Kamis, 11 April 2024

MENELISIK PEMIKIRAN HABERMAS TENTANG AGAMA DAN RUANG PUBLIK: ANALISIS TERHADAP PRAKSIS BERAGAMA DI INDONESIA


 

MENELISIK PEMIKIRAN HABERMAS TENTANG AGAMA DAN RUANG PUBLIK:

ANALISIS TERHADAP PRAKSIS BERAGAMA DI INDONESIA

Albertus Mandat Minggu, S.Fil

 

Abstrak:

Tulisan ini bertujuan untuk mendiskripsikan tentang fakta ruang publik adalah sebuah teori yang dikemukan oleh Habermas. Pandangan ini dikumadangkan dan diciptakan Habermas dengan maksud untuk mengkritisi realitas kehidupan sosial yang dalam hal ini berkaitan dengan dunia perpolitikan, dan fitur kebudayaan serta dalam tingkat keagamaan yang pertanyakan eksitensi dan statusnya dalam sepakterjang di ruang publik. Agama dalam peranannya dilihat sangat mendominasi berbagai bidang dan sektor kehidupan dengan praktik mempertahankan ekstitensi sebagai yang perlu diteladani. Melihat motif dan peran agama dalam ruang publik, Jurgen Habermas dalam kajian kritisnya melihat agama sebagai faktor penghambat dalam negara demokratis yang dengan ketat mepertahankan kebenaran ajarannya. Melihat konteksitas akan peran agama dalam ruang publik, penulis akan mengagaskan peran tersebut dalam kajian pemikiran Habermas sebagai tolak ukur untuk menghasilkan sautu jalan penemuan yang baru dalam model timbal balik hubungan agama dalam ruang publik.   

Kata Kunci: agama, ruang publik

Abstract:

This text describes the public sphere is a theory proposed by Jurgen Habermas. This view heralded and invented by Habermas. To criticize the realities of social life that are in this respect to the political world and culture features and at a religious level that maintain its existence and status in public sphere. Religion in its role is seen as dominating various areas and sector of life by practicing to maintain existence as a necessary example. Noting the motive for the role of religion in public sphere, Jurgen Habermas in his critical study saw religion as an obstacle to a democratic state strictly defended its truths. Given the density of the role of religion in public sphere, the author would confine the role Jurgen Habermas as a measure of producing a new pathway of discovery in the alternating model between religion and public sphere.

Key Words:  religion, public sphere

 

    I.      PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Dunia zaman sekarang sangat dipengaruhi dengan berbagai ide-ide dan cara pandangan yang sangat bersebrangan dengan konsep dan nilai yang sudah dibakukan sebagai suatu ketetapan yang mesti dipatuhi dan disegani. Konsep dan pandangan yang dibangun pada umumnya berbaur klaim-klaim otoritas tertentu yang berusaha mensublimasikan konsep yang ada sebagai sebuah kebenaran yang perlu dihidupi.

Indonesia sebagai salah negara yang tata aturan dan hukumnya banyak dipengaruhi oleh ide-ide dan cara pandang dari otoritas agama. Problem-problem yang ada berlandaskan politik yang terjadi dalam ruang perpolitikan demi kecapaian dan kekuasaan yang bermantolkan nilai-nilai agama. Dalam tulisan ini, penulis menyampaikan sikap kritis terhadap otoritas agama dalam kelompok-kelompok radikal yang berargument di ruang publik dengan mengedapankan dan mencampuradukan nilai-nilai agama dengan norma-norma dan tata aturan yang ada di negara Indonesia. Hal ini tentulah menjadi masalah yang sangat serius yang mesti dikritisi dan dibersihkan. Dalam menelah masalah ini, penulis menggunakan konsep pemikiran Jurgen Habermas yakni “Peran Agama dalam Ruang Publik” sebagai upaya dalam menanggapi permasalah demikian.

    II.            SEKILAS TENTANG JURGEN HABERMAS

2.1           Hidup Dan Karya Jurgen Habermas[1]

Habermas lahir pada tahun 1929 di Gummersbach. Dalam bidang akademik, dia meraih “Doktor filsafat” pada tahun 1956 di Universitas Bonn dalam usianya yang kedua puluh tujuh. Habermas baru berkenalan dengan Lembaga Penelitihan Sosial di Frankfurt dan secara resmi menjadi asisten Adorno pada tahun 1956. Ia menjadi popular dikalangan mahasiswa Jerman dan bahkan menjadi “idola” untuk kalangan tertentu pada tahun 1960-an.

Habermas begitu kritis dan, akhirnya, menentang aksi-aksi kemahasiswaaan yang melewati batas dengan menggunakan kekerasan. Beberapa karyanya yang terkenal, antara lain: “Gerekan Oposisi dan Pembaharuan di Perguruan Tinggi” (1969), “Teori dan Praksis” (1961). “Tentang Logika Ilmu Pengertahuan Sosial” (1967), “Teknik dan Ilmu Pengetahuan sebgai Ideologi” (1988), “Pengenalan dan Kepentingan Manusiawi” (1968), “Teori Masyarakat atau Teknologi Sosial” (1971), “Kebudayaan dan Kritik” (1973), serta “Rekostruksi Materialisme Hidtoris” (1976).

2.2  Ruang Publik Menurut Jurgen Habermas

Pada dasarnya berbicara tentang ruang publik muara pemikiran dan cara pandang yang sangat menekankan tindakan komunikatif. Dalam tindakan komunikatif memungkinkan terjadinya perdebatan, pertarungan ide dan gagasan, dan kritikan dalam mengungkapkan pendapat yang beguna bagi suatu tindakan komunikatif. Menurut Habermas ruang publik merupakan suatu bentuk elemen dasar yang menekankan tentang pentingnnya konstruksi politik deliberatif. Adapun menurutnya kekhasan dari ruang publik ialah sebagai arena diskursif, yang berbeda dan terpisah dari ekonomi dan negara, di mana melalui para warga berpartisipasi dan bertindak melalui dialog dan debat.[2]

Kehadiran ruang publik melahirkan ide-ide dan pikiran-pikiran yang bersifat memberdayakan kekayaan intelektual dalam tahap penentuan sebuah visi dan misi. Habermas mengatakan bahwa ruang publik sebagai arena di mana argumentasi terjadi, tidak dapat diklaim sebagai teori oleh suatu tradisi apa pun sebaliknya ruang publik harus bisa menjadi locus tempat penyatuan yang dapat mendamaikan konflik-konflik, kalim-klaim yang bersaingan, dan perbedaan-prebedaan yang tidak dapat diselesaikan.[3]

Penyelesaian di ruang publik mengantar pola pikir dan tindakan seseorang untuk senantiasa berpartisipasi dalam mengedepankan sikap saling menghargai dan menerima setiap perbedaan dalam keputusan dengan penuh kebebasan yang dilandasakan apada sikap kritis. Bebas berarti setiap pihak dapat bebicara di mana pun, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik dan kritis artinya siap dan mampu secara adil dan bertanggung jawab menyoroti proses-proses pengambilan keputusan yang bersifat publik.[4] Dalam hal ini ruang publik mengahadirkan komunikasi ideal, di mana semua orang yang hadir secara partisipasi berdiskusi tanpa ada tindakan diskriminasi dari pihak lain yang berusaha menjatuhkan. Jadi ruang publik bagi Habermas berguna untuk menyambungkan suara rakyat dalam suatu proses legitimasi hukum atau tata aturan dalam suatu wilayah perpolitikan.

    III.   KONTRIBUSI AGAMA DI RUANG PUBLIK DALAM KONSEP PEMIKIRAN JURGEN HABERMAS

3.1    Agama Dalam Sikap Pertisipasi

Dalam tolak ukur pemikiran Habermas, agama dibagi atas tiga fase. Ketiga face ini mengungkapkan keterkaitan agama dalam perannya sebagai otoritas yang mempunyai nilai kebenaran tersendiri.  Pertama, Habermas memandang agama sebagai bagian dari elemen lebenswelt yang harus diteliti atau dilampaui, Kedua, Habermas mulai memandang agama sebagai bagian dari good life yang diperhitungkan oleh liberalisme publik. Ketiga, pada bagian fase terakhirlah peran agama sangat relevan, di mana agama sebagai “weltanschauung”.[5]

 Dalam fase pertama, Habermas melihat bahwa peran-peran agama akan hilang jika terlalu dipengaruhi oleh tindakan masyarakat yang secara bebas menafikan kebenaran agama dan hanya berpegang teguh pada sumber-sumber rasionalitas komutatif atau komunikatif yang dipengaruhi oleh dasar-dasar prinsip yang kurang mempengaruhi dalam dunia sekular. Hal ini tentunya menjadi penyekat sekaligus menyesatkan agama dalam peran dan fungsinya. Agama sebagai yang sakral yang menggaungkan Yang Sakral dan Yang Kudus, diporakporandakan oleh dasar-dasar prinsip demikian. Habermas sangat kritis terhadap agama di mana, ia sangat yakin bahwa agama akan hilang dan dengan demikian masyarakat bebas dari metafisikan tradisional (agama) dan hanya percaya kepada sumber-sumber rasionalitas komunikatif, yang dibangun atas dasar-dasar prinsip etika tanggung jawab yang sekuler.[6]

Dalam fase kedua, di mana peran agama yang mau ditonjolkan ialah peran agama sebagai suatu kebutuhan yang sangat penting yang mesti dipertahankan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang penting yang mau dilihat bahwa agama merupakaan suatu lembaga yang dilengkapi dengan kebenaran-kebenaran filosofis dan diperkuat dengan legitimasi religius yang sakral dan kudus. Dengan argument demikian, sebenarnya Habermas mau menegaskan perbedaan yang sangat signifikan antara masyarakat modern dan liberal. Dalam penegasan ini sebenarnya, Habermas mengafirmasikan agama dalam lingkup sosial namun ia menegaskan bahwa orang-orang beragama tidak boleh membawa keyakinan-keyakinan mereka dalam urusan politik.[7]

Pada fase terakhir, Habermas menekankan tentang peran agama tidak bisa dibatasi dengan alam ruang privat, sebaliknya, agama harus menginterpretasi ruang publik dengan memanfaatkan dokumen-dokumen dan tradisi-tradisinya untuk menghadirkan instituti-instituti moralnya.[8] Habermas berpendapat demikian sebenarnya mau menegaskan dan menghadirkan peraran nilai moral dalam setiap hubungan antar agama dalam ruang publik. Nilai moral merupakan bagian dari seruah dan ajaran yang dijaga dan dipegang teguh oleh masyarakat tertentu.

3.2 Melihat Pola Hubungan Timbal Balik antara Agama dan Ruang Publik

Ada beberapa pola hubungan saling belajar yang ditawarkan oleh Habermas mengutarakan beberapa pola hubungan timbal balik antara agama dan negara dalam beberapa berikut ini: Pertama, terkait dengan warga sekular ataupun mereka yang indeferen terhadap doktrin dan praktik keagamaan, Kedua, terkait hubungan di antara berbagai kelompok agama. Berbagai agama harus menerjemahkan bahasa teologis partikular mereka ke dalam ungkapan rasional yang dapat diterima secara publik, Ketiga, terkait hubungan agama ketika berhadapan dengan otoritas ilmu pengetahuan.[9] Berkenaan dengan pola timbal balik pada point pertama, di mana agama dan ruang publik mestinya dapat saling bertukar pikiran demi menghasilkan model dan tolak ukur akan kehadirannya dalam suatu negara.

Nilai moral dan politik mesti berajalan seimbang saling mempengaruhi dan saling mengutungkan warga negara yang sekular dan indeferen. Maksudanya agar menghidari sikap kompromi dari kelompok-kelompok radikal lainnya yang sangat konserfatif membenarnya nilai-nilai intrinsik yang ada. Sikap warga sekular terhadap otoritas dilihat agama sebagai artefak pra-modern yang menyimpan banyak makna yang sulit dipahami dan diterima dan bersifat irasional. Agama dengan konsep-konsep religiusnya, seakan terkurung dalam jalur pemikiran yang sempit.

Habermas menolak asumsi perkembangan linear menuju modernitas yang di dalamnya agama lama-kelamaan akan ditinggalkan masyarakat yang menjadi modern dan warga sekular perlu bersikap terbuka dan perlu melihat nilai kognitif dalam agama agar mereka bebas dari penjara ketidaktahuan.[10] Warga sekuler dan warga agama harus bertemu dalam penggunaan akal budi mereka di mata umum.[11]

Dalam point kedua, hubungan diantara kelompok beragama mesti dilandaskan pada semangat saling menguntungkan, mengedepankan sikap saling menghargai perbedaan, saling melakukan dialog-dialog perundingan demi suatu keputusan yang sangat relevan bagi perkembangan agama. Namun dipastikan bahwa, adapun terdapat sikap dominasi yang dari agama-agama tersebut. Hal ini mendatangkan sikap pelanggaran terhadap nilai etis dan moral dalam beragama. Berbagai agama harus menerjemahkan bahasa teologis partikular mereka ke dalam ungkapan rasional yang dapat diterima secara publik.[12] Hal ini merupakan kendala terbesar bagi setiap agama dalam mengembangkan ideologinya.

Yang terakhir berkaitan dengan, hubungan agama berkaitan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Di mana, proses ini dapat dikatakan berhasil apabila hubungan antara isi dogmatis agamanya dengan pengetahuan sekular sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pertentangan antara hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang terus canggih dengan pandangan iman mengenai hal yang bersangkutan.[13] Oleh sebab itu dibutuhkan sikap saling kritis dalam suatu dialog terbuka guna mengedapankan sikap toleransi dan sikap saling menjaga kebenaran-kebenaran yang ada.

3.4      Menelisik Peran Agama Dalam Ruang Publik

Peran agama dalam ruang publik banyak menyimpan kesan negatif. Persoalan ini banyak memicu terjadinya konflik dan kritikan antar ide-ide yang bersembrangan. Kritikan kaum komunitarian melalbelisasi ideologi politik dalam suatu perkumpulan masyarakat yang plural. Agama adalah suatu lembaga pebentukan iman berusaha memajukan teori dan diskursusnya tentang keyakinan religious dalam ruang publik, terkadang sangat mengesampingkan peran kehadiran ruang publik. Di mana dalam sebagai belahan bumi ini, banyak kaum-kaum kosefatif dan liberal berusaha mengajukan aspirasi-aspirasi mereka dengan mengedepankan dominasi politik.

Terhadap permasalah demikian, Habermas menggaungkan seruan yang berisikan kritikan atas peran agama dalam ruang publik guna menghasilkan suatu pemikiran atau cara pandang baru yang lebih efisien. Menurut Habremas, kita sekarang berada dalam masyarakat “pasca-sekular” (postsakulare Gesellshaft) yang di dalamnya warga beriman sangat memiliki hak komunitas dengan warga sekular, maka alasan-alasan religius juga merupakan bagian pemakaian akal secara publik (offentlicher Gabrauch der Vernunft).[14]

Namun yang terjadi malahan sebaliknya, agama sangat berambisi mengedepankan konsep dan cara pandangnya di ruang publik. Hal ini tentunya menodahi nilai etis akan sikap saling menghargai perbedaan akan pola dan konsep yang ada. Kehadirna agama sepertinya mengeliminasikan pusaran ide-ide dalam ruang ruang publik. Konsep pemikiran agamamis yang mendesak agar nilai-nilai intrinsik agama harus menjadi pion utama kebenaran yang mutlak dan menjadi hukum dasar sebuah negara. Oleh sebab itu, negara tidak boleh membendung sejak awal alasan-alasan religius sebagai tema dalam ruang publik, tetapi dalam hal prosedur deliberative negera juga harus tetap mempertahankan ketidakberpihakan terhadap kelompok-kelompok religious yang bersaing dalam masyarakat.[15]

Terhadap persoalan demikian, Habermas menyumbangkan beberapa batasan normative kepada pihak kelompok agama, pihak kelompok secular, pihaknegara dan pihak mayoritas agama yakni pertama, dia menuntut ‘penerjemahan’ kontribusi-kontribusi keolompok agama dari bahasa religious particular mereka ke dalam bahasa yang dapat diterima oleh publik karena dalam delibersai resmi parlemen kementrian dan peradilan, kedua, tuntutan yang tujukan Habermas kepada para warga secular atau yang beragama lain, ketiga, sikap neraga sendiri dalam deliberative harus seperti neraca yang seimbang.[16]

 IV.   KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, penulis melihat secara garis besar, bahwa Jurgen Habermas sangat menghendaki kehadiran agama dalam ruang publik demi mendukung ide-ide dan konsep-konsep yang digaungkan secara bersama-sama. Setiap agama harus menumbuhkan sikap saling menghargai dan saling belajara dalam menelaah setiap problem yang terjadi dalam ruang publik. Agama dan ruang publik harus saling berkerja sama dalam suatu negara agar dapat menjaga nilai keseimbangan yang ada demi perwujudan keadilan, keharmonisan dan komitmen bersama dalam membangun hidup bersama.

 

 

 

 

 

 

 



[1]Aholiab Watloly, Sosio-Epistemologi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), hlm.197-205

 [2] Kapoor, dalam Alterbatives, 461. Dikutip dari buku, Gusti A. B. Menoh, Agama Dalam Ruang Publik (Yogyakrta: Penerbit Kanisius, 2015), hlm. 84.

[3] Nicholas Adams, Habermas and Theology (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), hlm.5. Dikutip dari buku, Gusti A. B. Menoh, Agama Dalam Ruang Publik (Yogyakrta: Penerbit Kanisius, 2015), hlm. 85.

[4] Reza A. a. Wattimena, Melampauhi Negara Hukum Klasik (Yogyakrta: Kanisius, 2007), hlm. 126-127. Ibid., hlm. 87.

[5] Philippe Portier, Religion and Democracy in the Thougt of Jurgen Habernas, dalam Springer Science+Business Media (LLC, 2011), 426. Ibid., hlm. 95-96.

[6] Ibid., hlm. 97.

[7] Ibid., hlm. 102.

[8] Ibid., hlm. 103.

[9] Gora B. Redemptus. “Melacak Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1 (2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>

[10] Gora B. Redemptus. “Melacak Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1 (2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>

[11] Jurgen Habermas, “The Political; The Rational Meaning of a Questionable Inheritance of Political Theology”, dalam Eduardo Mendieta dan Jonathan (ed.), The Power of Religion in The Public Sphere (Columbia: Columbia University Press, 2011), hlm.

[12] Gora B. Redemptus. “Melacak Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1 (2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>

[13]Dikutip dari juonal Gora B. Redemptus dalam pandangan: A. Sunarko, “Ruang Publik dan Agama menurut Habermas” dalam F. Budi Hardiman (ed), Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius,2010), hlm. 235

[14] Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm.158

[15] Ibid., hlm. 158.

[16] Ibid., hlm. 159.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda