Sabtu, 20 November 2021

MENJADI DUTA MISIONER DI AMBANG KEPUNAHAN DUNIA

 

                                                                      

      

                                      Albertus Mandat

MENJADI DUTA MISIONER DI AMBANG                      KEPUNAHAN DUNIA

 1.   PENDAHULUAN

Gambaran dunia yang penuh dengan kedamaian dan sukacita adalah harapan semua orang. Jika dihadapkan dengan realitas zaman sekarang yang penuh dengan problematika-problematika yang menyerang secara langsung hakikat atau esensi dasar hidup manuasia, apakah masih ada harapan perlu untuk diperjuangkan? Masihkah ratio itu membumi menerjang segala ketidaksesuaian terhadap nilai-nilai dan konsep-konsep yang telah dibangun? Dimanakah peran setiap pribadi yang mengklaim bahwa bumi ini adalah ibu pertiwi?Atau sudah sampaikah dunia ini pada masa kepunahan pada ambang kehancuran? Berkaitan dengan situasi yang sangat memojokan ini, mendorong setiap kita untuk berpikir keras, berjuang demi terwujudnya suatu kesepakatan final dalam misi menjadi duta missioner.

 

2. ISI

2.1 Gambaran dunia penciptaan

Esensi dasar kata mencipta (creator) berarti mengandung suatu pengertian: ”menjadi, mewujudkan”. Dalam pandangan dunia Kekristenan term “mencipta” biasanya diidentikan dengan pribadi Allah. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, pribadi Allah sebagai pencipta terungkap jelas yakni: “pada mulanya, ketika Allah mulai menciptakan langit dan bumi, bumi belum mempunyai bentuk dan kosong…”, (Kejadian 1: 1-31). Karya besar ini (penciptaan), merupakan suatu hasil keputusan dalam sidang surgawi yang dipimpin langsung oleh Allah sendiri. Allah dalam sidang hadir sebagai Dia yang memutuskan dan pada sisi lainnya, Ia memposisikan diri sebagai pihak yang melaksakan kepeutusan tersebut[1]. Peryataan ini mau menegaskan bahwa penciptaan ini merupakan, sebuah tanda anugerah kehidupan baru yang Allah rancangkan dalam kehendak-NYA. Manifetasi dari tindakan Allah ini, diimplementasikan secara nyata dalam setiap karya-Nya. Dia tidak hanya bertindak sebagai pengada tetapi sekaligus pelaksana atas tindakan itu. Dengan menciptakan dunia ini berarti Allah tidak hanya sekadar menyalur apa yang ada dalam kehendak-Nya, tetapi segala substansi yang ada dalam diri Allah juga tersalurkan secara bersamaan.

Substansi itu berupa substansi rohani yang mengandung daya Ilahi. Dalam hal ini, secara intensif penciptaan dunia ini adalah sebuah karya yang sakral dan mengandung daya ilahi, karena dalam menjalankan karya ciptaan secara tidak langsung segala substansi Allah ikut serta dalam penciptaan itu. Perwujudan dunia ini adalah hasil karya imajinasi Allah. Lewat imajinasi-Nya yang aktif, Alah meciptakan dunia ini sedemikian rupa. Karya imajinasi Allah cenderung bersifat Ilahi dan juga mengandung unsur yang tidak bisa dirasionalisasikan. Unsur-unsur itu yang terdapat dalam Allah yang secara eksplisit mengandung daya untuk menghidupkan. Dari sedemikian banyak cipataan Allah, manusia adalah makluk yang paling istimewa dihadapan Allah.

Keistimewahan itu tergambar jelas pada kemampuan (ability), pengertian (budi pekerti), kehendak bebas dan hati nurani. Beberapa substansi yang melekat kuat pada manusia merupakan percikan api Ilahi yang keluar dari tangan Allah lewat hembusan nafas Allah (Kejadian 2:7). Dengan demikian manusia pada hakikatnya mengandung unsur atau daya Ilahi (spiritual) dan jasmani. Daya rohani membantu manusia untuk mengenal Sang Pencipta yaitu pribadi Allah yang bersifat transendental. Daya ilahi ini menghantar manusia pada sebuah pandangan, bahwa dia secitra dengan Allah.

Dalam pemahaman ini, ungkapan kata secitra mengandung makna “segambar, serupa” yang berarti manusia adalah gambar Allah (imago Dei). Jadi imago diinterpretasikan sebagai esensi dari manusia[2]. Tentulah sebagai pribadi yang serupa dengan Allah, manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus diembani yakni: menjaga dan memelihara keutuhan alam ciaptaan, berkuasa atas seluruh alam ciptaan dan yang lebih penting ialah melestarikan alam ciptaan dengan penuh tanggung jawab, demi kebahagiaan,kesejatraraan bersama. Jika dikaji dan ditelusuri berakaitan dengan alam ciptaan berdasarkan penentuan eksitensinya, manusia adalah ciptaan yang ada setelah Allah menciptakan alam. Boleh dikatakan bahwa manusia harus menghargai atau menjadikan alam ciptaan Allah lainnya sebagai teman hidup, pendamping, pelengkap dan pemenuhan keperluaan masing-masing ciptaan. dengan demikian tercapailah kesejateraan bersama dan yang terpenting ialah bagi kemuliaan nama Allah.

2. Manusia sebagai gambaran persekutuan (comunnio)

Dalam kancah dunia yang semakin modern ini, ditelusuri penuh dengan realitas kemajemukan, berkaitan dengan hal ini dibutuhkan peran serta dari tangan manusia. Sebagai yang adalah pribadi yang dianugerahi karunia akal budi dan hati nurani, mengharuskan manusia untuk melampaui setiap problem yang membelenggu bumi ini.

Setiap problem yang terjadi merupakan akibat dari kesalahan persepsi dan perspektif manusia dalam memaknai kata kebebasan yang Allah anugerahkan. Esensi kata kebebasan tidak hanya ditinjau atau dimengerti secara eksplisit atupun secara sepihak, sebap dengan begitu akan mengahasilkan kepincangan yang merujuk pada dosa. Dari kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa (kej 3), kita dapat menarik kesimpulan bahwa asal segala dosa manusia bukanlah Allah, melainkan kebebasan manusia itu sendiri, sebap dengan kebebasan yang dimiliki manusia bisa mengiginkan apa saja[3]. Dasar pengakuan ini, mengimplikasihkan manusia sebagai makluk terbatas. Keterbatasan manusia mencakup kemampuan akal budi (ratio) dan unsur lainnya yang melekat kuat dalam pribadi manusia. Namun substansi atau unsur-unsur ini sedemikian bersatu membentuk suatu keputusan mutlak yang mamampukan manusia untuk berkreasi dan bertindak.

Dalam arti tindakan (action), manusia mampu menembus batas yakni daya rasionalitasnya dengan menggunakan kemampuan imajinasi dan penalaran yang tinggi. Sehingga tidak mengakibatkan suatu kecenderungan untuk terus mendekap dalam siklus atau rana pengimajinasian dan membuat manusia enggan untuk kembali pada realitas sesunggunya.

Manusia pada hakikatnya bersatu dengan Allah. Hakikat dasar persekutuan (communio) manusia dengan Allah terungkap jelas dalam kisah penciptaan dalam kita Kejadian. Hakikat dasar ini membentuk suatu persekutuan yang impersonal yakni dari pribadi ke pribadi. Hubungan ini mendasari manusia, pada intinya beragantung pada Allah. Seluruh kepenuhan eksitensi manusia hanya terarah pada karya dan penyelenggaran kasih Allah. Kepenuhan hidup manuisa pada Allah merupakan tanda ikatan persatuan yang intim. Dasar pendorong kesatuan ini adalah daya Ilahi yaitu Roh Kudus yang Allah yang kita terima melalui sakramen permandian. Melalui Roh Kudus ini, mendorong manusia untuk dapat bersatu dan mengenal Allah yang transenden. Dasar persekutuan yang memampukan setiap orang untuk berbagi dan terbuka satu samalain yaitu cinta. Seperti dalam hubungan ketiga pribadi Tritunggal Mahakudus, di mana setiap pribadi ini dengan mesrah menjalin hubungan persekutuan dalam satu ikatan cinta yakni Roh Kudus.

Dalam kancah peredaran dunia zaman sekarang, dapat kita temukan banyak kepincangan yang mensublimasi ke arah kehancuran. Esensi dasar dari perubahan ini adalah semakin meningkatnya arus globalisasi yang mengakibatkan perubahan besar meliputi banyak bidang kehidupan manusia. Bidang-bidang itu antaralain: bidang perekonomian, stabilitas alam semesta atau keteraturan alam semesta, pertanian, sosial-budaya dan banyak bidang lainnya yang merupakan dampak dari perkembangan arus globalisasi.

Dasar dari kepincangan itu adalah kebebasan manusia itu sendiri. Kebebasan secara implisit mengutarakan tentang kekurangan, kelemahan pada manusia itu sendiri dalam mengontrol ego atau hasrat untuk mengubah. Faktor ini menandakan tidak adanya keseimbangan antara hal yang bersifat rohani (spiritual) dan jasmani (kehendak bebas, akal budi) manusia. Sehingga dampaknya sangat jelas yakni adanya faktor pendominasian oleh pihak terhadap kelompok tertentu, seperti yang hangat sedang terjadi dewasa ini. Di antaranya ada satu problem yang menjadi sorotan mata para kritikus adalah perusakan alam semesta.

Pada esensinya alam semesta tidak terlepas dari persatuan kodrati antara manusia dengan Allah sebagai Sang Pengasal dari segala sesuatu yang ada. Namun jika dihadapkan dengan peradaban dunia zaman sekarang pemahaman demikian tidak lagi relevan, di mana manusia seakan menjadikan dirinya sebagai penguasa mutlak. Hal ini tampak dalam tingkat keserakahan mengejar harta kekayaan yang sangat membludak, demi kenikmatan pribadi semata, kepuasan diri, dan keuntungan bersifat personal tanpa memperhatikan unsur solidaritas. Adapun hal lainnya seperti: nafsu, keserakhan dan ego yang mendorong manusia untuk menguasai pikiran dan hati nurani, bertindak tanpa ada rasa kepekaan dan penyadaran yang mendalam.

 Salah satu contoh adalah: penebangan liar pohon dekat sumber mata air di Sumatra, penambangan liar terjadi di berbagai wilayah yakni di Papua Nugini, dimana banyak investor asing yang melakukan penambangan tanpa adanya surat izinan dari pihak pemerintahan Indonesia. Berkenaan dengan problem yang sangat urgen ini, di masa yang akan datang terjadi banyak kerugian, terutama di beberapa daerah yang menjadi titik pertambangan dan penanaman usaha modal itu adalah tempat warga atau masyarakat setempat mengusahkan hidup mereka. Dampak dari problematika di atas antaralain: pencemaran populasi udara, laut yang mengakibatkan matinya banyak ekosistem alam yang sedang bertumbuh dan berkembang biak, pencemaran limbah pabrik, tanah longsor, kekurangan air, banjir bandang, dan gempa bumi pada wilaya titik pertambangan. Terhadap permasalahan ini, dimanakah sikap respektifitas atau tanggapan langsung dari pihak manusia yang mengklaim sebagai makluk sekodratdengan alam ciptaan lainnya?

Gereja Khatolik dalam menanggapi permasalahan demikian, menghimbau agar setiap umat Kristiani kembali menyadari sikap, pola tingkah laku mereka yang semakin jauh dari kehendak Allah. Karl Rahner, sebagaimana dikutip oleh Georg Kirchberger (2012:88) mengatakan: “sebagai makluk berhakikat transenden, memikul tanggung jawab dan memiliki kebebasan, senantiasa terarah pada rahasiah Ilahi, berhakikat interkomunikatif, makluk yang mendunia-hidup dalam waktu sejarah, makluk yang selalu berorientasi ke masa depan, makluk yang dapat gagal dalam ziarah hidupnya, tetapi sekaligus dapat berharap.” Meskipun pada hakikatnya adalah makluk yang memiliki banyak bidang keterbatasan, tetapi Allah menjadikan dia sebagai agen untuk menjaga, merawat dan melestarikan alam semesta dengan penuh rasa tanggung jawab. Pater Eman Wero, SVD dalam khotbanya (12/03/2019) mengatakan: “kita sebagai kaum religius hendaknya menjadi tanda harapan (the sign of hope) bagi dunia zaman sekarang yang penuh dengan percecokan dalam berbagai bidang kehidupan.” Tanda (sign) terealisasi dalam tindakan nyata, seperti punya rasa respek terhadah problem dunia zaman sekarang.

Dunia ini adalah saudara-saudari kita yang melalui mereka kita dapat bertahan hidup. Relasi antara manusia dan alam semesta layaknya seperti adik dan kakak yang saling melengkapi dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing. Tidak hanya dalam hal demikian, manusia dan alam dapat bekerja sama menjaga kelestarian lingkungan alam ciptaan agar tetap eksis dalam dunia zaman sekarang maupun nanti, dalam setiap peradaban dunia selanjutnya. 

 

A.    PENUTUP

Pada setiap moment, orang di tawarakan untuk masuk dan memperbaiki, apa yang menjadi permasalahan dalam konteks, wilayah sosial tertentu. Pada moment yang berharga ini setiap orang diajak untuk kembali merefleksikan ziarah hidup panggilannya masing-masing. Kita diajak untuk merefleksikan kembali, melihat setiap tapak perjalanan hidup kita entah dalam relasi atau hubungan dengan TUHAN, sesama (alam ciptaan,sesaama manusia) dan dengan pribadi diri sendiri. Sebagai tanda harapan, dunia zaman sekarang sangat membutuhkan kepedulian dari sesama ciptaan lainnya. Allah telah menganugerahkan kita banyak kemampuan enta yang bersifat lahiriah maupun transedental, dengan maksud agar kita dapat menggunakan untuk kepentingan kemajuan kesejatraan hidup bersama dan juga bagi kemuliaan nama-Nya. Marilah kita meningkatkan kepedulian kita terhadap alam ciptaan dengan melakukan pereboisasian kembali setiap daerah atau lahan yang gundul dan juga bagi setiap manusia yang hatinya masi dipenuhi dengan ketamakan dan keserakahan.

 

Albertus Mandat Mahasiswa semester 7 STFK Ledalero, Maumere, Flores-NTT. Aktif dalam menulis

 

 

 



[1]Sefri Juhani, Teologi Penciptaan (ms) Ledalero, 2017, hlm.30.

[2]Ibid., hlm. 29.

[3]Ibid., hlm. 60.

Label:

2 Komentar:

Pada 20 November 2021 pukul 13.23 , Blogger PELITA NEGERI mengatakan...

Keren ni...

 
Pada 29 Desember 2021 pukul 15.45 , Blogger Unknown mengatakan...

Mantap Fr

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda