Selasa, 31 Mei 2022

TINJAUAN MORAL KRISTIANI TERHADAP SEKSUALITAS DI KALANGANPEMUDA-PEMUDI KRISTEN YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKS BEBAS

 

    

TINJAUAN MORAL KRISTIANI TERHADAP SEKSUALITAS DI KALANGAN

PEMUDA-PEMUDI KRISTEN YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKS BEBAS

Albert Mandat Minggu

Mahasiswa Semester VIII Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere

email: albertmandat@gmail.com

 

ABSTRAK

Analisis ini guna membahas tentang tinjauan Etika Kristen terhadap hubungan seks bebas yang dilakukan kaum muda Kristen. Hubungan ini tentunya sangat bertolak belakang dengan makna seksualitas sebagai anugerah Tuhan dengan maksud agar manusia dapat melanjutkan karya penciptaan Allah. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan masalah dasar yang mendorong kaum muda Kristen yang melakukan hubungan seks bebas dalam kehidupan mereka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan, di mana penulis mengkaji hubungan seks bebas melalui kajian dan literatur dari berbagai sumber yang mengkaji tentang masalah hubungan seks bebas. Penulis juga menelaah hubungan seks bebas dalam terang moral perkawinan Kristiani guna mencari solusi dari masalah hubungan seks bebas yang dilakukan kaum muda. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan kepekaan, kesadaran akan nilai moral seksualitas, kesucian dan kekudusan harkat dan martabat kaum muda sebagai generasi dan penerus bangsa dan negara serta Gereja. Hasil analisis bahwa kaum muda melakukan seks bebas didorong oleh berbagai faktor yang memungkinkan seks bebas dilakukan, sehingga dampak yang ditimbulkan sangat memperburuk kehidupan kaum muda. Oleh sebab itu, penulis menawarkan berbagai solusi antara lain edukasi seksualitas, penerapan pendidikan moral seksualitas sejak kaum muda masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan dari dalam keluarga dan lingkungan sekitar dalam berbagai kegiatan kategorial.

Kata Kunci: Perilaku, Kaum muda, Seks Bebas.

 

 

ABSTRACT

            This analysis is to discuss a review of the Christian Ethic of sexual promiscuity among young Christian. This relationship is certainly in stark contrast with the significance of sexuality as a gift from God in order for man to be able to continue God's creative work. The purpose of this study is to find a basic problem that propels youths who engage in casual sex in their lives. The method used in this study is the study of literature, where the author examines sexual promiscuity trough the study and literature of various sources that examine sexual promiscuity. The writer also studied casual sex in the light of the moral Christiani to find solutions to the problems of youths who engaged in casual sex. It is intended to arouse sensitivity, chastity and holiness the dignity and dignity of young people as succeeding generations of nations and countries and the church. Analysis that youths engage in casual sex, making the effects far worse for young people. Thus, the writer offers various solutions such as sexuality education, the application of moral education sexuality since young peoples are in the growing and development stages of families and neighborhoods in a wide variety of categorical activities.

Key Word: Behavior, Youth, Casual Sex.

 

1.   PENDAHULUAN

            Seksualitas adalah anugerah Tuhan kepada manusia. Setiap manusia yang dianugerahi seksualitas dengan maksud untuk menjalankan dan melanjutkan keturunan di dunia. Hal ini mengungkapkan bahwa Allah melimpahkan tugas dan tanggung jawab kepada manusia merupakan karya misi perutusan manusia dalam melanjutkan karya penciptaan Allah kepada manusia. Tugas melanjutkan karya penciptaan ini merupakan cara berada Allah dalam diri manusia dalam keturunan yang dihasilkan. Keturunan yang dihasilkan merupakan percikan daya ilahi ke dalam diri sebagai beni baru yang dihasilkan ke dunia. Dengan demikian, manusia yang diundang untuk ambil bagian dalam karya penciptaan ini sedari kodrat kudus dan suci adanya, sebab Allah sendiri yang memprakarsai karya penciptaan-Nya. Hal ini mengungkapkan bahwa seksualitas sebagai cara berada Allah dalam diri manusia dalam misi melanjutkan keturunan.

            Seksualitas dalam hal ini merupakan cara berada Allah sebagai dimensi transenden hadir dalam dimensi imanem yakni dalam wujud manusia. Daya ilahi yang hadir dalam diri manusia mengharuskan manusia harus diwujudnyatakan dalam tindakan yang benar yakni dalam tindakan seksualitas sesuai dengan tuntutan moral Kristiani dan etika seksualitas. Namun sebaliknya pemaknaan akan seksualitas sebagai perwujudan daya ilahi kini hanya sebuah slogan dalam kehidupan kaum muda Kristen zaman sekarang. Kaum muda zaman sekarang banyak terjebak dalam kasus hubungan seks bebas. Berdasarkan survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 (dilakukan per 5 tahun) mengungkapkan, sekitar 2% kaum muda perempuan berusia 15-24 dan 8% kaum muda laki-laki telah melakukan hubungan seks bebas dan 11% diantaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.[1]

            Persoalan hubungan seks bebas merupakan hubungan yang dilakukan tanpa adanya dorongan dasar cinta dan sikap saling memberi serta menerima antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kemenkes pada Oktober 2013, menemukan sebanyak 63% kaum muda sudah pernah melakukan hubungan seks bebas dengan kekasihnya maupun dengan sesame didorong oleh kehendak bebas dalam diri kaum muda.[2] Hubungan seks bebas yang dilakukan kaum muda zaman sekarang banyak dimodifikasi dengan berbagai faktor antara lain mengakses media sosial yang bersifat pornografi, pergaulan bebas, maraknya kumpul kebo, minimnya pengetahuan tentang seksualitas, akibat paham hedonisme dan kurangnya keterlibatan dalam kehidupan menggereja. Oleh sebab itu, dari berbagai faktor pendorong ini melahirkan berbagai dampak yang banyak merugikan dan mencoreng serta menodai harkat dan martabat kaum muda. Dampak yang ditimbulkan antara lain kehamilan di luar nikah, aborsi, penelantaran kaum perempuan dan anak, depresi dan tekanan serta timbulnya penyakit seperti sifilis, Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)[3], gangguan mental.  Berbagai dampak ini, merupakan gambaran dari seks bebas yang dilakukan kaum muda zaman sekarang.

            Kasus hubungan seks bebas sangat merusak dan menodai seksualitas. Aktivitas seksualitas yang dilakukan kaum muda menunjukan indikasi sepihak yakni sikap egois dengan mengedepankan kenikmatan sebagai tujuan yang mesti dipenuhi. Kenikmatan dalam hal ini merupakan dasar yang dimaksudkan yang mesti dipenuhi. Kenikmatan yang diperoleh dengan seks bebas dapat membebaskan kaum muda dari hasrat seksual dan nafsu birahi dalam diri kaum muda. Oleh sebab itu, setiap kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas mengedepankan kenikmatan sementara merupakan maksud yang mesti dipenuhi. Dalam hal ini, kasus hubungan seks bebas tidak mendatangkan kenikmatan sebagaimana dilakukan oleh suami dan istri, sebab hubungan yang dilakukan oleh kaum muda tidak berdasarkan cinta yang murni, pemahaman yang benar tentang seksualitas dan tidak berdasarkan ikatan janji perkawinan sebagaimana dilakukan oleh suami dan istri, namun hanya mengedepankan kenikmatan sebagai tujuan yang mesti dipenuhi. Berdasarkan latar belakang permasalahan demikian penulis ingin menggali masalah hubungan seks bebas dalam terang moral perkawinan Kristiani dan etika seksualitas dengan maksud agar membangkitkan kepekaan dan kesadaran kaum muda akan penghayatan cinta murni, moral dan etika seksualitas dalam kehidupan kaum muda.

2.   METODE PENELITIAN

            Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan, di mana penulis menggali dan menemukan berbagai sumber dan literatur yang membahas secara khusus tentang hubungan seks bebas. Berbagai sumber yang ada kiranya dapat membantu penulis dalam menelisik dan mengobservasi masalah hubungan seks bebas dengan maksud untuk mencari dan menemukan solusi yang mutakhir dari masalah yang ada.

3.   PEMBAHASAN

3.1    Pengertian Seks

Secara etimologis, kata seks berasal dari bahasa Latin, yakni sexus yang artinya jenis kelamin. Term sexus diturunkan dari kata kerja secare yang artinya memotong, membagi, membela atau memisahkan.[4] Seks dan jenis kelamin dalam penggolongannya merujuk pada identitas pria dan wanita sebagai manusia dan jantan dan betina dikhususkan bagi binatang. Seks selalu berhubungan dengan aspek biologis antara lain organ-organ reproduksi atau alat-alat kelamin, dan seksualitas berkaitan dengan aspek psikologis manusia. Seks dipandang mendefinisikan dua kategori biologis (yang berasal dari diri asali feminin-maskulin) yang dimiliki seseorang.[5] Aspek biologis secara khusus merujuk pada pribadi seseorang yakni dia sebagai laki dan dia sebagai perempuan yang tampak dalam alat kelamin. Aspek psikologis merujuk pada perasaan, apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan. Pada hakikatnya, dari jenis kelamin manusia menerima ciri khas yang pada tingkat biologis, psikologis dan spiritual, menjadikan orang tersebut seorang perempuan atau laki-laki, dan dengan demikian sangat menentukan perkembangannya menuju kedewasaan.[6] Kedua aspek ini dapat membentuk seseorang dalam tindakan yang berhubungan dengan kenikmatan seksual yakni dengan melakukan seks bebas, menonton film porno, berciuman dan tindakan pemenuhan mutual cinta lainnya yang mendatangkan kenikmatan sesaat.

            Pengertian seks selalu berhubungan dengan seksualitas. Seks dan seksualitas merujuk pada alat kelamin dan jenis kelamin. Seksualitas adalah ciri khas dan sifat kepriaan dan kewanitaan yang menunjukan dan memperlihatkan kepribadian manusia dalam fisik, psikis dan spiritual.[7] Aspek seks dan seksualitas menentukan alat kelamin seorang perempuan dan laki serta menentukan cita rasa seluruh keberadaan seseorang sebagai seorang pria dan wanita dalam relasi antar individu. Perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita mendatangkan sikap persatuan intim dalam satu rasa yakni saling memiliki dalam tindakan saling mencintai. Dalam persatuan ini, mereka saling memberi dan menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing dengan maksud untuk membentuk suatu persekutuan yang intim. Namun praksisnya hal ini tidak sejalan dengan nilai dan makna asali dari seks dan seksualitas. Eksploitasi seksual terhadap anak-anak menjadi salah satu kenyataan yang paling keji dan jahat dari masyarakat zaman sekarang.[8] Kaum muda cenderung melihat seks sebagai ruang atau tempat untuk mendatangkan kenikmatan. Kenikmatan yang diperoleh dengan melakukan seks bebas.

3.2 Seks Bebas

            Seks bebas merupakan sebuah slogan yang tidak asing dalam dunia zaman. Hubungan seks bebas menjadi suatu model relasi intim yang terjadi tanpa adanya ikatan cinta. Model hubungan demikian merupakan gaya hidup modern yang dilakukan kaum muda oleh sebab itu tidak dapat dibatasi oleh suatu dimensi apapun. Seks bebas merupakan trend hidup baru yang dikembangkan kaum muda zaman. Seks bebas merupakan suatu praktik hubungan seksual yang dilakukan kaum muda dalam bentuk hubungan intim dengan lawan jenis tanpa adanya ikatan cinta yang melegitimasi hubungan yang ada. Seks memang pada dasarnya merupakan naluri dan unsur naluri. Namun seks bebas merupakan suatu praktik hubungan yang menentang norma dan etika seksualitas.

3.3   Faktor yang Mempengaruhi Seks Bebas

3.3.1   Minimnya Pengetahuan Tentang Seksualitas

Keluarga menjadi medan atau tempat pertama bagi seseorang dalam pembentukan jati diri. Dalam pembentukan jati diri, seorang anak dididik dan dilatih oleh anggota keluarga. Para ahli genetika perilaku berpendapat bahwa untuk menganalisis peranan lingkungan terhadap interaksi bawaan–lingkungan dalam setiap pengalaman dalam kehidupan kaum muda mesti dipertimbangkan secara baik.[9] Dalam pembentukan itu, peranan orangtua dilihat sangat penting dalam menanamkan segala nilai[10] kehidupan yang perlu bagi seorang sebagai bekalnya di kemudian hari. Jika pada tahap ini, sikap pengawasan dan pembentukan jati diri seorang anak tidak dididik dan dibentuk secara baik akan mendatangkan kesulitan bagi seorang ketika bersosialisasi dengan lingkungan di luarnya.

Pendidikan dan model pembentukan dari orangtua dalam keluarga sangat menentukan jati diri seorang anak sebelum memasuki jenjang perkawinan. Orang tua adalah bagian dari gereja. Gereja terdiri dari orang tua dan anak-anak. Keberhasilan pendidikan dalam keluarga dilihat dari bekerja sama orangtua dalam menanamkan pendidikan rohani dan moral seksual kepada kaum muda.[11] Segala aspek pembentukan dalam rohani dan moral seksual menjadi bekal bagi kaum muda.

 Hubungan seks bebas mudah terjadi jika tingkatan pendidikan tentang seksualitas tidak mendapat perhatikan secara baik oleh orangtua. Menurut Frans Ceunfin, bahwa: Para orangtua yang menyia-nyiakan waktu pendidikan moral seksualitas dan etika seksualitas mendatangkan malapetaka bagi jutaan kehidupan setiap hari.[12] Rendahnya tingkat pendidikan orang tua, anak dan masyarakat membuat terjadinya hubungan seks bebas.[13]

Akhir-akhir ini makna dan nilai seksualitas telah mengalami pergeseran dalam pola pikir dan cara pandang. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu konsep yang keliru dalam memahami dan memaknai seksualitas itu sendiri. menurut kaum muda melihat bahwa tindakan seks adalah sebuah keharusan dalam menunjukkan keseriusan kepada pasangan. Kaum muda melihat seksualitas adalah jalan untuk pemenuhan nafsu birahi demi memperoleh suatu kenikmatan dan pembuktian akan cinta yang ada. Seringkali hubungan seks bebas semata-mata didasarkan pada upaya mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seksual.[14]

Dominasi nafsu yang tidak terkontrol ini akan berdampak buruk pada pasangan. Hal akan berpengaruh pada terlambatnya  perwujudan nilai moral diakibatkan oleh ekspresi cinta dilihat sebagai tempat untuk pelampiasan nafsu.[15] Tindakan ini tentunya secara tidak menolak segala paham tentang seksualitas. Pemahaman akan pentingnya pembekalan pengetahuan tentang seksualitas dalam diri kaum muda zaman sekarang memang sangat dibutuhkan. Menurut Ron Rolheiser sebagaimana dikutip oleh Paskalias Lina mengatakan seksualitas sebagai energi dalam diri kita yang mendorong kita dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan gembira, mempunyai afeksi, compassion, membangun intimasi, dan relasi dengan diri sendiri, orang lain dan Tuhan.[16]

Pembekalan seksualitas dilihat sebagai jalan untuk mengurangi tindakan seksual. Seksualitas dan perilaku seksual dianggap sebagai hal yang biasa di kalangan kaum muda, bahkan tidak sedikit yang menjadikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi.[17] Pembekalan yang ada harus dimulai sejak masa kanak dalam hal ini orangtua mempunyai tugas dan peranan bagi kebajikan pertumbuhan dan perkembangan kaum muda dalam kaitan dengan seksualitas. Menurut Karl-Heinz Peschke mengatakan bahwa cinta kebajikan selalu akan berusaha secara baru lagi, agar juga dapat mengendalikan maksud.[18] Pembekalan seksualitas dapat membantu kaum muda akan mengontrol diri dan menolak segala tindakan yang mengarah pada hubungan seks di luar perkawinan.

3.3.2 Pergaulan Bebas

Pergaulan bebas menjadi salah faktor pemicu terjadinya hubungan seks bebas. Model pergaulan bebas umumnya terjadi pada kehidupan kaum muda tidak berlandaskan dan berdasarkan sikap tanggung jawab serta keputusan bijak dalam mengambil suatu sikap yang baik, pantas dan berdaya guna bagi diri sendiri maupun orang lain. Agustinus W. Dewantara menegaskan bahwa: “kebebasan mengandaikan dua hal, yaitu: tahu dan mau! Artinya, hanya apabila manusia itu mengetahui dan menghendaki, ia disebut, manusia bebas, dan dengan demikian ia bertanggung jawab atasnya. Kehilangan salah satu syarat ini, manusia tidak bertanggung jawab atas tindakannya”.[19]

Masa pergaulan dengan lawan jenis menjadi tahap awal sebelum memasuki jenjang perkawinan. Pada umumnya, masa pengenalan sebagai sebuah jalan, proses, kesempatan untuk memahami dan mengakrabkan diri dengan orang lain secara mendalam dari hati ke hati. Pada masa ini biasanya remaja  melakukan  pendekatan  antar  individu  dari kedua lawan jenis, yang ditandai dengan saling  pengenalan  pribadi  baik kekurangan  dan  kelebihan dari  masing-masing individu.[20] Dalam tindakan mengenal ini akan timbul rasa ingin tahu (high curiosity) yang dibaluti dengan rasa keingintahuan dan coba-coba dalam kaitan dengan hubungan seks. Perilaku seksual berisiko dan tempat yang  mendukung  untuk  melakukan perilaku  seksual  berisiko yaitu berciuman,  mengusap-ngusap  tangan atau  berpegangan  tangan  serta  memeluk, dan  tempat  yang  mendorong  perilaku seksual  berisiko yaitu tempat  gelap  dan sepi.[21] Rasa keingintahuan akan semakin mempengaruhi gejolak dari dalam diri dan memuncak pada suatu tindakan hubungan intim. Hubungan intim menjadi fokus utama dalam hubungan percintaan anak-anak atau kaum muda demi suatu kenikmatan. Salah satu fakta yang terlewati bila menjelaskan perbuatan seksual kaum muda ialah kenyataan sederhana  bahwa seks itu sesuatu yang memberikan kenikmatan.[22] Fenomena demikian merupakan sebuah gambaran dan jalannya sebuah tindakan perkawinan dini. Nilai kenikmatan dan cinta dipatrikan dalam cara dan tindakan yang salah merupakan suatu perbuatan penyimpangan dari makna asali cinta itu sendiri. Hal yang boleh diketahui ialah butuhnya sikap pengontrolan diri dari kedua pihak masing-masing. Dengan demikian, sikap pengontrolan diri yang ketat akan menanggalkan segala gejolak negatif dari dalam diri.

3.3.3   Akibat Perkembangan Media Sosial

Perkembangan media sosial sangat mempengaruhi kehidupan kaum muda zaman sekarang dalam segala lapisan keberadaan. Hal itu terlihat dan terungkap jelas, di mana banyak dari kaum muda mengakses secara bebas dunia internet dengan segala tampilan, iklan, aplikasi dan konten-konten berbahaya. Dasar dari tindakan kaum muda didorong oleh faktor kebebasan. Berhadapan dengan media sosial, kaum secara egois dan saksama mementaskan sikap kebebasan dengan mengakses media sosial yang berbaur pornografi.

Kata “bebas atau kebebasan” mampu mengafirmasikan dampak baik maupun buruk bagi seorang kaum muda, jika tidak secara bijak dan bertanggung jawab dalam penggunaan media yang ada. Kaum akan muda mudah terjebak dalam mengakses konten-konten yang berbaur pornografi dan konten-konten berbahaya lainnya yang mampu meng formatisasi daya rasionalitas, etika, tindakan dan moral seorang kaum muda. Dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 53 mengatakan bahwa:

Pornografi dalam media massa diartikan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak tubuh manusia baik pria maupun untuk dilindungi suatu kerahasiaannya, suatu pelanggaran yang mengurangi arti dan tubuh manusia sebagai suatu obyek anonim yang disalahgunakan dengan tujuan untuk memuaskan hawa nafsu. Kehadiran pornografi juga sangat mempengaruhi perkembangan moral pribadi dan perkembangan yang sehat dan matang, lebih-lebih dalam perkawinan dan kehidupan keluarga, di mana kepercayaan timbal balik dan keterbukaan serta integritas moral pribadi dalam pikiran dan perbuatan begitu penting.[23]

Kehadiran media sosial telah mempengaruhi pola pikir dan tindakan kaum muda terlebih khusus dalam hal ini berkaitan dengan hubungan timbal balik dalam dunia percintaan. Hal itu akan terlihat pada pemaknaan cinta yang diikutsertakan dengan dorongan hawa nafsu yang tidak beraturan. Hal ini merupakan dampak dari tindakan kebebasan dalam menggunakan media sosial dalam mengakses situs-situs berbau pornografi. Dampak dari tindakan yang ada ialah kaum muda akan bergejolak dan timbul rasa ingin tahu serta rasa ingin mencoba dari dalam diri. Maksud dari tindakan yang ada nyata merupakan sebuah tindakan yang melanggar nilai moral perkawinan, di mana media sosial hanya sebagai perangsang naluri birahi seseorang dalam pemakluman cinta yang salah. Hal itu dapat dilihat dari kesalahan seseorang dalam memandang cinta sebagai tempat untuk pelampiasan hawa nafsu tanpa satu ikatan khusus. Hal ini membuktikan bahwa kehadiran media sosial telah menyebabkan kaum muda mengalami degradasi moral dalam tindakan pemenuhan cinta yang salah. Sikap dan tindakan kaum muda di atas hanya bersifat menginginkan dalam artian memenuhi hasrat hawa nafsu dan hasrat seksual.

3.3.4   Akibat Paham Hedonisme

Paham hedonis mengartikan kenikmatan sebagai tujuan hidup. Paham hedonisme adalah paham yang bertujuan mencari kesenangan, kenikmatan dan kepuasan diri.[24] Masalah hubungan seks bebas merupakan bentuk relasi atau hubungan yang mengutamakan kenikmatan. Hedonisme sangat berhubungan dengan kenikmatan seksual, kekuasaan dan kebebasan dan pandangan hedonis merupakan pandangan hidup yang berdasarkan nafsu birahi.[25]

Paham hedonis mendorong manusia mengutamakan kenikmatan sebagai tujuan utama yang harus dicapai. Gaya hidup hedonis yang cenderung mengejar kesenangan tidak hanya pada ketergantungan akan banyaknya materi, tetapi kesenangan dan kenikmatan bentuk tubuh.[26] Kenikmatan yang diperoleh dengan tindakan yang tidak bertanggung jawab akan mendatangkan permasalahan bagi kehidupan seseorang. Kaum muda yang dipengaruhi oleh paham hedonis secara egois mengutamakan maksud sepihak tanpa mempedulikan harkat dan martabat orang lain.

Kenikmatan yang diperoleh dalam hubungan seks bebas akan berdampak buruk bagi seseorang. Perolehan kenikmatan yang keliru akan mempengaruhi segi psikologis dan psiko emosional seseorang. Seseorang akan melihat dan memandang segala bentuk hubungan eksklusif sebagai tempat untuk membangkitkan naluri birahi. Free sex atau seks bebas merupakan dampak dari hasil budaya hedonis yang menganggap seks bebas hanya perbuatan biasa demi kepuasan diri sendiri dalam hubungan eksklusif.[27] Hal ini yang terjadi dalam kehidupan kaum muda yang mengartikan hubungan dengan lawan jenis sebagai jalan untuk memperoleh kenikmatan semata.

3.4     Dampak Hubungan Seks Bebas

3.4.1   Hamil di Luar Nikah

Kehamilan dilihat sebagai dampak utama dari hubungan seks antara pria dan wanita. Kehamilan merupakan ungkapan keseluruhan cita-cita khas laki-laki atau perempuan yang menyatakan diri dalam tingkah laku dan keaktifannya baik secara batin maupun secara lahiriah.[28]  Kehamilan terjadi pada kaum muda yang belum matang secara biologis akan berdampak buruk pada kematian jabang bayi dan mengancam keselamatan seorang ibu yang melahirkan. Seorang perempuan yang hamil pada usia muda belum memiliki kematangan secara biologis. Kematangan biologis dilihat dari kematangan alat kelamin dan rahim seorang perempuan masih dalam tahap pertumbuhan. Adapun masalah lainnya yakni akan berdampak pada abortus dan berakibat munculah berbagai jenis penyakit lainnya yang senantiasa mengantar seseorang pada rasa kecemasan, tekanan batin dan stres yang berlebihan.

Kehamilan akibat dari hubungan seks diluar perkawinan merupakan suatu perbuatan yang melanggar hak dan kewajiban seseorang. Pernikahan anak tentunya menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip “yang terbaik untuk anak”, sehingga hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi.[29]  Seseorang mempunyai hak dan tanggung jawab dalam menentukan arah dan hidupnya sesuai dengan tuntutan norma. Sikap pelanggaran demikian disebabkan oleh adanya unsur keterpaksaan dalam pembuktian cinta.

Kaum muda yang melakukan seks di luar perkawinan merupakan gambaran penyimpangan terhadap seksualitas. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya.[30] Kaum muda sering memasukan unsur seks sebagai jalan untuk pembuktian cinta dengan mengungkapkannya dalam tindakan seks dalam masa pergaulan dengan sesama lawan jenis. Pembuktian cinta yang ada, dalam pandangan kaum muda dilihat sebagai sebuah keharusan. Pembuktian cinta yang salah melahirkan masalah kehamilan.

3.4.2   Maraknya Aborsi

          Kaum muda cenderung melakukan tindakan aborsi sebagai jalan untuk menutupi aib. Tindakan aborsi yang dilakukan kaum muda merupakan suatu jalan yang memungkinkan hubungan seks bebas terus terjadi dalam kehidupan kaum muda. dasarnya ialah dengan melakukan aborsi dapat memutuskan sikap tanggung jawab atas dampak jika hubungan seks bebas mendatangkan masalah bagi kaum muda. Dengan demikian, aborsi adalah pilihan untuk membebaskan kaum muda dari rasa tanggung jawab dan keterikatan dengan lawan jenis jika terjadi suatu masalah.

           Gereja Katolik sangat mengecam bahkan mengucilkan pelaku yang melakukan tindakan aborsi. Gereja melihat aborsi merupakan suatu pelanggaran dosa berat terhadap hak hidup seseorang. St. Thomas, Doctor Communis Gereja, mengajar bahwa aborsi merupakan dosa berat, bertentangan dengan hukum kodrat.[31] Aborsi merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan norma perkawinan dalam Gereja. Pasalnya tindakan yang ada merupakan merupakan gambaran sikap pembubuhan. Dekret Gratianus mengajukan kata-kata Paus Stefanus V mengatakan bahwa ia yang membiarkan mati dengan aborsi, apa yang dikandungnya, adalah pembunuhan.[32]

3.4.3   Mengalami Depresi dan Tekanan

Perasaan minder atau malu adalah sebuah gambaran depresi dan tekanan dalam diri seseorang ketika menghadapi sebuah masalah dalam hidup. Perasaan malu dan minder sering terjadi pada kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas. Perasaan ini merupakan sebuah gejala psikologi diakibatkan oleh suatu tindakan atau perbuatan yang tidak bertanggung jawab atas dampak dari hubungan seks yang dilakukan. Perbuatan ini, pada dasarnya tidak berdasarkan hasil pertimbangan moral dan etika seksualitas yang baik, rendahnya tingkat kesadaran dan kurangnya sikap respek terhadap pengetahuan tentang seksualitas, sehingga mendatangkan gangguan mental dan berujung pada tindakan bunuh diri.

Dalam menghadapi masalah demikian, kaum muda selain dibekali dengan pemahaman yang intens tentang seksualitas, etika seksualitas dan moral seksualitas adapun hal lainnya yakni kamu muda mesti dibekali dengan pemahaman suara hati demi membatasi kebebasan dalam tindakan hubungan seks bebas. Suara hati merupakan gambaran hati nurani yang mendatangkan sikap kesadaran yang senantiasa memberikan informasi mengenai suatu perbuatan yang baik maupun buruk dalam situasi yang konkret. Dalam KGK No. 1778 menyatakan bahwa:

Hati nurani harus dibentuk dan keputusan moral harus diterangi. Hati nurani yang dibentuk baik dapat memutuskan secara benar dan tepat. Dalam keputusannya, ia mengikuti akal budi dan berorientasi pada kebaikan yang benar yang dikehendaki oleh kebijakan Pencipta.[33]

 

Kaum muda lebih mementingkan keinginan pribadi tanpa mempertimbangkan suatu perbuatan berdasarkan dorongan suara hati akan mendatangkan masalah dalam kehidupan mereka. Hal ini berkaitan dengan hubungan seks bebas yang dilakukan kaum muda, di mana adanya kecenderungan egois dari kaum muda yang mendewakan keinginan pribadi tanpa adanya rasa pertimbangan antara baik dan buruk pada hubungan yang dilakukan. Oleh sebab itu, kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas secara tidak langsung menolak kehendak baik dari dalam diri berdasarkan pertimbangan suara hati. Dengan demikian, kaum muda cenderung melakukan perkawinan di luar hukum Gereja tanpa adanya pertimbangan suara hati. Dalam KGK No. 1791 menyatakan bahwa:

Seringkali manusia yang bersangkutan itu sendiri turut menyebabkan ketidaktahuan ini, karena ia tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta. Dalam hal ini ia harus bertanggung jawab atas yang jahat, yang ia lakukan.[34]

 

Pertimbangan suara hati dan memiliki konsep pemahaman yang baik akan makna seksualitas dapat membantu kaum muda dalam menjalani hubungan yang sehat. Jika hal ini tidak diperhatikan, maka kaum muda cenderung minder dan malu terhadap masalah yang ditimbulkan. Perasaan malu dan minder merupakan akibat dari tindakan kaum muda yang kurang memahami seksualitas. Perasaan ini dilihat dari dampak dan akibat dari tindakan seks bebas yakni kehamilan. Kehamilan yang terjadi di luar perkawinan mendatangkan sikap cemoohan dan tudingan miring dari masyarakat.

3.4.4   Mengancam Keselamatan Ibu dan Jabang Bayi

Kehamilan akibat hubungan seks bebas pada usia yang relatif masih tergolong muda dan masih dalam tahap perkembangan akan berdampak buruk pada kematian. Hal ini sering terjadi pada ibu dan jabang bayi. Kematian ini dapat dilihat dari organ reproduksi seorang perempuan yang belum matang secara biologis, rahim yang belum siap untuk mengandung, dan payudara yang belum bisa menghasilkan kelenjar susu.

Adapun hal lainnya, yakni ketika seorang ibu mau melahirkan, maka akan mengalami kesulitan dan kesakitan yang luar biasa akibat bibir rahim dan vagina yang belum matang. Dan hal ini akan berdampak pada kematian jabang bayi. Fenomena demikian sudah banyak terjadi dikalangan kaum muda yang hamil di luar nikah dengan intensitas umur yang masih tergolong muda. Berdasarkan masalah yang ada, maka diputuskan untuk melakukan operasi sesar yakni mengangkat jabang bayi. Dalam tindakan operasi yang diambil pula akan membahayakan keselamatan antara seorang ibu dan jabang bayi yang ada.

Dasar kematian seorang ibu dan jabang bayi disebabkan oleh pemenuhan cinta yang buta dan pemahaman yang minim akan bahaya terhadap perkawinan pada usia yang masih muda. Terhadap masalah ini, maka dibutuhkan peran orang tua dalam mendidik dan membekali anak dengan pemahaman tentang moral seksualitas dan perkawinan. Pengawasan terhadap anak yang kurang menyebabkan mereka salah dalam pergaulan sehingga cenderung melakukan hubungan seks di luar nikah.[35] Hal ini mesti diperjuangkan dengan maksud untuk menghindari masalah kematian. Orang tua adalah agen pastoral dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak. Pendidikan yang diwariskan orangtua dalam keluarga hendaknya bersifat menyeluruh yakni meliputi pendidikan fisik, kepribadian, intelektual, sosial, iman dan moral.[36] Keikutsertaan orang tua dilihat sebagai sikap dan tanggung jawab terhadap terhadap anak.

3.5    Seksualitas

            Istilah seksualitas merupakan makna dan arti dari pengertian tentang seks. Pengertian seksualitas jauh lebih luas dari pengertian tentang seks, sebab seks hanya merujuk pada jenis kelamin. Dalam hal ini, pengertian seksualitas berarti segala sesuatu yang menemukan seseorang sebagai pria atau wanita.[37] Dalam seksualitas yang ada, aspek seksualitas menentukan model tingkah laku pria dan wanita dalam hal ini lebih khusus berkaitan dengan relasi atau hubungan antar pribadi. Maka peranan seksualitas dalam relasi antar pribadi adalah mengada secara manusiawi, yaitu secara badani dan rohani bagi orang lain.[38] Menurut Ron Rolheiser sebagaimana dikutip oleh Paskalis Lina mendefinisikan seksualitas sebagai:

Energi yang indah, baik, sangat kuat, dan suci yang diberikan oleh Tuhan da dialami dalam seluruh hidup kita, sebagai dorongan yang tidak dapat ditekan yang mendorong untuk mengatasi ketidaklengkapan, menuju kesatuan yang utuh. Seksualitas adalah energy dalam diri kita yang mendorong kita untuk dapat mencintai, mempunyai afeksi, compassion, membangun intimasi, dan relasi dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan.[39]

 

            Oleh sebab itu, seksualitas tidak hanya dilihat sebagai aktus, namun lebih jauh dari itu seksualitas sebagai sebuah anugerah Tuhan yang merupakan daya yang memampukan manusia dapat berkembang biak sebagaimana dikehendaki Allah menurut sabda-Nya.

3.6    Pandangan Kitab Suci

3.6.1   Perjanjian Lama

            Secara umum dalam Perjanjian Lama menggambarkan seksualitas sebagai ungkapan relasi antara bangsa Israel dengan Yahwe. Relasi antara bangsa Israel dengan Yahwe terungkap dalam setiap pengalaman hidup bangsa Israel bersama dengan Tuhan dalam segala karya-Nya. Hal ini sebenarnya mengungkapkan relasi eksklusif dan adikodrati antara Yahwe dengan bangsa Israel. Relasi yang ada mendatangkan sikap penolakan dari Yahwe terhadap bangsa Israel dari sikap dan tindakan penyembahan berhala yakni pemujaan kepada dewa-dewi baal. Relasi seksualitas ini yang membedakan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa kafir lainnya. Namun disisi lain, gambaran tentang seksualitas dilukiskan dalam Kitab Kejadian tentang kisah penciptaan sebagai dasar pemahaman tentang seksualitas. Dalam Kejadian difirmankan bahwa; baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…, (Kej. 1:26a). kesepakatan akan penciptaan manusia merupakan keputusan dan kehendak bebas dari Tuhan yakni dalam Kitab Kejadian dilukiskan bahwa maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya, laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka, (Kej. 1:27). Gambaran kisah penciptan ini mengungkapkan tentang persatuan laki dan perempuan sebagai model kesatuan dengan Sang Pencipta.

            Dalam Kitab Kejadian, 2:24 berbunyi: sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Model persatuan laki-laki dan perempuan mengungkapkan relasi antar pribadi dalam sikap saling mengasih. Sikap saling mengasihi yang ditopang dengan sikap penghargaan akan harkat dan martabat satu sama lain, meskipun mempunyai perbedaan jenis kelamin. Dengan demikian, penghayatan tentang seksualitas dalam Kitab Kejadian mengungkapkan hubungan kepartneran dalam persekutuan satu daging dan bukannya prokreasi.[40]

3.6.2   Perjanjian Baru

            Pemahaman tentang seksualitas dalam Kitab Perjanjian Baru secara lebih eksplisit dipahami sebagai sebuah bentuk ajaran moral. Model seksualitas manusia ditransformasikan secara lebih mendalam dalam model ajaran baru yang ditawarkan Yesus Kristus. Menurut Paul M. Quay sebagaimana dikutip oleh Paskalis Lina mengatakan Dia Kristus adalah kodrat kemanusiaan yang sempurna. Dia adalah norma segala sesuatu yang kita lakukan, pikirkan dan harapkan. Misteri seksualitas manusia adalah keserupaannya dengan Kristus sendiri.[41] Keserupaan dalam hal ini dapat dilihat dari model kesatuan yang intim antara laki-laki dan perempuan sebagai kehendak dan rencana Allah sejak awal penciptaan. Yesus secara eksplisit mengambil referensi-referensi biblis, baik pada kitab Kejadian 1 (Mat 19:4; Mark 10:6) maupun dalam pada Kejadian 2:24 (Mat 19:5; Mark 10:7) sebagai upaya Yesus menunjukan perbedaan seksualitas antara manusia menjadi laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari rencana Allah.[42]

            Pandangan Yesus tentang seksualitas merupakan suatu panggilan dan tawaran hidup perawan sebagai suatu model hidup yang murni dalam relasi dengan Tuhan dan sesama. Sebagaimana difirmankan Yesus dalam Injil Matius, berbunyi: Tetapi Ia berkata kepada mereka: tidak semua orang mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniakan saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena memang ia lahir demikian dari Rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga, (Mat. 19:11-12). Menurut Ronald Lawler sebagaimana dikutip oleh Paskalis Lina mengatakan -Yesus mengajarkan bahwa keutuhan seksualitas manusiawi dihayati bukan semata-mata dalam hidup perkawinan, melainkan juga dalam hidup selibat yang dipersembahkan bagi Allah-.[43]

3.7    Pandangan Magisterium Gereja

3.7.1   Ensiklik Familiaris Consortio

Ensiklik Familiaris Consortio memusatkan argumennya pada dasar kehidupan keluarga sebagai komunitas bersama atas dasar cinta. Sinode terakhir para uskup di Roma dari tanggal 26 September hingga 25 Oktober 1980 mengutarakan suatu tanda bahwa Gereja mencurahkan perhatian yang mendalam terhadap masalah perkawinan dalam keluarga.[44] Keluarga menjadi tempat pertama bertumbuhnya moral. Setiap anggota keluarga diharapkan agar dapat bekerja sama dan berpartisipasi demi membangun kehidupan bersama berdasarkan cinta. Ensiklik Familiaris Consortio mengungkapkan,

Penalaran manusia sudah menunjukan bahwa pernikahan itu tidak dapat diterima dengan memperlihatkan bahwa tidak meyakinkan juga mengadakan “eksperimen” dengan manusia, yang martabatnya meminta supaya ia harus senantiasa dan hanya merupakan tujuan cinta kasih penyerahan diri, tanpa pembatasan waktu atau kondisi manapun lainnya.[45]

Masalah hubungan seks bebas sama sekali tidak mengartikan suatu bentuk model perkawinan yakni persatuan antara suami dan istri yang melahirkan keturunan. Hubungan seks bebas merupakan suatu praktik hubungan ditolak oleh Gereja, sebab menurut Paus Yohanes Paulus II memandang bahwa cinta eksklusif antara suami dan istri mendorong mereka untuk menghasilkan keturunan. Dasar pembentukan cinta berakar dalam penyerahan pribadi yang menyeluruh antara suami-istri dituntut demi kesejahteraan anak-anak.[46]

Dasar penolakan Gereja dilandaskan pada hakikat dasar suatu perkawinan yakni untuk menghasilkan keturunan berdasarkan pemahaman moral perkawinan yang benar. Keturunan yang dihasilkan melalui hubungan seksual merupakan gambaran kekayaan spiritualitas moral. Pasangan suami-istri senantiasa mengambil bagian dalam melanjutkan keturunan sesuai dengan tuntutan moral perkawinan. Oleh sebab itu, Gereja senantiasa berjuang dan menolak setiap praktik hubungan seks bebas karena tidak berdasarkan moral perkawinan. Hubungan seks bebas merupakan suatu praktik hubungan yang bertentangan dengan makna seksualitas dalam moral dan perkawinan Gereja. Dalam ensiklik Familiaris Consortio art 68, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa pernikahan dan hidup keluarga yang dikehendaki Allah dalam tindakan-Nya menciptakan dunia secara intrinsik merujuk pada pemenuhan dalam Kristus.[47]

3.5.2.4 Ensiklik Amoris Laetitia

Anjuran Apostolik Pasca Sinode Amoris Laetitia lahir karena adanya sikap keprihatinan Paus Fransiskus terhadap situasi kehidupan keluarga Katolik saat ini. Beberapa masalah perkawinan yang menjadi titik fokus Paus Fransiskus yakni berkaitan dengan masalah bertambahnya pasangan muda yang memilih untuk hidup bersama. Namun kaum muda tidak terbuka hati dan pikiran untuk membentuk persekutuan bersama melalui sakramen perkawinan dan berbagai kasus pornografi akibat penyalahgunaan barang-barang teknologi. Paus Fransiskus melalui seruan apostoliknya kembali menyuarakan dan mendesak agar para agen pastoral turut terlibat terhadap setiap persoalan dalam keluarga Kristiani untuk mengatasi masalah perkawinan serta mencari solusi terhadap setiap masalah hubungan seks bebas yang merupakan salah satu bentuk dari hubungan seks tanpa ikatan janji perkawinan yang dilakukan kaum muda. Masalah penyimpangan seksual merupakan masalah yang sangat ditolak oleh Gereja demi menghargai martabat manusia yang jauh lebih tinggi dari segala ciptaan Tuhan yang lainnya.[48]

Ensiklik Amoris Laetitia kembali mendesak agar para pelayan pastoral lebih mengutamakan prinsip belas kasih dan penyatuan kembali pasangan daripada menghukum pasangan-pasangan yang hidup dalam situasi yang tidak benar.[49] Dalam hal ini, Gereja Katolik akan tetap bertanggung jawab menghargai, merestui dan mendampingi kaum muda agar tetap setia berdasarkan perjanjian, komitmen dan tanggung jawab dalam hukum perkawinan, meskipun hubungan seks dilakukan sebelum dipersatukan dalam Gereja. Ajaran Gereja dimaksudkan untuk "membantu pasangan agar menghayati persekutuan suami-istri, dalam segala dimensinya, bersama dengan tanggung jawab mereka untuk meneruskan kehidupan.[50]

Paus Fransiskus dalam ensiklik Amoris Laetitia menegaskan keluarga harus menghadirkan wajah kerahiman Allah bagi anak-anak. Perwujudan wajah kerahiman Allah diungkapkan dalam tindakan Paus Fransiskus yang membawa seorang melakukan hubungan hubungan seks tanpa ikatan janji perkawinan masuk dalam sukacita Gereja.[51] Gereja melihat bahwa model hubungan seks bebas merupakan sebuah pelanggaran terhadap kemurnian cinta, tetapi dapat dibenarkan karena komitmen dan janji yang sudah dibangun dalam masa pacaran namun tetap disatukan dalam sakramen perkawinan.

4    HASIL PEMBAHASAN

4.4    Seks Bebas Bertentangan dengan Etika Seksualitas

            Dasar penolakan demikian dilihat dari hubungan seks bebas yang sama sekali tidak mendatangkan dan mencerminkan model dan etika seksualitas dalam sebuah hubungan. Dalam hal ini, berkaitan dengan etika seksualitas dibutuhkan penalaran kritis dan penghayatan dalam mengedepankan sikap respek yang santun dalam menghidupi etika dalam seksualitas dalam relasi dengan lawan jenis. Dasarnya ialah bahwa setiap manusia diciptakan dan dianugerahkan dengan akal budi dan hati nurani dengan maksud agar setiap orang mampu memetahkan segala bentuk tingkah laku dalam diri mengarah kepada suatu perbuatan yang bertanggung jawab dan mengedepankan nilai moral. Hal ini dibutuhkan suatu proses dalam setiap pertumbuhan dan perkembangan seksualitas entah dalam diri maupun di luar diri dalam relasi dengan lawan jenis. Dengan demikian, pertanggungjawaban dalam pertumbuhan dan perkembangan seksualitas sangat dibutuhkan dalam setiap proses kematangan seksualitas.

            Hububungan seks bebas yang dilakukan kaum muda Kristen sangat bertentangan dengan etika seksualitas. Hubungan seks bebas yang dilakukan tidak sama sekali mencerminkan penghargaan dan penghormatan terhadap etika dan moral seksualitas serta tidak berdasarkan proses dalam sikap saling mencintai, namun hanya sekadar pelampiasan hawa nafsu. Motif utama yang dibangun ialah sikpa kebebasan dalam diri kaum muda yang sekadar mencari objek demi memuasakan keinginan dan keegoan pribadi. Tentulah intuisi gamblang yang diserupakan dengan maksud sepihak merupakan gambaran model ketidakseimbangan dalam diri kaum muda berkaitan dengan relasi dengan ssesama jenis. Faktanya ialah hubungan seks bebas bersumber dari naluri kesesatan yakni keegoan pribadi yang sama sekali tidak bertanggung jawab dalam memetahkan realitas yang sebenarnya mempunyai sumbangsi positif bagi pribadi seseorang. Dalam hal ini, hubungan seks bebas layaknya mengungkapkan tumpulnya hati nurani dan akal budi kaum muda dalam menilai segala segala tingkah laku yang mendatangkan pelanggaran terhadap nilai moral da etika dalam seksualitas.

            Adapun hal lain yang ditekankan ialah hubungan seks bebas sama sekali tidak mencerminkan maksud dan tujuan dari anugerah seksualitas yang dikaruniakan Tuhan. Tuhan mengaruniakan seksualitas demi tujuan prokreasi dan pendidikan anak. Maksud dan tujuan ini sama sekali tidak terdapat dalam hubungan seks bebas, sebab tujuan yang ada hanya diperuntukan bagi pasangan suami dan istri yang sudah secara sah diberkati dalam sakramen perkawinan. Oleh sebab itu, secara spesifik hubungan sek bebas yang dilakukan kaum muda berdasarkan kesempatan pribadi antar individu yang dilihat dari hubungan intim yang dilakukan. Kesepakatan ini sama sekali tidak mencerminkan penghargaan terhadap moral dan etika seksualitas, karena kesepakatan yang ada dimodifikasi oleh dorongan motif yang tidak murni yakni dorongan hawa nafsu.

4.5    Seks Bebas Bertentangan dengan Moral Seksualitas dalam Sebuah Perkawinan

            Tuntutan moral seksualitas dalam sebuah hubungan entah sebelum atau sesudah perkawinan adalah sikap tanggung jawab, penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat satu sama lain, sikap saling memberi dan menerima, kesetiaan, dan cinta yang murni. ensiklik Humanae Vitae dari Beato Paulus VI, menggarisbawahi pentingnya menghormati martabat manusia dalam menilai secara moral metode-metode pengaturan kelahiran.[52] Tuntutan moral demikian sama sekali mengharuskan setiap orang untuk mematuhi dan menghayati dalam sebuah hubungan. Meskipun dalam satu posisi, setiap orang mempunyai kebebasan dan kehendak hati dan pikiran dalam memutuskan sesuatu demi hidupnya, namun dibutuhkan ketegaran hati, sikap kritis, bijakasa dan tanggung jawab dalam hal ini berkaitan dengan tuntutan moral seksualitas dalam sebuah hubungan.

            Tuntutan moral seksualitas dalam perkembangan dunia zaman sekarang mengalami degradasi sedemikian jauh dari makna aslinya. Hal itu dapat dilihat dari masalah hubungan seks bebas yang dilakukan kaum muda Kristen. Jika dipastikan bahwa, tuntutan moral seksualitas sepertinya tidak mendapat tempat hati dan pikiran kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas. Dalam pandangan kaum muda melihat bahwa tuntutan moral seksualitas sangat menekan kebebasan dalam diri kaum muda dalam mengekspresikan diri dalam kaitan dengan cinta. Kaum muda umumnya berpendapat bahwa ekspresi cinta harus diaktualisasi dalam tindakan nyata yakni dalam bentuk hubungan seks. Cinta dalam hal ini dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk melegalkan keinginan dan nafsu atau cinta hanya dilihat sebagai objek demi meluluskan nafsu birahi. Oleh sebab itu, cinta sebagai sebagai lambang pemersatu kedua bela pihak sedianya hanya sebagai wujud nilai barang yang muda diperjual belikan. Dalam hal ini, bagi kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas sama sekali tidak mencoreng makna asali seksualitas akan makna cinta yang dibangun dalam hubungan dengan sesama jenis.

4.6    Seks Bebas Merusak Harkat dan Martabat Manusia

            Hubungan seks bebas dalam satu posisi tidak mendatangkan sikap penghormatan dan penghayatan akan seksualitas, namun dalam posisi lain, hubungan seks bebas sangat merusak harkat dan martabat manusia secara khusus kaum muda Kristen. Pada dasarnya setiap manusia sejak awal penciptaan dianugerah Tuhan harkat dan martabat yang melebih ciptaan lainnya. Harkat dan martabat manusia merupakan gambaran dari wujud ilahi dari Tuhan. Oleh sebab, dimensi keilahian dan kekudusan dalam diri manusia sedianya patut dihargai dan dihormati. Dalam hal ini, setiap orang yang menghormati dan menghargai harkat dan martabat sesama manusia mendatangkan sikap hormat dan penghargaan kepada Allah. Jadi, kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas sama sekali tidak mendatangkan dan mencerminkan sikap penghormatan dan penghargaan terhadap terhadap penciptanya.

            Pembicaraan mengenai harkat dan martabat berhubungan dengan ciri kepribadian manusia secara keseluruhan. Kepribadian dalam hal ini berkaitan dengan tingkah laku, tabiat, kebiasaan manusia, namun di posisi asali berkaitan dengan tubuh biologi manusia. Tubuh pada dasarnya mengandung dimensi kelihatan dan dimensi tak kelihatan. Tubuh yang kelihatan dan tampak ialah tubuh biologi manusia. Tubuh biologi manusia menampakan dimensi yang tak kelihatan yakni jiwa dan roh. Oleh sebab itu, dari kodratnya tubuh manusia merupakan dua dimensi yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan dalam sikap penghayatan dan penghormatan akan tubuh. Tubuh tidak hanya merujuk pada tubuh biologis tetapi tubuh gambaran kodrat insani yang merupakan citra Allah. Kodrat manusia harus dipahami berdasarkan kesatuan tubuh dan jiwa.[53] Tubuh dari kodratnya pula mengandung aspek kesucian, sacral dan kudus, sebab tubuh manusia secara keseluruhan merupakan manifestasi atau perwujudan diri Allah yang yang tak kelihatan, oleh sebab itu tubuh pada dasarnya bersifat kudus dan suci karena adanya dimensi ilahi. Dengan demikian, kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas merupakan gambaran sikap percabulan dan perzinahan terhadap tubuh. Rasul Paulus dalam surat pertamanya kepada jemaat di Korintus mengungkapkan bahwa “tubuh bukanlah untuk percabulan” (bdk. 1 Kor: 13b). Tubuh merupakan bait Roh Kudus. Rasul Paulus menegaskan “tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan kamu bukan milik kamu sendiri” (bdk. 1Kor, 7:19). Percabulan merupakan masalah dasar dan pokok dari pelanggaran terhadap hubungan seks yang melanggar kekudusan nama Allah. Nabi Amos menarasikan pelanggaran terhadap kekudusan nama Tuhan bahwa “anak dan ayah pergi menjamah seorang perempuan muda, sehingga melanggar kekudusan nama-Ku”, (bdk. Am, 2:7b). Gambaran pelanggaran ini dapat dilihat dari sikap kaum muda yang menodai dan merusak nilai kesucian tubuh dengan melakukan hubungan seks bebas. Perjanjian Baru secara tegas menolak segala bentuk percabulan karena bertentangan dengan kebenaran Kerajaan Allah.[54] Dasar motivasi yang merusak ialah dorongan hawa nafsu yang membutakan mata hati dan pikiran kaum muda dalam perilaku seks tidak bermartabat dan bertanggung jawab. Dorongan hawa nafsu yang tidak beraturan dalam diri kaum muda yang berujung pada tindakan seks bebas sebagai sebuah jalan terakhir dalam meredakan gejolak dalam diri. Oleh sebab itu, kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas sama sekali berada dalam dosa perzinahan dan percabulan. Dalam menyikapi hal demikian, Gereja sangat melarang kaum muda yang terjebak dalam dosa perzinahan dan percabulan dalam segala urusan Gereja antara lain sebagai misdinar dan lektor.

 

5.   RELEVANSI BAGI KAUM MUDA KRISTEN

5.1    Edukasi Seksualitas bagi Kaum Muda Sejak dalam Keluarga

            Edukasi seksualitas merupakan solusi terbaik dalam menyikapi masalah hubungan seks bebas yang dilakukan kaum muda. edukasi seksualitas merupakan model pendampingan bagi kaum muda sejak masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam keluarga. Kongregasi untuk Pendidikan Katolik mengungkapkan

Pertama, hak keluarga untuk diakui sebagai lingkungan pedagogis utama untuk pembentukan pendidikan anak-anak. “Hak primer” ini memperoleh ungkapan paling konkritnya dalam “kewajiban amat berat” orang tua untuk bertanggung jawab atas “pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh dari anak-anak mereka,” termasuk pendidikan seksual dan afektif mereka, “di dalam kerangka pendidikan cinta kasih, pemberian diri satu sama lain.” Ini sekaligus merupakan hak dan tanggung jawab pendidikan yang “hakiki, karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain itu bersifat asali dan utama terhadap peran serta orang-orang lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orangtua dan anak-anak. Lagi pula tidak tergantikan dan tidak dapat diambil-alih, dan karena itu tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lain atau direbut oleh mereka.[55]

            Dalam hal ini, keluarga sangat mempunyai peranan penting dalam menanamkan segala nilai bagi kaum muda. dasarnya ialah orangtua dan anak mempunyai hubungan erat satu sama lain, sehingga penerapan pendidikan seksualitas sangat memungkinkan bagi kaum muda. Beberapa model pendampingan antara lain orangtua harus membicarakan seksualitas secara terbuka kepada anak, melakukan dialog seputar tentang bahaya seksualitas jika disalah artikan dalam hubungan dengan lawan jenis, lebih banyak menyibukan kegiatan harian seorang dengan membaca buku tentang seksualitas dan mengembangkan bakat dan minat. Beberapa model pendampingan dapat mendidik seorang anak, sehingga di masa muda seorang kaum muda dapat bijaksana dalam menyikapi segala realitas dan kecenderungan dalam diri berkaitan dengan perilaku yang tidak bertanggung jawab.

5.2 Orangtua mesti melakukan pendampingan dan membatasi penggunaan gadget pada kaum muda

Kehadiran media sosial sangat mempengaruhi perilaku seksual kaum muda. Kaum muda yang mengakses media sosial khususnya berkaitan dengan dunia pornografi. Kaum muda sering menimbulkan aksi-aksi yang tidak bertanggung jawab antara lain kaum muda yang cenderung larut dalam menikmati dunia hiburan yang berbau pornografi cenderung meniru serta memperagakan kembali dalam masa pacaran. Sikap meniru merupakan sifat naluri dasar pada masa pertumbuhan dan perkembangan kaum muda. Oleh sebab itu, orangtua perlu membatasi kaum muda dalam menggunakan gadget, sebab sangat mempengaruhi perilaku seksual mereka dalam hubungan masa dengan lawan jenis. Respon yang mesti dilakukan orangtua antara lain memperhatikan waktu belajar seorang anak, mengembangkan daya kreatif dari seorang anak dengan memanfaatkan media sosial sebagai ruang untuk mendapat informasi berkaitan dengan dunia pendidikan. Jika berbagai cara ini telah dilakukan orangtua sejak dalam kehidupan keluarga, maka akan membangkitkan pemahaman dan pendidikan tentang moral dan etika seksual yang bertanggung jawab bagi kaum muda. Pendidikan demikian dapat mendorong kaum muda untuk menjadi generasi muda yang berkualitas yang mempunyai integritas diri.

5.3 Pemahaman dan pendidikan moral perkawinan Kristiani pada kaum muda adalah tanggung jawab utama orangtua

Anak merupakan anugerah terindah dari Tuhan. Kehadiran seorang anak dalam keluarga membawa warna dan sukacita tersendiri bagi suami dan istri. Kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan buah dari lambang cinta antara kedua orangtua. Dasar kehidupan bersama yang dibangun suami dan istri berdasarkan maksud dan tujuan Allah yakni demi suatu tindakan prokreasi dan pendidikan anak. Orangtua sedianya harus menghadirkan dan menunjang bangunan hidup rohani dan jasmani seorang anak.

Gereja Katolik mengajak dan menghimbau agar setiap orangtua untuk membangun kehidupan bersama harus berdasarkan cinta kasih yang murni dan berdasarkan bimbingan terang moral perkawinan Kristiani dan berdasarkan norma seksualitas agar kehidupan keluarga mendatangkan kebahagiaan dan keharmonisan. Pendidikan moral seksualitas menjadi tugas utama dari kedua orangtua. Kanon 1136  mengatakan orangtua  mempunyai  kewajiban  sangat  berat  dan  hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.[56]

Pendidikan moral seksualitas berguna untuk membentuk dan mendidik mentalitas, nilai-nilai sosial kemasyarakatan, seksualitas dan aspek religius yakni tentang penghayatan iman seorang anak. Kanon 1071 paragraf 6, mengungkapkan bahwa orang mempunyai peranan penting dalam pendidikan dan pemeliharaan seorang anak serta mempunyai hak penuh dalam menentukan anak seorang anak khususnya berkaitan dengan pernikahan. Model pendidikan demikian dapat mendorong seorang anak untuk menghargai harkat dan martabat sebagai seorang manusia yang dianugerahkan dengan martabat tubuh dan seksualitas. Pendidikan seksualitas dan aktivitas harus melibatkan setiap pribadi dalam proses belajar “dengan ketekunan dan konsistensi, tentang makna tubuh.[58] Masyarakat luas dapat menghasilkan program pendidikan tentang efektivitas dan seksualitas yang menghormati tahap kematangan setiap pribadi dalam kedua bidang tersebut sekaligus mengembangkan rasa hormat terhadap harkat dan martabat tubuh orang lain.[59] Seorang kaum muda mempunyai tanggung jawab atas dirinya sendiri maupun orang lain.

Penyimpangan terhadap seksualitas tentunya merusak jati diri dan martabat manusia sebagai citra Allah. Penyimpangan terhadap harkat dan martabat manusia merupakan masalah yang sangat ditentang oleh Gereja. Sebab Gereja sangat menghargai manusia sebagai makhluk yang lebih mulia dan kudus dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Pemahaman nilai moral seksualitas dan moral perkawinan Kristiani mesti menjadi landasan dasar bagi kaum muda. Pemahaman dan pendidikan nilai moral yang dimulai dari dalam keluarga. Kanon 226 paragraf 2 mengungkapkan bahwa, orangtua, karena telah memberi hidup kepada anak-anaknya, terikat kewajiban sangat berat dan mempunyai hak untuk mendidik mereka; maka dari itu adalah pertama-tama tugas orangtua  kristiani untuk  mengusahakan  pendidikan  kristiani  anak-anak  menurut  ajaran diwariskan Gereja.[60]

Sikap dasar yang mesti dibangun orangtua ialah mendorong dan membentuk pribadi seorang anak untuk berkembang dalam aspek rohani dan aspek jasmani. Pentinglah bahwa pembinaan mereka sendiri tidak hanya mencakup aspek-aspek profesional, tetapi juga kesiapan budaya dan spiritual.[61] Kedua aspek yang ada dapat menjadi landasan bagi kaum muda dalam membentuk jati diri. Berdasarkan pengalaman hidup dalam jenjang perkawinan akan dampak baik maupun buruk mesti secara terbuka diceritakan kepada kaum muda. Dasar bangunan hidup rohani dan jasmani orangtua dapat mempengaruhi mental dan psikologi seorang anak. Dasar pengalaman dapat membuka wawasan dan cara pandang orang muda dalam meniti kehidupannya di dalam masa pacaran. Pengalaman hidup perkawinan orangtua yang dapat mempengaruhi kepribadian kaum muda terkhususnya dalam pembentukan nilai moral perkawinan dapat membantu kaum muda dalam membangun kehidupan secara bijaksana dan bertanggung jawab.

6.   KESIMPULAN

Pemahaman minim tentang seksualitas dan moral perkawinan Kristiani merupakan masalah dasar terjadi hubungan seks bebas dalam kehidupan kaum muda Kristen. Pemahaman tentang seksualitas hanya seputar pada hubungan biologi tanpa memperhatikan aspek spiritual dari seksualitas. Hubungan biologi berkaitan dengan bentuk tubuh secara lahiriah dan aspek spiritual berkaitan dengan jiwa atau roh yang hadir dalam tubuh manusia. Dengan demikian, hubungan seks bebas dalam kehidupan kaum muda hanya merujuk pada hubungan biologi semata yakni ketertarikan pada keindahan dan bentuk tubuh semata.

Hubungan seks bebas yang merujuk pada aspek biologi didorong oleh pemenuhan cinta palsu. Kaum muda mendasarkan cinta dalam masa hidup sebagai jalan untuk membuktikan kesetiaan kepada pasangan. Dasar ungkapan cinta palsu didukung dengan janji, komitmen dan tanggung jawab merupakan latar belakang dan model hubungan seks bebas. Model hubungan demikian sangat bertentangan dengan moral perkawinan Kristiani. Hubungan seks bebas yang terjadi pada kaum muda Kristen merupakan penyimpangan pada moral dan etika seksual dan tidak mengungkapkan dasar hubungan sebenarnya. Hubungan yang benar yakni di mana kedua pasangan saling mencintai dan memberi diri berdasarkan kasih dan kemurnian cinta, komitmen, janji, kesetiaan dan tanggung jawab moral sebagai dasar bagi seseorang sebelum memasuki jenjang perkawinan. Oleh sebab itu kaum muda Kristen mesti mendasarkan hubungan pada aspek moral dan etika seksual yang mencerminkan kasih dan cinta serta sikap penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Kaum muda yang mendasarkan cinta pada tatanan moral dan etika seksualitas yang bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong perwujudan kemurnian cinta dan moral seksualitas yang mengedepankan aspek rohani dan jasmani secara seimbang sebelum memasuki jenjang perkawinan.

 

 



[1]Fauzyyah, Farida Lina Tarigan dan Lukman Hakim, -Analisis Faktor Yang Memepengaruhi Perilaku Seks Bebas Pada Remaja di Masa SMA Negeri 1 Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Tahun 2021- Journal of Healthcare Technology and Medicine, 7:2, (2 Oktober 2021), hlm. 1528.

[2]Ibid.

[3]AIDS adalah penyakit berat akibat virus yang tersebar melalui pembuluh darah pada setiap orang yang sudah terinfeksi. Cara penyebaran virus ini meliputi empat cara penyebaran yakni melalui perilaku pertama, homoseksual, cara penyebaran masuk melalui cairan dalam tubuh yakni air mani, susu, cairan vagina, kedua melalui intravena melalui tindakan transfusi darah dari seorang kepada yang lain, ketiga, penyalahgunaan obat narkotika, kempat, heteroseksual yakni penyebaran akibat hubungan seksual dari satu pria kepada wanita yang sudah terkena infeksi.

[4]K. Prent, J. Adisubrata dan W.J.S Poerwardarminta, Kamus Latin-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 789.

[5]Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-laki dan Perempuan (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2020), hlm. 11.

[6]Konferensi Waligereja Indonesia, op. cit., hlm. 7.

[7]KWI, Kasih Setia Dalam Suka; Pedoman Persiapan Perkawinan Di Lingkungan Katolik (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm. 11.

[8]Konferensi Waligereja Indonesia, Panggilan dan Misi Keluarga dalam Gereja dan Dunia Dewasa ini, Bernadeta Harini Tri Prasasti (Penerj.), (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2018), hlm. 103.

[9]John W. Santrock, Remaja (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm.112.

[10]Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017), hlm. 43. Agustinus W. Dewantara menjelaskan: suatu nilai berkaitan dengan perbuatan manusia. Artinya perbuatan manusialah (dalam makna “perbuatan” dicakup pula aktivitas berpikir, mempertimbangkan, memutuskan, mempraktikkan, menindaklanjuti, dan seterusnya) yang langsung berperkara dengan suatu nilai.

[11]Asmat Purba dan Salon Mandi Mpu Nainggolan, “Pola Asuh Orang Tua Kristen Terhadap Anak Dalam Menghadapi Tantangan Kemajuan Zaman” dalam jurnal MONTESSORI: Jurnal Pendidikan Kristen Anak Usia Dini, 4:1 (Bandung), hlm. 11.

[12]Frans Ceunfin (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), hlm. 7.

[13]Erik Widodo dan Wisnu Sanjaya, “Sosialisasi Pencegahan Pernikahan Usia Dini Menurut UU Tahun 2019 Pada Warga Dusun Posong, Karangtengah”, dalam jurnal Intelektiva: Jurnal Ekonomi, Sosial dan Humaniora (E-ISSN 2686 5661), 2:10 (10 Mei 2021), hlm. 54.

[14]Paskalis Lina, op. cit., hlm. 187.

[15]Karl-Heinz Peschke, Etika Moral Kristiani jilid 1 (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 399.

[16]Paskalis Lina, op. cit., hlm. 3.

[17]Muhammad Azinar, “Perilaku Seksual Pranikah Berisiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan”, Jurnal Kesmas, 8:2 (Semarang: 2018), hlm. 155. http://journal. unnes. ac. id/nju/index.php/kemas.

[18]Karl-Heinz Peschke, loc. cit., hlm. 399

[19]Agustinus W. Dewantara, op. cit., hlm. 13.

[20]Mia Fatma Ekasari, Rosidawati, Ahmad Jubaedi, “Pengenalan Pacaran Pada Masa Remaja”, Jurnal Wahana Inovasi, 8:1 (Jakarta, Januari-Juni, 2019), hlm. 2.

[21]Ibid., hlm. 5.

[22]Charles M. Shelton, Moralitas Kaum Muda, penrj. Y. Rudiyanto (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 58.

[23]Konferensi Waligereja Indonesia, Pornografi dan Kekerasan dalam Media Komunikasi: Sebuah Jawaban Pastoral, Hadiwikarta (Penerj.) (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1998), hlm. 105.

[24]Nurani Soyomukti, Membongkar Aib Seks Bebas dan Hedonisme Kaum Selebriti (Bandung: Nuansa Cendekia, 2010), hlm. 121.

[25]Eka Sari Setianingsih, “Wabah Gaya Hedonisme Mengancam Moral Anak” dalam jurnal Malih Peddas, 8:2 (Semarang, Desember 2018), hlm 141. Dikutip pada tanggal 28 Februari 2022.

[26]Ibid., hlm 43.

[27]Eka Sari Setianingsih, op. cit., hlm. 145.

[28]Antonius Moa, “Seksualitas Manusia Sebagai Realitas Dan Panggilan Kepada Cinta Kasih”, dalam Jurnal LOGOS: Jurnal Filsafat-Teologi, 1:3 (1 Januari, 2004), hlm. 2.

[29]Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya” dalam jurnal Sari Pediatri, 11:2 (Bandung, Agustus 2009), hlm. 140. Dikutip pada tanggal 19 Januari 2022.

[30]Allan Rifandi Sumeleh, “Seksualitas: Suatu Tinjauan Etis Kristiani Terhadap Pemahaman Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon Tentang Hubungan SeksJurnal Tumou Tou, VI:2, (Bandung, 14 April 2019), hlm 129.

[31]Konferensi Waligereja Indonesia, Amoris Laetitia (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2017), hlm. 9.

[32]Ibid.

[33]Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, op. cit., hlm. 445.

[34]Ibid., hlm. 447.

[35]Diana Ariswanti Triningtyas dan Siti Muhayati, “Konseling Pranikah: Sebuah Upaya ss

http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JK

[36]Hasil Sidang Agung KWI dan Gereja Katolik Indonesia, “Pedoman Gereja Katolik Indonesia dan Gereja yang Mendengarkan” (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003), hlm. 22.

[37]Paskalis Lina, Moral Pribadi-Pribadi Manusia dan Seksualitasnya (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 2.

[38]Ibid.

[39]Ibid., hlm. 3.

[40]Ibid., hlm. 52.

[41]Ibid., hlm. 63.

[42]Ibid., hlm. 64.

[43]Ibid.

[44]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, Penerj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004), hlm. 12.

[45]Ibid., hlm. 120.

[46]Konferensi Waligereja Indonesia, op.cit., hlm. 36.

[47]Ibid., hlm. 25.

[48]Dini Rakhmawati, Chr. Argo Widiharto, Fitriana Khusnul Khotimah, “Religiusitas Sebagai Faktor Protektif Seks Pranikah di Kalangan Mahasiswa” Jurnal Satya Widya, XXXVI:1(Juni 2020), hlm. 61.

[49]Jose Granados, dkk. Accompanying Discerning, Integrating: A Handbook for the Pastoral Care of the Family According to Amoris Laetita (Ohio: Emmaus Road Publishing, 2017), hlm. 34-35.

[50]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, penerj. R. Purwa Hardiwardoyo (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), hlm. 49.

[51]Paus Fransiskus, Amoris Laetita, op.cit., hlm. 10.

[52]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, loc. cit., hlm. 49.

[53]Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-laki dan Perempuan, penerj. Norberta Yati Lantok, op. cit., hlm. 155.

[54]Karl-Heinz Peschke, Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III, penerj. Alex Armanjaya (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 284.

[55]Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-Laki dan Perempuan, penerj. Norberta Yati Lantok (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2020) hlm. 115.

[56]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 250.

[57]Hasil wawancara dengan Marianus Bio Dhae, Tenaga Pendidik di SMA St. Yoseph Freinademetz, pada tanggal 12 Januari 2022.

[58] Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-Laki dan Perempuan, penerj. Norberta Yati Lantok op. cit., hlm. 24.

[59]Ibid., hlm. 31.

[60]Ibid., hlm. 46.

[61]Ibid., hlm. 27.

Label: