TINJAUAN MORAL KRISTIANI TERHADAP SEKSUALITAS DI KALANGANPEMUDA-PEMUDI KRISTEN YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKS BEBAS
TINJAUAN MORAL KRISTIANI TERHADAP SEKSUALITAS DI
KALANGAN
PEMUDA-PEMUDI KRISTEN YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKS BEBAS
Albert
Mandat Minggu
Mahasiswa
Semester VIII Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere
email:
albertmandat@gmail.com
ABSTRAK
Analisis ini guna membahas tentang
tinjauan Etika Kristen terhadap hubungan seks bebas yang dilakukan kaum muda
Kristen. Hubungan ini tentunya sangat bertolak belakang dengan makna
seksualitas sebagai anugerah Tuhan dengan maksud agar manusia dapat melanjutkan
karya penciptaan Allah. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk
menemukan masalah dasar yang mendorong kaum muda Kristen yang melakukan
hubungan seks bebas dalam kehidupan mereka. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kepustakaan, di mana penulis mengkaji hubungan
seks bebas melalui kajian dan literatur dari berbagai sumber yang mengkaji
tentang masalah hubungan seks bebas. Penulis juga menelaah hubungan seks bebas
dalam terang moral perkawinan Kristiani guna mencari solusi dari masalah
hubungan seks bebas yang dilakukan kaum muda. Hal ini dimaksudkan untuk
membangkitkan kepekaan, kesadaran akan nilai moral seksualitas, kesucian dan
kekudusan harkat dan martabat kaum muda sebagai generasi dan penerus bangsa dan
negara serta Gereja. Hasil analisis bahwa kaum muda melakukan seks bebas
didorong oleh berbagai faktor yang memungkinkan seks bebas dilakukan, sehingga
dampak yang ditimbulkan sangat memperburuk kehidupan kaum muda. Oleh sebab itu,
penulis menawarkan berbagai solusi antara lain edukasi seksualitas, penerapan
pendidikan moral seksualitas sejak kaum muda masih dalam tahap pertumbuhan dan
perkembangan dari dalam keluarga dan lingkungan sekitar dalam berbagai kegiatan
kategorial.
Kata
Kunci: Perilaku, Kaum muda, Seks Bebas.
ABSTRACT
This
analysis is to discuss a review of the Christian Ethic of sexual promiscuity
among young Christian. This relationship is certainly in stark contrast with
the significance of sexuality as a gift from God in order for man to be able to
continue God's creative work. The purpose of this study is to find a basic
problem that propels youths who engage in casual sex in their lives. The method
used in this study is the study of literature, where the author examines sexual
promiscuity trough the study and literature of various sources that examine
sexual promiscuity. The writer also studied casual sex in the light of the
moral Christiani to find solutions to the problems of youths who engaged in
casual sex. It is intended to arouse sensitivity, chastity and holiness the
dignity and dignity of young people as succeeding generations of nations and
countries and the church. Analysis that youths engage in casual sex, making the
effects far worse for young people. Thus, the writer offers various solutions
such as sexuality education, the application of moral education sexuality since
young peoples are in the growing and development stages of families and
neighborhoods in a wide variety of categorical activities.
Key
Word: Behavior, Youth, Casual Sex.
1. PENDAHULUAN
Seksualitas adalah anugerah Tuhan
kepada manusia. Setiap manusia yang dianugerahi seksualitas dengan maksud untuk
menjalankan dan melanjutkan keturunan di dunia. Hal ini mengungkapkan bahwa
Allah melimpahkan tugas dan tanggung jawab kepada manusia merupakan karya misi
perutusan manusia dalam melanjutkan karya penciptaan Allah kepada manusia.
Tugas melanjutkan karya penciptaan ini merupakan cara berada Allah dalam diri
manusia dalam keturunan yang dihasilkan. Keturunan yang dihasilkan merupakan
percikan daya ilahi ke dalam diri sebagai beni baru yang dihasilkan ke dunia.
Dengan demikian, manusia yang diundang untuk ambil bagian dalam karya
penciptaan ini sedari kodrat kudus dan suci adanya, sebab Allah sendiri yang
memprakarsai karya penciptaan-Nya. Hal ini mengungkapkan bahwa seksualitas
sebagai cara berada Allah dalam diri manusia dalam misi melanjutkan keturunan.
Seksualitas
dalam hal ini merupakan cara berada Allah sebagai dimensi transenden hadir
dalam dimensi imanem yakni dalam wujud manusia. Daya ilahi yang hadir dalam
diri manusia mengharuskan manusia harus diwujudnyatakan dalam tindakan yang
benar yakni dalam tindakan seksualitas sesuai dengan tuntutan moral Kristiani
dan etika seksualitas. Namun sebaliknya pemaknaan akan seksualitas sebagai
perwujudan daya ilahi kini hanya sebuah slogan dalam kehidupan kaum muda
Kristen zaman sekarang. Kaum muda zaman sekarang banyak terjebak dalam kasus
hubungan seks bebas. Berdasarkan survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2017 (dilakukan per 5 tahun) mengungkapkan, sekitar 2% kaum muda
perempuan berusia 15-24 dan 8% kaum muda laki-laki telah melakukan hubungan
seks bebas dan 11% diantaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.[1]
Persoalan
hubungan seks bebas merupakan hubungan yang dilakukan tanpa adanya dorongan
dasar cinta dan sikap saling memberi serta menerima antara perempuan dan
laki-laki. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) dan Kemenkes pada Oktober 2013, menemukan sebanyak 63% kaum
muda sudah pernah melakukan hubungan seks bebas dengan kekasihnya maupun dengan
sesame didorong oleh kehendak bebas dalam diri kaum muda.[2] Hubungan
seks bebas yang dilakukan kaum muda zaman sekarang banyak dimodifikasi dengan
berbagai faktor antara lain mengakses media sosial yang bersifat pornografi,
pergaulan bebas, maraknya kumpul kebo, minimnya pengetahuan tentang
seksualitas, akibat paham hedonisme dan kurangnya keterlibatan dalam kehidupan
menggereja. Oleh sebab itu, dari berbagai faktor pendorong ini melahirkan berbagai
dampak yang banyak merugikan dan mencoreng serta menodai harkat dan martabat
kaum muda. Dampak yang ditimbulkan antara lain kehamilan di luar nikah, aborsi,
penelantaran kaum perempuan dan anak, depresi dan tekanan serta timbulnya
penyakit seperti sifilis, Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS)[3], gangguan
mental. Berbagai dampak ini, merupakan
gambaran dari seks bebas yang dilakukan kaum muda zaman sekarang.
Kasus
hubungan seks bebas sangat merusak dan menodai seksualitas. Aktivitas
seksualitas yang dilakukan kaum muda menunjukan indikasi sepihak yakni sikap
egois dengan mengedepankan kenikmatan sebagai tujuan yang mesti dipenuhi.
Kenikmatan dalam hal ini merupakan dasar yang dimaksudkan yang mesti dipenuhi.
Kenikmatan yang diperoleh dengan seks bebas dapat membebaskan kaum muda dari
hasrat seksual dan nafsu birahi dalam diri kaum muda. Oleh sebab itu, setiap
kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas mengedepankan kenikmatan sementara
merupakan maksud yang mesti dipenuhi. Dalam hal ini, kasus hubungan seks bebas
tidak mendatangkan kenikmatan sebagaimana dilakukan oleh suami dan istri, sebab
hubungan yang dilakukan oleh kaum muda tidak berdasarkan cinta yang murni,
pemahaman yang benar tentang seksualitas dan tidak berdasarkan ikatan janji
perkawinan sebagaimana dilakukan oleh suami dan istri, namun hanya
mengedepankan kenikmatan sebagai tujuan yang mesti dipenuhi. Berdasarkan latar
belakang permasalahan demikian penulis ingin menggali masalah hubungan seks
bebas dalam terang moral perkawinan Kristiani dan etika seksualitas dengan
maksud agar membangkitkan kepekaan dan kesadaran kaum muda akan penghayatan
cinta murni, moral dan etika seksualitas dalam kehidupan kaum muda.
2.
METODE PENELITIAN
Metode yang
digunakan dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan, di mana penulis menggali dan menemukan
berbagai sumber dan literatur yang membahas secara khusus tentang hubungan seks
bebas. Berbagai sumber yang ada kiranya dapat membantu penulis dalam menelisik
dan mengobservasi masalah hubungan seks bebas dengan maksud untuk mencari dan
menemukan solusi yang mutakhir dari masalah
yang ada.
3.
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Seks
Secara etimologis, kata
seks berasal dari bahasa Latin, yakni sexus
yang artinya jenis kelamin. Term
sexus diturunkan dari kata kerja
secare yang artinya memotong, membagi, membela atau memisahkan.[4]
Seks dan jenis kelamin dalam penggolongannya merujuk pada identitas
pria dan wanita sebagai manusia dan jantan dan betina dikhususkan bagi
binatang. Seks selalu berhubungan dengan aspek biologis antara lain organ-organ
reproduksi atau alat-alat kelamin, dan seksualitas berkaitan dengan aspek
psikologis manusia. Seks dipandang mendefinisikan dua kategori biologis (yang
berasal dari diri asali feminin-maskulin) yang dimiliki seseorang.[5]
Aspek biologis secara khusus merujuk pada pribadi seseorang yakni dia sebagai
laki dan dia sebagai perempuan yang tampak dalam alat kelamin. Aspek psikologis
merujuk pada perasaan, apa yang dirasakan dan
apa yang dipikirkan. Pada hakikatnya, dari jenis kelamin manusia menerima ciri
khas yang pada tingkat biologis, psikologis dan spiritual, menjadikan orang
tersebut seorang perempuan atau laki-laki, dan dengan demikian sangat
menentukan perkembangannya menuju kedewasaan.[6]
Kedua aspek ini dapat membentuk seseorang dalam tindakan yang berhubungan
dengan kenikmatan seksual yakni dengan melakukan seks bebas, menonton film
porno, berciuman dan tindakan pemenuhan mutual cinta lainnya yang mendatangkan
kenikmatan sesaat.
Pengertian
seks selalu berhubungan dengan seksualitas. Seks dan seksualitas merujuk pada
alat kelamin dan jenis kelamin. Seksualitas adalah ciri khas dan sifat kepriaan
dan kewanitaan yang menunjukan dan memperlihatkan kepribadian manusia dalam
fisik, psikis dan spiritual.[7]
Aspek seks dan seksualitas menentukan alat kelamin seorang perempuan dan laki
serta menentukan cita rasa seluruh keberadaan seseorang sebagai seorang pria dan wanita dalam
relasi antar individu. Perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita
mendatangkan sikap persatuan intim dalam satu rasa yakni saling memiliki dalam
tindakan saling mencintai. Dalam persatuan ini, mereka saling memberi dan
menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing dengan maksud untuk membentuk
suatu persekutuan yang intim. Namun praksisnya
hal ini tidak sejalan dengan nilai dan makna asali dari seks dan seksualitas.
Eksploitasi seksual terhadap anak-anak menjadi salah satu kenyataan yang paling
keji dan jahat dari masyarakat zaman sekarang.[8] Kaum
muda cenderung melihat seks sebagai ruang atau tempat untuk mendatangkan
kenikmatan. Kenikmatan yang diperoleh dengan melakukan seks bebas.
3.2 Seks Bebas
Seks bebas
merupakan sebuah slogan yang tidak asing dalam dunia zaman. Hubungan seks bebas
menjadi suatu model relasi intim yang terjadi tanpa adanya ikatan cinta. Model
hubungan demikian merupakan gaya hidup modern yang dilakukan kaum muda oleh
sebab itu tidak dapat dibatasi oleh suatu dimensi apapun. Seks bebas merupakan trend hidup baru yang dikembangkan kaum
muda zaman. Seks bebas merupakan suatu praktik hubungan seksual yang
dilakukan kaum muda dalam bentuk hubungan intim dengan lawan jenis tanpa adanya
ikatan cinta yang melegitimasi hubungan yang ada. Seks memang pada dasarnya
merupakan naluri dan unsur naluri. Namun seks bebas merupakan suatu praktik hubungan
yang menentang norma dan etika seksualitas.
3.3 Faktor yang Mempengaruhi Seks Bebas
3.3.1 Minimnya Pengetahuan
Tentang Seksualitas
Keluarga menjadi medan atau tempat
pertama bagi seseorang dalam pembentukan jati diri. Dalam pembentukan jati
diri, seorang anak dididik dan dilatih oleh anggota keluarga. Para ahli
genetika perilaku berpendapat bahwa untuk menganalisis peranan lingkungan terhadap
interaksi bawaan–lingkungan dalam setiap pengalaman dalam kehidupan kaum muda
mesti dipertimbangkan secara baik.[9]
Dalam pembentukan itu, peranan orangtua dilihat sangat penting dalam menanamkan
segala nilai[10]
kehidupan yang perlu bagi seorang sebagai bekalnya di kemudian hari. Jika pada
tahap ini, sikap pengawasan dan pembentukan jati diri seorang anak tidak
dididik dan dibentuk secara baik akan mendatangkan kesulitan bagi seorang
ketika bersosialisasi dengan lingkungan di luarnya.
Pendidikan dan model pembentukan
dari orangtua dalam keluarga sangat menentukan jati diri seorang anak sebelum
memasuki jenjang perkawinan. Orang tua adalah bagian
dari gereja. Gereja terdiri dari orang tua dan anak-anak. Keberhasilan
pendidikan dalam keluarga dilihat dari bekerja
sama orangtua dalam menanamkan pendidikan rohani dan moral seksual kepada kaum
muda.[11]
Segala aspek pembentukan dalam rohani dan moral seksual menjadi bekal bagi kaum
muda.
Hubungan seks bebas mudah terjadi jika
tingkatan pendidikan tentang seksualitas tidak mendapat perhatikan secara baik
oleh orangtua. Menurut Frans Ceunfin, bahwa: Para orangtua yang menyia-nyiakan
waktu pendidikan moral seksualitas dan etika seksualitas mendatangkan
malapetaka bagi jutaan kehidupan setiap hari.[12] Rendahnya tingkat pendidikan orang
tua, anak dan masyarakat membuat terjadinya hubungan seks bebas.[13]
Akhir-akhir ini makna dan nilai
seksualitas telah mengalami pergeseran dalam pola pikir dan cara pandang. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu konsep yang keliru
dalam memahami dan memaknai seksualitas itu sendiri. menurut kaum muda melihat
bahwa tindakan seks adalah sebuah keharusan dalam menunjukkan keseriusan kepada
pasangan. Kaum muda melihat seksualitas adalah jalan untuk pemenuhan nafsu
birahi demi memperoleh suatu kenikmatan dan pembuktian akan cinta yang ada.
Seringkali hubungan seks bebas semata-mata didasarkan pada upaya mendapatkan
kesenangan dan kenikmatan seksual.[14]
Dominasi nafsu yang
tidak terkontrol ini akan berdampak buruk pada pasangan. Hal akan berpengaruh
pada terlambatnya perwujudan nilai moral
diakibatkan oleh ekspresi cinta dilihat sebagai tempat untuk pelampiasan nafsu.[15]
Tindakan ini tentunya secara tidak menolak segala paham tentang seksualitas. Pemahaman akan pentingnya pembekalan
pengetahuan tentang seksualitas dalam diri kaum muda zaman sekarang memang
sangat dibutuhkan. Menurut Ron Rolheiser sebagaimana dikutip oleh Paskalias
Lina mengatakan seksualitas sebagai energi dalam diri kita yang mendorong kita
dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan gembira, mempunyai
afeksi, compassion, membangun intimasi, dan relasi dengan diri sendiri, orang
lain dan Tuhan.[16]
Pembekalan seksualitas dilihat
sebagai jalan untuk mengurangi tindakan seksual. Seksualitas
dan perilaku seksual dianggap sebagai hal yang biasa di kalangan kaum muda,
bahkan tidak sedikit yang menjadikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi.[17]
Pembekalan yang ada harus dimulai sejak masa kanak dalam hal ini orangtua mempunyai
tugas dan peranan bagi kebajikan pertumbuhan dan perkembangan kaum muda dalam
kaitan dengan seksualitas. Menurut Karl-Heinz Peschke mengatakan bahwa cinta
kebajikan selalu akan berusaha secara baru lagi, agar juga dapat mengendalikan
maksud.[18]
Pembekalan seksualitas dapat membantu kaum muda akan mengontrol diri dan
menolak segala tindakan yang mengarah pada hubungan seks di luar perkawinan.
3.3.2 Pergaulan Bebas
Pergaulan bebas menjadi salah faktor
pemicu terjadinya hubungan seks bebas. Model pergaulan bebas umumnya terjadi
pada kehidupan kaum muda tidak berlandaskan dan berdasarkan sikap tanggung
jawab serta keputusan bijak dalam mengambil suatu sikap yang baik, pantas dan
berdaya guna bagi diri sendiri maupun orang lain. Agustinus W. Dewantara menegaskan
bahwa: “kebebasan mengandaikan dua hal, yaitu: tahu dan mau! Artinya, hanya
apabila manusia itu mengetahui dan menghendaki, ia disebut, manusia bebas, dan
dengan demikian ia bertanggung jawab atasnya. Kehilangan salah satu syarat ini,
manusia tidak bertanggung jawab atas tindakannya”.[19]
Masa pergaulan dengan lawan jenis
menjadi tahap awal sebelum memasuki jenjang perkawinan. Pada umumnya, masa
pengenalan sebagai sebuah jalan, proses, kesempatan untuk memahami dan
mengakrabkan diri dengan orang lain secara mendalam dari hati ke hati. Pada masa ini biasanya remaja melakukan
pendekatan antar individu
dari kedua lawan jenis, yang ditandai dengan saling pengenalan
pribadi baik kekurangan dan
kelebihan dari masing-masing
individu.[20]
Dalam tindakan mengenal ini akan timbul rasa ingin tahu (high curiosity) yang
dibaluti dengan rasa keingintahuan dan coba-coba dalam kaitan dengan hubungan
seks. Perilaku seksual berisiko dan tempat yang mendukung
untuk melakukan perilaku seksual
berisiko yaitu berciuman,
mengusap-ngusap tangan atau berpegangan
tangan serta memeluk, dan
tempat yang mendorong
perilaku seksual berisiko yaitu
tempat gelap dan sepi.[21] Rasa keingintahuan akan semakin
mempengaruhi gejolak dari dalam diri dan memuncak pada suatu tindakan hubungan
intim. Hubungan intim menjadi fokus utama dalam hubungan percintaan anak-anak
atau kaum muda demi suatu kenikmatan. Salah satu fakta yang terlewati bila
menjelaskan perbuatan seksual kaum muda ialah kenyataan sederhana bahwa seks itu sesuatu yang memberikan
kenikmatan.[22]
Fenomena demikian merupakan sebuah gambaran dan jalannya sebuah tindakan
perkawinan dini. Nilai kenikmatan dan cinta dipatrikan dalam cara dan tindakan
yang salah merupakan suatu perbuatan penyimpangan dari makna asali cinta itu
sendiri. Hal yang boleh diketahui ialah
butuhnya sikap pengontrolan diri dari kedua pihak masing-masing. Dengan
demikian, sikap pengontrolan diri yang ketat akan menanggalkan segala gejolak
negatif dari dalam diri.
3.3.3 Akibat Perkembangan
Media Sosial
Perkembangan media sosial sangat
mempengaruhi kehidupan kaum muda zaman sekarang dalam segala lapisan
keberadaan. Hal itu terlihat dan terungkap jelas, di mana banyak dari kaum muda
mengakses secara bebas dunia internet dengan segala tampilan, iklan, aplikasi
dan konten-konten berbahaya. Dasar dari tindakan kaum muda didorong oleh faktor
kebebasan. Berhadapan dengan media sosial, kaum secara egois dan saksama
mementaskan sikap kebebasan dengan mengakses media sosial yang berbaur
pornografi.
Kata “bebas atau kebebasan” mampu
mengafirmasikan dampak baik maupun buruk bagi seorang kaum muda, jika tidak
secara bijak dan bertanggung jawab dalam penggunaan media yang ada. Kaum akan
muda mudah terjebak dalam mengakses konten-konten yang berbaur pornografi dan
konten-konten berbahaya lainnya yang mampu meng formatisasi daya rasionalitas,
etika, tindakan dan moral seorang kaum muda. Dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 53
mengatakan bahwa:
Pornografi dalam media massa diartikan sebagai suatu
pelanggaran terhadap hak tubuh manusia baik pria maupun untuk dilindungi suatu
kerahasiaannya, suatu pelanggaran yang mengurangi arti dan tubuh manusia
sebagai suatu obyek anonim yang disalahgunakan dengan tujuan untuk memuaskan
hawa nafsu. Kehadiran pornografi juga sangat mempengaruhi perkembangan moral
pribadi dan perkembangan yang sehat dan matang, lebih-lebih dalam perkawinan
dan kehidupan keluarga, di mana kepercayaan timbal balik dan keterbukaan serta
integritas moral pribadi dalam pikiran dan perbuatan begitu penting.[23]
Kehadiran media sosial telah
mempengaruhi pola pikir dan tindakan kaum muda terlebih khusus dalam hal ini
berkaitan dengan hubungan timbal balik dalam dunia percintaan. Hal itu akan terlihat
pada pemaknaan cinta yang diikutsertakan dengan dorongan hawa nafsu yang tidak
beraturan. Hal ini merupakan dampak dari tindakan kebebasan dalam menggunakan
media sosial dalam mengakses situs-situs berbau pornografi. Dampak dari
tindakan yang ada ialah kaum muda akan bergejolak dan timbul rasa ingin tahu
serta rasa ingin mencoba dari dalam diri. Maksud dari tindakan yang ada nyata
merupakan sebuah tindakan yang melanggar nilai moral perkawinan, di mana media
sosial hanya sebagai perangsang naluri birahi seseorang dalam pemakluman cinta
yang salah. Hal itu dapat dilihat dari kesalahan seseorang dalam memandang
cinta sebagai tempat untuk pelampiasan hawa nafsu tanpa satu ikatan khusus. Hal
ini membuktikan bahwa kehadiran media sosial telah menyebabkan kaum muda
mengalami degradasi moral dalam tindakan pemenuhan cinta yang salah. Sikap dan
tindakan kaum muda di atas hanya bersifat menginginkan dalam artian memenuhi
hasrat hawa nafsu dan hasrat seksual.
3.3.4 Akibat Paham Hedonisme
Paham hedonis
mengartikan kenikmatan sebagai tujuan hidup. Paham hedonisme adalah paham yang
bertujuan mencari kesenangan, kenikmatan dan kepuasan diri.[24]
Masalah hubungan seks bebas merupakan bentuk relasi atau hubungan yang
mengutamakan kenikmatan. Hedonisme sangat berhubungan dengan kenikmatan
seksual, kekuasaan dan kebebasan dan pandangan hedonis merupakan pandangan hidup yang berdasarkan nafsu birahi.[25]
Paham hedonis mendorong
manusia mengutamakan kenikmatan sebagai tujuan utama yang harus dicapai. Gaya
hidup hedonis yang cenderung mengejar kesenangan tidak hanya pada
ketergantungan akan banyaknya materi, tetapi kesenangan dan kenikmatan bentuk
tubuh.[26]
Kenikmatan yang diperoleh dengan tindakan yang tidak bertanggung jawab akan
mendatangkan permasalahan bagi kehidupan seseorang. Kaum muda yang dipengaruhi
oleh paham hedonis secara egois mengutamakan maksud sepihak tanpa mempedulikan
harkat dan martabat orang lain.
Kenikmatan yang
diperoleh dalam hubungan seks bebas akan berdampak buruk bagi seseorang. Perolehan
kenikmatan yang keliru akan mempengaruhi segi psikologis dan psiko emosional seseorang. Seseorang akan melihat dan memandang segala
bentuk hubungan eksklusif sebagai tempat untuk membangkitkan naluri birahi. Free sex atau seks bebas merupakan
dampak dari hasil budaya hedonis yang menganggap seks bebas hanya perbuatan
biasa demi kepuasan diri sendiri dalam hubungan eksklusif.[27] Hal
ini yang terjadi dalam kehidupan kaum muda yang mengartikan hubungan dengan
lawan jenis sebagai jalan untuk memperoleh kenikmatan semata.
3.4 Dampak Hubungan Seks
Bebas
3.4.1 Hamil di Luar Nikah
Kehamilan dilihat sebagai dampak
utama dari hubungan seks antara pria dan wanita. Kehamilan merupakan ungkapan
keseluruhan cita-cita khas laki-laki atau perempuan yang menyatakan diri dalam
tingkah laku dan keaktifannya baik secara batin maupun secara lahiriah.[28] Kehamilan terjadi pada kaum muda yang belum
matang secara biologis akan berdampak buruk pada kematian jabang bayi dan
mengancam keselamatan seorang ibu yang melahirkan. Seorang perempuan yang hamil
pada usia muda belum memiliki kematangan secara biologis. Kematangan biologis
dilihat dari kematangan alat kelamin dan rahim seorang perempuan masih dalam
tahap pertumbuhan. Adapun masalah lainnya yakni akan berdampak pada abortus dan
berakibat munculah berbagai jenis penyakit lainnya yang senantiasa mengantar seseorang
pada rasa kecemasan, tekanan batin dan stres yang berlebihan.
Kehamilan
akibat dari hubungan seks diluar perkawinan merupakan suatu perbuatan yang
melanggar hak dan kewajiban seseorang. Pernikahan
anak tentunya menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip “yang terbaik untuk anak”,
sehingga hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi.[29] Seseorang mempunyai hak dan tanggung jawab
dalam menentukan arah dan hidupnya sesuai dengan tuntutan norma. Sikap
pelanggaran demikian disebabkan oleh adanya unsur keterpaksaan dalam pembuktian
cinta.
Kaum
muda yang melakukan seks di luar perkawinan merupakan gambaran penyimpangan
terhadap seksualitas. Penyimpangan seksual adalah
aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk
mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya.[30] Kaum
muda sering memasukan unsur seks sebagai jalan untuk pembuktian cinta dengan
mengungkapkannya dalam tindakan seks dalam masa pergaulan dengan sesama lawan
jenis. Pembuktian cinta yang ada, dalam pandangan kaum muda dilihat sebagai sebuah
keharusan. Pembuktian cinta yang salah melahirkan masalah kehamilan.
3.4.2 Maraknya Aborsi
Kaum muda cenderung
melakukan tindakan aborsi sebagai jalan untuk menutupi aib. Tindakan aborsi
yang dilakukan kaum muda merupakan suatu jalan yang memungkinkan hubungan seks
bebas terus terjadi dalam kehidupan kaum muda. dasarnya ialah dengan melakukan aborsi
dapat memutuskan sikap tanggung jawab atas dampak jika hubungan seks bebas
mendatangkan masalah bagi kaum muda. Dengan demikian, aborsi adalah pilihan
untuk membebaskan kaum muda dari rasa tanggung jawab dan keterikatan dengan
lawan jenis jika terjadi suatu masalah.
Gereja Katolik sangat mengecam bahkan
mengucilkan pelaku yang melakukan tindakan aborsi. Gereja melihat aborsi
merupakan suatu pelanggaran dosa berat terhadap hak hidup seseorang. St.
Thomas, Doctor Communis Gereja, mengajar bahwa aborsi merupakan dosa berat,
bertentangan dengan hukum kodrat.[31]
Aborsi merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan norma perkawinan
dalam Gereja. Pasalnya tindakan yang ada merupakan merupakan gambaran sikap
pembubuhan. Dekret Gratianus mengajukan kata-kata Paus Stefanus V mengatakan
bahwa ia yang membiarkan mati dengan aborsi, apa yang dikandungnya, adalah
pembunuhan.[32]
3.4.3 Mengalami Depresi dan
Tekanan
Perasaan minder atau malu adalah
sebuah gambaran depresi dan tekanan dalam diri seseorang ketika menghadapi
sebuah masalah dalam hidup. Perasaan malu dan minder sering terjadi pada kaum
muda yang melakukan hubungan seks bebas.
Perasaan ini merupakan sebuah gejala psikologi diakibatkan oleh suatu tindakan
atau perbuatan yang tidak bertanggung jawab atas dampak dari hubungan seks yang
dilakukan. Perbuatan ini, pada dasarnya tidak berdasarkan hasil pertimbangan
moral dan etika seksualitas yang baik, rendahnya tingkat kesadaran dan
kurangnya sikap respek terhadap pengetahuan tentang seksualitas, sehingga
mendatangkan gangguan mental dan berujung pada tindakan bunuh diri.
Dalam
menghadapi masalah demikian, kaum muda selain dibekali dengan pemahaman yang
intens tentang seksualitas, etika seksualitas dan moral seksualitas adapun hal
lainnya yakni kamu muda mesti dibekali dengan pemahaman suara hati demi
membatasi kebebasan dalam tindakan hubungan seks bebas. Suara hati merupakan
gambaran hati nurani yang mendatangkan sikap
kesadaran yang senantiasa memberikan informasi mengenai suatu perbuatan yang
baik maupun buruk dalam situasi yang konkret. Dalam KGK No. 1778
menyatakan bahwa:
Hati nurani harus dibentuk dan
keputusan moral harus diterangi. Hati nurani yang dibentuk baik dapat
memutuskan secara benar dan tepat. Dalam keputusannya, ia mengikuti akal budi
dan berorientasi pada kebaikan yang benar yang dikehendaki oleh kebijakan
Pencipta.[33]
Kaum
muda lebih mementingkan keinginan pribadi
tanpa mempertimbangkan suatu perbuatan berdasarkan dorongan suara hati akan
mendatangkan masalah dalam kehidupan mereka. Hal ini berkaitan dengan hubungan
seks bebas yang dilakukan kaum muda, di mana adanya kecenderungan egois dari
kaum muda yang mendewakan keinginan pribadi tanpa adanya rasa pertimbangan
antara baik dan buruk pada hubungan yang dilakukan. Oleh sebab itu, kaum muda
yang melakukan hubungan seks bebas secara tidak langsung menolak kehendak baik
dari dalam diri berdasarkan pertimbangan suara hati. Dengan demikian, kaum muda
cenderung melakukan perkawinan di luar hukum Gereja tanpa adanya pertimbangan
suara hati. Dalam KGK No. 1791
menyatakan bahwa:
Seringkali manusia yang bersangkutan
itu sendiri turut menyebabkan ketidaktahuan ini, karena ia tidak peduli untuk
mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasan berdosa hati nuraninya
lambat laun hampir menjadi buta. Dalam hal ini ia harus bertanggung jawab atas
yang jahat, yang ia lakukan.[34]
Pertimbangan suara hati dan memiliki
konsep pemahaman yang baik akan makna seksualitas dapat membantu kaum muda
dalam menjalani hubungan yang sehat. Jika hal ini tidak diperhatikan, maka kaum
muda cenderung minder dan malu terhadap masalah yang ditimbulkan. Perasaan malu
dan minder merupakan akibat dari tindakan kaum muda yang kurang memahami
seksualitas. Perasaan ini dilihat dari dampak dan akibat dari tindakan seks
bebas yakni kehamilan. Kehamilan yang terjadi di luar perkawinan mendatangkan
sikap cemoohan dan tudingan miring dari masyarakat.
3.4.4 Mengancam Keselamatan
Ibu dan Jabang Bayi
Kehamilan akibat hubungan seks bebas
pada usia yang relatif masih tergolong muda dan masih dalam tahap perkembangan
akan berdampak buruk pada kematian. Hal ini sering terjadi pada ibu dan jabang
bayi. Kematian ini dapat dilihat dari organ reproduksi seorang perempuan yang
belum matang secara biologis, rahim yang belum siap untuk mengandung, dan
payudara yang belum bisa menghasilkan kelenjar susu.
Adapun hal lainnya, yakni ketika
seorang ibu mau melahirkan, maka akan mengalami kesulitan dan kesakitan yang luar
biasa akibat bibir rahim dan vagina yang belum matang. Dan hal ini akan
berdampak pada kematian jabang bayi. Fenomena demikian sudah banyak terjadi
dikalangan kaum muda yang hamil di luar nikah dengan intensitas umur yang masih
tergolong muda. Berdasarkan masalah yang ada, maka diputuskan untuk melakukan
operasi sesar yakni mengangkat jabang bayi. Dalam tindakan operasi yang diambil
pula akan membahayakan keselamatan antara seorang ibu dan jabang bayi yang ada.
Dasar kematian seorang ibu dan
jabang bayi disebabkan oleh pemenuhan cinta yang buta dan pemahaman yang minim
akan bahaya terhadap perkawinan pada usia yang masih muda. Terhadap masalah
ini, maka dibutuhkan peran orang tua dalam mendidik dan membekali anak dengan
pemahaman tentang moral seksualitas dan perkawinan. Pengawasan
terhadap anak yang kurang menyebabkan mereka salah dalam pergaulan sehingga
cenderung melakukan hubungan seks di luar nikah.[35]
Hal ini mesti diperjuangkan dengan maksud untuk menghindari masalah kematian.
Orang tua adalah agen pastoral dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada
anak. Pendidikan yang diwariskan orangtua dalam keluarga hendaknya bersifat
menyeluruh yakni meliputi pendidikan fisik, kepribadian, intelektual, sosial,
iman dan moral.[36]
Keikutsertaan orang tua dilihat sebagai sikap dan tanggung jawab terhadap
terhadap anak.
3.5 Seksualitas
Istilah
seksualitas merupakan makna dan arti dari pengertian tentang seks. Pengertian
seksualitas jauh lebih luas dari pengertian tentang seks, sebab seks hanya
merujuk pada jenis kelamin. Dalam hal ini, pengertian seksualitas berarti
segala sesuatu yang menemukan seseorang sebagai pria atau wanita.[37]
Dalam seksualitas yang ada, aspek seksualitas menentukan model tingkah laku
pria dan wanita dalam hal ini lebih khusus berkaitan dengan relasi atau
hubungan antar pribadi. Maka peranan seksualitas dalam relasi antar pribadi
adalah mengada secara manusiawi, yaitu secara badani dan rohani bagi orang
lain.[38]
Menurut Ron Rolheiser sebagaimana dikutip oleh Paskalis Lina mendefinisikan seksualitas sebagai:
Energi yang indah, baik,
sangat kuat, dan suci yang diberikan oleh Tuhan da dialami dalam seluruh hidup
kita, sebagai dorongan yang tidak dapat ditekan yang mendorong untuk mengatasi
ketidaklengkapan, menuju kesatuan yang utuh. Seksualitas adalah energy dalam
diri kita yang mendorong kita untuk dapat mencintai, mempunyai afeksi,
compassion, membangun intimasi, dan relasi
dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan.[39]
Oleh sebab itu,
seksualitas tidak hanya dilihat sebagai aktus, namun
lebih jauh dari itu seksualitas sebagai sebuah anugerah Tuhan yang merupakan
daya yang memampukan manusia dapat berkembang
biak sebagaimana dikehendaki Allah menurut sabda-Nya.
3.6 Pandangan Kitab Suci
3.6.1 Perjanjian Lama
Secara umum dalam
Perjanjian Lama menggambarkan seksualitas sebagai ungkapan relasi antara bangsa
Israel dengan Yahwe. Relasi antara bangsa Israel dengan Yahwe terungkap dalam
setiap pengalaman hidup bangsa Israel bersama dengan Tuhan dalam segala
karya-Nya. Hal ini sebenarnya mengungkapkan relasi eksklusif dan adikodrati
antara Yahwe dengan bangsa Israel. Relasi yang ada mendatangkan sikap penolakan
dari Yahwe terhadap bangsa Israel dari sikap dan tindakan penyembahan berhala
yakni pemujaan kepada dewa-dewi baal. Relasi seksualitas ini yang membedakan
bangsa Israel dengan bangsa-bangsa kafir lainnya. Namun disisi lain, gambaran
tentang seksualitas dilukiskan dalam Kitab Kejadian tentang kisah penciptaan
sebagai dasar pemahaman tentang seksualitas. Dalam Kejadian difirmankan bahwa;
baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…, (Kej. 1:26a).
kesepakatan akan penciptaan manusia merupakan keputusan dan kehendak bebas dari
Tuhan yakni dalam Kitab Kejadian dilukiskan bahwa maka Allah menciptakan manusia
itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya, laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka, (Kej. 1:27). Gambaran kisah penciptan ini
mengungkapkan tentang persatuan laki dan perempuan sebagai model kesatuan
dengan Sang Pencipta.
Dalam Kitab
Kejadian, 2:24 berbunyi: “sebab
itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Model persatuan laki-laki dan perempuan
mengungkapkan relasi antar pribadi dalam sikap saling mengasih. Sikap saling
mengasihi yang ditopang dengan sikap penghargaan akan harkat dan martabat satu
sama lain, meskipun mempunyai perbedaan jenis kelamin. Dengan demikian, penghayatan tentang seksualitas dalam Kitab Kejadian mengungkapkan
hubungan kepartneran dalam persekutuan satu daging dan bukannya prokreasi.[40]
3.6.2 Perjanjian Baru
Pemahaman tentang
seksualitas dalam Kitab Perjanjian Baru secara lebih eksplisit dipahami sebagai
sebuah bentuk ajaran moral. Model seksualitas manusia ditransformasikan secara
lebih mendalam dalam model ajaran baru yang ditawarkan Yesus Kristus. Menurut
Paul M. Quay sebagaimana dikutip oleh Paskalis Lina mengatakan Dia Kristus
adalah kodrat kemanusiaan yang sempurna. Dia adalah norma segala sesuatu yang
kita lakukan, pikirkan dan harapkan. Misteri seksualitas manusia adalah
keserupaannya dengan Kristus sendiri.[41]
Keserupaan dalam hal ini dapat dilihat dari model kesatuan yang intim antara
laki-laki dan perempuan sebagai kehendak dan rencana Allah sejak awal
penciptaan. Yesus secara eksplisit mengambil referensi-referensi biblis, baik
pada kitab Kejadian 1 (Mat 19:4; Mark 10:6) maupun dalam pada
Kejadian 2:24 (Mat 19:5; Mark 10:7) sebagai
upaya Yesus menunjukan perbedaan seksualitas antara manusia menjadi laki-laki
dan perempuan merupakan bagian dari rencana Allah.[42]
Pandangan Yesus
tentang seksualitas merupakan suatu panggilan dan tawaran hidup perawan sebagai
suatu model hidup yang murni dalam relasi dengan Tuhan dan sesama. Sebagaimana
difirmankan Yesus dalam Injil Matius, berbunyi: “Tetapi Ia berkata kepada mereka: tidak semua orang
mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniakan saja. Ada orang yang
tidak dapat kawin karena memang ia lahir demikian dari Rahim ibunya, dan ada
orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat
dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga”, (Mat. 19:11-12). Menurut Ronald Lawler sebagaimana dikutip oleh
Paskalis Lina mengatakan -Yesus mengajarkan bahwa keutuhan seksualitas
manusiawi dihayati bukan semata-mata dalam hidup perkawinan, melainkan juga dalam
hidup selibat yang dipersembahkan bagi Allah-.[43]
3.7 Pandangan Magisterium
Gereja
3.7.1 Ensiklik Familiaris
Consortio
Ensiklik Familiaris Consortio memusatkan argumennya pada dasar kehidupan
keluarga sebagai komunitas bersama atas dasar cinta. Sinode terakhir para uskup
di Roma dari tanggal 26 September hingga 25 Oktober 1980 mengutarakan suatu
tanda bahwa Gereja mencurahkan perhatian yang mendalam terhadap masalah
perkawinan dalam keluarga.[44] Keluarga menjadi tempat pertama
bertumbuhnya moral. Setiap anggota keluarga diharapkan agar dapat bekerja sama
dan berpartisipasi demi membangun kehidupan bersama berdasarkan cinta. Ensiklik
Familiaris Consortio mengungkapkan,
Penalaran manusia sudah menunjukan
bahwa pernikahan itu tidak dapat diterima dengan memperlihatkan bahwa tidak
meyakinkan juga mengadakan “eksperimen” dengan manusia, yang martabatnya
meminta supaya ia harus senantiasa dan hanya merupakan tujuan cinta kasih
penyerahan diri, tanpa pembatasan waktu atau kondisi manapun lainnya.[45]
Masalah hubungan seks bebas sama
sekali tidak mengartikan suatu bentuk model perkawinan yakni persatuan antara
suami dan istri yang melahirkan keturunan. Hubungan seks bebas merupakan suatu
praktik hubungan ditolak oleh Gereja, sebab menurut Paus Yohanes Paulus II
memandang bahwa cinta eksklusif antara suami dan istri mendorong mereka untuk
menghasilkan keturunan. Dasar pembentukan cinta berakar dalam penyerahan
pribadi yang menyeluruh antara suami-istri dituntut demi kesejahteraan
anak-anak.[46]
Dasar penolakan Gereja dilandaskan
pada hakikat dasar suatu perkawinan yakni untuk menghasilkan keturunan
berdasarkan pemahaman moral perkawinan yang benar. Keturunan yang dihasilkan
melalui hubungan seksual merupakan gambaran kekayaan spiritualitas moral.
Pasangan suami-istri senantiasa mengambil bagian dalam melanjutkan keturunan
sesuai dengan tuntutan moral perkawinan. Oleh sebab itu, Gereja senantiasa
berjuang dan menolak setiap praktik hubungan seks bebas karena tidak
berdasarkan moral perkawinan. Hubungan seks bebas merupakan suatu praktik
hubungan yang bertentangan dengan makna seksualitas dalam moral dan perkawinan
Gereja. Dalam ensiklik Familiaris
Consortio art 68, Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan bahwa pernikahan dan
hidup keluarga yang dikehendaki Allah dalam tindakan-Nya menciptakan dunia
secara intrinsik merujuk pada pemenuhan dalam Kristus.[47]
3.5.2.4 Ensiklik Amoris
Laetitia
Anjuran Apostolik Pasca Sinode Amoris Laetitia lahir karena adanya
sikap keprihatinan Paus Fransiskus terhadap situasi kehidupan keluarga Katolik
saat ini. Beberapa masalah perkawinan yang menjadi titik fokus Paus Fransiskus
yakni berkaitan dengan masalah bertambahnya pasangan muda yang memilih untuk
hidup bersama. Namun kaum muda tidak terbuka hati dan pikiran untuk membentuk
persekutuan bersama melalui sakramen perkawinan dan berbagai kasus pornografi
akibat penyalahgunaan barang-barang teknologi. Paus Fransiskus melalui seruan
apostoliknya kembali menyuarakan dan mendesak agar para agen pastoral turut
terlibat terhadap setiap persoalan dalam keluarga Kristiani untuk mengatasi
masalah perkawinan serta mencari solusi terhadap setiap masalah hubungan seks
bebas yang merupakan salah satu bentuk dari hubungan seks tanpa ikatan janji
perkawinan yang dilakukan kaum muda. Masalah penyimpangan seksual merupakan
masalah yang sangat ditolak oleh Gereja demi
menghargai martabat manusia yang jauh lebih tinggi dari segala ciptaan Tuhan
yang lainnya.[48]
Ensiklik Amoris
Laetitia kembali mendesak agar para pelayan pastoral lebih mengutamakan
prinsip belas kasih dan penyatuan kembali pasangan daripada menghukum
pasangan-pasangan yang hidup dalam situasi yang tidak benar.[49]
Dalam hal ini, Gereja Katolik akan tetap bertanggung jawab menghargai, merestui
dan mendampingi kaum muda agar tetap setia berdasarkan perjanjian, komitmen dan
tanggung jawab dalam hukum perkawinan, meskipun hubungan seks dilakukan sebelum
dipersatukan dalam Gereja. Ajaran Gereja dimaksudkan untuk "membantu pasangan
agar menghayati persekutuan suami-istri, dalam segala dimensinya, bersama
dengan tanggung jawab mereka untuk meneruskan kehidupan.[50]
Paus Fransiskus dalam ensiklik Amoris Laetitia menegaskan keluarga
harus menghadirkan wajah kerahiman Allah bagi anak-anak. Perwujudan wajah
kerahiman Allah diungkapkan dalam tindakan Paus Fransiskus yang membawa seorang
melakukan hubungan hubungan seks tanpa ikatan janji perkawinan masuk dalam sukacita
Gereja.[51]
Gereja melihat bahwa model hubungan seks bebas merupakan sebuah pelanggaran
terhadap kemurnian cinta, tetapi dapat dibenarkan karena komitmen dan janji
yang sudah dibangun dalam masa pacaran namun tetap disatukan dalam sakramen
perkawinan.
4
HASIL PEMBAHASAN
4.4 Seks Bebas Bertentangan
dengan Etika Seksualitas
Dasar penolakan
demikian dilihat dari hubungan seks bebas yang sama sekali tidak mendatangkan
dan mencerminkan model dan etika seksualitas dalam sebuah hubungan. Dalam hal
ini, berkaitan dengan etika seksualitas dibutuhkan penalaran kritis dan
penghayatan dalam mengedepankan sikap respek yang santun
dalam menghidupi etika dalam seksualitas dalam relasi dengan lawan jenis.
Dasarnya ialah bahwa setiap manusia diciptakan dan dianugerahkan dengan akal
budi dan hati nurani dengan maksud agar setiap orang mampu memetahkan segala
bentuk tingkah laku dalam diri mengarah kepada suatu perbuatan yang bertanggung
jawab dan mengedepankan nilai moral. Hal ini
dibutuhkan suatu proses dalam setiap pertumbuhan dan perkembangan seksualitas
entah dalam diri maupun di luar diri dalam relasi dengan lawan jenis. Dengan
demikian, pertanggungjawaban dalam pertumbuhan
dan perkembangan seksualitas sangat dibutuhkan
dalam setiap proses kematangan seksualitas.
Hububungan seks
bebas yang dilakukan kaum muda Kristen sangat bertentangan dengan etika
seksualitas. Hubungan seks bebas yang dilakukan tidak sama sekali mencerminkan
penghargaan dan penghormatan terhadap etika dan moral seksualitas serta tidak
berdasarkan proses dalam sikap saling mencintai, namun hanya sekadar
pelampiasan hawa nafsu. Motif utama yang dibangun ialah sikpa kebebasan dalam
diri kaum muda yang sekadar mencari objek demi memuasakan keinginan dan keegoan
pribadi. Tentulah intuisi gamblang yang diserupakan dengan maksud sepihak
merupakan gambaran model ketidakseimbangan dalam diri kaum muda berkaitan
dengan relasi dengan ssesama jenis. Faktanya ialah hubungan seks bebas
bersumber dari naluri kesesatan yakni keegoan pribadi yang sama sekali tidak
bertanggung jawab dalam memetahkan realitas yang sebenarnya mempunyai sumbangsi
positif bagi pribadi seseorang. Dalam hal ini, hubungan seks bebas layaknya
mengungkapkan tumpulnya hati nurani dan akal budi kaum muda dalam menilai
segala segala tingkah laku yang mendatangkan pelanggaran terhadap nilai moral
da etika dalam seksualitas.
Adapun hal lain
yang ditekankan ialah hubungan seks bebas sama sekali tidak mencerminkan maksud
dan tujuan dari anugerah seksualitas yang dikaruniakan Tuhan. Tuhan
mengaruniakan seksualitas demi tujuan prokreasi dan pendidikan anak. Maksud dan
tujuan ini sama sekali tidak terdapat dalam hubungan seks bebas, sebab tujuan
yang ada hanya diperuntukan bagi pasangan suami dan istri yang sudah secara sah
diberkati dalam sakramen perkawinan. Oleh sebab itu, secara spesifik hubungan
sek bebas yang dilakukan kaum muda berdasarkan kesempatan pribadi antar
individu yang dilihat dari hubungan intim yang dilakukan. Kesepakatan ini sama
sekali tidak mencerminkan penghargaan terhadap moral dan etika seksualitas,
karena kesepakatan yang ada dimodifikasi oleh dorongan motif yang tidak murni
yakni dorongan hawa nafsu.
4.5 Seks Bebas Bertentangan
dengan Moral Seksualitas dalam Sebuah Perkawinan
Tuntutan
moral seksualitas dalam sebuah hubungan entah sebelum atau sesudah perkawinan
adalah sikap tanggung jawab, penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan
martabat satu sama lain, sikap saling memberi dan menerima, kesetiaan, dan
cinta yang murni. ensiklik Humanae Vitae dari Beato Paulus VI, menggarisbawahi pentingnya
menghormati martabat manusia dalam menilai secara moral metode-metode
pengaturan kelahiran.[52]
Tuntutan moral demikian sama sekali mengharuskan setiap orang untuk
mematuhi dan menghayati dalam sebuah hubungan. Meskipun dalam satu posisi,
setiap orang mempunyai kebebasan dan kehendak hati dan pikiran dalam memutuskan
sesuatu demi hidupnya, namun dibutuhkan ketegaran hati, sikap kritis, bijakasa
dan tanggung jawab dalam hal ini berkaitan dengan tuntutan moral seksualitas
dalam sebuah hubungan.
Tuntutan
moral seksualitas dalam perkembangan dunia zaman sekarang mengalami degradasi
sedemikian jauh dari makna aslinya. Hal itu dapat dilihat dari masalah hubungan
seks bebas yang dilakukan kaum muda Kristen. Jika dipastikan bahwa, tuntutan
moral seksualitas sepertinya tidak mendapat tempat hati dan pikiran kaum muda
yang melakukan hubungan seks bebas. Dalam pandangan kaum muda melihat bahwa
tuntutan moral seksualitas sangat menekan kebebasan dalam diri kaum muda dalam
mengekspresikan diri dalam kaitan dengan cinta. Kaum muda umumnya berpendapat
bahwa ekspresi cinta harus diaktualisasi dalam tindakan nyata yakni dalam
bentuk hubungan seks. Cinta dalam hal ini dilihat sebagai sebuah kesempatan
untuk melegalkan keinginan dan nafsu atau cinta hanya dilihat sebagai objek
demi meluluskan nafsu birahi. Oleh sebab itu, cinta sebagai sebagai lambang
pemersatu kedua bela pihak sedianya hanya sebagai wujud nilai barang yang muda
diperjual belikan. Dalam hal ini, bagi kaum muda yang melakukan hubungan seks
bebas sama sekali tidak mencoreng makna asali seksualitas akan makna cinta yang
dibangun dalam hubungan dengan sesama jenis.
4.6 Seks Bebas Merusak
Harkat dan Martabat Manusia
Hubungan seks
bebas dalam satu posisi tidak mendatangkan sikap penghormatan dan penghayatan
akan seksualitas, namun dalam posisi lain, hubungan seks bebas sangat merusak
harkat dan martabat manusia secara khusus kaum muda Kristen. Pada dasarnya
setiap manusia sejak awal penciptaan dianugerah Tuhan harkat dan martabat yang
melebih ciptaan lainnya. Harkat dan martabat manusia merupakan gambaran dari
wujud ilahi dari Tuhan. Oleh sebab, dimensi keilahian dan kekudusan dalam diri
manusia sedianya patut dihargai dan dihormati. Dalam hal ini, setiap orang yang
menghormati dan menghargai harkat dan martabat sesama manusia mendatangkan
sikap hormat dan penghargaan kepada Allah. Jadi, kaum muda yang melakukan
hubungan seks bebas sama sekali tidak mendatangkan dan mencerminkan sikap
penghormatan dan penghargaan terhadap terhadap penciptanya.
Pembicaraan
mengenai harkat dan martabat berhubungan dengan ciri kepribadian manusia secara
keseluruhan. Kepribadian dalam hal ini berkaitan dengan tingkah laku,
tabiat, kebiasaan manusia, namun di posisi
asali berkaitan dengan tubuh biologi manusia. Tubuh pada dasarnya mengandung
dimensi kelihatan dan dimensi tak kelihatan. Tubuh yang kelihatan dan tampak
ialah tubuh biologi manusia. Tubuh biologi manusia menampakan dimensi yang tak
kelihatan yakni jiwa dan roh. Oleh sebab itu, dari kodratnya tubuh manusia
merupakan dua dimensi yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat
dipisahkan dalam sikap penghayatan dan penghormatan akan tubuh. Tubuh tidak
hanya merujuk pada tubuh biologis tetapi tubuh gambaran kodrat insani yang
merupakan citra Allah. Kodrat manusia harus dipahami berdasarkan kesatuan tubuh
dan jiwa.[53] Tubuh dari kodratnya pula mengandung aspek kesucian, sacral dan
kudus, sebab tubuh manusia secara keseluruhan merupakan manifestasi atau perwujudan diri
Allah yang yang tak kelihatan, oleh sebab itu tubuh pada dasarnya bersifat
kudus dan suci karena adanya dimensi ilahi.
Dengan demikian, kaum muda yang melakukan hubungan seks bebas merupakan
gambaran sikap percabulan dan perzinahan terhadap tubuh. Rasul Paulus dalam
surat pertamanya kepada jemaat di Korintus mengungkapkan bahwa “tubuh bukanlah
untuk percabulan” (bdk. 1 Kor: 13b). Tubuh merupakan bait Roh Kudus. Rasul
Paulus menegaskan “tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang
kamu peroleh dari Allah dan kamu bukan milik kamu sendiri” (bdk. 1Kor, 7:19).
Percabulan merupakan masalah dasar dan pokok dari pelanggaran terhadap hubungan
seks yang melanggar kekudusan nama Allah. Nabi Amos menarasikan pelanggaran
terhadap kekudusan nama Tuhan bahwa “anak dan ayah pergi menjamah seorang
perempuan muda, sehingga melanggar kekudusan nama-Ku”, (bdk. Am, 2:7b).
Gambaran pelanggaran ini dapat dilihat dari sikap kaum muda yang menodai dan
merusak nilai kesucian tubuh dengan melakukan hubungan seks bebas. Perjanjian
Baru secara tegas menolak segala bentuk percabulan karena bertentangan dengan
kebenaran Kerajaan Allah.[54]
Dasar motivasi yang merusak ialah dorongan hawa nafsu yang membutakan mata hati
dan pikiran kaum muda dalam perilaku seks tidak bermartabat dan bertanggung
jawab. Dorongan hawa nafsu yang tidak beraturan dalam diri kaum muda yang
berujung pada tindakan seks bebas sebagai sebuah jalan terakhir dalam meredakan gejolak dalam diri. Oleh sebab itu, kaum muda yang
melakukan hubungan seks bebas sama sekali berada dalam dosa perzinahan dan percabulan. Dalam menyikapi hal demikian, Gereja
sangat melarang kaum muda yang terjebak dalam dosa perzinahan dan percabulan
dalam segala urusan Gereja antara lain sebagai misdinar dan lektor.
5.
RELEVANSI BAGI KAUM MUDA
KRISTEN
5.1 Edukasi Seksualitas bagi
Kaum Muda Sejak dalam Keluarga
Edukasi
seksualitas merupakan solusi terbaik dalam menyikapi masalah hubungan seks
bebas yang dilakukan kaum muda. edukasi seksualitas merupakan model
pendampingan bagi kaum muda sejak masih dalam tahap pertumbuhan dan
perkembangan dalam keluarga. Kongregasi untuk
Pendidikan Katolik mengungkapkan
Pertama, hak keluarga
untuk diakui sebagai lingkungan pedagogis utama untuk pembentukan pendidikan
anak-anak. “Hak primer” ini memperoleh ungkapan paling konkritnya dalam
“kewajiban amat berat” orang tua untuk bertanggung jawab atas “pendidikan
pribadi dan sosial yang menyeluruh dari anak-anak mereka,” termasuk pendidikan
seksual dan afektif mereka, “di dalam kerangka pendidikan cinta kasih,
pemberian diri satu sama lain.” Ini sekaligus merupakan hak dan tanggung jawab pendidikan yang “hakiki, karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain
itu bersifat asali dan utama terhadap
peran serta orang-orang lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan
cinta kasih antara orangtua dan anak-anak. Lagi pula tidak tergantikan dan tidak dapat diambil-alih, dan karena itu
tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lain atau direbut oleh
mereka.[55]
Dalam hal ini, keluarga sangat mempunyai peranan penting
dalam menanamkan segala nilai bagi kaum muda. dasarnya ialah orangtua dan anak
mempunyai hubungan erat satu sama lain, sehingga penerapan pendidikan
seksualitas sangat memungkinkan bagi kaum muda. Beberapa model pendampingan
antara lain orangtua harus membicarakan seksualitas secara terbuka kepada anak,
melakukan dialog seputar tentang bahaya seksualitas jika disalah artikan dalam
hubungan dengan lawan jenis, lebih banyak menyibukan kegiatan harian seorang
dengan membaca buku tentang seksualitas dan mengembangkan bakat dan minat.
Beberapa model pendampingan dapat mendidik seorang anak, sehingga di masa muda
seorang kaum muda dapat bijaksana dalam
menyikapi segala realitas dan kecenderungan dalam diri berkaitan dengan
perilaku yang tidak bertanggung jawab.
5.2 Orangtua mesti melakukan
pendampingan dan membatasi penggunaan gadget
pada kaum muda
Kehadiran media sosial sangat
mempengaruhi perilaku seksual kaum muda. Kaum muda yang mengakses media sosial
khususnya berkaitan dengan dunia pornografi. Kaum muda sering menimbulkan
aksi-aksi yang tidak bertanggung jawab antara lain kaum muda yang cenderung
larut dalam menikmati dunia hiburan yang berbau pornografi cenderung meniru
serta memperagakan kembali dalam masa pacaran. Sikap meniru merupakan sifat
naluri dasar pada masa pertumbuhan dan perkembangan kaum muda. Oleh sebab itu,
orangtua perlu membatasi kaum muda dalam menggunakan gadget, sebab sangat mempengaruhi perilaku seksual mereka dalam
hubungan masa dengan lawan jenis. Respon yang mesti dilakukan orangtua antara
lain memperhatikan waktu belajar seorang anak, mengembangkan daya kreatif dari
seorang anak dengan memanfaatkan media sosial sebagai ruang untuk mendapat
informasi berkaitan dengan dunia pendidikan. Jika berbagai cara ini telah
dilakukan orangtua sejak dalam kehidupan keluarga, maka akan membangkitkan
pemahaman dan pendidikan tentang moral dan etika seksual yang bertanggung jawab
bagi kaum muda. Pendidikan demikian dapat mendorong kaum muda untuk menjadi
generasi muda yang berkualitas yang mempunyai integritas diri.
5.3 Pemahaman dan pendidikan moral
perkawinan Kristiani pada kaum muda adalah tanggung jawab utama orangtua
Anak merupakan anugerah terindah
dari Tuhan. Kehadiran seorang anak dalam keluarga membawa warna dan sukacita
tersendiri bagi suami dan istri. Kehadiran seorang anak dalam keluarga
merupakan buah dari lambang cinta antara kedua orangtua. Dasar kehidupan
bersama yang dibangun suami dan istri berdasarkan maksud dan tujuan Allah yakni
demi suatu tindakan prokreasi dan pendidikan anak. Orangtua sedianya harus
menghadirkan dan menunjang bangunan hidup rohani dan jasmani seorang anak.
Gereja Katolik mengajak dan
menghimbau agar setiap orangtua untuk membangun kehidupan bersama harus
berdasarkan cinta kasih yang murni dan berdasarkan bimbingan terang moral
perkawinan Kristiani dan berdasarkan norma seksualitas agar kehidupan keluarga
mendatangkan kebahagiaan dan keharmonisan. Pendidikan moral seksualitas menjadi
tugas utama dari kedua orangtua. Kanon 1136
mengatakan orangtua mempunyai kewajiban
sangat berat dan
hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik,
sosial dan kultural, maupun moral dan religius.[56]
Pendidikan moral seksualitas berguna
untuk membentuk dan mendidik mentalitas, nilai-nilai sosial kemasyarakatan,
seksualitas dan aspek religius yakni tentang penghayatan iman seorang anak.
Kanon
1071 paragraf 6, mengungkapkan bahwa orang mempunyai peranan penting dalam
pendidikan dan pemeliharaan seorang anak serta mempunyai hak penuh dalam
menentukan anak seorang anak khususnya berkaitan dengan pernikahan. Model
pendidikan demikian dapat mendorong seorang anak untuk menghargai harkat dan
martabat sebagai seorang manusia yang dianugerahkan dengan martabat tubuh dan
seksualitas. Pendidikan seksualitas dan aktivitas harus melibatkan setiap
pribadi dalam proses belajar “dengan ketekunan dan konsistensi, tentang makna
tubuh.[58]
Masyarakat luas dapat menghasilkan
program pendidikan tentang efektivitas dan seksualitas yang menghormati tahap
kematangan setiap pribadi dalam kedua bidang tersebut sekaligus mengembangkan
rasa hormat terhadap harkat dan martabat tubuh orang lain.[59] Seorang kaum muda mempunyai tanggung
jawab atas dirinya sendiri maupun orang lain.
Penyimpangan terhadap seksualitas
tentunya merusak jati diri dan martabat manusia sebagai citra Allah.
Penyimpangan terhadap harkat dan martabat manusia merupakan masalah yang sangat
ditentang oleh Gereja. Sebab Gereja sangat menghargai manusia sebagai makhluk
yang lebih mulia dan kudus dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Pemahaman nilai
moral seksualitas dan moral perkawinan Kristiani mesti menjadi landasan dasar
bagi kaum muda. Pemahaman dan pendidikan nilai moral yang dimulai dari dalam
keluarga. Kanon 226 paragraf 2 mengungkapkan bahwa, orangtua, karena telah
memberi hidup kepada anak-anaknya, terikat kewajiban sangat berat dan mempunyai
hak untuk mendidik mereka; maka dari itu adalah pertama-tama tugas orangtua kristiani untuk mengusahakan
pendidikan kristiani anak-anak
menurut ajaran diwariskan Gereja.[60]
Sikap dasar yang mesti dibangun
orangtua ialah mendorong dan membentuk pribadi seorang anak untuk berkembang
dalam aspek rohani dan aspek jasmani. Pentinglah
bahwa pembinaan mereka sendiri tidak hanya mencakup aspek-aspek profesional,
tetapi juga kesiapan budaya dan spiritual.[61] Kedua aspek yang ada dapat menjadi
landasan bagi kaum muda dalam membentuk jati diri. Berdasarkan pengalaman hidup
dalam jenjang perkawinan akan dampak baik maupun buruk mesti secara terbuka
diceritakan kepada kaum muda. Dasar bangunan hidup rohani dan jasmani orangtua
dapat mempengaruhi mental dan psikologi seorang anak. Dasar pengalaman dapat
membuka wawasan dan cara pandang orang muda dalam meniti kehidupannya di dalam
masa pacaran. Pengalaman hidup perkawinan orangtua yang dapat mempengaruhi
kepribadian kaum muda terkhususnya dalam pembentukan nilai moral perkawinan
dapat membantu kaum muda dalam membangun kehidupan secara bijaksana dan
bertanggung jawab.
6.
KESIMPULAN
Pemahaman minim tentang seksualitas
dan moral perkawinan Kristiani merupakan masalah dasar terjadi hubungan seks
bebas dalam kehidupan kaum muda Kristen.
Pemahaman tentang seksualitas hanya seputar pada hubungan biologi tanpa
memperhatikan aspek spiritual dari seksualitas. Hubungan biologi berkaitan dengan bentuk tubuh secara lahiriah dan
aspek spiritual berkaitan dengan jiwa atau roh yang hadir dalam tubuh manusia.
Dengan demikian, hubungan seks bebas dalam kehidupan kaum muda hanya merujuk
pada hubungan biologi semata yakni ketertarikan pada keindahan dan bentuk tubuh
semata.
Hubungan seks bebas yang merujuk
pada aspek biologi didorong oleh pemenuhan cinta palsu. Kaum muda mendasarkan cinta dalam masa hidup sebagai jalan untuk
membuktikan kesetiaan kepada pasangan. Dasar ungkapan cinta palsu didukung
dengan janji, komitmen dan tanggung jawab merupakan latar belakang dan model
hubungan seks bebas. Model hubungan
demikian sangat bertentangan dengan moral perkawinan Kristiani. Hubungan seks
bebas yang terjadi pada kaum muda Kristen merupakan penyimpangan pada moral dan
etika seksual dan tidak mengungkapkan dasar hubungan sebenarnya. Hubungan yang
benar yakni di mana kedua pasangan saling mencintai dan memberi diri
berdasarkan kasih dan kemurnian cinta, komitmen, janji, kesetiaan dan tanggung
jawab moral sebagai dasar bagi seseorang sebelum memasuki jenjang perkawinan.
Oleh sebab itu kaum muda Kristen mesti mendasarkan hubungan pada aspek moral
dan etika seksual yang mencerminkan kasih dan cinta serta sikap penghormatan
terhadap harkat dan martabat manusia. Kaum muda yang mendasarkan cinta pada
tatanan moral dan etika seksualitas yang bertanggung jawab dalam memotivasi dan
mendorong perwujudan kemurnian cinta dan moral seksualitas yang mengedepankan
aspek rohani dan jasmani secara seimbang sebelum memasuki jenjang perkawinan.
[1]Fauzyyah, Farida Lina Tarigan dan Lukman Hakim,
-Analisis Faktor Yang Memepengaruhi Perilaku Seks Bebas Pada Remaja di Masa SMA
Negeri 1 Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara Tahun 2021- Journal of Healthcare Technology and Medicine, 7:2, (2 Oktober
2021), hlm. 1528.
[2]Ibid.
[3]AIDS adalah penyakit berat akibat virus yang
tersebar melalui pembuluh darah pada setiap orang yang sudah terinfeksi. Cara
penyebaran virus ini meliputi empat cara penyebaran yakni melalui perilaku pertama, homoseksual, cara penyebaran
masuk melalui cairan dalam tubuh yakni air mani, susu, cairan vagina, kedua melalui intravena melalui tindakan
transfusi darah dari seorang kepada yang lain,
ketiga, penyalahgunaan obat narkotika, kempat,
heteroseksual yakni penyebaran akibat hubungan
seksual dari satu pria kepada wanita yang sudah terkena infeksi.
[4]K. Prent, J. Adisubrata dan W.J.S
Poerwardarminta, Kamus Latin-Indonesia
(Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 789.
[5]Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-laki dan Perempuan (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2020), hlm. 11.
[6]Konferensi Waligereja Indonesia, op. cit., hlm. 7.
[7]KWI, Kasih Setia Dalam Suka; Pedoman
Persiapan Perkawinan Di Lingkungan Katolik (Jakarta: Penerbit Kanisius,
1994), hlm. 11.
[8]Konferensi Waligereja Indonesia, Panggilan dan Misi Keluarga dalam Gereja dan
Dunia Dewasa ini, Bernadeta Harini Tri Prasasti (Penerj.), (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2018), hlm. 103.
[9]John W. Santrock, Remaja (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm.112.
[10]Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017), hlm. 43.
Agustinus W. Dewantara menjelaskan: suatu nilai berkaitan dengan perbuatan
manusia. Artinya perbuatan manusialah (dalam makna “perbuatan” dicakup pula
aktivitas berpikir, mempertimbangkan, memutuskan, mempraktikkan,
menindaklanjuti, dan seterusnya) yang langsung berperkara dengan suatu nilai.
[11]Asmat Purba
dan Salon Mandi Mpu
Nainggolan, “Pola Asuh Orang Tua Kristen Terhadap Anak Dalam Menghadapi
Tantangan Kemajuan Zaman” dalam jurnal
MONTESSORI: Jurnal Pendidikan Kristen Anak Usia Dini, 4:1 (Bandung), hlm.
11.
[12]Frans Ceunfin (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), hlm. 7.
[13]Erik Widodo dan Wisnu Sanjaya, “Sosialisasi Pencegahan
Pernikahan Usia Dini Menurut UU Tahun 2019 Pada Warga Dusun Posong,
Karangtengah”, dalam jurnal Intelektiva: Jurnal Ekonomi, Sosial dan Humaniora
(E-ISSN 2686 5661), 2:10 (10 Mei 2021), hlm. 54.
[14]Paskalis Lina, op. cit., hlm. 187.
[15]Karl-Heinz Peschke, Etika Moral
Kristiani jilid 1 (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 399.
[16]Paskalis Lina, op. cit., hlm. 3.
[17]Muhammad Azinar, “Perilaku Seksual Pranikah
Berisiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan”, Jurnal Kesmas, 8:2 (Semarang: 2018), hlm. 155. http://journal.
unnes. ac. id/nju/index.php/kemas.
[18]Karl-Heinz Peschke, loc. cit., hlm.
399
[19]Agustinus W. Dewantara, op. cit., hlm. 13.
[20]Mia Fatma Ekasari, Rosidawati, Ahmad Jubaedi,
“Pengenalan Pacaran Pada Masa Remaja”, Jurnal
Wahana Inovasi, 8:1 (Jakarta, Januari-Juni, 2019), hlm. 2.
[21]Ibid., hlm. 5.
[22]Charles M. Shelton, Moralitas Kaum Muda, penrj. Y. Rudiyanto (Yogyakarta: Kanisius,
1988), hlm. 58.
[23]Konferensi Waligereja Indonesia, Pornografi dan Kekerasan dalam Media Komunikasi: Sebuah Jawaban
Pastoral, Hadiwikarta (Penerj.) (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1998), hlm. 105.
[24]Nurani Soyomukti, Membongkar Aib Seks Bebas dan Hedonisme Kaum Selebriti (Bandung:
Nuansa Cendekia,
2010), hlm. 121.
[25]Eka Sari Setianingsih, “Wabah Gaya Hedonisme
Mengancam Moral Anak” dalam jurnal Malih
Peddas, 8:2 (Semarang, Desember 2018), hlm 141. Dikutip pada tanggal 28 Februari 2022.
[26]Ibid., hlm 43.
[27]Eka Sari Setianingsih, op. cit., hlm. 145.
[28]Antonius Moa, “Seksualitas Manusia
Sebagai Realitas Dan Panggilan Kepada Cinta Kasih”, dalam Jurnal LOGOS: Jurnal Filsafat-Teologi, 1:3 (1 Januari, 2004),
hlm. 2.
[29]Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, “Pernikahan
Usia Dini dan Permasalahannya” dalam
jurnal Sari Pediatri, 11:2 (Bandung, Agustus 2009), hlm. 140. Dikutip pada
tanggal 19 Januari 2022.
[30]Allan Rifandi Sumeleh, “Seksualitas: Suatu
Tinjauan Etis Kristiani Terhadap Pemahaman Mahasiswa Fakultas Teologi
Universitas Kristen Indonesia Tomohon Tentang Hubungan Seks” Jurnal Tumou
Tou, VI:2, (Bandung, 14
April 2019), hlm 129.
[31]Konferensi Waligereja Indonesia, Amoris Laetitia (Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2017), hlm. 9.
[32]Ibid.
[33]Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, op. cit., hlm. 445.
[34]Ibid., hlm. 447.
[35]Diana Ariswanti Triningtyas dan Siti Muhayati,
“Konseling Pranikah: Sebuah Upaya ss
http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JK
[36]Hasil Sidang Agung KWI dan Gereja Katolik
Indonesia, “Pedoman Gereja Katolik Indonesia dan Gereja yang Mendengarkan”
(Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2003), hlm. 22.
[37]Paskalis Lina, Moral Pribadi-Pribadi Manusia dan Seksualitasnya (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2017), hlm. 2.
[38]Ibid.
[39]Ibid., hlm. 3.
[40]Ibid., hlm. 52.
[41]Ibid., hlm. 63.
[42]Ibid., hlm. 64.
[43]Ibid.
[44]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, Penerj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004), hlm. 12.
[45]Ibid., hlm. 120.
[46]Konferensi Waligereja Indonesia, op.cit., hlm.
36.
[47]Ibid., hlm. 25.
[48]Dini Rakhmawati, Chr. Argo Widiharto, Fitriana
Khusnul Khotimah, “Religiusitas Sebagai Faktor Protektif Seks Pranikah di Kalangan
Mahasiswa” Jurnal Satya Widya,
XXXVI:1(Juni 2020), hlm. 61.
[49]Jose Granados, dkk. Accompanying Discerning, Integrating: A Handbook for the
Pastoral Care of the Family According to
Amoris Laetita (Ohio:
Emmaus Road Publishing,
2017), hlm. 34-35.
[50]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, penerj. R. Purwa Hardiwardoyo (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), hlm. 49.
[51]Paus Fransiskus, Amoris Laetita, op.cit.,
hlm. 10.
[52]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, loc. cit., hlm. 49.
[53]Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-laki dan
Perempuan, penerj. Norberta Yati Lantok,
op. cit., hlm. 155.
[54]Karl-Heinz Peschke, Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III, penerj. Alex
Armanjaya (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 284.
[55]Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-Laki dan
Perempuan, penerj. Norberta Yati Lantok (Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2020) hlm. 115.
[56]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 250.
[57]Hasil wawancara dengan Marianus Bio Dhae, Tenaga
Pendidik di SMA St. Yoseph Freinademetz, pada tanggal 12 Januari 2022.
[58] Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-Laki dan Perempuan, penerj. Norberta Yati Lantok op. cit., hlm. 24.
[59]Ibid., hlm. 31.
[60]Ibid.,
hlm. 46.
[61]Ibid., hlm. 27.
Label: Artikel