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang. Kemiskinan subsistensi pada masyarakat terjadi karena rendahnya pendapatan, tidak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan disebabkan oleh meluasnya budaya kekerasan, serta tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar masyarakat miskin. Lalu, kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Kemudian, kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang tidak memenuhi kebutuhan. Di samping itu, kemiskinan partisipasi terjadi karena adanya diskriminasi serta proses peminggiran masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan kemiskinan identitas terjadi karena adanya pemaksaan nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya tatanan sosial-kultural yang ada.

3.3.    Sifat-Sifat Kemiskinan

Ada dua sifat kemiskinan, di antaranya: Kemiskinan mutlak dan kemiskinan relatif.[18] Dalam ilmu-ilmu sosial, ada perbedaan antara kemiskinan mutlak dan relatif, meskipun pada umumnya masih berkorelasi satu dengan yang lainnya. Kemiskinan mutlak berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok yang primer seperti pangan, sandang, papan, kesehatan (air bersih dan sanitasi), kerja yang wajar dan pendidikan dasar tak terpenuhi; apalagi kebutuhan-kebutuhan sekunder seperti hak berpartisipasi, rekreasi atau lingkungan hidup yang menyenangkan. Jadi, orang-orang miskin hidup dalam kemelaratan yang sangat jelas. Bentuk yang paling ekstrem ialah kelaparan yang bisa mengakibatkan kematian. Maka dari itu, kemiskinan mutlak itu harus diberantas. Sementara itu, kemiskinan relatif menyangkut pembagian pendapatan nasional dan berarti bahwa ada perbedaan yang mencolok antar lapisan atau kelas dalam masyarakat. Dengan demikian, pasti ada orang yang bisa disebut miskin dibandingkan dengan mereka yang sangat kaya raya. Pada umumnya, terutama di negara-negara berkembang, orang yang relatif miskin itu dapat miskin secara mutlak. Namun, dalam masyarakat yang sangat makmur, orang yang miskin secara relatif dapat memenuhi segala kebutuhan pokok mereka. Oleh karena itu, masalah pemerataan jauh lebih mendesak dalam situasi di mana masih ada banyak kemelaratan mutlak. Biasanya, kebutuhan-kebutuhan pokok mereka hanya bisa dipenuhi kalau memang terjadi pemerataan. Akan tetapi, kalau masalah kemiskinan melulu bersifat relatif, pemerataan barangkali juga merupakan tuntutan etis tetapi dengan model penalaran yang lain.

 

3.4  Memerangi Kemiskinan dengan Demokrasi

Kemiskinan merupakan salah satu realitas kehidupan yang harus diberantas. Kita tidak boleh membiarkan kemiskinan meraja atas hidup kita. Kita harus mampu menemukan ‘obat penawar’atau cara untuk memberantas kemiskinan. Salah satu ‘obat penawar’ atau cara memberantas kemiskinan ialah dengan mengefektifkan nilai-nilai demokrasi yang digagas oleh Harrison beserta dengan tambahan nilai demokrasi yang luput dari perhatian Harrison. Dalam hal ini, kita harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi itu dalam hidup sehari-hari. Agar dengan demikian, nilai-nilai demokrasi yang secara universal sangat positif dan baik dapat menjadi pendobrak dari akutnya kemiskinan di pelbagai negara, khususnya di Indonesia. Nilai-nilai demokrasi itu ialah nilai pengetahuan, nilai otonomi, nilai kesetaraan dan nilai partisipasi.

ØNilai Pengetahuan

Hal yang substansial dari nilai pengetahuan ialah bahwa semua kebijakan di dalam masyarakat demokratis haruslah berpijak pada pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan juga dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang konteks yang ada.

Dalam artian, ketika kita ingin mengentaskan kemiskinan dengan mengoptimalkan nilai pengetahuan, kita harus mampu belajar dan memahami kemiskinan secara komprehensif. Kita harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu pengetahuan tentang hakikat kemiskinan, penyebab-penyebab kemiskinan, corak atau model kemiskinan, pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi kemiskinan, serta dampak-dampak dari kemiskinan itu sendiri. Agar dengan demikian, kita (khususnya pemerintah) mampu membangun konsolidasi dengan masyarakat untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dengan pengetahuan yang memadai tentang kemiskinan sekaligus yang disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu dari situasi kemiskinan tersebut.

Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang kemiskinan, penelitian-penelitian tentang kemiskinan harus digalakkan. Tujuannya ialah agar pemerintah bersama rakyat dapat membuat rencana dan menentukan kebijakan berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada. Asalkan penelitian-penelitian tersebut sungguh-sungguh berorientasi pada upaya pengentasan kemiskinan semata-mata, tanpa disisipi oleh kepentingan-kepentingan terselubung dari pemerintah atau dari para peneliti yang melakukan penelitian.

ØNilai Otonomi

Hal yang substansial dari nilai otonomi ialah bahwa otonomi adalah nilai yang baik karena memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengatur dirinya sendiri dan siap bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya dalam hidup. Dalam artian, persoalan kemiskinan dapat dikikis secara perlahan dengan memberikan kesempatan kepada setiap pribadi dalam masyarakat untuk mencari, berinovasi dan berpikir kreatif. Hal ini erat kaitannya dengan kebebasan individu, sebagaimana prinsip yang diagung-agungkan di Barat. Dengan otonomi, setiap pribadi dapat memacu dirinya untuk mengembangkan semua potensi yang ada di dalam dirinya, tanpa paksaan. Agar dengan demikian, setiap pribadi dalam sebuah negara demokrasi dapat menentukan orientasi hidupnya serentak menyiapkan diri untuk menerima semua konsekuensi yang akan terjadi karena keputusannya. Ketika setiap pribadi diberikan kebebasan atau otonomi diri untuk mengembangkan kemampuan, potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan manusia akan menjadi lebih baik (baca: Sumber Daya Manusia (SDM)) dari hari ke hari. Sebab, ketika SDM manusia menjadi lebih baik dari hari ke hari, kemiskinan dapat diberantas secara perlahan melalui keahlian, teknik dan kompetensi.

Di samping itu, nilai otonomi ini berkorelasi dengan pendekatan kapabilitas yang digagas oleh Amartya Sen. Menurut Sen, kesejahteraan dan pembangunan mesti dicermati dalam kaitan dengan kemampuan orang untuk mencapai kefungsian tertentu, yakni kesempatan-kesempatan efektif seseorang untuk terlibat dalam aktivitas atau tindakan tertentu yang diinginkan (doing), menjadi seseorang yang ia inginkan (being). Term being dan doing inilah yang disebut oleh Amartya Sen dengan achieved functionings (kefungsian-kefungsian yang tercapai). Keduanya merupakan faktor penyumbang utama bagi terciptanya suatu hidup yang bernilai. Kefungsian-kefungsian ini mencakup hak untuk bekerja, beristirahat, memperoleh pendidikan, jaminan kesehatan, menjadi bagian dari suatu komunitas, dihormati dan sebagainya. Distingsi antara achieved fungtionings dengan capabilities ialah terletak pada pencapaian dan kebebasan. Hal yang paling penting ialah bahwa orang mempunyai kebebasan (kapabilitas) untuk menjalani jenis hidup yang ingin mereka hidupi, untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan dan menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Ketika seseorang secara efektif mempunyai kebebasan ini, ia bisa memilih untuk bertindak berdasarkan kebebasan-kebebasan tersebut, sesuai dengan idenya sendiri tentang hidup yang ingin dijalaninya.[19]

Kemudian, suatu kondisi sejahtera (well-being) yang diterima seseorang dapat terlihat dalam hubungannya dengan kondisi kualitas hidup. Dalam pandangan Sen, hidup merupakan sesuatu yang terdiri dari suatu kumpulan kefungsian yang terdiri dari ‘berada’ dan ‘melakukan sesuatu’ (being and doing) atau yang dalam terminologi Sen disebut sebagai functionings. Dalam penjelasannya tentang functionings, Sen mengatakan bahwa kondisi sejahtera seseorang secara konstitutif berhubungan langsung dengan kemampuan seseorang untuk memfungsikan kemampuannya demi meraih cita-cita kehidupannya. Kualitas hidup seseorang ataupun anggota masyarakat bukan saja akan terlihat dari apa yang ia miliki, tetapi juga akan terlihat dalam aktivitas hidupnya. Maka menurut Sen, klaim kefungsian merupakan sesuatu yang secara konstitutif melekat pada kondisi seseorang dan suatu evaluasi kesejahteraan melekat pada penilaian atas kondisi tersebut.

Dengan demikian, capability adalah suatu kumpulan unit-unit kefungsian (vectors of functionings) yang menggambarkan kebebasan seseorang untuk menuju suatu kehidupan yang ia anggap baik. Pertanyaan yang muncul kemudian dari model ini ialah bagaimana hubungan antara capability yang merupakan sekumpulan alternatif kefungsian yang dimiliki seseorang dengan kondisi well-being? Pertama, jika functionings dianggap berkorelasi secara konstitutif terhadap well-being, maka kemampuan untuk memfungsikan kemampuannya itu akan berkorelasi dengan kebebasan seseorang. Di sini, kebebasan dapat diartikan sebagai kesempatan efektif (real opportunities) yang dimiliki seseorang untuk meraih kondisi sejahtera (well-being).

Kebebasan memperlihatkan kemampuan seseorang untuk meraih kondisi well-being. Kedua, hubungan antara capability dengan kondisi well-being dilihat sebagai yang saling memenuhi. Pencapaian hidup seseorang atas cita-cita hidupnya juga terlihat dari sejauh mana seseorang memiliki kapabilitas atas kefungsian (capability to function). Artinya, capability to function itu berfungsi untuk menujukkan seberapa besar kebebasan yang dimiliki seseorang atau kemampuan seseorang untuk meraih apa yang ia anggap baik dalam hidupnya. Dalam hal ini, Sen melihat bahwa pemilihan individu atas suatu hidup yang bernilai terlihat dalam set of functionings. Memilih merupakan bagian dari hidup manusia yang bebas dan menurut Sen, pemberian kesempatan demi hadirnya ruang pilihan merupakan sesuatu yang memperkaya nilai kehidupan.[20]

Namun, satu hal penting yang perlu digarisbawahi ialah bahwa nilai otonomi atau kebebasan ini dapat menjadi nilai yang tidak tepat sasar jika tidak dikontrol secara baik oleh pihak-pihak yang berwenang. Dalam artian, nilai otonomi atau kebebasan dapat berdampak negatif jika tidak dilihat sebagai kesempatan untuk berinovasi, mengembangkan usaha atau melakukan hal-hal positif lainnya. Oleh karena itu, nilai otonomi atau kebebasan individu perlu ‘dibatasi’ agar tidak menciptakan persoalan baru dalam kehidupan bersama, khususnya persoalan kemiskinan baru. Agar dengan demikian, nilai otonomi atau kebebasan tersebut dapat sungguh berguna atau berfaedah bagi proses pemba ngunan yang mengarah kepada usaha pengentasan kemiskinan.

ØNilai Kesetaraan

Hal yang substansial dari nilai kesetaraan ialah bahwa semakin besar kebebasan dan kesetaraan di dalam suatu masyarakat, semakin demokratislah masyarakat tersebut. Kebebasan dan kesetaraan adalah ciri utama dari demokrasi. Dalam hal ini, melalui prinsip atau nilai kesetaraan, semua rakyat ditempatkan pada kategori yang sama. Tidak ada perbedaan yang fundamental antara rakyat yang miskin dan kaya, antara warga masyarakat di wilayah barat dengan warga masyarakat di wilayah timur. Tujuannya ialah agar penentuan kebijakan, pengambilan keputusan dan pembangunan dapat terbagi secara merata tanpa pandang bulu. Sebab, jika semua kebijakan, keputusan dan pembangunan dilandasi prinsip kesetaraan, persoalan kemiskinan dapat dientaskan di semua daerah atau wilayah. Mengapa? Karena realitas menunjukkan bahwa pelik, rumit dan akutnya persoalan kemiskinan selama ini disebabkan oleh kebijakan dan pembangunan yang tidak merata antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya.

Akibatnya, yang mengalami kemajuan (baca: bertumbuh dan berkembangnya ekonomi dan pelbagai hal lain) dan yang mengalami ‘sentuhan manis’ pembangunan ialah wilayah-wilayah atau daerah-daerah tertentu saja, sedangkan daerah-daerah lain terisolasi dan belum dijamah oleh pembangunan. Kemiskinan pun terus merajalela. Oleh karena itu, upaya menanggulangi persoalan kemiskinan tidak akan pernah lepas dari nilai kesetaraan, baik itu kesetaraan dari, oleh dan untuk.

ØNilai Partisipasi

Hal yang substansial dari nilai partisipasi dalam mengentaskan kemiskinan ialah bahwa pembangunan harus mengundang partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Dalam hal ini, masyarakat bukan sekadar dijadikan objek pembangunan, melainkan sekaligus sebagai subjek atau pelaku pembangunan. Hemat penulis, ketika semua proses pembangunan turut melibatkan masyarakat sejak perencanaan, proses pengerjaan dan penyelesaiannya, proses pembangunan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Di samping itu, ketika rakyat berpartisipasi aktif dalam setiap proses pembangunan, proses pembangunan tersebut dapat menghasilkan ‘produk’ yang baik dan berkualitas karena dilandasi dan didasarkan pada kebutuhan rakyat sendiri.

Dalam artian, pemerintah sebagai stokeholder pembangunan bangsa dan negara dapat melibatkan rakyat melalui diskusi, musyawarah dan mufakat, sehingga rakyat mampu menyampaikan aspirasi mereka tentang pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Alhasil, ketika pembangunan tersebut dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kemiskinan dapat teratasi dan kesejahteraan bersama (bonum commune) pun tercapai. Sebab, ketika pembangunan yang dilakukan oleh negara dapat sesuai dengan kebutuhan rakyat, rakyat akan berusaha semaksimal mungkin untuk memanfaatkan hasil pembangunan tersebut secara baik. Dampak lanjutannya ialah bahwa ketika rakyat mampu memanfaatkan produk pembangunan secara baik, angka kemiskinan dapat berkurang karena rakyat akan memperoleh hasil atau buah dari pembangunan tersebut.

Intinya bahwa pemerintah sebagai penguasa perlu memperhatikan tiga prinsip pokok untuk pembangunan yang berpusat pada rakyat, di antaranya[21]: Pertama, kedaulatan berada di tangan rakyat, pelaku sosial yang sesungguhnya demi terjadinya perubahan positif. Tugas pemerintah ialah memungkinkan rakyat untuk menetapkan dan memenuhi agenda mereka. Kedua, untuk menjalankan kedaulatan dan menerima tanggung jawab pengembangan diri sendiri dan masyarakat, rakyat harus menguasai sumber dayanya sendiri, memiliki akses dan informasi yang relevan dan mempunyai sarana untuk menuntut tanggung jawab dari para pejabat pemerintah. Kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat menjadi hal yang sangat penting bagi penerapan kedaulatan rakyat. Pemerintah harus melindungi hak-hak ini. Ketiga, mereka yang ingin membantu rakyat dalam pembangunan harus mengakui bahwa merekalah yang berpartisipasi untuk mendukung agenda rakyat, bukan sebaliknya. Nilai bantuan akan diukur dari peningkatan kapasitas rakyat untuk menuntut masa depan mereka sendiri.  

Lebih lanjut, keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat menjadi pengontrol dari pihak yang berkuasa, sehingga penguasa tidak dapat menjalankan praktik-praktik yang jahat dalam pembangunan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan kata lain, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat membangkitkan dan menumbuhkembangkan salah satu nilai penting dari demokrasi, yakni nilai transparansi atau keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebab, ketika masyarakat terlibat dalam pembangunan, transparansi penyelenggaraan pemerintahan dapat terwujud karena kehadiran rakyat dapat menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintah untuk melakukan hal-hal yang jahat. Agar dengan demikian, ketika praktik-praktik jahat sudah dijauhi dari proses pembangunan, pembangunan tersebut menjadi lebih terarah tanpa dirintangi oleh kepentingan-kepentingan gelap yang ingin melakukan mafia seperti korupsi, pencucian uang dan pelbagai kejahatan yang berhubungan dengan “money”. Alhasil, ketika uang rakyat telah dijauhi dari praktik-praktik gelap, proses pembangunan dapat menjadi lebih tepat sasar, sehingga kemiskinan ekonomi, kemiskinan struktural dan kemiskinan integral dapat teratasi sebagaimana mestinya.


IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai demokrasi sangat relevan dan berpotensi untuk memerangi atau memberantas kemiskinan di dunia ini. Nilai-nilai demokrasi tersebut memiliki daya dan kekuatan yang sangat besar dalam agenda melawan kemiskinan. Oleh karena itu, agar nilai-nilai demokrasi tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik, khususnya dalam memerangi kemiskinan, nilai-nilai demokrasi tersebut harus selalu dijaga, dipupuk dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan bersama, sehingga persoalan-persoalan hidup yang mencengkram kehidupan manusia tidak “bertakhta”.



[1] Reza A. A. Wattimena, Demokrasi: Dasar Filosofis dan Tantangannya (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2016), hlm. 93.

[2] Ibid., hlm. 11.

[3] Ibid., hlm. 93.

[4] Dr. Mansour Fakih, “Catatan Perjalanan Panjang Menuju Demokrasi”, Pengantar dalam Dadang Juliantara, Meretas Jalan Demokrasi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hlm. 9.  

[5] Ibid., hlm. 9-11.

[6] Reza A. A. Wattimena, op.cit., hlm. 95-97.

[7] Dadang Juliantara, op.cit., hlm. 155.

[8] Ibid.

[9] Ibid., hlm. 155-156.

[10]Ibid., hlm. 156-157.

[11] Ibid., hlm. 157.

[12] Ibid., hlm. 12.

[13] Yohanes Setiawan Da, “Analisis Problem Kemiskinan di Indonesia dalam Perspektif Pendekatan Kapabilitas Amartya Sen” (Skripsi Sarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2014), hlm. 18.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid., hlm. 18-19.

[17] Ibid., hlm. 19-20.

[18] J. B Banawiratma, S.J dan J. Muller, S.J., Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 126.

[19] Yohanes Setiawan Da, op.cit., hlm. 33.

  [20] Ibid., hlm. 37-38.

[21] Dadang Juliantara, op.cit., hlm. 38.

Label: