Senin, 13 Juni 2022

PENILAIAN MORAL PERKAWINAN KRISTIANI TERHADAP HUBUNGAN SEKS PRANIKAH DALAM KEHIDUPAN KAUM MUDA DAN RELEVANSI BAGI KELUARGA

 

 

PENILAIAN MORAL PERKAWINAN KRISTIANI
TERHADAP  SEKS  PRANIKAH DALAM KEHIDUPAN KAUM MUDA
DAN RELEVANSI BAGI KELUARGA

Albert Mandat Minggu

Mahasiswa Semester VIII Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere

email: albertmandat@gmail.com

 

ABSTRAK

Kehidupan kaum muda dewasa ini telah mengalami banyak perubahan dalam berbagai bidang kehidupan kehidupan. Salah satunya dalam bidang moral dan etika dalam penghayatan kehidupan seksualitas. Hal ini dapat dilihat dari masalah seks pranikah yang menjadi model atau trend hidup baru yang terjadi dalam kehidupan kaum muda. Analisis ini guna membahas tentang tinjauan moral perkawinan Kristiani dan etika seksualitas terhadap hubungan seks pranikah yang dilakukan kaum muda. Hubungan ini tentunya sangat bertolak belakang dengan makna seksualitas sebagai anugerah Tuhan dengan maksud agar manusia dapat melanjutkan karya penciptaan Allah. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan masalah dasar yang mendorong kaum muda Kristen yang melakukan hubungan seks bebas dalam kehidupan mereka. Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan dan mengulas serta menguraikan masalah hubungan seks pranikah guna menemukan masalah dasar hubungan seks pranikah serta berbagai faktor dan dampak bagi kaum muda dan bagaimana sikap orangtua dalam menerapkan model pendampingan dan pendidikan seksualitas bagi kaum muda. Pendidikan moral perkawinan dan edukasi seksualitas sejak kaum muda masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam keluarga menjadi jalan keluar dari masalah hubungan seks pranikah dalam kehidupan kaum muda. Dalam hubungan masa pacaran, orangtua harus membantu kaum muda dalam menjaga komitmen untuk tetap saling mengasihi dan mencintai, bertanggung jawab, setia dan menjalin cinta yang murni sebagai penunjang kehidupan di masa depan yakni dalam kehidupan keluarga. Kegiatan yang ada, dapat membantu kaum muda bertumbuh dan berkembang secara jasmani dan rohani serta mempunyai integritas diri yang bermoral, bermartabat dan bertanggung jawab dalam membangun hubungan dengan lawan jenis dalam masa pacaran.

Kata Kunci: moral perkawinan Kristiani, seks pranikah, kaum muda, keluarga

 

1.   PENDAHULUAN

Perkawinan adalah salah satu hal yang paling penting dalam seluruh perjalanan hidup manusia. Perkawinan merupakan suatu bentuk atau model hidup dalam satu persekutuan berdasarkan satu ikatan cinta. Ikatan cinta menjadi tali silaturahmi antara dua pasangan hidup. Cinta yang lahir dari kedua pasangan membentuk ikatan cinta. Dalam pengakuan iman Gereja, perkawinan dilihat sebagai suatu bentuk partisipasi manusia dalam melanjutkan keturunan dalam karya penciptaan Allah. Hidup perkawinan tidaklah dipandang sebagai kontrak hidup, tetapi sebagai satu persekutuan cinta yang berpartisipasi dalam cinta ilahi, persekutuan hidup yang saling menerima dasarnya pada cinta Allah, yang mau menyelamatkan manusia.[1]

Perkawinan terjadi berdasarkan ikatan cinta. Perkawinan diakui sebagai suatu persekutuan cinta antara seorang pria dan seorang wanita dengan kesadaran penuh dan bebas menyerahkan seluruh diri serta segala kemampuannya satu sama lain untuk selama-lamanya.[2] Perkawinan yang berdasarkan cinta dan pemahaman yang benar tentang seksualitas pada akhir-akhir ini, telah mengalami degradasi penghayatan akan kekudusan dan kemurnian sebuah perkawinan oleh berbagai macam problem sosial kemasyarakatan yang dilakukan kaum muda yakni hubungan seks pranikah. Kehidupan kaum mudah zaman sekarang banyak terjebak dalam masalah hubungan seks pranikah. Kasus hubungan seks pranikah menjadi sebuah persoalan yang menantang moral perkawinan, seksualitas, dan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang bermoral dan berakal budi Dunia dewasa ini, ditandai dengan kemajuan dalam bidang teknologi dan mempengaruhi gaya hidup manusia secara khusus kaum muda. Pada dasarnya segala perubahan dan perkembangan dunia memberikan sumbangsi baik positif maupun negatif. Salah satu aspek negatif dari perubahan dunia yakni perilaku seks yang menyimpang pada kalangan kaum muda. Menurut Rifai, perkembangan teknologi telah membawa perubahan pada tatanan kehidupan dan gaya hidup kaum muda secara luas mempengaruhi perilaku seksual remaja ke arah penyimpangan norma moral seksualitas.[3] Kehadiran teknologi telah menghadirkan berbagai masalah antara lain masalah tentang seks pranikah, pemerkosaan dan berbagai perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab lainnya. Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2018, akibat perkembangan teknologi, kaum muda Indonesia mengalami darurat seks dengan hasil persentase 62,7% remaja Indonesia pernah melakukan hubungan seks pranikah.[4]

Berdasarkan analisis Juliano Witjaksono dalam Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menegaskan bahwa jumlah kaum muda yang melakukan hubungan seks pranikah mengalami tren meningkat di daerah pedesaan.[5] Berdasarkan hasil penelitian terdapat 46 persen kaum muda berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seksual dan 48-51 persen perempuan yang sudah hamil.[6] Selanjutnya dinyatakan bahwa Indonesia adalah satu negara yang memiliki kasus hubungan seks pranikah yang tinggi. Realitas menunjukkan, perempuan muda berusia 15-19 yang telah menikah memiliki angka 11,7% jauh lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun sejumlah 1,6%.[7]

Data tersebut menunjukkan realitas kehidupan kaum muda saat ini sangat memprihatinkan. Kaum muda tidak lagi memiliki kesadaran moral yang ditandai dengan sikap mati rasa dan kecemasan moral, yakni hilangnya rasa cemas saat melakukan pelanggaran moral.[8] Kehilangan kesadaran moral ditunjukkan melalui sikap dan pandangan kaum muda yang menomorsatukan seks dalam masa pacaran. Sebagian besar kaum muda mengalami kemerosotan moral termasuk kaum muda Katolik. Kehadiran perkembangan teknologi telah mempengaruhi setiap kaum muda Katolik pada perilaku seksual yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik. Kaum muda memandang seks hanya sebatas pada aspek biologis semata tanpa melihat dan memahami etika seksualitas dan moral perkawinan. Sikap pemahaman dan penghayatan ini dalam satu posisi didukung dengan perkembangan teknologi yang secara tidak bertanggung jawab misalnya adanya situs porno yang mengeksploitasi bentuk tubuh dan adegan persetubuhan. Menurut survei Komnas Perlindungan Anak di 33 Provinsi Januari s/d Juni 2008 menyimpulkan sebesar 97% kaum muda SMP dan SMA pernah menonton film porno; sebesar 93,7% remaja SMP dan SMA pernah melakukan seks pranikah pada masa pacaran, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral sex (seks melalui mulut).[9]

Dalam satu posisi seks pranikah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, tetapi disisi lain masalah seks pranikah terjadi karena adanya bentuk kesepakatan, komitmen antara kedua pasangan dalam masa pacaran. Kesepakatan hidup bersama ini, didahului dengan hubungan seks pranikah sebelum disahkan dalam sakramen perkawinan. Kaum muda melihat bahwa kesepakatan dan komitmen menjadi dasar motivasinya untuk melakukan hubungan seks pranikah. Hal ini dimaksudkan bahwa hubungan dan relasi cinta yang dibangun dapat memperkuat nilai kesetiaan dari kedua pasangan dalam melakukan hubungan seks pada masa pacaran. Namun Gereja justru melihat dan memandang bahwa model kesepakatan yang didahulukan dengan hubungan seks pranikah dalam masa pacaran merupakan sebuah pelanggaran dan penyimpangan moral seksual dan moral perkawinan Kristiani. Hal ini disebabkan oleh pandangan Gereja yang sangat menekankan aspek kemurnian dan kesucian tubuh seseorang sebelum memasuki jenjang perkawinan.

Pemahaman tentang hidup bersama seperti suami dan istri cenderung di salah-artikan kaum muda dalam masa pacaran. Kaum muda melihat dengan melakukan seks berarti mengungkapkan perjanjian untuk setia dan tanggung jawab seperti suami dan istri. Menyikapi persepsi yang salah dari kaum muda, maka harus dicari solusi dengan pendidikan rohani dan jasmani, pendidikan moral dan etika seksualitas agar mengatasi kecenderungan seksual yang tidak sehat pada masa pacaran. Kaum muda yang mempunyai penghayatan religius yang mendalam dapat menjadi benteng utama dalam memerangi perilaku penyimpangan dan mampu memiliki perilaku-perilaku baik sesuai norma moral yang berlaku.[10] Oleh sebab itu hubungan seks pranikah yang dilakukan kaum muda merupakan tindakan amoral dan sesat karena menyimpang dari aturan dan norma moral perkawinan Kristiani dalam Gereja Katolik.

2.   METODE PENULISAN

Dalam menelisik kasuh hubungan seks pranikah, penulis menggunakan jasa perpustakaan dengan mengkaji berbagai sumber dan literatur yang membahas dan mengulas tentang masalah hubungan seks pranikah. berbagai sumber ini dapat membantu penulis dalam menelisik kasus hubungan seks pranikah dengan maksud mencari dan menemukan latar belakang dari masalah hubungan seks pranikah yang maraknya sedang terjadi dalam kehidupan kaum muda. Selain itu, penulis mengutip berbagai jurnal dan artikel yang membahas secara khusus hubungan seks pranikah. Berdasarkan berbagai referensi yang ada, pada akhir tulisan penulis akan membuat penilai masalah hubungan seks pranikah berdasarkan ajaran moral perkawinan Kristiani dan etika dalam seksualitas. Hal ini demi melahirkan suatu sumbangsi pemikiran sebagai metode kajian dalam menelisik masalah hubungan seks pranikah.

3.   HASIL PEMBAHASAN

3.1    Pengertian Seks Pranikah

Hubungan seks pranikah adalah salah satu bentuk persetubuhan yang dilakukan orang-orang tanpa melalui ikatan janji perkawinan. Menurut Kees Maas sebagaimana dikutip oleh Kornelis Federiko, mengatakan bahwa relasi seksual demikian dinamakan juga dengan fornication simplex atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan.[11] Seks pranikah adalah hubungan seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing individu.[12] Dalam hal ini, hubungan seks tersebut dilakukan secara ilegal. Seks pranikah pada umumnya dilakukan kaum muda. Hampir dalam setiap pertumbuhan dan perkembangan kaum muda terdapat masalah hubungan seks pranikah. Banyak kaum muda yang melakukan hubungan seks pranikah karena dipengaruhi oleh kehendak bebas secara individu yang tidak terikat pada aturan dan norma agama. Akibatnya, hubungan seks pranikah semakin meluas dan mempengaruhi hidup kaum muda yang tidak selaras dengan aturan dan norma perkawinan.[13]

Kaum muda yang melakukan seks pranikah mendatangkan masalah bagi kehidupannya sebelum memasuki jenjang perkawinan. Kaum muda yang melakukan seks pranikah didorong dan dimotivasi oleh cinta palsu. Motivasi ini sebenarnya dengan alasan untuk membuktikan kesetiaan dan keseriusan dalam hubungan bersama. Hubungan seks pranikah mengungkapkan sebuah pelanggaran terhadap norma moral dan hukum perkawinan dalam Gereja Katolik serta paham tentang seks.

3.2    Faktor-Faktor yang mempengaruhi Seks Pranikah

3.2.1   Minimnya Pengetahuan Tentang Seksualitas

Pemahaman seksualitas telah mengalami pergeseran. Hal ini disebabkan adanya suatu konsep yang keliru dalam diri kaum muda untuk memahami dan memaknai seksualitas. Kaum muda kurang kritis dalam menanggapi dan mempelajari hal-hal baru serta informasi-informasi tentang seksualitas, sehingga kaum muda memandang seksualitas hanya sebatas hubungan badan. Minimnya pendidikan seksual dari kaum muda mendatangkan masalah penyimpangan seksual yang ditempuh seks yang tidak wajar demi mendapatkan kenikmatan.[14] Seringkali hubungan seksual pranikah semata-mata didasarkan pada upaya mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seksual.[15]

Minimnya pendidikan tentang seksualitas terjadi karena orangtua membatasi pembicaraan mengenai seksualitas pada kaum muda. Alasan pembatasan ini, karena seksualitas masih dianggap tabu dan privat jika diperbincangkan kepada kaum muda. Akibatnya, kaum muda terdorong mencari informasi tentang seksualitas pada sumber-sumber salah yang dapat menjerumuskan mereka pada penyimpangan seksual pada masa pacaran. Berbagai informasi yang ada berkaitan dengan dunia pornografi, kasus pemerkosaan dan lain-lain.

 Minimnya pendidikan seksualitas dari orangtua mendatangkan pengaruh buruk pada pengolahan nafsu dalam diri kaum muda dan dalam relasi dengan lawan jenis dalam masa pacaran. Kaum muda dapat mencintai pasangannya dalam pacaran dengan maksud pelampiasan hawa nafsu. Lebih dari itu, nafsu yang tidak terkontrol akan berpengaruh pada terlambatnya perwujudan nilai moral akibat ekspresi cinta dilihat sebagai tempat untuk pelampiasan nafsu.[16]

Keluarga menjadi tempat pertama bagi seseorang dalam pembentukan jati diri. Dalam pembentukan jati diri, seorang anak dididik dan dilatih oleh anggota keluarga. Para ahli genetika berpendapat bahwa untuk menganalisis peranan orangtua dalam kehidupan kaum muda mesti dididik dan dibina secara baik.[17] Dalam pembentukan itu, peranan orangtua dilihat sangat penting dalam menanamkan segala nilai berkaitan dengan perilaku seksual.[18]

Pendidikan dan pemahaman seksualitas serta pembentukan kehidupan rohani dalam keluarga sangat menentukan jati diri seorang anak sebelum memasuki jenjang perkawinan. Orangtua yang kurang memberi pemahaman dan pengarahan tentang seksualitas akan mendatangkan gangguan  kesehatan reproduksi  serta berujung pada perilaku seks pranikah.[19] Hubungan seks pranikah mudah terjadi jika tingkat pendidikan seorang anak tidak diperhatikan secara baik oleh orangtua. Rendahnya tingkat pendidikan orangtua, anak dan masyarakat mendatangkan masalah perkawinan anak di bawah umur.[20]

Pembekalan dan pendidikan seksualitas adalah jalan untuk meminimalisasi tindakan seksual yang keliru dalam masa pacaran. Pembekalan dan pendidikan seksualitas perlu diperhatikan di berbagai lembaga pendidikan khususnya pendidikan tentang seksualitas. Oleh sebab itu orangtua merupakan tempat pertama bagi kaum muda menerima pembekalan dan pendidikan tentang seksualitas. Keberhasilan pendidikan dalam keluarga mesti dilakukan pendidikan rohani dan jasmani pada lembaga-lembaga resmi.[21]

Orangtua mempunyai peran utama dalam pembinaan mental dan pendidikan tentang seksualitas kepada kaum muda, sehingga kaum muda tidak hanya memandang seks hanya sebatas hubungan seks semata tetapi merupakan sebuah anugerah yang harus dipenuhi. Seksualitas dan perilaku seks yang menyimpang dianggap sebagai hal yang biasa di kalangan remaja, bahkan tidak sedikit yang menjadikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi.[22] Perspektif yang keliru diakibatkan oleh sikap dan upaya mencari tahu informasi tentang seksualitas. Kecenderungan demikian mempengaruhi pikiran, mental dan perasaan kaum muda, sehingga kaum muda terdorong untuk mengalami seks secara langsung dalam masa pacaran.  

3.2.2   Pemenuhan Cinta Palsu dalam Masa Pacaran

Seks merupakan ungkapan relasi intim antara pria dan wanita yang sudah resmi untuk hidup bersama sebagai pasangan suami dan istri. Seksualitas dalam arti yang luas dan mendasar dapat diterangkan sebagai cara berada dan relasi manusia sebagai laki-laki dan perempuan.[23] Namun akhir-akhir ini pemahaman dasar tentang seksualitas telah mengalami pergeseran akibat pandangan yang keliru. Kaum muda melihat seks sebagai syarat utama untuk melengkapi hubungan percintaan dalam masa pacaran. Pandangan tentang seksualitas berkaitan dengan masalah seks pranikah, aborsi, pornografi dan perzinahan oleh kaum muda pada masa pacaran.[24] Pemenuhan cinta palsu lewat hubungan seks adalah sebuah jalan bagi kaum muda demi mengungkapkan nilai keseriusan dan kesungguhan dalam hubungan. Hubungan seks yang dilakukan kaum muda sebagai bentuk ungkapan cinta palsu terhadap pasangan dalam masa pacaran.[25] Hubungan kaum muda adalah pembuktian bahwa pelaku benar-benar mencintai pasangannya.[26] Pengungkapan cinta palsu didorong oleh faktor pelampiasan nafsu birahi yang terselubung akan berdampak buruk bagi setiap pasangan

 

3.2.3   Perkembangan Media Sosial

Perkembangan media sosial dapat mendorong kaum muda untuk mengakses berbagai informasi. Perkembangan media sosial membuka kemungkinan kaum muda secara bebas mengakses situs-situs pornografi.[27] Pornografi adalah pelanggaran terhadap hak tubuh manusia baik pria maupun wanita. Kaum muda menjadikan media sosial sebagai sarana untuk merangsang birahi. Kaum muda cenderung menjadikan media sosial bukan sebagai sarana untuk mendapat informasi baru berkaitan dengan kehidupan, tetapi sebagai sarana untuk mengakses konten-konten yang berbahaya bagi kehidupan mereka. Seri Dokumen Gerejawi No. 53 menegaskan bahwa kehadiran pornografi sangat mempengaruhi perkembangan moral pribadi lebih mendalam berkaitan dengan perkawinan dan kehidupan keluarga.[28] Kehadiran media sosial telah mempengaruhi pola pikir dan tindakan kaum muda terlebih khusus dalam berkaitan dengan pola hubungan timbal balik dalam dunia percintaan. Kanon 666 berisikan peringatan agar orang Katolik dapat menggunakan media masa secara bijaksana.[29] Penegasan kanon ini secara tidak langsung dialamatkan kepada kaum muda zaman sekarang secara bijaksana dan bertanggung jawab menggunakan media masa.

3.3    Dampak Hubungan Seks Pranikah

3.3.1   Hamil di Luar Nikah

Hamil di luar nikah merupakan salah satu masalah sosial yang merebak dalam kehidupan kaum muda zaman sekarang. Banyak kaum muda yang hamil di luar nikah disebabkan oleh berbagai dorongan dasar dalam diri kaum muda yakni rasa ingin tahu dan ingin coba dalam melakukan hubungan seks.

Hamil di luar nikah merupakan masalah penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya.[30] Kaum muda yang melakukan hubungan seks tanpa memperoleh pemahaman dan pendidikan tentang bahaya dari hubungan seksual. Salah satu masalah dari hubungan seks pranikah ialah masalah kehamilan di luar nikah. Pada umumnya, kaum muda sering tidak bertanggung jawab terhadap kehamilan sehingga mendatangkan masalah penceraian dan penelantaran.  

Masalah kehamilan di luar nikah sangat bertentangan dengan hukum perkawinan Gereja Katolik. Kehamilan akan dibenarkan jika kedua pasangan sudah menikah secara sah. Kehamilan akibat hubungan seks pranikah bertentangan dengan maksud dan tujuan perkawinan yakni prokreasi dan pendidikan seorang anak. Pada sisi lain hamil di luar nikah mengandung risiko bagi perempuan dan jabang bayi, sebab seorang perempuan masih berada pada umur yang belum mampu melahirkan. Dalam hal ini, hubungan seks pranikah juga berakibat pada perendahan martabat perempuan akibat masalah kehamilan dan penelantaralan. Amanat Kristen tentang martabat kaum perempuan ditentang oleh tegarnya mentalitas, yang menganggap perempuan bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai benda, sebagai objek perniagaan, melayani kepentingan egois dan kenikmatan semata-mata.[31] Martabat perempuan masih perlu dilindungi dan diperjuangkan. Pada kenyataannya, di banyak tempat saat ini, hanya menjadi perempuan saja sudah merupakan sumber diskriminasi dan anugerah keibuan kerap kali mendatangkan hukuman daripada dihargai.[32] Kaum perempuan yang hamil di luar nikah akan mengalami berbagai tekanan dan depresi. Selain itu, banyak bentuk diskriminasi dari masalah kehamilan berkaitan dengan perendahan martabat perempuan sekarang ini masih tetap berlangsung di sebagian besar masyarakat kita, yang menimpa dan secara serius merugikan golongan-golongan khas wanita.[33] Oleh sebab itu, hubungan seks pranikah pada kaum muda merupakan pelanggaran terhadap martabat perempuan.[34] Pada umumnya masalah kematian ibu dan jabang bayi terjadi pada keluarga yang tidak mempunyai kecukupan ekonomi dan tidak mendapat perawatan dan pengobatan. Hal ini didorong oleh rasa takut dan malu yang berujung pada kurang keterbukaan sehingga berisiko pada kesehatan kehamilan.

3.3.2 Seks pranikah merusak makna perkawinan Katolik

Pada dasarnya hakikat dalam hukum perkawinan Katolik terungkap dalam aspek prokreasi dan pendidikan anak. Dasar perkawinan Katolik terarah kepada unitif dan prokreatif.[35] Kedua aspek yang ada mengungkapkan panggilan dan tawaran kepada setiap orang untuk berpartisipasi dalam melanjutkan karya penciptaan Allah. Aspek unitif dan prokreatif pada dasarnya berhubungan dengan bentuk persetubuhan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan janji perkawinan. Bentuk dan model persetubuhan merupakan model persatuan antara laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk menghasilkan keturunan. Bentuk persetubuhan merupakan gambaran persatuan antara suami dan istri yang mengintegrasikan seksuaitas pada makna persatuan dalam sebuah hubungan perkawinan. Menurut Ron Rolheiser sebagaimana dikutip oleh Paskalias Lina mengatakan seksualitas sebagai energi dalam diri yang mendorong seseorang dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan gembira, mempunyai afeksi, membangun intimasi, dan relasi dengan diri sendiri, orang lain dan Tuhan.[36] Bentuk persatuan ini mengungkapkan makna perkawinan Katolik.

Seks pranikah merupakan bentuk hubungan yang tidak mendatangkan dan mencerminkan maksud dan tujuan perkawinan, sebab aspek unitif dan prokreasi diimplementasikan kaum muda dalam bentuk hubungan seks pada masa pacaran. Hubungan seks pranikah adalah realitas yang menjungkirbalikkan nilai dan makna perkawinan Katolik.[37] Namun seringkali aspek persatuan ini disalahartikan dalam hubungan seks pranikah yang dilakukan kaum muda. Persatuan akibat dari hubungan seks pranikah tidak sama sekali mengungkapkan sikap saling memberi dan menerima sebagaimana dilakukan oleh suami dan istri sesudah dipersatukan dalam perkawinan Katolik. Kaum muda cenderung melakukan persatuan pada aspek fisik atau biologi semata. Persatuan yang dilakukan kaum muda sangat bertolak belakang dengan aspek unitif merujuk pada persatuan fisik dan psikis antara kedua pasangan yakni dalam pemberian diri yang total dalam satu ikatan janji dan cinta.

Aspk cinta yang dibangun oleh kaum muda dalam pacaran telah mengaburkan makna cinta sejati antara suami dan istri. Aspek cinta sejati pada dasarnya lahir dari sikap pemberian diri yang total antara suami dan istri dengan maksud melahirkan keturunan melalui sakramen perkawinan. Oleh sebab itu, hubungan seks pranikah sama sekali mencoreng dan menjungkirbalik makna perkawinan Katolik karena tidak mencerminkan aspek unitif dan prokreasi.

4.   KESIMPULAN

4.1    Seks Pranikah Bertentangan Moral Perkawinan Kristiani dan Etika Seksualitas

            Seksualitas merupakan anugerah istimewa dari Tuhan untuk kehidupan manusia. Seksualitas merupakan ungkapan relasi intim antara pria dan wanita dalam sikap saling memberi dan menerima kekurangan dan kelebihan demi membentuk suatu persekutuan cinta kasih dalam kehidupan bersama. Gaudium Et Spes No. 48 menegaskan bahwa persekutuan hidup suami dan istri yang mesra yakni dalam sikap saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri berdasarkan ketetapan ilahi.[38] Persekutuan hidup bersama yang diungkapkan lewat pemahaman seksualitas menurut norma-norma moral dan hukum perkawinan merupakan dasar kemurnian cinta sejati dan seksualitas. Gaudium Et Spes No. 49 menegaskan bahwa suami dan istri diundang oleh Sabda Ilahi untuk memelihara dan memupuk janji setia dengan cinta yang murni dan perkawinan mereka dengan kasih tak terbagi.[39] Rasul Paulus dalam surat pertama kepada jemaat di Korintus mengungkapkan bahwa “Hendaknya suami memenuhi kewajiban kepada istrinya, demikian pula istri kepada suaminya” (bdk. 1 Kor, 7:3). Penegasan Rasul Paulus merujuk pada cinta sejati antara suami dan istri dalam keluarga.

            Seksualitas menjadi manusiawi jika diintegrasikan dengan cara yang benar ke dalam hubungan satu pribadi dengan yang lainnya. Dasar dari persatuan cinta murni antara pria dan wanita diungkapkan dalam hubungan seksual melalui prinsip norma moral perkawinan dan tindakan etis seksualitas yang benar. Seksualitas merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami-istri, sama sekali tidak melulu bersifat biologis, melainkan menyangkut kenyataan pribadi manusiawi yang paling inti.[40] Kemurnian adalah keutamaan moral, anugerah Allah, rahmat, dan buah Roh Kudus.[41] Hubungan seksual hanya bisa dibenarkan jika kedua pasangan sudah diresmikan melalui janji perkawinan dalam sakramen perkawinan. Persekutuan hidup bersama melalui hubungan seks pranikah dalam kehidupan kaum muda merupakan gambaran penyimpangan dari makna asali seksualitas dan penyimpangan terhadap aturan dan norma moral perkawinan. Kanon 1084 paragraf 1 mengatakan “impotensi untuk melakukan persetubuhan yang ada sebelum menikah dan bersifat  tetap (perpetua), entah dari pihak laki-laki entah dari pihak perempuan, entah bersifat mutlak entah relatif, menyebabkan perkawinan tidak sah menurut kodratnya sendiri”.[42]

            Gereja sangat menentang setiap pelanggaran moral seksualitas. Penolakan ini berdasarkan ajaran Kitab Suci dan ajaran iman Katolik. Hubungan seks pranikah adalah perbuatan zinah, cabul dan mendatangkan dosa yang berat terhadap kemurnian, kesucian dan keluhuran sebuah sakramen perkawinan. Dosa percabulan merupakan tindakan manusia yang melanggar dan merusak diri sendiri. Rasul Paulus dalam surat pertamanya kepada jemaat di Korintus mengungkapkan “jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri” (bdk. 1Kor, 6:18). Dosa berkaitan dengan putusan dan kehendak bebas manusia dalam melanggar dan menodai kemurnian seksualitas. Oleh sebab itu, hubungan seks pranikah yang dilakukan kaum muda merupakan dosa percabulan, karena melanggar moral seksualitas, kemurnian dan kesucian tubuh manusia sebagai ciptaan Tuhan. Sebagaiman dikutip oleh Yohanes M. Vianney Djawa, Ronal Lawler, Joseph Boyle dan William E. May mengatakan bahwa tindakan percabulan yang dilakukan semata-mata untuk kesenangan seksual jelas meremehkan tindakan hubungan seksual.[43] Hubungan seks pranikah sama sekali tidak mendatangkan maksud dan tujuan dari panggilan Allah dalam diri manusia, di mana hubungan seks pranikah merujuk tindakan hawa nafsu dan kenikmatan semata. Hubungan seks pranikah sama sekali mendatangkan penghinaan terhadap Allah akibat dosa percabulan. Magisterium Gereja menyebutkan bahwa hubungan seksual pranikah sebagai dosa dan malahan dosa berat.[44] Kemurnian sebuah perkawinan menjadi titik awal bagi kaum muda dalam membina hubungan cinta. Kemurnian mengungkapkan relasi interpersonal manusia dengan Allah yang diungkapkan dalam relasi dan perilaku seksual antar manusia. Tindakan ini dilihat dari sikap dan tindakan manusia dalam memahami dan menghayati seksualitas sebagai anugerah untuk melanjutkan keturunan.

Larangan Gereja Katolik terhadap hubungan seks pranikah dilakukan karena berlandaskan pada dua aspek penting yakni pada aspek persona dan aspek dasar cinta yang dibangun dalam masa pacaran. Pertama, dalam aspek persona. Gereja mengharuskan agar setiap pasangan untuk mencintai secara total dalam sikap saling memberi dan menerima kelebihan dan kekurangan berdasarkan kasih Kristus yang setia mengasihi mereka. Kasih suami-istri mencapai kepenuhan yang merupakan tujuan intrinsiknya, yakni cinta suami-istri, cara yang khas dan istimewa, cara mereka ikut serta dalam dan dipanggil untuk menghayati cinta kasih Kristus sendiri.[45] Penegasan ini sekaligus mengkritik model hubungan yang dibangun kaum muda dalam masa pacaran, di mana mereka sering mendasarkan sikap saling mencintai hanya sebatas pada keindahan dan kecantikan tubuh lahiriah dan bukan pada keutuhan kepribadian seseorang. Gereja mengharapkan agar setiap kaum muda mendasarkan cinta bersifat persona yang berakar dalam cinta Tuhan.

Kedua, aspek cinta sebagai dasar hidup bersama. Dasar hukum perkawinan Gereja Katolik menganjurkan agar setiap orang membangun hubungan cinta pada sikap saling memberi dan menerima kekurangan dan kelebihan. Kanon 1057 paragraf 2 mengatakan “kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”.[46] Dasar hubungan cinta ini menjadi landasan untuk saling melengkapi kekurangan dan kelebihan dari setiap pasangan. Gambaran sikap saling mencintai ini mengungkapkan nilai pengorbanan untuk menjaga dan merawat hubungan cinta dari berbagai tindakan pemenuhan cinta melalui seks. Sikap pengorbanan yang dibangun merujuk pada aspek biologis, psikologis, hubungan sosial dan persona. Hal ini demi mengantisipasi kaum muda yang sering melakukan hubungan seks pranikah sebagai jalan pembuktian akurat cinta. Sebab pembuktian cinta palsu melalui seks merupakan sebuah pelanggaran terhadap moral perkawinan dan etika sosial dalam sebuah hubungan bersama.

4.2    Seks pranikah Bertentangan dengan Maksud dan Tujuan Perkawinan

Hubungan seks pranikah yang dilakukan kaum muda tidak mencerminkan maksud dan tujuan perkawinan Kristiani yakni prokreasi dan pendidikan seorang anak. Pertama, pelanggaran terhadap prokreasi. Dasar penolakan ini, Gereja melihat bahwa hubungan seks pranikah merupakan sebuah hubungan seks yang terjadi di luar hukum perkawinan Gereja Katolik. Gereja melihat bahwa segala bentuk hubungan seks pranikah atau tanpa ikatan janji perkawinan dengan maksud untuk menghasilkan keturunan merupakan sebuah tindakan dosa yakni perzinahan. Dasar penolakan demikian bahwa hubungan seks pranikah tidak mendatangkan rahmat dan tidak mencerminkan maksud dan tujuan Allah dalam sebuah perkawinan. Sebab pada dasarnya tugas asasi keluarga ialah mengabdi kepada kehidupan, mewujudkan secara konkret dalam sejarah berkat Sang Pencipta pada awal mula, yakni: melalui prokreasi.[47] Oleh sebab itu anak yang dihasilkan dalam hubungan seks pranikah merupakan hasil perzinahan antara kedua pasangan.

Perkawinan Kristiani pada dasarnya merupakan suatu gambaran panggilan hidup dari Allah guna melanjutkan keturunan. Hubungan suami-istri mempunyai makna rangkap dua: unitif (pemberian diri pasangan satu sama lain) dan prokreatif (keterbukaan pada keturunan).[48] Panggilan hidup suami dan istri dikukuhkan dalam janji perkawinan melalui Sakramen Perkawinan. Persatuan suami dan istri melahirkan suatu keturunan yang baru melalui seks. Maka juga, "suami istri yang tidak dikaruniai Allah dengan anak-anak masih dapat memiliki kehidupan suami-istri yang penuh makna, baik secara manusiawi maupun Kristiani.[49] Oleh sebab itu, Gereja Katolik membenarkan tindakan seksualitas setelah diresmikan dalam sakramen perkawinan berdasarkan tuntutan moral Kristiani dan hukum-hukum perkawinan.

Kedua, masalah hubungan seks pranikah tidak mendukung pendidikan anak. Pendidikan seorang anak merupakan tugas dan tanggung jawab dari suami dan istri yang telah menikah secara sah melalui sakramen perkawinan. Kanon 1136 mengatakan orangtua mempunyai  kewajiban  sangat  berat  dan  hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.[50]

4.3    Seks Pranikah Merendahkan Martabat Laki-Laki dan Perempuan

Kitab Kejadian melukiskan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah sendiri. “maka Allah menciptakan manusia menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej, 1:27). Makna tersirat dari kisah penciptaan manusia ini mengungkapkan sikap penghormatan dan penghargaan terhadap satu sama lain yakni antara laki-laki dan perempuan. Jika dibandingkan dengan makhluk lainnya manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka dalam diri manusia terdapat dimensi kelihatan (badan, tubuh manusia) dan dimensi tak kelihatan (jiwa, roh manusia). Kedua dimensi yang ada merujuk pada harkat dan martabat laki-laki dan perempuan sebagai makhluk mulia dan kudus. Yohanes Paulus II sebagaimana dikutip oleh Paus Fransiskus bahwa “Setiap manusia dalam keunikan yang tiada taranya terdiri tak hanya dari roh, melainkan juga tubuh. Dengan demikian orang menyentuh dalam tubuh dan melalui tubuh pribadi sendiri dalam realitas konkretnya.[51] Gereja menuntut agar semua orang menaruh penghormatan terhadap martabat manusia. Maka dari itu menghormati martabat manusia berarti, memelihara identitas tubuh dan jiwa satu manusia.[52] Ensiklik Humanae Vitae dari Beato Paulus VI, menggarisbawahi pentingnya menghormati martabat manusia dalam menilai secara moral metode-metode pengaturan kelahiran.[53] Oleh sebab itu, hubungan seks pranikah melawan dan merendahkan martabat laki-laki dan perempuan.

Tubuh tidak hanya merujuk pada tubuh biologis tetapi tubuh gambaran kodrat insani yang merupakan citra Allah. Kodrat manusia harus dipahami berdasarkan kesatuan tubuh dan jiwa.[54] Tubuh merupakan lambang dan hasil dari percikan daya Sang Ilahi. Gereja dalam pengakuan imannya menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, yang kelihatan dan tak kelihatan, semua makhluk spiritual dan yang bertubuh, yaitu para malaikat dan dunia yang kelihatan, khususnya, manusia. Tubuh merupakan hasil seniman karya agung dan kesempurnaan dari Allah.[55] Tubuh manusia mengungkapkan keseluruhan relasi adikodrati antara manusia dengan Allah. Oleh sebab itu, hubungan seks pranikah merupakan pelanggaran akan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk mulia dan kudus.

Tubuh manusia sebagai suatu privat dan tertutup telah ditelanjangi akibat dosa percabulan. Rasul Paulus dalam surat pertamanya kepada jemaat di Korintus mengungkapkan bahwa tubuh bukanlah untuk percabulan(bdk. 1 Kor: 13b). Tubuh merupakan bait Roh Kudus. Rasul Paulus menegaskan tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan kamu bukan milik kamu sendiri” (bdk. 1Kor, 7:19). Dasar dari argumen dan ajaran tentang tubuh telah dinodai oleh kaum muda dengan melakukan hubungan seks pranikah. Kaum muda cenderung melihat tubuh hanya sebatas pada bentuk dan rupa dalam keindahan yang dapat memancing dan merangsang nafsu birahi tanpa melihat tubuh sebagai gambaran keseluruhan sebagai simbol citra Allah. Tubuh dan Seksualitas manusia menjadi sesuatu yang biasa sekali, karena diartikan dalam pengertian yang sempit dengan mengaitkannya dengan tubuh serta kenikmatan dan hawa nafsu.[56] Dasar pandangan demikian merupakan lambang sebuah dosa perzinahan dan penistaan akan nilai dan kesucian dari tubuh. Rasul Paulus menegaskan bahwa “mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenanan kepada Allah” (bdk. Rm, 8:8).

 Dalam Injil Matius Yesus mengungkapkan, karena itu dari hatimu timbul segala pikiran jahat, perzinahan, pencabulan, sehingga menajiskan orang (Mat, 15:19-20)”. Penegasan Yesus bahwa hubungan seks tanpa ikatan janji perkawinan merupakan sebuah tindakan yang dosa yakni sebagai bentuk perzinahan dan percabulan yang berasal dari hati. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus mengungkapkan bahwa hubungan seks pranikah atau tanpa ikatan janji perkawinan merupakan sebuah praktik percabulan, porneia yang menodahi dan melecehkan hubungan adikodrati antara orang Kristen dengan Tuhan (bdk. 1 Kor, 6:17, 7:23). Berdasarkan penilaian moral perkawinan Kristiani, kaum muda telah memutuskan relasi interpersonal manusia dengan Allah akibat tindakan seks pranikah yang merupakan dosa perzinahan dan pelanggaran akan harkat dan martabat kesucian Tubuh manusia.

 

4.4    Relevansi Pemahaman Moral Perkawinan Kristiani dan Etika Seksulitas bagi Kaum muda

4.4.1   Tanggung Jawab Orangtua dalam Mendidik dan Membekali Pemahaman Seksualitas kepada Kaum muda

Anak merupakan anugerah terindah dari Tuhan. Kehadiran seorang anak dalam keluarga membawa warna dan sukacita tersendiri bagi suami dan istri. Kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan buah dari lambang cinta antara kedua orangtua. Dasar kehidupan bersama yang dibangun suami dan istri berdasarkan maksud dan tujuan Allah yakni demi suatu tindakan prokreasi dan pendidikan anak. Orangtua sedianya harus menghadirkan dan menunjang bangunan hidup rohani dan jasmani seorang anak.

Gereja Katolik mengajak dan menghimbau agar setiap orangtua untuk membangun kehidupan bersama harus berdasarkan cinta kasih yang murni dan berdasarkan bimbingan terang moral perkawinan Kristiani dan berdasarkan norma seksualitas agar kehidupan keluarga mendatangkan kebahagiaan dan keharmonisan. Pendidikan moral seksualitas menjadi tugas utama dari kedua orangtua. Kanon 1136  mengatakan orangtua  mempunyai  kewajiban  sangat  berat  dan  hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural, maupun moral dan religius.[57]

Pendidikan moral seksualitas berguna untuk membentuk dan mendidik mentalitas, nilai-nilai sosial kemasyarakatan, seksualitas dan aspek religius yakni tentang penghayatan iman seorang anak. Kanon 1071 paragraf 6, mengungkapkan bahwa orang mempunyai peranan penting dalam pendidikan dan pemeliharaan seorang anak serta mempunyai hak penuh dalam menentukan seorang anak khususnya berkaitan dengan pernikahan. Model pendidikan demikian dapat mendorong seorang anak untuk menghargai harkat dan martabat sebagai seorang manusia yang dianugerahkan dengan martabat tubuh dan seksualitas. Pendidikan seksualitas dan aktivitas harus melibatkan setiap pribadi dalam proses belajar “dengan ketekunan dan konsistensi, tentang makna tubuh.[58] Masyarakat luas dapat menghasilkan program pendidikan tentang efektivitas dan seksualitas yang menghormati tahap kematangan setiap pribadi dalam kedua bidang tersebut sekaligus mengembangkan rasa hormat terhadap harkat dan martabat tubuh orang lain.[59] Seorang kaum muda mempunyai tanggung jawab atas dirinya sendiri maupun orang lain.

Penyimpangan terhadap seksualitas tentunya merusak jati diri dan martabat manusia sebagai citra Allah. Penyimpangan terhadap harkat dan martabat manusia merupakan masalah yang sangat ditentang oleh Gereja. Sebab Gereja sangat menghargai manusia sebagai makhluk yang lebih mulia dan kudus dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Pemahaman nilai moral seksualitas dan moral perkawinan Kristiani mesti menjadi landasan dasar bagi kaum muda. Pemahaman dan pendidikan nilai moral yang dimulai dari dalam keluarga. Kanon 226 paragraf 2 mengungkapkan bahwa, orangtua, karena telah memberi hidup kepada anak-anaknya, terikat kewajiban sangat berat dan mempunyai hak untuk mendidik mereka; maka dari itu adalah pertama-tama tugas orangtua  kristiani untuk  mengusahakan  pendidikan  kristiani  anak-anak  menurut  ajaran diwariskan Gereja.[60]

Sikap dasar yang mesti dibangun oranguta ialah mendorong dan membentuk pribadi seorang anak untuk berkembang dalam aspek rohani dan aspek jasmani. Pentinglah bahwa pembinaan mereka sendiri tidak hanya mencakup aspek-aspek profesional, tetapi juga kesiapan budaya dan spiritual.[61] Kedua aspek yang ada dapat menjadi landasan bagi kaum muda dalam membentuk jati diri. Berdasarkan pengalaman hidup dalam jenjang perkawinan akan dampak baik maupun buruk mesti secara terbuka diceritakan kepada kaum muda. Dasar bangunan hidup rohani dan jasmani orangtua dapat mempengaruhi mental dan psikologi seorang anak. Dasar pengalaman dapat membuka wawasan dan cara pandang orang muda dalam meniti kehidupannya di dalam masa pacaran. Pengalaman hidup perkawinan orangtua yang dapat mempengaruhi kepribadian kaum muda terkhususnya dalam pembentukan nilai moral perkawinan dapat membantu kaum muda dalam membangun kehidupan secara bijaksana dan bertanggung jawab.

4.4.2   Peran dan Fungsi Keluarga bagi Kehidupan Kaum Muda

Diskusi tentang seksualitas merupakan sikap bimbingan dan pendampingan yang dapat membuka wawasan kaum muda muda tentang seksualitas. Pendampingan demikian dapat membuka akhlak kaum muda dan menekan kebebasan kaum muda berkaitan dengan kekerasan seksual dan pornografi yang dapat merusak dan mempengaruhi perilaku moral dan etika seksual kaum muda. Penyebaran pornografi dan perdagangan tubuh sungguh mengkhawatirkan, yang ditunjang juga oleh penyalahgunaan internet.[62] Berbagai model diskusi yang dapat dilakukan orangtua harus memetahkan masalah berkaitan dengan kekerasan seksual, pemahaman tentang seksual, faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan seksual dan dampak dari hubungan seksual pada masa pacaran. Oleh sebab itu, orangtua harus membicarakan seksualitas pada waktu bersama dengan kaum muda antara lain pada waktu makan bersama dan waktu rekreasi bersama. Waktu dan kesempatan yang ada merupakan tempat dan kesempatan yang sangat baik bagi orangtua dalam mengutarakan diskusi tentang seksualitas kepada kaum muda.

4.4.3 Orangtua mesti mengutarakan dampak dari seks pranikah jika dilakukan kaum muda dalam masa pacaran

Masa pacaran merupakan awal dari seorang kaum muda dalam mengenal dan membangun hubungan dengan lawan jenis. Dalam masa pacaran ini, kaum muda cenderung mencari tahu dan ingin coba tentang hubungan seks, sebab dalam masa pacaran sangat memungkinkan terjadi hubungan seks pranikah. Kaum muda pada umumnya mendasarkan cinta palsu dalam hubungan seks sebagai ungkapan kesetiaan kepada pasangan. Oleh sebab itu, orangtua harus mendampingi kaum muda sejak kaum muda mengenal dunia pacaran. Orangtua harus memberi awasan bagi kaum muda berkaitan dengan bagian tubuh yang tidak boleh dipegang atau disentuh karena dapat membangkitkan hasrat seksual yang berujung pada hubungan seksual. Model pendampingan demikian dapat mendorong kaum muda untuk menjaga dan memelihara cinta, janji, kesetiaan dan tanggung jawab kaum muda sejak masa pacaran sebelum memasuki jenjang perkawinan. Jhon Paul “The Christian Family In The Modern World” dalam buku Vatican Council II, mengatakan:

Knowing that marriage and the family one of the most precious of human values, the Church wishes to speak and offer her help to those who are already aware of the value of marriage and the family and seek to live it faithfully, to those who are uncertain and anxious and searching for the truth, and to those who are unjustly impeded from living freely their family live. Supporting the first, illuminating the second and assisting the others , the Church offers her services to every person who wonders about the destiny of marriage and the family.[63]

Dampak dari hubungan seks pranikah sungguh sangat mempengaruhi perilaku seksual kaum muda ke arah penyimpangan seksual dalam masa pacaran. Hal itu dapat dilihat dari masalah kehamilan, kehadiran anak tanpa ayah, penelantaran perempuan yang hamil, depresi dan tekanan. Dampak dari akibat hubungan seks sangat mempengaruhi psikologi dan psiko emosional kaum muda antara lain depresi dan tekanan, menimbulkan berbagai penyakit menular antara lain Human Immune Deficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)[64], sipilis dan masalah pengangguran, pendarahan. Dengan demikian, sikap dan respon tegas dari orangtua dapat mengantisipasi kecenderungan perilaku seksual yang mendatangkan masalah bagi dirinya sendiri maupun pasangan

4.4.4 Orangtua mesti melakukan pendampingan dan membatasi penggunaan gadget pada kaum muda

Kehadiran media sosial sangat mempengaruhi perilaku seksual kaum muda. Kaum muda yang mengakses media sosial khususnya berkaitan dengan dunia pornografi. Kaum muda sering menimbulkan aksi-aksi yang tidak bertanggung jawab antara lain kaum muda yang cenderung larut dalam menikmati dunia hiburan yang berbaur pornografi cenderung meniru serta memperagakan kembali dalam masa pacaran. Sikap meniru merupakan sifat naluri dasar pada masa pertumbuhan dan perkembangan kaum muda. Oleh sebab itu, orangtua perlu membatasi kaum muda dalam menggunakan gadget, sebab sangat mempengaruhi perilaku seksual mereka dalam hubungan masa pacaran. Respon yang mesti dilakukan orangtua antara lain memperhatikan waktu belajar seorang anak, mengembangkan daya kreatif dari seorang anak dengan memanfaatkan media sosial sebagai ruang untuk mendapat informasi berkaitan dengan dunia pendidikan. Jika berbagai cara ini telah dilakukan orangtua sejak dalam kehidupan keluarga, maka akan membangkitkan pemahaman dan pendidikan tentang moral dan etika seksual yang bertanggung jawab bagi kaum muda dalam masa pacaran. Pendidikan demikian dapat mendorong kaum muda untuk menjadi generasi muda yang berkualitas yang mempunyai integritas diri.

4.5    Usulan dan Saran

4.5.1      Bagi Gereja

            Hubungan seks pranikah merupakan salah satu bentuk dari hubungan tanpa ikatan janji perkawinan. Hubungan seks pranikah merupakan hubungan yang sangat ditentang oleh Gereja. Dasar penolakan Gereja, karena hubungan seks pranikah merupakan salah satu bentuk hubungan perzinahan dan percabulan serta mendatangkan dosa atas kemurnian tubuh. Penolakan ini berdasarkan ajaran Magisterium Gereja dalam dokumen-dokumen Gereja dan Kitab Suci yang mengajarkan bahwa hubungan seks yang sah hanya terjadi ketika pasangan sudah diberkati dalam sakramen perkawinan.

            Gereja harus meningkatkan peran dan fungsinya dalam memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang seksualitas. Berbagai penyuluhan yang ada dapat meningkatkan kesadaran kaum muda dalam melihat dan memandang seksualitas sebagai anugerah Tuhan. Dalam meningkatkan kesadaran kaum muda, Gereja semestinya harus terbuka dalam memberikan penyuluhan tentang seksualitas dalam berbagai kegiatan dengan kaum muda. Gereja harus memberikan pemahaman secara komprehensif berkaitan dengan etika dan moral perkawinan Kristiani. Dengan demikian, kaum muda dapat menghargai dan menghormati martabat seksualitas dalam masa pacaran dan pada setiap fase pertumbuhan dan perkembangan menuju jati diri ideal.

4.5.2   Bagi Kaum Muda

            Realitas masalah hubungan seks pranikah merupakan masalah sosial yang sedang terjadi dalam kehidupan kaum muda. Kaum muda umumnya melakukan hubungan seks pranikah pada masa pacaran, sebab masa pacaran sangat berpotensi bagi kaum muda untuk melakukan hubungan seks pranikah. Oleh sebab itu, dalam pertumbuhan dan perkembangan diri kaum muda harus dibekali dengan berbagai pemahaman tentang seksualitas melalui berbagai kegiatan bersama antara lain mengadakan diskusi dan seminar tentang seksualitas, khususnya berkaitan dengan persetubuhan. Kaum muda harus diajak untuk berpartisipasi aktif dan kreatif dalam menelaah dan memahami martabat hubungan seksual yang bertanggung jawab dan bermoral dalam lingkup hubungan masa pacaran.

            Dengan demikian, kaum muda dapat secara sadar dan peka untuk menghindari hubungan seks pranikah pada masa pacaran. Kaum muda yang dibekali dengan pengetahuan tentang moral seksualitas diharapkan dapat mengimbangi dorongan seksualitas dalam diri. Hal ini dimaksudkan agar kaum muda dapat menghayati dan menghidupi nilai cinta yang dibangun dalam masa pacaran dengan bijaksana dan bertanggung jawab.

            Oleh sebab itu, berbagai kegiatan diskusi dan seminar tentang seksualitas, harus diimplementasikan dalam berbagai kegiatan kepemudaan antara lain kegiatan Orang Muda Katolik (OMK), katekese, doa bersama, ziarah, dan kegiatan rohani lainnya. Berbagai kegiatan rohani ini dapat membantu kaum muda dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup mereka.  Berbagai kegiatan yang ada dapat memupuk dan mendorong rasa dan sikap tanggung jawab dan bijaksana dalam hubungan masa pacaran.

4.5.3 Bagi Keluarga

            Masalah hubungan seks pranikah merupakan masalah yang sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat terdapat keluarga. Keluarga yang dimaksudkan ialah orangtua. Orangtua merupakan agen pastoral yang mempunyai peran penting dan bertanggung jawab dalam menanamkan nilai moral dan etika perilaku seksual kepada anak-anaknya. Oleh sebab itu, masalah hubungan seks pranikah merupakan masalah yang sedang terjadi dalam tubuh perkawinan dalam keluarga. Dalam hal ini, orangtua harus mempunyai peran yang andil dalam membimbing dan mendidik kaum muda yang terjebak dalam hubungan seks pranikah.

            Orangtua harus mendidik dan membimbing setiap pertumbuhan dan perkembangan seksualitas kaum muda sejak masih kecil agar dalam usia dewasa kaum muda tidak melakukan hubungan seks pranikah pada masa pacaran. Berbagai model pendampingan, pendidikan dan pembekalan tentang seksualitas sebagaimana dijelaskan dalam bab IV tentang peran fungsi orangtua kepada kaum muda. Dengan demikian, kaum muda dapat memperoleh pemahaman yang memadai tentang perwujudan seksualitas yang benar dan bertanggung jawab

 



[1]C. Maas, Teologi Moral Perkawinan (Maumere: Penerbit Ledalero, 1997), hlm. 78.

[2]Sidang Agung KWI - Umat Katolik, Pedoman Gereja Katolik Indonesia (Jakarta: KWI, 1996), hlm. 22.

[3]Rifai, “Hubungan Tingkat Religiusitas terhadap Kecemasan Moral dan Alternatif Pembinaan Moral pada Kenakalan Siswa” Jurnal Teologi Garcia Deo, 3:2 (Surakarta, 2 Januari 2021), hlm. 79.

[4]Dini Rakhmawati, Argo Widiharto dan Fitriana Khusnul Khotimah, “Religiusitas Sebagai Faktor Protektif Perilaku Seks Pranikah diKalangan Mahasiswa” Jurnal ISSN, XXXVI:1 (Semarang, Juni 2020), hlm. 56.

[5]Pusat Data dan Analisa Tempo, Remaja dan Perilaku Seks Pranikah (Jakarta: Tempo Publishing, 2022), hlm. 43.

[6]Ibid.

[7]Alisca Putri Isabella, Triana Indrayani dan Retno Widowati, “Hubungan Promosi Kesehatan Media Massa dan Motivasi Diri Terhadap Perilaku Pernikahan Dini di Desa Waringin Jaya Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor tahun 2021” Journal for Quality in Women's Health, 4:1 (Jakarta: 1 Maret, 2012), hlm. 85.

[8]Ibid.

[9]Lenny Irmawati, “Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa” Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9:1 (STIKes Medistra Indonesia, Juli 2013), hlm. 46.

[10]Rifai, “Hubungan Tingkat Religiusitas terhadap Kecemasan Moral dan Alternatif Pembinaan Moral pada Kenakalan Siswa”, op. cit., hlm. 82.

[11]Kornelis Federiko, “Desakralisasi Tubuh Perempuan Dalam Iklan Permen Sukoka Menurut Perspektif Kristiani” (Skripsi, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2019), hlm. 29.

[12]“Tinjauan Etis Teologis Tentang Peneguhan Nikah Pasangan Hamil di Luar Nikah Gereja di Gereja Penyebaran Injil”, dalam jurnal Rerum: Journal of Biblical Practice, 1:1 (Majalengka, 10 Juli 2021), hlm. 104.

[13]Konferensi Waligereja Indonesia., op.cit., hlm. 27.

[14]Allan Rifandi Sumeleh, “Seksualitas: Suatu Tinjauan Etis Terhadap Pemahaman Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon Tentang Hubungan Seks” Jurnal Tomou Tou, VI:2 (Minhasa, 8 Maret 2019), hlm. 129.

[15]Paskalis Lina, op. cit., hlm. 187.

[16]Karl-Heinz Peschke, Etika Moral Kristiani jilid 1, Penerj. Alex Armanjaya (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 399.

[17]John W. Santrock, Remaja (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), hlm.112.

[18]Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017), hlm. 43. Agustinus W. Dewantara menjelaskan: suatu nilai berkaitan dengan perbuatan manusia. Artinya perbuatan manusialah (dalam makna “perbuatan” dicakup pula aktivitas berpikir, mempertimbangkan, memutuskan, mempraktikkan, menindaklanjuti, dan seterusnya) yang langsung berperkara dengan suatu nilai.

[19]Arlinda Feti, Perilaku Seks Bebas dan Penggunaan Media Pornografi (Jakarta: Sinar Harapan, 2003), hlm.69.

[20]Erik Widodo dan Wisnu Sanjaya, “Sosialisasi Pencegahan Pernikahan Usia Dini Menurut UU Tahun 2019 Pada Warga Dusun Posong, Karangtengah” Jurnal Intelektiva: Jurnal Ekonomi, Sosial dan Humaniora (E-ISSN 2686 5661), 2:10 (10 Mei 2021), hlm. 54.

[21]Asmat Purba dan Salon Mandi Mpu Nainggolan, “Pola Asuh Orang Tua Kristen Terhadap Anak Dalam Menghadapi Tantangan Kemajuan Zaman” Jurnal MONTESSORI: Jurnal Pendidikan Kristen Anak Usia Dini, 4:1 (Bandung), hlm. 11.

[22]Muhammad Azinar, “Perilaku Seksual Pranikah Berisiko Terhadap Kehamilan Tidak Diinginkan” Jurnal Kesmas, 8:2 (Semarang: 2018), hlm. 155. http://journal. unnes. ac. id/nju/index.php/kemas. Diakses pada tanggal 21 Desember 2021.

[23]Antonius Moa, “Seksualitas Manusia Sebagai Realitas dan Panggilan kepada Cinta Kasih” Jurnal LOGOS Filsafat Teologi, 3:1 (1 Januari 2004), hlm. 4.

[24]Ibid., hlm 13.

[25]Ibid., hlm. 3-4.

[26]Pambudi Handoyo, “Makna Hubungan Seks Bebas di Kalangan Mahasiswa Perantau Unesa” Jurnal Paradigma, 2:3 (Surabaya, 2014), hlm. 4.

[27]Stefanus M. Marbun dan Kalis Stevanus, “Pendidikan Seks Pada Remaja” Jurnal FIDEI: Jurnal Teologi Sistematika dan Praktika, 2:2 (Tawangmangu, 27 November 2019), hlm. 336.

[28]Konferensi Waligereja Indonesia, Pornografi dan Kekerasan dalam Media Komunikasi: Sebuah Jawaban Pastoral, Hadiwikarta (Penerj.) (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1998), hlm. 11.

[29]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, penerj. V. Kartosiswoyo et.al., cet. XXI (Jakarta: Obor, 2006), hlm. 153.

[30]Allan Rifandi Sumeleh, “Seksualitas: Suatu Tinjauan Etis Kristiani Terhadap Pemahaman Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon Tentang Hubungan SeksJurnal Tumou Tou, VI:2, (Bandung, 14 April 2019), hlm 129.

[31]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, op. cit., hlm. 30.

[32]Konferensi Waligereja Indonesia, Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Dunia Zaman Sekarang, penerj. R.P. F.X. Adisusanto, SJ & Bernadeta Harini Tri Prasasti (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015), hlm. 15.

[33]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, loc. cit., hlm. 30.

[34]Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya” Jurnal Sari Pediatri, 11:2 (Bandung, Agustus 2009), hlm. 140.

[35]Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid I, op. cit., hlm. 326-227.

[36]Paskalis Lina, op. cit., hlm. 3.

[37]Martinus Viani Pati Ea, “Dampak Persetubuhan Parnikah Terhadap Kehidupan Perkawinan Suami-Istri Katolik” (Skripsi, STFK Ledalero, Maumere, 2013), hlm. 58.

[38]Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, penerj. R. Hardawiryana SJ, cetakan XII (Jakarta: Obor, 2013), hlm. 583.

[39]Ibid, hlm. 585.

[40]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, Penerj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004), hlm. 22.

[41]Konferensi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, penerj. Harry Susanto, SJ (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 164.

[42]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, penerj. V. Kartosiswoyo et.al., cet. XXI (Jakarta: Obor, 2006), hlm. 240.

[43]Yohanes M. Vianney Djawa, “Hubungan Seks Di Luar Perkawinan Dalam Pandangan Kristiani” (Skripsi, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2018), hlm. 61.

[44]Paskalis Lina, Moral Pribadi Pribadi Seksualitas Manusia Dan Seksualitasnya (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 190.

[45]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, op. cit., hlm. 30.

[46]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 263.

[47]Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, op. cit., hlm. 30.

[48]Konferensi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hlm. 165.

[49]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, penerj. R. Purwa Hardiwardoyo (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), hlm. 48.

[50]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, loc. cit., hlm. 250.

[51]Konferensi Waligereja Indonesia, Donum Vitae, penerj. R.P. Piet Go, O. Carm (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2006), hlm. 9.

[52]Ibid.

[53]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, loc. cit., hlm. 49.

[54]Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-laki dan Perempuan, op. cit., hlm. 155.

[55]Konferensi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, op. cit., hlm. 37.

[56]Paus Fransiskus, Amoris Laetitia, loc. cit., hlm. 83.

[57]Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 250.

[58] Konferensi Waligereja Indonesia, Allah Menciptakan Mereka Laki-Laki dan Perempuan, op. cit., hlm. 24.

[59]Ibid., hlm. 31.

[60]Ibid., hlm. 46.

[61]Ibid., hlm. 27.

[62]Ibid., hlm. 16.

[63]Austin Flannery, ed., Vatican Council II. Volume II Vatican Collection (New York: Costello Publishing Company,1982), hlm. 815. Pernikahan dan keluarga tersebut merupakan salah satu dari nilai-nilai manusia yang paling berharga. Gereja ingin berbicara dan menawarkan bantuannya kepada mereka yang sudah menyadari nilai pernikahan dan keluarga dan berusaha untuk hidup setia, bagi mereka yang tidak pasti dan cemas dan mencari yang sebenarnya dan bagi mereka yang tidak terhambat dari hidup secara langsung kehidupan keluarga mereka. Berdasarkan hal ini, gereja membantu menawarkan layanannya kepada setiap orang yang bertanya-tanya tentang takdir perkawinan dan keluarga.

[64]AIDS adalah penyakit berat akibat virus yang tersebar melalui pembuluh darah pada setiap orang yang sudah terinfeksi. Cara penyebaran virus ini meliputi empat cara penyebaran yakni melalui perilaku pertama, homoseksual, cara penyebaran masuk melalui cairan dalam tubuh yakni air mani, susu, cairan vagina, kedua melalui intravena melalui tindakan transfusi darah dari seorang kepada yang lain, ketiga, penyalahgunaan obat narkotika, kempat, heteroseksual yakni penyebaran akibat hubungan seksual dari satu pria kepada wanita yang sudah terkena infeksi.


Label: