MENELISIK PEMIKIRAN HABERMAS TENTANG AGAMA DAN RUANG PUBLIK: ANALISIS TERHADAP PRAKSIS BERAGAMA DI INDONESIA
MENELISIK
PEMIKIRAN HABERMAS TENTANG AGAMA DAN RUANG PUBLIK:
ANALISIS
TERHADAP PRAKSIS BERAGAMA DI INDONESIA
Albertus Mandat
Minggu, S.Fil
Abstrak:
Tulisan
ini bertujuan untuk mendiskripsikan tentang fakta ruang publik adalah sebuah
teori yang dikemukan oleh Habermas. Pandangan ini dikumadangkan dan diciptakan
Habermas dengan maksud untuk mengkritisi realitas kehidupan sosial yang dalam
hal ini berkaitan dengan dunia perpolitikan, dan fitur kebudayaan serta dalam
tingkat keagamaan yang pertanyakan eksitensi dan statusnya dalam sepakterjang
di ruang publik. Agama dalam peranannya dilihat sangat mendominasi berbagai
bidang dan sektor kehidupan dengan praktik mempertahankan ekstitensi sebagai
yang perlu diteladani. Melihat motif dan peran agama dalam ruang publik, Jurgen
Habermas dalam kajian kritisnya melihat agama sebagai faktor penghambat dalam
negara demokratis yang dengan ketat mepertahankan kebenaran ajarannya. Melihat
konteksitas akan peran agama dalam ruang publik, penulis akan mengagaskan peran
tersebut dalam kajian pemikiran Habermas sebagai tolak ukur untuk menghasilkan
sautu jalan penemuan yang baru dalam model timbal balik hubungan agama dalam
ruang publik.
Kata Kunci: agama,
ruang publik
Abstract:
This
text describes the public sphere is a theory proposed
by Jurgen Habermas. This view heralded and invented by Habermas. To criticize
the realities of social life that are in this respect to the political world
and culture features and at a religious level that maintain its existence and
status in public sphere. Religion in its role is seen as dominating various
areas and sector of life by practicing to maintain existence as a necessary
example. Noting the motive for the role of religion in public sphere, Jurgen
Habermas in his critical study saw religion as an obstacle to a democratic
state strictly defended its truths. Given the density of the role of religion
in public sphere, the author would confine the role Jurgen Habermas as a
measure of producing a new pathway of discovery in the alternating model
between religion and public sphere.
Key Words: religion, public sphere
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dunia zaman
sekarang sangat dipengaruhi dengan berbagai ide-ide dan cara pandangan yang
sangat bersebrangan dengan konsep dan nilai yang sudah dibakukan sebagai suatu
ketetapan yang mesti dipatuhi dan disegani. Konsep dan pandangan yang dibangun
pada umumnya berbaur klaim-klaim otoritas tertentu yang berusaha
mensublimasikan konsep yang ada sebagai sebuah kebenaran yang perlu dihidupi.
Indonesia sebagai
salah negara yang tata aturan dan hukumnya banyak dipengaruhi oleh ide-ide dan
cara pandang dari otoritas agama. Problem-problem yang ada berlandaskan politik
yang terjadi dalam ruang perpolitikan demi kecapaian dan kekuasaan yang
bermantolkan nilai-nilai agama. Dalam tulisan ini, penulis menyampaikan sikap
kritis terhadap otoritas agama dalam kelompok-kelompok radikal yang berargument
di ruang publik dengan mengedapankan dan mencampuradukan nilai-nilai agama
dengan norma-norma dan tata aturan yang ada di negara Indonesia. Hal ini
tentulah menjadi masalah yang sangat serius yang mesti dikritisi dan
dibersihkan. Dalam menelah masalah ini, penulis menggunakan konsep pemikiran
Jurgen Habermas yakni “Peran Agama dalam Ruang Publik” sebagai upaya dalam
menanggapi permasalah demikian.
II.
SEKILAS
TENTANG JURGEN HABERMAS
2.1
Hidup
Dan Karya Jurgen Habermas[1]
Habermas
lahir pada tahun 1929 di Gummersbach. Dalam bidang akademik, dia meraih “Doktor
filsafat” pada tahun 1956 di Universitas Bonn dalam usianya yang kedua puluh
tujuh. Habermas baru berkenalan dengan Lembaga Penelitihan Sosial di Frankfurt
dan secara resmi menjadi asisten Adorno pada tahun 1956. Ia menjadi popular
dikalangan mahasiswa Jerman dan bahkan menjadi “idola” untuk kalangan tertentu
pada tahun 1960-an.
Habermas
begitu kritis dan, akhirnya, menentang aksi-aksi kemahasiswaaan yang melewati
batas dengan menggunakan kekerasan. Beberapa karyanya yang terkenal, antara
lain: “Gerekan Oposisi dan Pembaharuan di Perguruan Tinggi” (1969), “Teori dan
Praksis” (1961). “Tentang Logika Ilmu Pengertahuan Sosial” (1967), “Teknik dan
Ilmu Pengetahuan sebgai Ideologi” (1988), “Pengenalan dan Kepentingan
Manusiawi” (1968), “Teori Masyarakat atau Teknologi Sosial” (1971), “Kebudayaan
dan Kritik” (1973), serta “Rekostruksi Materialisme Hidtoris” (1976).
2.2 Ruang Publik Menurut Jurgen
Habermas
Pada
dasarnya berbicara tentang ruang publik muara pemikiran dan cara pandang yang
sangat menekankan tindakan komunikatif. Dalam tindakan komunikatif memungkinkan
terjadinya perdebatan, pertarungan ide dan gagasan, dan kritikan dalam
mengungkapkan pendapat yang beguna bagi suatu tindakan komunikatif. Menurut Habermas
ruang publik merupakan suatu bentuk elemen dasar yang menekankan tentang
pentingnnya konstruksi politik deliberatif. Adapun menurutnya kekhasan dari
ruang publik ialah sebagai arena diskursif, yang berbeda dan terpisah dari
ekonomi dan negara, di mana melalui para warga berpartisipasi dan bertindak
melalui dialog dan debat.[2]
Kehadiran
ruang publik melahirkan ide-ide dan pikiran-pikiran yang bersifat memberdayakan
kekayaan intelektual dalam tahap penentuan sebuah visi dan misi. Habermas mengatakan bahwa ruang publik sebagai
arena di mana argumentasi terjadi, tidak dapat diklaim sebagai teori oleh suatu
tradisi apa pun sebaliknya ruang publik harus bisa menjadi locus tempat penyatuan yang dapat mendamaikan konflik-konflik,
kalim-klaim yang bersaingan, dan perbedaan-prebedaan yang tidak dapat diselesaikan.[3]
Penyelesaian
di ruang publik mengantar pola pikir dan tindakan seseorang untuk senantiasa
berpartisipasi dalam mengedepankan sikap saling menghargai dan menerima setiap
perbedaan dalam keputusan dengan penuh kebebasan yang dilandasakan apada sikap
kritis. Bebas berarti setiap pihak dapat bebicara di mana pun, berkumpul, dan
berpartisipasi dalam debat politik dan kritis artinya siap dan mampu secara
adil dan bertanggung jawab menyoroti proses-proses pengambilan keputusan yang
bersifat publik.[4]
Dalam hal ini ruang publik mengahadirkan komunikasi ideal, di mana semua orang
yang hadir secara partisipasi berdiskusi tanpa ada tindakan diskriminasi dari
pihak lain yang berusaha menjatuhkan. Jadi ruang publik bagi Habermas berguna
untuk menyambungkan suara rakyat dalam suatu proses legitimasi hukum atau tata
aturan dalam suatu wilayah perpolitikan.
III. KONTRIBUSI AGAMA DI RUANG PUBLIK
DALAM KONSEP PEMIKIRAN JURGEN HABERMAS
3.1 Agama
Dalam Sikap Pertisipasi
Dalam tolak ukur
pemikiran Habermas, agama dibagi atas tiga fase. Ketiga face ini mengungkapkan
keterkaitan agama dalam perannya sebagai otoritas yang mempunyai nilai
kebenaran tersendiri. Pertama, Habermas memandang agama
sebagai bagian dari elemen lebenswelt yang
harus diteliti atau dilampaui, Kedua,
Habermas mulai memandang agama sebagai bagian dari good life yang diperhitungkan oleh liberalisme publik. Ketiga, pada bagian fase terakhirlah
peran agama sangat relevan, di mana agama sebagai “weltanschauung”.[5]
Dalam fase pertama, Habermas melihat bahwa
peran-peran agama akan hilang jika terlalu dipengaruhi oleh tindakan masyarakat
yang secara bebas menafikan kebenaran agama dan hanya berpegang teguh pada
sumber-sumber rasionalitas komutatif atau komunikatif yang dipengaruhi oleh
dasar-dasar prinsip yang kurang mempengaruhi dalam dunia sekular. Hal ini
tentunya menjadi penyekat sekaligus menyesatkan agama dalam peran dan fungsinya.
Agama sebagai yang sakral yang menggaungkan Yang Sakral dan Yang Kudus,
diporakporandakan oleh dasar-dasar prinsip demikian. Habermas sangat kritis
terhadap agama di mana, ia sangat yakin bahwa agama akan hilang dan dengan
demikian masyarakat bebas dari metafisikan tradisional (agama) dan hanya percaya
kepada sumber-sumber rasionalitas komunikatif, yang dibangun atas dasar-dasar
prinsip etika tanggung jawab yang sekuler.[6]
Dalam fase
kedua, di mana peran agama yang mau ditonjolkan ialah peran agama sebagai suatu
kebutuhan yang sangat penting yang mesti dipertahankan dan tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang penting yang mau dilihat bahwa
agama merupakaan suatu lembaga yang dilengkapi dengan kebenaran-kebenaran
filosofis dan diperkuat dengan legitimasi religius yang sakral dan kudus.
Dengan argument demikian, sebenarnya Habermas mau menegaskan perbedaan yang
sangat signifikan antara masyarakat modern dan liberal. Dalam penegasan ini
sebenarnya, Habermas mengafirmasikan agama dalam lingkup sosial namun ia
menegaskan bahwa orang-orang beragama tidak boleh membawa keyakinan-keyakinan
mereka dalam urusan politik.[7]
Pada fase
terakhir, Habermas menekankan tentang peran agama tidak bisa dibatasi dengan
alam ruang privat, sebaliknya, agama harus menginterpretasi ruang publik dengan
memanfaatkan dokumen-dokumen dan tradisi-tradisinya untuk menghadirkan
instituti-instituti moralnya.[8]
Habermas berpendapat demikian sebenarnya mau menegaskan dan menghadirkan
peraran nilai moral dalam setiap hubungan antar agama dalam ruang publik. Nilai
moral merupakan bagian dari seruah dan ajaran yang dijaga dan dipegang teguh
oleh masyarakat tertentu.
3.2 Melihat
Pola Hubungan Timbal Balik antara Agama dan Ruang Publik
Ada beberapa
pola hubungan saling belajar yang ditawarkan oleh Habermas mengutarakan
beberapa pola hubungan timbal balik antara agama dan negara dalam beberapa
berikut ini: Pertama, terkait dengan
warga sekular ataupun mereka yang indeferen terhadap doktrin dan praktik
keagamaan, Kedua, terkait hubungan di
antara berbagai kelompok agama. Berbagai agama harus menerjemahkan bahasa
teologis partikular mereka ke dalam ungkapan rasional yang dapat diterima
secara publik, Ketiga, terkait
hubungan agama ketika berhadapan dengan otoritas ilmu pengetahuan.[9]
Berkenaan dengan pola timbal balik pada point pertama, di mana agama dan ruang
publik mestinya dapat saling bertukar pikiran demi menghasilkan model dan tolak
ukur akan kehadirannya dalam suatu negara.
Nilai moral dan
politik mesti berajalan seimbang saling mempengaruhi dan saling mengutungkan
warga negara yang sekular dan indeferen. Maksudanya agar menghidari sikap
kompromi dari kelompok-kelompok radikal lainnya yang sangat konserfatif
membenarnya nilai-nilai intrinsik yang ada. Sikap warga sekular terhadap
otoritas dilihat agama sebagai artefak pra-modern yang menyimpan banyak makna
yang sulit dipahami dan diterima dan bersifat irasional. Agama dengan
konsep-konsep religiusnya, seakan terkurung dalam jalur pemikiran yang sempit.
Habermas menolak
asumsi perkembangan linear menuju modernitas yang di dalamnya agama lama-kelamaan
akan ditinggalkan masyarakat yang menjadi modern dan warga sekular perlu
bersikap terbuka dan perlu melihat nilai kognitif dalam agama agar mereka bebas
dari penjara ketidaktahuan.[10] Warga
sekuler dan warga agama harus bertemu dalam penggunaan akal budi mereka di mata
umum.[11]
Dalam point
kedua, hubungan diantara kelompok beragama mesti dilandaskan pada semangat
saling menguntungkan, mengedepankan sikap saling menghargai perbedaan, saling
melakukan dialog-dialog perundingan demi suatu keputusan yang sangat relevan
bagi perkembangan agama. Namun dipastikan bahwa, adapun terdapat sikap dominasi
yang dari agama-agama tersebut. Hal ini mendatangkan sikap pelanggaran terhadap
nilai etis dan moral dalam beragama. Berbagai agama harus menerjemahkan bahasa
teologis partikular mereka ke dalam ungkapan rasional yang dapat diterima
secara publik.[12]
Hal ini merupakan kendala terbesar bagi setiap agama dalam mengembangkan
ideologinya.
Yang terakhir
berkaitan dengan, hubungan agama berkaitan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Di
mana, proses ini dapat dikatakan berhasil apabila hubungan antara isi dogmatis
agamanya dengan pengetahuan sekular sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi
pertentangan antara hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang terus canggih dengan
pandangan iman mengenai hal yang bersangkutan.[13]
Oleh sebab itu dibutuhkan sikap saling kritis dalam suatu dialog terbuka guna
mengedapankan sikap toleransi dan sikap saling menjaga kebenaran-kebenaran yang
ada.
3.4
Menelisik
Peran Agama Dalam Ruang Publik
Peran agama
dalam ruang publik banyak menyimpan kesan negatif. Persoalan ini banyak memicu
terjadinya konflik dan kritikan antar ide-ide yang bersembrangan. Kritikan kaum
komunitarian melalbelisasi ideologi politik dalam suatu perkumpulan masyarakat
yang plural. Agama adalah suatu lembaga pebentukan iman berusaha memajukan
teori dan diskursusnya tentang keyakinan religious dalam ruang publik,
terkadang sangat mengesampingkan peran kehadiran ruang publik. Di mana dalam
sebagai belahan bumi ini, banyak kaum-kaum kosefatif dan liberal berusaha
mengajukan aspirasi-aspirasi mereka dengan mengedepankan dominasi politik.
Terhadap
permasalah demikian, Habermas menggaungkan seruan yang berisikan kritikan atas
peran agama dalam ruang publik guna menghasilkan suatu pemikiran atau cara
pandang baru yang lebih efisien. Menurut Habremas, kita sekarang berada dalam
masyarakat “pasca-sekular” (postsakulare
Gesellshaft) yang di dalamnya warga beriman sangat memiliki hak komunitas dengan
warga sekular, maka alasan-alasan religius juga merupakan bagian pemakaian akal
secara publik (offentlicher Gabrauch der
Vernunft).[14]
Namun yang
terjadi malahan sebaliknya, agama sangat berambisi mengedepankan konsep dan
cara pandangnya di ruang publik. Hal ini tentunya menodahi nilai etis akan
sikap saling menghargai perbedaan akan pola dan konsep yang ada. Kehadirna
agama sepertinya mengeliminasikan pusaran ide-ide dalam ruang ruang publik.
Konsep pemikiran agamamis yang mendesak agar nilai-nilai intrinsik agama harus
menjadi pion utama kebenaran yang mutlak dan menjadi hukum dasar sebuah negara.
Oleh sebab itu, negara tidak boleh membendung sejak awal alasan-alasan religius
sebagai tema dalam ruang publik, tetapi dalam hal prosedur deliberative negera
juga harus tetap mempertahankan ketidakberpihakan terhadap kelompok-kelompok
religious yang bersaing dalam masyarakat.[15]
Terhadap
persoalan demikian, Habermas menyumbangkan beberapa batasan normative kepada
pihak kelompok agama, pihak kelompok secular, pihaknegara dan pihak mayoritas
agama yakni pertama, dia menuntut
‘penerjemahan’ kontribusi-kontribusi keolompok agama dari bahasa religious particular mereka ke dalam
bahasa yang dapat diterima oleh publik karena dalam delibersai resmi parlemen
kementrian dan peradilan, kedua,
tuntutan yang tujukan Habermas kepada para warga secular atau yang beragama
lain, ketiga, sikap neraga sendiri
dalam deliberative harus seperti neraca yang seimbang.[16]
IV. KESIMPULAN
Sebagai
kesimpulan dari tulisan ini, penulis melihat secara garis besar, bahwa Jurgen
Habermas sangat menghendaki kehadiran agama dalam ruang publik demi mendukung
ide-ide dan konsep-konsep yang digaungkan secara bersama-sama. Setiap agama
harus menumbuhkan sikap saling menghargai dan saling belajara dalam menelaah
setiap problem yang terjadi dalam ruang publik. Agama dan ruang publik harus
saling berkerja sama dalam suatu negara agar dapat menjaga nilai keseimbangan
yang ada demi perwujudan keadilan, keharmonisan dan komitmen bersama dalam
membangun hidup bersama.
[1]Aholiab Watloly, Sosio-Epistemologi (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2013), hlm.197-205
[2] Kapoor,
dalam Alterbatives, 461. Dikutip dari buku, Gusti A. B. Menoh, Agama Dalam Ruang Publik (Yogyakrta:
Penerbit Kanisius, 2015), hlm. 84.
[3] Nicholas Adams, Habermas and Theology (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006), hlm.5. Dikutip dari buku, Gusti A. B. Menoh, Agama Dalam Ruang Publik (Yogyakrta:
Penerbit Kanisius, 2015), hlm. 85.
[4] Reza A. a. Wattimena, Melampauhi Negara Hukum Klasik
(Yogyakrta: Kanisius, 2007), hlm. 126-127. Ibid.,
hlm. 87.
[5] Philippe Portier, Religion and
Democracy in the Thougt of Jurgen Habernas, dalam
Springer Science+Business Media (LLC, 2011), 426. Ibid., hlm. 95-96.
[6]
Ibid., hlm. 97.
[7] Ibid., hlm. 102.
[8]
Ibid., hlm. 103.
[9] Gora B. Redemptus. “Melacak
Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1
(2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>
[10]
Gora B. Redemptus. “Melacak
Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1
(2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>
[11] Jurgen
Habermas, “The Political; The Rational Meaning of a Questionable Inheritance of
Political Theology”, dalam Eduardo Mendieta dan Jonathan (ed.), The Power of Religion in The Public Sphere
(Columbia: Columbia University Press, 2011), hlm.
[12] Gora B. Redemptus. “Melacak
Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1
(2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>
[13]Dikutip
dari juonal Gora B. Redemptus dalam pandangan: A. Sunarko, “Ruang Publik dan
Agama menurut Habermas” dalam F. Budi Hardiman (ed), Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai
Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius,2010), hlm. 235
[14] Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), hlm.158
[15] Ibid., hlm. 158.
[16] Ibid., hlm. 159.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda