REALITAS KERUSAKAN HUTAN DALAM TERANG ENSIKLIK LAUDATO SI’
Oleh: Albertus Mandat Minggu, S.Fil
1. LATAR BELAKANG
Rilnya, kehadiran alam dalam segala yang telah diciptakan oleh Tuhan sangat memberi arti bagi manusia dan kehidupan di dalamnya. Segala makluk hidup di dalam alam raya ini memperoleh cara kepuasan masing-masing dalam mengelolah dan memberdayakan. Sikap ini jika didukung dengan kepekaan, rasa memiliki sebagai satu ciptaan Tuhan, saling solidaritas dan penuh rasa tanggung demi terwujudnya nilai keadilan sosial antar makluk hidup.
Dalam hubungan antar makluk hidup, manusialah makluk yang paling mulia yang dianugerahkan akal budi dan hatinurani untuk meredam kebebasan dalam dirinya. Dalam hal ini, manusia melihat alam dan lingkungan hidup sebagai rekan kerja, sahabat yang setia selalu mendukung kelangsungan hidup setiap hari. Pasalnya, dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia membutuhkan sumber daya dari alam untuk menunjang dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun hubungan eksitensial dan kodrati ini hanya sebatas slogan belaka dalam pikiran dan hati manusia yang sekarah dan rakus akan kekayaan. Dasar tindakan ialah kebebasan yang telah salah dipergunakan manusia. Manusia menggunakan kebebasannya dalam menggrogiti alam dengan tindakan merusak alam. Sehingga alampun mengamuk, dengan terjadinya bebagai bencana alam. Sikap protes ini tentulah belum ditanggapi manusia.
Alam raya dalam pandangan manusia seakan hanya sebagai objek dalam kehidupannya. Hal itu dapat dilihat dari berbagai kerusakan alam sekitar antara lain penebangan pohon, kerusakan hutan, pembakaran hutan dan pengeboran dan penambangan ilegal. Sehingga dampak dari tindakan yang ada, terjadi banyak bencana alam antara lain banjir bandang, tanah longsor dan erosi. Dasar dari bencana yang ada mengungkapkan bumi sedang bertertiak dan menjerit kesakitan akibat ulah manusia. Dalam mengahadapi masalah demikian, Gereja melalui seruan kepedulian oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ kembali menyadarkan sikap kepekaan, solidaritas dan sikap tanggung jawab manusia terhadap alam terkhususnya terhadap hutan lindung. Sebagaimana dikutip oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laodato Si, bapa suci sembari mengingatkan kepada seluruh umat Kristiani sedunia bahwa alam merupakan rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.
Berdasarkan ulasan latar belakang diatas, penulis ingin menyadarkan kembali manusia akan rasa kepekaan, nilai solidaritas dan tanggung jawab terhadap kerusakan alam sebagai hutan dalam terang dan bimbingan Ensiklik Laudato Si’.
2. PEMBAHASAN
2.1 Pemahaman Dasar Tentang Hutan
Dalam UU No. 41 Tahun 1999 memuat tentang kehutanan sebagai kawasan alam yang patut dilindungi dalam pengertiannya. Hutan merupakan tempat bagi tumbunya tumbuh-tumbuhan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dalat dipisahkan. Dalam pemakluman hak dan wilayah, hutan dibedakan atas lima bagian yakni Hutan Lindung (HK), Hutan Konversi (HK), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan yang dapat di-Konversi dan Hutan Produksi (HP). Berbagai bentun pengakuan hak dan wilayah hutan ini diberdayakan dan ditumbuh kembangkan sesuai dengan maksud untuk pelestarian alam.
2.2 Manfaat Hutan Lindung
Produktivitas perkembangan alam sekitar mesti dijaga dan dilestarikan sehingga dapat berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam hal, ini penulis akan menggagasskan beberapa manfaat hutan lindung antara lain: sebagai tempat hidup (habitat) satwa dan tumbuhan lainnya, dapat mecegah erosi pada tanah dan air, pengatur peredaran air dalam tanah, hutan merupakan penghasil oksigen (O2) yang sangat dibutuhkan manusia dan makluk lainnya untuk bernafas dan kelangsungan hidup, sebagai penyerap bahan-bahan pencemar udara, dan hutan dapat membentuk humus yang merupakan sisa-sisa tanaman yang telah terurai.
2.3 Realitas Kerusakan Hutan dan Penyebabnya
Hutan merupakan tempat bagi tumbuhnya tumbuh-tumbuhan. Hutan merupakan tempat yang mengasilkan berbagai sumber daya dan energi bagi kehidupan manusia. Namun dalam perkembangannya, hutan dalam pengertia dan pemanfaatannya sebagai tempat yang menghasilkan sumber daya dan energi kini hanya sebuah slogan kosong dalam hati dan pikiran manusia. Hutan dalam pandangan manusia yang serakah dan tidak bertanggung jawab hanya dipandang sebatas objek pelengkap kebutuhan manusia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai tindakan antara lain penebangan hutan secara liar, pembakaran hutan untuk suatu usaha perluasan wilayah kebun, pengeboran dan penambangan dekat wilayah hutan. Pada kisaran Januari tahun 1997 sampai hingga Juni 2003 terdapat 1,5 hingga 2 juta hektar hutan di Pulau Kalimantan yang rusak akibat kebakaran hutan, pembakalan hutan dan permbahan hutan.
Berbagai tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab mengungkapkan tidak adanya nilai kepekaan, rasa solidaritas, kepedulian dan tanggung jawab terhadap hutan. Dampak dari tindakan yang ada antara lain terjadinya bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, erosi dan kekeringan pada sumber mata air. Berbagai dampak yang ada merupakan akibat dari sikap dan tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab dalam merawat dan memanfaatkan alam secara baik dan bijaksana. Berbagai dampak ini mengungkapkan tangisan dan jeritan dari bumi yang diporakporandakan oleh kebabasan, keegohan, keserakahan dan nafsu manusia terhadap harta dan kekayaan. Adapun dampak dari kerusakan alam mengungkapkan dilematis moral manusia dalam mengelolah dan membangun relasi dengan alam sebagai sesama makluk yang diciptakan Tuhan.
2.4 Tanggapan Terhadap Masalah Kerusakan Hutan dalam Terang Ensiklik Laudato Si’
2.4.1 Meningkatkan Tingkat Apek Kesadaran, Rasa Solidaritas, Sikap Tanggung Jawab dan Kepedulian Manusia terhadap Alam dan Lingkungan dalam tindakan Reboisasi Hutan
Dalam sudut pandang Kitab Suci Perjanjian Lama, khususnya dalam kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian bahwa alam semesta yakni tumbuh-tumbuhan merupakan wujud karya ciptaan Allah yang hadir mendahului manusia. Penulis melihat bahwa tumbuhan dan alam ciptaan lainnya yang mendahului manusia merupakan kakak dari manusia. Bumi sudah ada sebelum kita dan telah diberikan kepada kita. Oleh sebab itu, manusia harus menaruh hormat kepada alam ciptaan lainnya. Sikap penghormatan dan respek ini mengungkap relasi kodrati dan eksitensial manusia dan alam. Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ No. 68 bahwa,
rasa tanggung jawab terhadap bumi milik Allah ini me-nyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi, menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut di antara makhluk-makhluk di dunia ini, sebab “Dia memberi perintah, maka semuanya tercipta Dia mendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar”.
Hal itu dapat diungkapkan dengan rasa kepekaan, rasa solidaritas, kepedulian dan tanggung jawab dalam melihat dan memandang alam sebagai sahabat, rekan kerja dan teman sejati dalam relasi kodrati.
Alam merupakan ciptaan Allah. Rasa ciptaan yang sama ini mesti harus disadari dan miliki manusia. Meskipun dalam hal ini manusia merupakan makluk ciptaaan yang paling mulia dan istimewa karena diciptakan menurut gambar Allah yang dilengkapi dengan akal budi dan hati nurani, namun dalam pihak lain manusia mesti mengusahkan kesemimbangan dan membatasi kebebasan atau mepergunakan kebebasannya secara bijaksana dan bertanggung jawab dalam menghargai ciptaaan lainnya sebagai daya percikan Allah. Manusia hendaknya menggunakan akal dan budinya secara bijaksan dan penuh kesadaran dan kepekaan terhadap alam yang juga merupakan ungkapan Allah yang tak terbatas dan berkuasa. Katekismus jelas dan tegas mengkritik sebuah antroposentrisme yang menyimpang: “Setiap makhluk memiliki kebaikan dan kesempurnaannya sendiri, serta berbagai makhluk, masing- masing dikehendaki sebagaimana adanya, mencerminkan dengan caranya sendiri sinar kebijaksanaan dan kebaikan Allah yang tak terbatas. Maksudnya ialah agar terwujudnya terang kebijaksanaan dan nilai keadilan, damai sejaterah dan sukacita sebagai makluk ciptaan Tuhan.
Dalam kepenuhannya sebagai makluk mulia dan kudus, manusia semestiya dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam memainkan peranannya dalam menjaga dalam merawat alam semesta sebagai tempat dan rumah bersama. Hal itu mesti ditumbuhkembangkan dengan sikap kepekaan dalam melihat dan memandang alam dan lingkungan khususnya hutan sebagai tempat untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Rasa nilai solidaritas terhadap hutan dana lam sekitar mengungkap sikap emasipasi akan dunia akan dating dalam sikap saling menghargai bukan pada sikap merusak dan mengeksploitas alam sehingga tidak mendatangkan kerugian bagi masa depan. Para pendidik harus mampu mengembangkan jalur-jalur pedagogis bagi etika ekologis, sehingga membantu orang secara efektif bertumbuh dalam solidaritas, dalam tanggung jawab, dan dalam perawatan penuh kasih.
Selain mengembangkan sikap solidaritas adapaun sikap lainya yakni sikap tanggung jawab. Dalam mengembangkan dan menghidupi sikap ini, manusia mesti menggunakan akal budi dan hati nurani terhadap alam dan hutan. Kita tidak menganggap kelebihan kita ini sebagai alasan untuk memegahkan diri atau mendominasi secara tak bertanggung jawab, tetapi sebagai kemampuan berbeda yang pada gilirannya meletakkan pada kita tanggung jawab besar yang lahir dari iman. Berbagai dasar sikap ini mampu menghidupkan dan menyadarkan kembali akal budi dan hati nurani dalam berkehendak yang baik, demi pemeliharaan dan pelestarian alam dan hutan untuk terciptanya hubungan kodrati yang baik dengan alam.
3. KESIMPULAN
3.1 Melakukan Reboisasi Hutan sebagai Tanggapan Pertobatan Ekologis dalam terang Ensiklik Laudato Si’
Pertobatan ekologis merupakan sikap dasar atau sikap awal yang mesti dibangun dalam kecintaan dan penghargaan terhadap alam dan lingkungan sebagai gambaran Allah yang tak terbatas dan tak kelihatan. Pertobatan ekologis yang berarti membiarkan seluruh buah dari pertemuan mereka dengan Yesus Kristus berkembang dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka. Dalam hal ini, penulis menawarkan pertobatan ekologis dalam sikap reboisasi alam atau penghijauan hutan dalam tindakan menanam pohon di hutan yang gundul dan menanam pohon didekat mata air.
Dalam memetakan masalah terhadap kerusakan alam, reboisasi hutan merupakan suatu tindakan yang mengungkapkan nilai kepekaan, rasa solidaritas, kecintaan dan tanggung jawab terhadap alam dan lingkungan, khususnya hutan. Kolaborasi respek dari tindakan manusia ini menggagaskan semangat dalam melakukan pertobatan ekologis bahwa penataan dan pemulihan alam sekitar mengungkapkan sikap penghargaan dan kecintaan terhadap makluk lainnya demi kebahagian masa depan. Reboisasi adalah suatu tindakan yang mengedepankan nilai moral dan etika bukan hanya terhadap alam, tetapi kepada makluk hidup yang akan datang. Pertobatan ekologis yang diperlukan untuk menciptakan suatu dinamisme perubahan yang berkelanjutan, juga merupakan pertobatan komunal.
Dalam tindakan reboisasi menghadirkan nilai penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia yang melahirkan dan menggambarkan serta mendatangkan pemulihan terhadap jati diri manusia. Oleh sebab itu, pertobatan ekologis mengandaikan pertobatan yang dimulai dalam hati dan pikiran manusia dalam sikap dan pandangannya terhadap alam dan lingkungan, khusunya terhadap hutan. Nilai dan hukum timbal balik ini menggambarkan suasana dan fenomena baru dalam relasi manusia dengan alam. Tindakan reboisasi tidak hanya diperuntukan untuk penghijauan alam dan hutan, namun dilain pihak penghijauan dan penanaman kembali nilai moral dan etika manusia demi terbentuknya jadi diri yang otentik dan ideal.
Label: Artikel, coretan nilai