PENILAIAN MORAL PERKAWINAN KRISTIANI TERHADAP HUBUNGAN SEKS PRANIKAH DALAM KEHIDUPAN KAUM MUDA DAN RELEVANSI BAGI KELUARGA
PENILAIAN MORAL PERKAWINAN KRISTIANI
TERHADAP SEKS PRANIKAH DALAM KEHIDUPAN KAUM MUDA
DAN RELEVANSI BAGI KELUARGA
Albert Mandat Minggu
Mahasiswa Semester VIII Sekolah
Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere
email: albertmandat@gmail.com
ABSTRAK
Kehidupan
kaum muda dewasa ini telah mengalami banyak perubahan dalam berbagai bidang
kehidupan kehidupan. Salah satunya dalam bidang moral dan etika dalam
penghayatan kehidupan seksualitas. Hal ini dapat dilihat dari masalah seks
pranikah yang menjadi model atau trend hidup
baru yang terjadi dalam kehidupan kaum muda. Analisis ini guna membahas tentang
tinjauan moral perkawinan Kristiani dan etika seksualitas terhadap hubungan seks
pranikah yang dilakukan kaum muda. Hubungan ini tentunya sangat bertolak
belakang dengan makna seksualitas sebagai anugerah Tuhan dengan maksud agar
manusia dapat melanjutkan karya penciptaan Allah. Oleh sebab itu, tujuan
penelitian ini adalah untuk menemukan masalah dasar yang mendorong kaum muda
Kristen yang melakukan hubungan seks bebas dalam kehidupan mereka. Penulisan ini
bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan dan mengulas serta menguraikan
masalah hubungan seks pranikah guna
menemukan masalah
dasar hubungan seks pranikah serta berbagai faktor dan dampak bagi kaum muda
dan bagaimana sikap orangtua dalam menerapkan model pendampingan dan pendidikan
seksualitas bagi kaum muda. Pendidikan moral perkawinan dan edukasi seksualitas sejak
kaum muda masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam keluarga menjadi
jalan keluar dari masalah hubungan seks pranikah dalam kehidupan kaum muda.
Dalam hubungan masa pacaran, orangtua harus membantu kaum muda dalam menjaga
komitmen untuk tetap saling mengasihi dan mencintai, bertanggung jawab, setia
dan menjalin cinta yang murni sebagai penunjang kehidupan di masa depan yakni
dalam kehidupan keluarga. Kegiatan yang
ada, dapat membantu kaum muda bertumbuh dan berkembang secara jasmani dan
rohani serta mempunyai integritas diri yang bermoral, bermartabat dan
bertanggung jawab dalam membangun hubungan dengan lawan jenis dalam masa
pacaran.
Kata
Kunci: moral
perkawinan Kristiani, seks pranikah, kaum muda, keluarga
1.
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah
salah satu hal yang paling penting dalam seluruh perjalanan hidup manusia.
Perkawinan merupakan suatu bentuk atau model hidup dalam satu persekutuan
berdasarkan satu ikatan cinta. Ikatan cinta menjadi tali silaturahmi antara dua
pasangan hidup. Cinta yang lahir dari kedua pasangan membentuk ikatan cinta. Dalam
pengakuan iman Gereja, perkawinan dilihat sebagai suatu bentuk partisipasi
manusia dalam melanjutkan keturunan dalam karya penciptaan Allah. Hidup
perkawinan tidaklah dipandang sebagai kontrak hidup, tetapi sebagai satu
persekutuan cinta yang berpartisipasi dalam cinta ilahi, persekutuan hidup yang
saling menerima dasarnya pada cinta Allah, yang mau menyelamatkan manusia.[1]
Perkawinan terjadi berdasarkan ikatan cinta.
Perkawinan diakui sebagai suatu persekutuan cinta antara seorang pria dan
seorang wanita dengan kesadaran penuh dan bebas menyerahkan seluruh diri serta
segala kemampuannya satu sama lain untuk selama-lamanya.[2] Perkawinan
yang berdasarkan cinta dan pemahaman yang benar tentang seksualitas pada akhir-akhir
ini, telah mengalami degradasi penghayatan akan kekudusan dan kemurnian sebuah
perkawinan oleh berbagai macam problem sosial kemasyarakatan yang dilakukan
kaum muda yakni hubungan seks pranikah. Kehidupan kaum mudah zaman sekarang
banyak terjebak dalam masalah hubungan seks pranikah. Kasus hubungan seks pranikah
menjadi sebuah persoalan yang menantang moral perkawinan, seksualitas, dan
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang bermoral dan berakal budi Dunia
dewasa ini, ditandai dengan kemajuan dalam bidang teknologi dan mempengaruhi
gaya hidup manusia secara khusus kaum muda. Pada dasarnya segala perubahan dan
perkembangan dunia memberikan sumbangsi baik positif maupun negatif. Salah satu
aspek negatif dari perubahan dunia yakni perilaku seks yang menyimpang pada
kalangan kaum muda. Menurut Rifai, perkembangan teknologi telah membawa
perubahan pada tatanan kehidupan dan gaya hidup kaum muda secara luas
mempengaruhi perilaku seksual remaja ke arah penyimpangan norma moral seksualitas.[3] Kehadiran
teknologi telah menghadirkan berbagai masalah antara lain masalah tentang seks
pranikah, pemerkosaan dan berbagai
perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab lainnya. Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2018, akibat perkembangan
teknologi, kaum muda Indonesia mengalami darurat seks dengan hasil persentase 62,7% remaja Indonesia pernah melakukan hubungan seks
pranikah.[4]
Berdasarkan
analisis Juliano Witjaksono dalam Deputi Bidang Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), menegaskan bahwa jumlah kaum muda yang melakukan hubungan seks
pranikah mengalami tren meningkat di daerah pedesaan.[5]
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 46 persen kaum muda berusia 15-19 tahun
sudah berhubungan seksual dan 48-51 persen perempuan yang sudah hamil.[6]
Selanjutnya dinyatakan bahwa Indonesia adalah satu negara yang memiliki kasus
hubungan seks pranikah yang tinggi. Realitas menunjukkan, perempuan muda
berusia 15-19 yang telah menikah memiliki angka 11,7% jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun sejumlah 1,6%.[7]
Data
tersebut menunjukkan realitas kehidupan kaum muda saat ini sangat
memprihatinkan. Kaum muda tidak lagi memiliki kesadaran moral yang ditandai
dengan sikap mati rasa dan kecemasan moral, yakni hilangnya rasa cemas saat
melakukan pelanggaran moral.[8]
Kehilangan kesadaran moral ditunjukkan melalui sikap dan pandangan kaum muda
yang menomorsatukan seks dalam masa pacaran. Sebagian besar kaum muda mengalami
kemerosotan moral termasuk kaum muda Katolik. Kehadiran perkembangan teknologi
telah mempengaruhi setiap kaum muda Katolik pada perilaku seksual yang tidak
sesuai dengan ajaran iman Katolik. Kaum muda memandang seks hanya sebatas pada
aspek biologis semata tanpa melihat dan memahami etika seksualitas dan moral perkawinan.
Sikap pemahaman dan penghayatan ini dalam satu posisi didukung dengan
perkembangan teknologi yang secara tidak bertanggung jawab misalnya adanya
situs porno yang mengeksploitasi bentuk tubuh dan adegan persetubuhan. Menurut
survei Komnas Perlindungan Anak di 33 Provinsi Januari s/d Juni 2008
menyimpulkan sebesar 97% kaum muda SMP dan SMA pernah menonton film porno;
sebesar 93,7% remaja SMP dan SMA pernah melakukan seks pranikah pada masa
pacaran, genital stimulation (meraba
alat kelamin) dan oral sex (seks
melalui mulut).[9]
Dalam
satu posisi seks pranikah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, tetapi
disisi lain masalah seks pranikah terjadi karena adanya bentuk kesepakatan,
komitmen antara kedua pasangan dalam masa pacaran. Kesepakatan hidup bersama
ini, didahului dengan hubungan seks pranikah sebelum disahkan dalam sakramen
perkawinan. Kaum muda melihat bahwa kesepakatan dan komitmen menjadi dasar
motivasinya untuk melakukan hubungan seks pranikah. Hal ini dimaksudkan bahwa
hubungan dan relasi cinta yang dibangun dapat memperkuat nilai kesetiaan dari
kedua pasangan dalam melakukan hubungan seks pada masa pacaran. Namun Gereja
justru melihat dan memandang bahwa model kesepakatan yang didahulukan dengan
hubungan seks pranikah dalam masa pacaran merupakan sebuah pelanggaran dan
penyimpangan moral seksual dan moral perkawinan Kristiani. Hal ini disebabkan
oleh pandangan Gereja yang sangat menekankan aspek kemurnian dan kesucian tubuh
seseorang sebelum memasuki jenjang perkawinan.
Pemahaman
tentang hidup bersama seperti suami dan istri
cenderung di salah-artikan kaum muda dalam
masa pacaran. Kaum muda melihat dengan melakukan seks berarti mengungkapkan
perjanjian untuk setia dan tanggung jawab seperti suami dan istri. Menyikapi
persepsi yang salah dari kaum muda, maka harus dicari solusi dengan pendidikan
rohani dan jasmani, pendidikan moral dan etika seksualitas agar mengatasi
kecenderungan seksual yang tidak sehat pada masa pacaran. Kaum muda yang
mempunyai penghayatan religius yang mendalam dapat menjadi benteng utama dalam
memerangi perilaku penyimpangan dan mampu memiliki perilaku-perilaku baik
sesuai norma moral yang berlaku.[10] Oleh sebab itu hubungan seks pranikah
yang dilakukan kaum muda merupakan tindakan amoral dan sesat karena menyimpang
dari aturan dan norma moral perkawinan Kristiani dalam Gereja Katolik.
2.
METODE
PENULISAN
Dalam
menelisik kasuh hubungan seks pranikah, penulis menggunakan jasa perpustakaan
dengan mengkaji berbagai sumber dan literatur yang membahas dan mengulas
tentang masalah hubungan seks pranikah. berbagai sumber ini dapat membantu
penulis dalam menelisik kasus hubungan seks pranikah dengan maksud mencari dan
menemukan latar belakang dari masalah hubungan seks pranikah yang maraknya
sedang terjadi dalam kehidupan kaum muda. Selain itu, penulis mengutip berbagai
jurnal dan artikel yang membahas secara khusus hubungan seks pranikah. Berdasarkan
berbagai referensi yang ada, pada akhir tulisan penulis akan membuat penilai masalah
hubungan seks pranikah berdasarkan ajaran moral perkawinan Kristiani dan etika
dalam seksualitas. Hal ini demi melahirkan suatu sumbangsi pemikiran sebagai
metode kajian dalam menelisik masalah hubungan seks pranikah.
3.
HASIL
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian
Seks Pranikah
Hubungan
seks pranikah adalah salah satu bentuk persetubuhan yang dilakukan orang-orang
tanpa melalui ikatan janji perkawinan. Menurut Kees Maas sebagaimana
dikutip oleh Kornelis Federiko, mengatakan bahwa relasi seksual demikian
dinamakan juga dengan fornication simplex
atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan.[11] Seks pranikah adalah
hubungan seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan menurut hukum
agama dan kepercayaan masing-masing individu.[12] Dalam hal
ini, hubungan seks tersebut dilakukan secara ilegal. Seks pranikah pada umumnya
dilakukan kaum muda. Hampir dalam setiap pertumbuhan dan perkembangan kaum muda
terdapat masalah hubungan seks pranikah. Banyak kaum muda yang melakukan
hubungan seks pranikah karena dipengaruhi oleh kehendak bebas secara individu
yang tidak terikat pada aturan dan norma agama. Akibatnya, hubungan seks
pranikah semakin meluas dan mempengaruhi hidup kaum muda yang tidak selaras
dengan aturan dan norma perkawinan.[13]
Kaum
muda yang melakukan seks pranikah mendatangkan masalah bagi kehidupannya
sebelum memasuki jenjang perkawinan. Kaum muda yang melakukan seks pranikah
didorong dan dimotivasi oleh cinta palsu. Motivasi ini sebenarnya dengan alasan
untuk membuktikan kesetiaan dan keseriusan dalam
hubungan bersama. Hubungan seks
pranikah mengungkapkan sebuah pelanggaran terhadap norma moral dan hukum
perkawinan dalam Gereja Katolik serta paham tentang seks.
3.2 Faktor-Faktor
yang mempengaruhi Seks Pranikah
3.2.1 Minimnya
Pengetahuan Tentang Seksualitas
Pemahaman
seksualitas telah mengalami pergeseran. Hal ini disebabkan adanya suatu konsep
yang keliru dalam diri kaum muda untuk memahami dan memaknai seksualitas. Kaum
muda kurang kritis dalam menanggapi dan mempelajari hal-hal baru serta
informasi-informasi tentang seksualitas, sehingga kaum muda memandang
seksualitas hanya sebatas hubungan badan. Minimnya pendidikan seksual dari kaum
muda mendatangkan masalah penyimpangan seksual yang ditempuh seks yang tidak
wajar demi mendapatkan kenikmatan.[14]
Seringkali hubungan seksual pranikah semata-mata didasarkan pada upaya
mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seksual.[15]
Minimnya
pendidikan tentang seksualitas terjadi karena orangtua membatasi pembicaraan
mengenai seksualitas pada kaum muda. Alasan pembatasan ini, karena seksualitas
masih dianggap tabu dan privat jika diperbincangkan kepada kaum muda.
Akibatnya, kaum muda terdorong mencari informasi tentang seksualitas pada
sumber-sumber salah yang dapat menjerumuskan mereka pada penyimpangan seksual
pada masa pacaran. Berbagai informasi yang ada berkaitan dengan dunia
pornografi, kasus pemerkosaan dan lain-lain.
Minimnya pendidikan seksualitas dari orangtua
mendatangkan pengaruh buruk pada pengolahan nafsu dalam diri kaum muda dan
dalam relasi dengan lawan jenis dalam masa pacaran. Kaum muda dapat mencintai
pasangannya dalam pacaran dengan maksud pelampiasan hawa nafsu. Lebih dari itu,
nafsu yang tidak terkontrol akan berpengaruh pada terlambatnya perwujudan nilai
moral akibat ekspresi cinta dilihat sebagai tempat untuk pelampiasan nafsu.[16]
Keluarga
menjadi tempat pertama bagi seseorang dalam pembentukan jati diri. Dalam
pembentukan jati diri, seorang anak dididik dan dilatih oleh anggota keluarga.
Para ahli genetika berpendapat bahwa untuk menganalisis peranan orangtua dalam
kehidupan kaum muda mesti dididik dan dibina secara baik.[17] Dalam pembentukan itu,
peranan orangtua dilihat sangat penting dalam menanamkan segala nilai berkaitan
dengan perilaku seksual.[18]
Pendidikan dan
pemahaman seksualitas serta pembentukan kehidupan rohani dalam keluarga sangat
menentukan jati diri seorang anak sebelum memasuki jenjang perkawinan. Orangtua yang kurang memberi pemahaman dan pengarahan
tentang seksualitas akan mendatangkan gangguan
kesehatan reproduksi serta
berujung pada perilaku seks pranikah.[19] Hubungan
seks pranikah mudah terjadi jika tingkat pendidikan seorang anak tidak
diperhatikan secara baik oleh orangtua. Rendahnya tingkat pendidikan orangtua,
anak dan masyarakat mendatangkan masalah perkawinan anak di bawah umur.[20]
Pembekalan dan
pendidikan seksualitas adalah jalan untuk meminimalisasi tindakan seksual yang
keliru dalam masa pacaran. Pembekalan dan pendidikan seksualitas perlu
diperhatikan di berbagai lembaga pendidikan khususnya pendidikan tentang
seksualitas. Oleh sebab itu orangtua merupakan tempat pertama bagi kaum muda
menerima pembekalan dan pendidikan tentang seksualitas. Keberhasilan pendidikan dalam keluarga mesti dilakukan pendidikan rohani
dan jasmani pada lembaga-lembaga resmi.[21]
Orangtua mempunyai peran utama dalam pembinaan mental dan pendidikan
tentang seksualitas kepada kaum muda, sehingga kaum muda tidak hanya memandang
seks hanya sebatas hubungan seks semata tetapi merupakan sebuah anugerah yang
harus dipenuhi. Seksualitas dan perilaku seks yang
menyimpang dianggap sebagai hal yang biasa di kalangan remaja, bahkan tidak
sedikit yang menjadikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi.[22]
Perspektif yang keliru diakibatkan oleh sikap dan upaya mencari tahu informasi
tentang seksualitas. Kecenderungan demikian mempengaruhi pikiran, mental dan
perasaan kaum muda, sehingga kaum muda terdorong untuk mengalami seks secara
langsung dalam masa pacaran.
3.2.2 Pemenuhan
Cinta Palsu dalam Masa Pacaran
Seks
merupakan ungkapan relasi intim antara pria dan wanita yang sudah resmi untuk
hidup bersama sebagai pasangan suami dan istri. Seksualitas dalam arti yang
luas dan mendasar dapat diterangkan sebagai cara berada dan relasi manusia
sebagai laki-laki dan perempuan.[23]
Namun akhir-akhir ini pemahaman dasar tentang seksualitas telah mengalami pergeseran akibat pandangan yang keliru. Kaum muda melihat seks
sebagai syarat utama untuk melengkapi hubungan percintaan dalam masa pacaran.
Pandangan tentang seksualitas berkaitan dengan masalah seks
pranikah, aborsi, pornografi dan perzinahan oleh kaum muda pada masa pacaran.[24]
Pemenuhan cinta palsu lewat hubungan seks adalah sebuah jalan bagi kaum muda
demi mengungkapkan nilai keseriusan dan kesungguhan dalam hubungan. Hubungan
seks yang dilakukan kaum muda sebagai bentuk ungkapan cinta palsu terhadap
pasangan dalam masa pacaran.[25]
Hubungan kaum muda adalah pembuktian bahwa pelaku benar-benar mencintai pasangannya.[26]
Pengungkapan cinta palsu didorong oleh faktor pelampiasan nafsu birahi yang
terselubung akan berdampak buruk bagi setiap pasangan
3.2.3 Perkembangan
Media Sosial
Perkembangan
media sosial dapat mendorong kaum muda untuk mengakses berbagai informasi.
Perkembangan media sosial membuka kemungkinan kaum muda secara bebas mengakses
situs-situs pornografi.[27]
Pornografi adalah pelanggaran terhadap hak tubuh manusia baik pria maupun
wanita. Kaum muda menjadikan media
sosial sebagai sarana untuk merangsang birahi. Kaum muda cenderung menjadikan
media sosial bukan sebagai sarana untuk mendapat informasi baru berkaitan
dengan kehidupan, tetapi sebagai sarana untuk mengakses konten-konten yang
berbahaya bagi kehidupan mereka. Seri Dokumen Gerejawi No. 53 menegaskan bahwa
kehadiran pornografi sangat mempengaruhi perkembangan moral pribadi lebih
mendalam berkaitan dengan perkawinan dan kehidupan keluarga.[28]
Kehadiran media sosial telah mempengaruhi pola pikir dan tindakan kaum muda
terlebih khusus dalam berkaitan dengan pola hubungan timbal balik dalam dunia
percintaan. Kanon 666 berisikan peringatan agar orang Katolik dapat menggunakan
media masa secara bijaksana.[29]
Penegasan kanon ini secara tidak langsung dialamatkan kepada kaum muda zaman
sekarang secara bijaksana dan bertanggung jawab menggunakan media masa.
3.3 Dampak
Hubungan Seks Pranikah
3.3.1 Hamil
di Luar Nikah
Hamil di luar
nikah merupakan salah satu masalah sosial yang merebak dalam kehidupan kaum
muda zaman sekarang. Banyak kaum muda yang hamil di luar nikah disebabkan oleh
berbagai dorongan dasar dalam diri kaum muda yakni rasa ingin tahu dan ingin
coba dalam melakukan hubungan seks.
Hamil di luar
nikah merupakan masalah penyimpangan seksual.
Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang
untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak
sewajarnya.[30]
Kaum muda yang melakukan hubungan seks tanpa memperoleh pemahaman dan
pendidikan tentang bahaya dari hubungan seksual. Salah satu masalah dari
hubungan seks pranikah ialah masalah kehamilan di luar nikah. Pada umumnya,
kaum muda sering tidak bertanggung jawab terhadap kehamilan sehingga
mendatangkan masalah penceraian dan penelantaran.
Masalah
kehamilan di luar nikah sangat bertentangan dengan hukum perkawinan Gereja Katolik.
Kehamilan akan dibenarkan jika kedua pasangan sudah menikah secara sah. Kehamilan akibat hubungan seks
pranikah bertentangan dengan maksud dan tujuan perkawinan yakni prokreasi dan
pendidikan seorang anak. Pada sisi lain hamil di luar nikah mengandung risiko
bagi perempuan dan jabang bayi, sebab seorang perempuan masih berada pada umur
yang belum mampu melahirkan. Dalam hal ini, hubungan seks pranikah juga
berakibat pada perendahan martabat perempuan akibat masalah kehamilan dan
penelantaralan. Amanat Kristen tentang martabat kaum perempuan ditentang oleh
tegarnya mentalitas, yang menganggap perempuan bukan sebagai pribadi, melainkan
sebagai benda, sebagai objek perniagaan, melayani kepentingan egois dan
kenikmatan semata-mata.[31]
Martabat perempuan masih perlu dilindungi dan diperjuangkan. Pada kenyataannya,
di banyak tempat saat ini, hanya menjadi perempuan saja sudah merupakan sumber
diskriminasi dan anugerah keibuan kerap kali mendatangkan hukuman daripada
dihargai.[32]
Kaum perempuan yang hamil di luar nikah akan mengalami berbagai tekanan dan
depresi. Selain itu, banyak bentuk diskriminasi dari masalah kehamilan
berkaitan dengan perendahan martabat perempuan sekarang ini masih tetap
berlangsung di sebagian besar masyarakat kita, yang menimpa dan secara serius
merugikan golongan-golongan khas wanita.[33] Oleh sebab itu, hubungan seks pranikah pada kaum muda merupakan
pelanggaran terhadap martabat perempuan.[34]
Pada umumnya masalah kematian ibu dan jabang bayi terjadi pada keluarga yang
tidak mempunyai kecukupan ekonomi dan tidak mendapat perawatan dan pengobatan.
Hal ini didorong oleh rasa takut dan malu yang berujung pada kurang keterbukaan
sehingga berisiko pada kesehatan kehamilan.
3.3.2 Seks pranikah
merusak makna perkawinan Katolik
Pada dasarnya
hakikat dalam hukum perkawinan Katolik terungkap dalam aspek prokreasi dan pendidikan
anak. Dasar perkawinan Katolik terarah kepada unitif dan prokreatif.[35]
Kedua aspek yang ada mengungkapkan panggilan dan tawaran kepada setiap orang
untuk berpartisipasi dalam melanjutkan karya penciptaan Allah. Aspek unitif dan
prokreatif pada dasarnya berhubungan dengan bentuk persetubuhan antara
laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan janji perkawinan. Bentuk dan model
persetubuhan merupakan model persatuan antara laki-laki dan perempuan dengan
maksud untuk menghasilkan keturunan. Bentuk persetubuhan merupakan gambaran
persatuan antara suami dan istri yang mengintegrasikan seksuaitas pada makna
persatuan dalam sebuah hubungan perkawinan. Menurut Ron Rolheiser sebagaimana
dikutip oleh Paskalias Lina mengatakan seksualitas sebagai energi dalam diri
yang mendorong seseorang dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan
gembira, mempunyai afeksi, membangun intimasi, dan relasi dengan diri sendiri,
orang lain dan Tuhan.[36]
Bentuk persatuan ini mengungkapkan makna perkawinan Katolik.
Seks pranikah
merupakan bentuk hubungan yang tidak mendatangkan dan mencerminkan maksud dan
tujuan perkawinan, sebab aspek unitif dan prokreasi diimplementasikan kaum muda
dalam bentuk hubungan seks pada masa pacaran. Hubungan seks pranikah adalah
realitas yang menjungkirbalikkan nilai dan
makna perkawinan Katolik.[37]
Namun seringkali aspek persatuan ini disalahartikan dalam hubungan seks
pranikah yang dilakukan kaum muda. Persatuan akibat dari hubungan seks pranikah
tidak sama sekali mengungkapkan sikap saling memberi dan menerima sebagaimana
dilakukan oleh suami dan istri sesudah dipersatukan dalam perkawinan Katolik.
Kaum muda cenderung melakukan persatuan pada aspek fisik atau biologi semata.
Persatuan yang dilakukan kaum muda sangat bertolak belakang dengan aspek unitif
merujuk pada persatuan fisik dan psikis antara kedua pasangan yakni dalam
pemberian diri yang total dalam satu ikatan janji dan cinta.
Aspk cinta yang
dibangun oleh kaum muda dalam pacaran telah mengaburkan makna cinta sejati
antara suami dan istri. Aspek cinta sejati pada dasarnya lahir dari sikap
pemberian diri yang total antara suami dan istri dengan maksud melahirkan
keturunan melalui sakramen perkawinan. Oleh sebab itu, hubungan seks pranikah
sama sekali mencoreng dan menjungkirbalik makna perkawinan Katolik karena tidak
mencerminkan aspek unitif dan prokreasi.
4.
KESIMPULAN
4.1 Seks
Pranikah Bertentangan Moral Perkawinan Kristiani dan Etika Seksualitas
Seksualitas merupakan anugerah istimewa
dari Tuhan untuk kehidupan manusia. Seksualitas merupakan ungkapan relasi intim
antara pria dan wanita dalam sikap saling memberi dan menerima kekurangan dan
kelebihan demi membentuk suatu persekutuan cinta kasih dalam kehidupan bersama.
Gaudium Et Spes No. 48 menegaskan
bahwa persekutuan hidup suami dan istri yang mesra yakni dalam sikap saling
menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri berdasarkan
ketetapan ilahi.[38]
Persekutuan hidup bersama yang diungkapkan lewat pemahaman seksualitas menurut
norma-norma moral dan hukum perkawinan merupakan dasar kemurnian cinta sejati
dan seksualitas. Gaudium Et Spes No.
49 menegaskan bahwa suami dan istri diundang oleh Sabda Ilahi untuk memelihara
dan memupuk janji setia dengan cinta yang murni dan perkawinan mereka dengan
kasih tak terbagi.[39]
Rasul Paulus dalam surat pertama kepada jemaat di Korintus mengungkapkan bahwa
“Hendaknya suami memenuhi kewajiban kepada istrinya, demikian pula istri kepada
suaminya” (bdk. 1 Kor, 7:3). Penegasan Rasul Paulus merujuk pada cinta sejati
antara suami dan istri dalam keluarga.
Seksualitas
menjadi manusiawi jika diintegrasikan dengan cara yang benar ke dalam hubungan
satu pribadi dengan yang lainnya. Dasar dari persatuan cinta murni antara pria
dan wanita diungkapkan dalam hubungan seksual melalui prinsip norma moral
perkawinan dan tindakan etis seksualitas yang benar. Seksualitas merupakan
upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif
bagi suami-istri, sama sekali tidak melulu bersifat biologis, melainkan
menyangkut kenyataan pribadi manusiawi yang paling inti.[40] Kemurnian
adalah keutamaan moral, anugerah Allah, rahmat, dan buah Roh Kudus.[41]
Hubungan seksual hanya bisa dibenarkan jika kedua pasangan sudah diresmikan
melalui janji perkawinan dalam sakramen perkawinan. Persekutuan hidup bersama
melalui hubungan seks pranikah dalam kehidupan kaum muda merupakan gambaran
penyimpangan dari makna asali seksualitas dan penyimpangan terhadap aturan dan
norma moral perkawinan. Kanon 1084 paragraf
1 mengatakan “impotensi untuk melakukan persetubuhan yang ada sebelum menikah
dan bersifat tetap (perpetua), entah dari pihak laki-laki entah dari pihak perempuan,
entah bersifat mutlak entah relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah menurut
kodratnya sendiri”.[42]
Gereja sangat menentang setiap
pelanggaran moral seksualitas. Penolakan ini berdasarkan ajaran Kitab Suci dan
ajaran iman Katolik. Hubungan seks pranikah adalah perbuatan zinah, cabul dan
mendatangkan dosa yang berat terhadap kemurnian, kesucian dan keluhuran sebuah
sakramen perkawinan. Dosa percabulan merupakan tindakan manusia yang melanggar
dan merusak diri sendiri. Rasul Paulus dalam surat pertamanya kepada jemaat di
Korintus mengungkapkan “jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa yang
dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan
percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri” (bdk. 1Kor, 6:18). Dosa berkaitan
dengan putusan dan kehendak bebas manusia dalam melanggar dan menodai kemurnian
seksualitas. Oleh sebab itu, hubungan seks pranikah yang dilakukan kaum muda merupakan
dosa percabulan, karena melanggar moral seksualitas, kemurnian dan kesucian
tubuh manusia sebagai ciptaan Tuhan. Sebagaiman
dikutip oleh Yohanes M. Vianney
Djawa, Ronal Lawler, Joseph Boyle dan William E. May mengatakan bahwa tindakan
percabulan yang dilakukan semata-mata untuk kesenangan seksual jelas meremehkan
tindakan hubungan seksual.[43]
Hubungan seks pranikah sama sekali tidak mendatangkan maksud dan tujuan dari
panggilan Allah dalam diri manusia, di mana hubungan seks pranikah merujuk
tindakan hawa nafsu dan kenikmatan semata. Hubungan seks pranikah sama sekali
mendatangkan penghinaan terhadap Allah akibat dosa percabulan. Magisterium Gereja
menyebutkan bahwa hubungan seksual pranikah sebagai dosa dan malahan dosa
berat.[44]
Kemurnian sebuah perkawinan menjadi titik awal bagi kaum muda dalam membina
hubungan cinta. Kemurnian mengungkapkan relasi interpersonal manusia dengan
Allah yang diungkapkan dalam relasi dan perilaku seksual antar manusia.
Tindakan ini dilihat dari sikap dan tindakan manusia dalam memahami dan
menghayati seksualitas sebagai anugerah untuk melanjutkan keturunan.
Larangan
Gereja Katolik terhadap hubungan seks pranikah dilakukan karena berlandaskan
pada dua aspek penting yakni pada aspek persona dan aspek dasar cinta yang
dibangun dalam masa pacaran. Pertama,
dalam aspek persona. Gereja mengharuskan agar setiap pasangan untuk mencintai
secara total dalam sikap saling memberi dan menerima kelebihan dan kekurangan
berdasarkan kasih Kristus yang setia mengasihi
mereka. Kasih suami-istri mencapai kepenuhan yang merupakan tujuan
intrinsiknya, yakni cinta suami-istri, cara yang khas dan istimewa, cara mereka
ikut serta dalam dan dipanggil untuk menghayati cinta kasih Kristus sendiri.[45]
Penegasan ini sekaligus mengkritik model hubungan yang dibangun kaum muda dalam
masa pacaran, di mana mereka sering mendasarkan sikap saling mencintai hanya
sebatas pada keindahan dan kecantikan tubuh lahiriah dan bukan pada keutuhan
kepribadian seseorang. Gereja mengharapkan agar setiap kaum muda mendasarkan
cinta bersifat persona yang berakar dalam cinta Tuhan.
Kedua, aspek cinta
sebagai dasar hidup bersama. Dasar hukum perkawinan Gereja Katolik menganjurkan
agar setiap orang membangun hubungan cinta pada sikap saling memberi dan
menerima kekurangan dan kelebihan. Kanon 1057 paragraf 2 mengatakan
“kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki
dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk
membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”.[46] Dasar hubungan cinta ini menjadi landasan untuk saling
melengkapi kekurangan dan kelebihan dari setiap pasangan. Gambaran sikap saling
mencintai ini mengungkapkan nilai pengorbanan untuk menjaga dan merawat
hubungan cinta dari berbagai tindakan pemenuhan cinta melalui seks. Sikap
pengorbanan yang dibangun merujuk pada aspek biologis, psikologis, hubungan
sosial dan persona. Hal ini demi mengantisipasi kaum muda yang sering melakukan
hubungan seks pranikah sebagai jalan pembuktian akurat cinta. Sebab pembuktian
cinta palsu melalui seks merupakan sebuah pelanggaran terhadap moral perkawinan
dan etika sosial dalam sebuah hubungan bersama.
4.2 Seks
pranikah Bertentangan dengan Maksud dan Tujuan Perkawinan
Hubungan seks
pranikah yang dilakukan kaum muda tidak mencerminkan maksud dan tujuan
perkawinan Kristiani yakni prokreasi dan pendidikan seorang anak. Pertama, pelanggaran terhadap prokreasi. Dasar penolakan ini, Gereja melihat
bahwa hubungan seks pranikah merupakan sebuah hubungan seks yang terjadi di
luar hukum perkawinan Gereja Katolik. Gereja melihat bahwa segala bentuk
hubungan seks pranikah atau tanpa ikatan janji perkawinan dengan maksud untuk
menghasilkan keturunan merupakan sebuah tindakan dosa yakni perzinahan. Dasar
penolakan demikian bahwa hubungan seks pranikah tidak mendatangkan rahmat dan
tidak mencerminkan maksud dan tujuan Allah dalam sebuah perkawinan. Sebab pada
dasarnya tugas asasi keluarga ialah mengabdi kepada kehidupan, mewujudkan
secara konkret dalam sejarah berkat Sang Pencipta pada awal mula, yakni:
melalui prokreasi.[47]
Oleh sebab itu anak yang dihasilkan dalam hubungan seks pranikah merupakan
hasil perzinahan antara kedua pasangan.
Perkawinan Kristiani pada dasarnya merupakan
suatu gambaran panggilan hidup dari Allah guna melanjutkan keturunan. Hubungan
suami-istri mempunyai makna rangkap dua: unitif
(pemberian diri pasangan satu sama lain) dan prokreatif (keterbukaan pada keturunan).[48] Panggilan hidup
suami dan istri dikukuhkan dalam janji perkawinan melalui Sakramen Perkawinan.
Persatuan suami dan istri melahirkan suatu keturunan yang baru melalui seks.
Maka juga, "suami istri yang tidak dikaruniai Allah dengan anak-anak masih
dapat memiliki kehidupan suami-istri yang penuh makna, baik secara manusiawi
maupun Kristiani.[49]
Oleh sebab itu, Gereja Katolik membenarkan tindakan seksualitas setelah
diresmikan dalam sakramen perkawinan berdasarkan tuntutan moral Kristiani dan
hukum-hukum perkawinan.
Kedua, masalah
hubungan seks pranikah tidak mendukung pendidikan anak. Pendidikan seorang anak
merupakan tugas dan tanggung jawab dari suami dan istri yang telah menikah
secara sah melalui sakramen perkawinan. Kanon 1136 mengatakan orangtua
mempunyai kewajiban sangat
berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan
pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.[50]
4.3 Seks
Pranikah Merendahkan Martabat Laki-Laki dan Perempuan
Kitab Kejadian melukiskan bahwa Allah
menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah sendiri. “maka Allah
menciptakan manusia menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej, 1:27). Makna tersirat dari kisah penciptaan
manusia ini mengungkapkan sikap
penghormatan dan penghargaan terhadap satu sama lain yakni antara laki-laki dan
perempuan. Jika dibandingkan dengan makhluk
lainnya manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka dalam diri
manusia terdapat dimensi kelihatan (badan, tubuh manusia) dan dimensi tak
kelihatan (jiwa, roh manusia). Kedua dimensi yang ada merujuk pada harkat dan
martabat laki-laki dan perempuan sebagai makhluk
mulia dan kudus. Yohanes Paulus II
sebagaimana dikutip oleh Paus Fransiskus bahwa “Setiap manusia dalam keunikan yang tiada taranya terdiri tak hanya dari roh, melainkan
juga tubuh. Dengan demikian orang menyentuh dalam tubuh dan melalui tubuh
pribadi sendiri dalam realitas konkretnya.[51] Gereja
menuntut agar semua orang menaruh penghormatan
terhadap martabat manusia. Maka dari itu menghormati martabat manusia berarti,
memelihara identitas tubuh dan jiwa satu manusia.[52] Ensiklik Humanae Vitae dari Beato Paulus VI,
menggarisbawahi pentingnya menghormati martabat manusia dalam menilai secara
moral metode-metode pengaturan kelahiran.[53] Oleh
sebab itu, hubungan seks pranikah melawan dan merendahkan martabat laki-laki
dan perempuan.
Tubuh tidak hanya merujuk pada tubuh
biologis tetapi tubuh gambaran kodrat insani yang merupakan citra Allah. Kodrat
manusia harus dipahami berdasarkan kesatuan tubuh dan jiwa.[54] Tubuh merupakan lambang dan hasil dari percikan daya Sang
Ilahi. Gereja dalam pengakuan
imannya menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, yang kelihatan
dan tak kelihatan, semua makhluk spiritual dan yang bertubuh, yaitu para
malaikat dan dunia yang kelihatan, khususnya, manusia. Tubuh merupakan
hasil seniman karya agung dan kesempurnaan dari Allah.[55] Tubuh manusia mengungkapkan
keseluruhan relasi adikodrati antara manusia dengan Allah. Oleh sebab itu,
hubungan seks pranikah merupakan pelanggaran akan harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk mulia dan kudus.
Tubuh manusia
sebagai suatu privat dan tertutup telah ditelanjangi akibat dosa percabulan.
Rasul Paulus dalam surat pertamanya kepada jemaat di Korintus mengungkapkan
bahwa “tubuh bukanlah untuk percabulan” (bdk. 1 Kor: 13b). Tubuh merupakan bait Roh Kudus.
Rasul Paulus menegaskan “tidak tahukah kamu
bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan kamu bukan
milik kamu sendiri” (bdk. 1Kor, 7:19). Dasar
dari argumen dan ajaran tentang tubuh telah dinodai oleh kaum muda dengan
melakukan hubungan seks pranikah. Kaum muda cenderung melihat tubuh hanya
sebatas pada bentuk dan rupa dalam keindahan yang dapat memancing dan
merangsang nafsu birahi tanpa melihat tubuh sebagai gambaran keseluruhan
sebagai simbol citra Allah. Tubuh dan Seksualitas manusia menjadi sesuatu yang
biasa sekali, karena diartikan dalam pengertian yang sempit dengan
mengaitkannya dengan tubuh serta kenikmatan dan hawa nafsu.[56] Dasar pandangan demikian merupakan lambang sebuah dosa
perzinahan dan penistaan akan nilai dan kesucian dari tubuh. Rasul Paulus
menegaskan bahwa “mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenanan
kepada Allah” (bdk. Rm, 8:8).
Dalam Injil Matius Yesus mengungkapkan, “karena itu dari hatimu timbul segala pikiran jahat,
perzinahan, pencabulan, sehingga menajiskan orang”
(Mat, 15:19-20)”. Penegasan Yesus
bahwa hubungan seks tanpa ikatan janji perkawinan merupakan sebuah tindakan
yang dosa yakni sebagai bentuk perzinahan dan percabulan yang berasal dari
hati. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus mengungkapkan bahwa
hubungan seks pranikah atau tanpa ikatan janji perkawinan merupakan sebuah
praktik percabulan, porneia yang
menodahi dan melecehkan hubungan adikodrati antara orang Kristen dengan Tuhan
(bdk. 1 Kor, 6:17, 7:23). Berdasarkan penilaian moral perkawinan Kristiani,
kaum muda telah memutuskan relasi interpersonal manusia dengan Allah akibat
tindakan seks pranikah yang merupakan dosa perzinahan dan pelanggaran akan
harkat dan martabat kesucian Tubuh manusia.
4.4 Relevansi
Pemahaman Moral Perkawinan Kristiani dan Etika Seksulitas bagi Kaum muda
4.4.1 Tanggung
Jawab Orangtua dalam Mendidik dan Membekali Pemahaman Seksualitas kepada Kaum
muda
Anak merupakan
anugerah terindah dari Tuhan. Kehadiran seorang anak dalam keluarga membawa
warna dan sukacita tersendiri bagi suami dan istri. Kehadiran seorang anak
dalam keluarga merupakan buah dari lambang cinta antara kedua orangtua. Dasar
kehidupan bersama yang dibangun suami dan istri berdasarkan maksud dan tujuan
Allah yakni demi suatu tindakan prokreasi dan pendidikan anak. Orangtua
sedianya harus menghadirkan dan menunjang bangunan hidup rohani dan jasmani
seorang anak.
Gereja Katolik
mengajak dan menghimbau agar setiap orangtua untuk membangun kehidupan bersama
harus berdasarkan cinta kasih yang murni dan berdasarkan bimbingan terang moral
perkawinan Kristiani dan berdasarkan norma seksualitas agar kehidupan keluarga
mendatangkan kebahagiaan dan keharmonisan. Pendidikan moral seksualitas menjadi
tugas utama dari kedua orangtua. Kanon 1136
mengatakan orangtua
mempunyai kewajiban sangat
berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan
pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.[57]
Pendidikan
moral seksualitas berguna untuk membentuk dan mendidik mentalitas, nilai-nilai
sosial kemasyarakatan, seksualitas dan aspek religius yakni tentang penghayatan
iman seorang anak. Kanon 1071 paragraf 6, mengungkapkan bahwa orang mempunyai
peranan penting dalam pendidikan dan pemeliharaan seorang anak serta mempunyai
hak penuh dalam menentukan seorang anak khususnya berkaitan dengan pernikahan.
Model pendidikan demikian dapat mendorong seorang anak untuk menghargai harkat
dan martabat sebagai seorang manusia yang dianugerahkan dengan martabat tubuh
dan seksualitas. Pendidikan seksualitas dan aktivitas harus melibatkan setiap
pribadi dalam proses belajar “dengan ketekunan dan konsistensi, tentang makna
tubuh.[58] Masyarakat luas dapat menghasilkan program pendidikan
tentang efektivitas dan seksualitas yang menghormati tahap kematangan setiap
pribadi dalam kedua bidang tersebut sekaligus mengembangkan rasa hormat
terhadap harkat dan martabat tubuh orang lain.[59] Seorang kaum muda mempunyai tanggung jawab atas dirinya
sendiri maupun orang lain.
Penyimpangan
terhadap seksualitas tentunya merusak jati diri dan martabat manusia sebagai
citra Allah. Penyimpangan terhadap harkat dan martabat manusia merupakan
masalah yang sangat ditentang oleh Gereja. Sebab Gereja sangat menghargai
manusia sebagai makhluk yang lebih mulia dan kudus dibandingkan dengan ciptaan
lainnya. Pemahaman nilai moral seksualitas dan moral perkawinan Kristiani mesti
menjadi landasan dasar bagi kaum muda. Pemahaman dan pendidikan nilai moral
yang dimulai dari dalam keluarga. Kanon 226 paragraf 2 mengungkapkan bahwa,
orangtua, karena telah memberi hidup kepada anak-anaknya, terikat kewajiban
sangat berat dan mempunyai hak untuk mendidik mereka; maka dari itu adalah
pertama-tama tugas orangtua kristiani
untuk mengusahakan pendidikan
kristiani anak-anak menurut
ajaran diwariskan Gereja.[60]
Sikap dasar
yang mesti dibangun oranguta ialah mendorong dan membentuk pribadi seorang anak
untuk berkembang dalam aspek rohani dan aspek jasmani. Pentinglah bahwa pembinaan mereka sendiri tidak hanya mencakup
aspek-aspek profesional, tetapi juga kesiapan budaya dan spiritual.[61] Kedua aspek yang ada dapat menjadi landasan bagi kaum
muda dalam membentuk jati diri. Berdasarkan pengalaman hidup dalam jenjang
perkawinan akan dampak baik maupun buruk mesti secara terbuka diceritakan
kepada kaum muda. Dasar bangunan hidup rohani dan jasmani orangtua dapat
mempengaruhi mental dan psikologi seorang anak. Dasar pengalaman dapat membuka
wawasan dan cara pandang orang muda dalam meniti kehidupannya di dalam masa
pacaran. Pengalaman hidup perkawinan orangtua yang dapat mempengaruhi
kepribadian kaum muda terkhususnya dalam pembentukan nilai moral perkawinan
dapat membantu kaum muda dalam membangun kehidupan secara bijaksana dan
bertanggung jawab.
4.4.2 Peran
dan Fungsi Keluarga bagi Kehidupan Kaum Muda
Diskusi tentang
seksualitas merupakan sikap bimbingan dan pendampingan yang dapat membuka
wawasan kaum muda muda tentang seksualitas. Pendampingan demikian dapat membuka
akhlak kaum muda dan menekan kebebasan kaum muda berkaitan dengan kekerasan
seksual dan pornografi yang dapat merusak dan mempengaruhi perilaku moral dan
etika seksual kaum muda. Penyebaran pornografi dan perdagangan tubuh sungguh
mengkhawatirkan, yang ditunjang juga oleh penyalahgunaan internet.[62]
Berbagai model diskusi yang dapat dilakukan orangtua harus memetahkan masalah
berkaitan dengan kekerasan seksual, pemahaman tentang seksual, faktor-faktor
yang mempengaruhi hubungan seksual dan dampak dari hubungan seksual pada masa
pacaran. Oleh sebab itu, orangtua harus membicarakan seksualitas pada waktu
bersama dengan kaum muda antara lain pada waktu makan bersama dan waktu
rekreasi bersama. Waktu dan kesempatan yang ada merupakan tempat dan kesempatan
yang sangat baik bagi orangtua dalam mengutarakan diskusi tentang seksualitas
kepada kaum muda.
4.4.3 Orangtua
mesti mengutarakan dampak dari seks pranikah jika dilakukan kaum muda dalam
masa pacaran
Masa pacaran
merupakan awal dari seorang kaum muda dalam mengenal dan membangun hubungan
dengan lawan jenis. Dalam masa pacaran ini, kaum muda cenderung mencari tahu
dan ingin coba tentang hubungan seks, sebab dalam masa pacaran sangat
memungkinkan terjadi hubungan seks pranikah. Kaum muda pada umumnya mendasarkan
cinta palsu dalam hubungan seks sebagai ungkapan kesetiaan kepada pasangan.
Oleh sebab itu, orangtua harus mendampingi kaum muda sejak kaum muda mengenal
dunia pacaran. Orangtua harus memberi awasan bagi kaum muda berkaitan dengan
bagian tubuh yang tidak boleh dipegang atau disentuh karena dapat membangkitkan
hasrat seksual yang berujung pada hubungan seksual. Model pendampingan demikian
dapat mendorong kaum muda untuk menjaga dan memelihara cinta, janji, kesetiaan
dan tanggung jawab kaum muda sejak masa pacaran sebelum memasuki jenjang
perkawinan. Jhon Paul “The Christian
Family In The Modern World” dalam buku Vatican Council II, mengatakan:
Knowing that marriage and the family
one of the most precious of human values, the Church wishes to speak and offer
her help to those who are already aware of the value of marriage and the family
and seek to live it faithfully, to those who are uncertain and anxious and
searching for the truth, and to those who are unjustly impeded from living freely
their family live. Supporting the first, illuminating the second and assisting
the others , the Church offers her services to every person who wonders about
the destiny of marriage and the family.[63]
Dampak dari hubungan seks pranikah sungguh
sangat mempengaruhi perilaku seksual kaum muda ke arah penyimpangan seksual
dalam masa pacaran. Hal itu dapat dilihat dari masalah kehamilan, kehadiran
anak tanpa ayah, penelantaran perempuan yang hamil, depresi dan tekanan. Dampak
dari akibat hubungan seks sangat mempengaruhi psikologi dan psiko emosional
kaum muda antara lain depresi dan tekanan, menimbulkan berbagai penyakit
menular antara lain Human Immune
Deficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS)[64], sipilis dan masalah
pengangguran, pendarahan. Dengan demikian, sikap dan respon tegas dari orangtua
dapat mengantisipasi kecenderungan perilaku seksual yang mendatangkan masalah
bagi dirinya sendiri maupun pasangan
4.4.4 Orangtua mesti
melakukan pendampingan dan membatasi penggunaan gadget pada kaum muda
Kehadiran media
sosial sangat mempengaruhi perilaku seksual kaum muda. Kaum muda yang mengakses
media sosial khususnya berkaitan dengan dunia pornografi. Kaum muda sering
menimbulkan aksi-aksi yang tidak bertanggung jawab antara lain kaum muda yang
cenderung larut dalam menikmati dunia hiburan yang berbaur pornografi cenderung
meniru serta memperagakan kembali dalam masa pacaran. Sikap meniru merupakan
sifat naluri dasar pada masa pertumbuhan dan perkembangan kaum muda. Oleh sebab
itu, orangtua perlu membatasi kaum muda dalam menggunakan gadget, sebab sangat mempengaruhi perilaku seksual mereka dalam
hubungan masa pacaran. Respon yang mesti dilakukan orangtua antara lain
memperhatikan waktu belajar seorang anak, mengembangkan daya kreatif dari
seorang anak dengan memanfaatkan media sosial sebagai ruang untuk mendapat
informasi berkaitan dengan dunia pendidikan. Jika berbagai cara ini telah
dilakukan orangtua sejak dalam kehidupan keluarga, maka akan membangkitkan
pemahaman dan pendidikan tentang moral dan etika seksual yang bertanggung jawab
bagi kaum muda dalam masa pacaran. Pendidikan demikian dapat mendorong kaum
muda untuk menjadi generasi muda yang berkualitas yang mempunyai integritas
diri.
4.5 Usulan
dan Saran
4.5.1
Bagi Gereja
Hubungan seks pranikah merupakan
salah satu bentuk dari hubungan tanpa ikatan janji perkawinan. Hubungan seks
pranikah merupakan hubungan yang sangat ditentang oleh Gereja. Dasar penolakan
Gereja, karena hubungan seks pranikah merupakan salah satu bentuk hubungan
perzinahan dan percabulan serta mendatangkan dosa atas kemurnian tubuh.
Penolakan ini berdasarkan ajaran Magisterium Gereja dalam dokumen-dokumen Gereja dan Kitab Suci yang mengajarkan bahwa hubungan seks
yang sah hanya terjadi ketika pasangan sudah diberkati dalam sakramen
perkawinan.
Gereja harus meningkatkan
peran dan fungsinya dalam memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang
seksualitas. Berbagai penyuluhan yang ada dapat meningkatkan kesadaran kaum
muda dalam melihat dan memandang seksualitas sebagai anugerah Tuhan. Dalam
meningkatkan kesadaran kaum muda, Gereja semestinya harus terbuka dalam
memberikan penyuluhan tentang seksualitas dalam berbagai kegiatan dengan kaum
muda. Gereja harus memberikan pemahaman secara komprehensif berkaitan dengan
etika dan moral perkawinan Kristiani. Dengan demikian, kaum muda dapat
menghargai dan menghormati martabat seksualitas dalam masa pacaran dan pada
setiap fase pertumbuhan dan perkembangan menuju jati
diri ideal.
4.5.2 Bagi
Kaum Muda
Realitas masalah hubungan seks
pranikah merupakan masalah sosial yang sedang terjadi dalam kehidupan kaum
muda. Kaum muda umumnya melakukan hubungan seks pranikah pada masa pacaran,
sebab masa pacaran sangat berpotensi bagi kaum muda untuk melakukan hubungan
seks pranikah. Oleh sebab itu, dalam pertumbuhan dan perkembangan diri kaum
muda harus dibekali dengan berbagai
pemahaman tentang seksualitas melalui berbagai kegiatan bersama antara lain
mengadakan diskusi dan seminar tentang seksualitas, khususnya berkaitan dengan
persetubuhan. Kaum muda harus diajak untuk berpartisipasi aktif dan kreatif
dalam menelaah dan memahami martabat hubungan
seksual yang bertanggung jawab dan bermoral dalam lingkup hubungan masa
pacaran.
Dengan demikian, kaum muda dapat
secara sadar dan peka untuk menghindari hubungan seks pranikah pada masa pacaran. Kaum muda yang dibekali dengan pengetahuan tentang moral
seksualitas diharapkan dapat mengimbangi dorongan seksualitas dalam diri. Hal
ini dimaksudkan agar kaum muda dapat menghayati dan menghidupi nilai cinta yang
dibangun dalam masa pacaran dengan bijaksana dan bertanggung jawab.
Oleh sebab itu, berbagai kegiatan
diskusi dan seminar tentang seksualitas, harus diimplementasikan dalam berbagai
kegiatan kepemudaan antara lain kegiatan Orang Muda Katolik (OMK), katekese,
doa bersama, ziarah, dan kegiatan rohani lainnya. Berbagai kegiatan rohani ini
dapat membantu kaum muda dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup mereka. Berbagai kegiatan yang ada dapat memupuk dan
mendorong rasa dan sikap tanggung jawab dan bijaksana dalam hubungan masa pacaran.
4.5.3
Bagi Keluarga
Masalah
hubungan seks pranikah merupakan masalah yang sedang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Dalam masyarakat terdapat keluarga. Keluarga yang dimaksudkan ialah orangtua. Orangtua merupakan agen
pastoral yang mempunyai peran penting dan bertanggung jawab dalam menanamkan
nilai moral dan etika perilaku seksual kepada anak-anaknya. Oleh sebab itu,
masalah hubungan seks pranikah merupakan masalah yang sedang terjadi dalam
tubuh perkawinan dalam keluarga. Dalam hal
ini, orangtua harus mempunyai peran yang andil dalam membimbing dan mendidik
kaum muda yang terjebak dalam hubungan seks pranikah.
Orangtua
harus mendidik dan membimbing setiap pertumbuhan dan perkembangan seksualitas
kaum muda sejak masih kecil agar dalam usia dewasa kaum muda tidak melakukan hubungan
seks pranikah pada masa pacaran. Berbagai model pendampingan, pendidikan dan pembekalan tentang seksualitas sebagaimana dijelaskan dalam bab IV tentang peran fungsi orangtua kepada kaum
muda. Dengan demikian, kaum muda dapat memperoleh pemahaman yang memadai
tentang perwujudan seksualitas yang benar dan bertanggung jawab
[1]C. Maas, Teologi
Moral Perkawinan (Maumere: Penerbit Ledalero, 1997), hlm. 78.
[2]Sidang Agung KWI - Umat Katolik, Pedoman Gereja Katolik Indonesia
(Jakarta: KWI, 1996), hlm. 22.
[3]Rifai, “Hubungan Tingkat Religiusitas terhadap
Kecemasan Moral dan Alternatif Pembinaan Moral pada Kenakalan Siswa” Jurnal Teologi Garcia Deo, 3:2
(Surakarta, 2 Januari 2021), hlm. 79.
[4]Dini Rakhmawati, Argo Widiharto dan Fitriana
Khusnul Khotimah, “Religiusitas Sebagai Faktor Protektif Perilaku Seks Pranikah diKalangan Mahasiswa” Jurnal ISSN, XXXVI:1 (Semarang, Juni 2020), hlm. 56.
[5]Pusat Data dan Analisa
Tempo, Remaja dan Perilaku Seks Pranikah
(Jakarta: Tempo Publishing, 2022), hlm. 43.
[6]Ibid.
[7]Alisca Putri Isabella,
Triana Indrayani dan Retno Widowati, “Hubungan Promosi Kesehatan Media Massa dan
Motivasi Diri Terhadap Perilaku Pernikahan Dini di Desa Waringin Jaya Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor tahun 2021” Journal for
Quality in Women's Health, 4:1 (Jakarta: 1 Maret, 2012), hlm. 85.
[8]Ibid.
[9]Lenny Irmawati, “Perilaku Seksual Pranikah
Pada Mahasiswa” Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9:1 (STIKes Medistra
Indonesia, Juli 2013), hlm. 46.
[10]Rifai, “Hubungan Tingkat Religiusitas terhadap
Kecemasan Moral dan Alternatif Pembinaan Moral pada Kenakalan Siswa”, op. cit., hlm. 82.
[11]Kornelis Federiko, “Desakralisasi Tubuh Perempuan Dalam Iklan
Permen Sukoka Menurut Perspektif Kristiani” (Skripsi, Sekolah Tinggi Filsafat
Katolik Ledalero, Maumere, 2019), hlm. 29.
[12]“Tinjauan Etis Teologis Tentang Peneguhan Nikah
Pasangan Hamil di Luar Nikah Gereja di Gereja Penyebaran Injil”, dalam jurnal Rerum: Journal of Biblical Practice, 1:1
(Majalengka, 10 Juli 2021), hlm. 104.
[13]Konferensi Waligereja Indonesia., op.cit., hlm. 27.
[14]Allan Rifandi Sumeleh, “Seksualitas: Suatu
Tinjauan Etis Terhadap Pemahaman Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen
Indonesia Tomohon Tentang Hubungan Seks” Jurnal
Tomou Tou, VI:2 (Minhasa, 8 Maret 2019), hlm. 129.
[15]Paskalis Lina, op. cit., hlm. 187.
[16]Karl-Heinz Peschke, Etika Moral
Kristiani jilid 1, Penerj. Alex Armanjaya (Maumere: Penerbit Ledalero,
2003), hlm. 399.
[17]John W. Santrock, Remaja (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm.112.
[18]Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017), hlm. 43.
Agustinus W. Dewantara menjelaskan: suatu nilai berkaitan dengan perbuatan
manusia. Artinya perbuatan manusialah (dalam makna “perbuatan” dicakup pula
aktivitas berpikir, mempertimbangkan, memutuskan, mempraktikkan,
menindaklanjuti, dan seterusnya) yang langsung berperkara dengan suatu nilai.
[19]Arlinda Feti, Perilaku Seks Bebas dan Penggunaan Media Pornografi (Jakarta: Sinar Harapan, 2003), hlm.69.
[20]Erik Widodo dan Wisnu Sanjaya, “Sosialisasi Pencegahan
Pernikahan Usia Dini Menurut UU Tahun 2019 Pada Warga Dusun Posong,
Karangtengah” Jurnal Intelektiva: Jurnal
Ekonomi, Sosial dan Humaniora (E-ISSN 2686 5661), 2:10 (10 Mei 2021), hlm.
54.
[21]Asmat Purba
dan Salon Mandi Mpu
Nainggolan, “Pola Asuh Orang Tua Kristen Terhadap Anak Dalam Menghadapi
Tantangan Kemajuan Zaman” Jurnal
MONTESSORI: Jurnal Pendidikan Kristen Anak Usia Dini, 4:1 (Bandung), hlm.
11.
[22]Muhammad Azinar, “Perilaku Seksual Pranikah
Berisiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan” Jurnal Kesmas, 8:2 (Semarang: 2018), hlm. 155. http://journal.
unnes. ac. id/nju/index.php/kemas. Diakses pada
tanggal 21 Desember 2021.
[23]Antonius Moa, “Seksualitas Manusia Sebagai
Realitas dan Panggilan kepada Cinta Kasih” Jurnal
LOGOS Filsafat Teologi, 3:1 (1
Januari 2004), hlm. 4.
[24]Ibid., hlm 13.
[25]Ibid., hlm. 3-4.
[26]Pambudi Handoyo, “Makna Hubungan Seks Bebas di
Kalangan Mahasiswa Perantau Unesa” Jurnal
Paradigma, 2:3 (Surabaya, 2014), hlm. 4.
[27]Stefanus M. Marbun dan Kalis Stevanus,
“Pendidikan Seks Pada Remaja” Jurnal FIDEI: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika, 2:2 (Tawangmangu, 27 November 2019), hlm. 336.
[28]Konferensi Waligereja Indonesia, Pornografi dan
Kekerasan dalam Media Komunikasi: Sebuah Jawaban Pastoral, Hadiwikarta
(Penerj.) (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1998), hlm. 11.
[29]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, penerj. V.
Kartosiswoyo et.al., cet. XXI (Jakarta: Obor, 2006), hlm. 153.
[30]Allan Rifandi Sumeleh, “Seksualitas: Suatu
Tinjauan Etis Kristiani Terhadap Pemahaman Mahasiswa Fakultas Teologi
Universitas Kristen Indonesia Tomohon Tentang Hubungan Seks” Jurnal Tumou
Tou, VI:2, (Bandung, 14
April 2019), hlm 129.
[31]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, op. cit., hlm. 30.
[32]Konferensi Waligereja Indonesia, Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam
Gereja dan Dunia Zaman Sekarang, penerj. R.P. F.X. Adisusanto, SJ &
Bernadeta Harini Tri Prasasti (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015), hlm. 15.
[33]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, loc. cit., hlm. 30.
[34]Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, “Pernikahan
Usia Dini dan Permasalahannya” Jurnal
Sari Pediatri, 11:2 (Bandung, Agustus 2009), hlm. 140.
[35]Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid I, op.
cit., hlm. 326-227.
[36]Paskalis Lina, op. cit., hlm. 3.
[37]Martinus Viani Pati Ea, “Dampak Persetubuhan Parnikah Terhadap Kehidupan Perkawinan
Suami-Istri Katolik” (Skripsi, STFK Ledalero, Maumere, 2013), hlm. 58.
[38]Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawiryana SJ, cetakan XII
(Jakarta: Obor, 2013), hlm. 583.
[39]Ibid, hlm. 585.
[40]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, Penerj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004), hlm. 22.
[41]Konferensi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, penerj. Harry Susanto, SJ
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 164.
[42]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik,
Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, penerj. V.
Kartosiswoyo et.al., cet. XXI (Jakarta: Obor, 2006), hlm. 240.
[43]Yohanes M. Vianney Djawa, “Hubungan Seks Di Luar Perkawinan Dalam Pandangan Kristiani”
(Skripsi, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2018), hlm. 61.
[44]Paskalis Lina, Moral Pribadi Pribadi Seksualitas
Manusia Dan Seksualitasnya (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 190.
[45]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, op. cit., hlm. 30.
[46]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 263.
[47]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, op. cit., hlm. 30.
[48]Konferensi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hlm. 165.
[49]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, penerj. R. Purwa Hardiwardoyo (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), hlm. 48.
[50]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, loc. cit., hlm. 250.
[51]Konferensi Waligereja Indonesia, Donum Vitae, penerj. R.P. Piet Go, O.
Carm (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2006), hlm. 9.
[52]Ibid.
[53]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, loc. cit., hlm. 49.
[54]Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-laki dan
Perempuan, op. cit., hlm. 155.
[55]Konferensi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hlm. 37.
[56]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, loc. cit., hlm. 83.
[57]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 250.
[58] Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-Laki dan Perempuan, op. cit., hlm. 24.
[59]Ibid., hlm. 31.
[60]Ibid.,
hlm. 46.
[61]Ibid., hlm. 27.
[62]Ibid., hlm. 16.
[63]Austin Flannery, ed., Vatican Council II. Volume II Vatican Collection (New York:
Costello Publishing Company,1982), hlm. 815. Pernikahan dan keluarga tersebut
merupakan salah satu dari nilai-nilai manusia yang paling berharga. Gereja
ingin berbicara dan menawarkan bantuannya kepada mereka yang sudah menyadari
nilai pernikahan dan keluarga dan berusaha untuk hidup setia, bagi mereka yang
tidak pasti dan cemas dan mencari yang sebenarnya dan bagi mereka yang tidak terhambat dari
hidup secara langsung kehidupan keluarga mereka. Berdasarkan hal ini, gereja membantu menawarkan layanannya kepada setiap orang yang
bertanya-tanya tentang takdir perkawinan dan keluarga.
[64]AIDS adalah penyakit berat akibat virus yang
tersebar melalui pembuluh darah pada setiap orang yang sudah terinfeksi. Cara
penyebaran virus ini meliputi empat cara penyebaran yakni melalui perilaku pertama, homoseksual, cara penyebaran
masuk melalui cairan dalam tubuh yakni air mani, susu, cairan vagina, kedua melalui intravena melalui tindakan
transfusi darah dari seorang kepada yang lain,
ketiga, penyalahgunaan obat narkotika, kempat,
heteroseksual yakni penyebaran akibat hubungan
seksual dari satu pria kepada wanita yang sudah terkena infeksi.
Label: Artikel