INKULTURASI: MENILISIK HUBUNGAN KONSEP DU’A NGGA’E
SEBAGAI REALITAS TERTINGGI ATAU WUJUD TERTINGGI
DALAM KEPERCAYAAN KEBUDAYAAN SUKU ENDE-LIO DI DESA KELITEMBU
DENGAN IMAN KRISTEN
Oleh: Albertus Mandat Minggu, S.Fil
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mencari dan menemukan konsep kepercayaan akan realitas tertinggi atau wujud tertinggi dalam kepercayaan Budaya masyarakat Ende Lio-Flores dalam hubungan dengan iman kepercayaan Kristiani. Orang Ende Lio sudah memiliki iman kepada Tuhan sebagai realitas tertinggi atau wujud teringgi sebelum para misionaris memperkenalkan dan mewartakan Injil dalam agama Kristen tentang kabar baik dari Tuhan Yesus Kristus. Mereka dalam keyakinan dan kepercayaan mengilhami dan menyembah Allah dalam rupa sapaan khas Du’a Ngga’e. Orang Ende Lio percaya bahwa Du’a Ngga’e sebagai kepercayaan dasariah yang tumbuh dan berkembang dalam hati dan keyakinan setiap manusia yang hidupnya berakar kuat dalam Allah. Oleh sebab itu, Gereja Katolik harus melanjutkan karya iman ini dengan memberi pencerahan dan penegasan dengan membangun dasar iman ini menggunakan dengan metode dialog horisontal melalui jalan inkulturasi.
Dalam penulisan ini, peneliti menggunakan metode deskriptif kualikatif dengan model pendekatan fenomenalogis langsung kepada objek yang diteliti. Penulis juga menggunakan berbagai kajian literatur antara lain jurnal, artikel yang membahas secara khusus tentang tema yang diangkat peneliti dalam tulisan ini. Selain itu, penulis juga menggunakan teknik wawacara guna mendapat informasi-infirmasi penting dari narasumber asli yakni para tua adat dan masyarakat sekitar. Dalam penelitian ini terdapat dua hal penting antara lain: (1) Konsep tentang Du’a Ngga’e dalam sistem kepercayaan masyarakat Ende Lio-Flores yang mempunyai hubungan dengan iman kepercayaan Kristen. (2) Hubungan Gereja dan budaya setempat dalam pertumbuhan dan perkembangan iman Kristiani.
Kata Kunci: Du'a Ngga'e, Realitas Utama, Gereja, Kebudayaan, Iman.
Abtract
The study aims to find and find the concept of trust highest reality in the culture belief of Ende Lio-Flores in relation to the faith of the Christian faith. The Ende Lio already had faith in the Lord as the nature reality before the missionaries introduced and proclime Christianty in the Lord abaut good news. The in the confidence and trust inpire and worship God in distinctive greeting are Du’a Ngga’e. The people of Ende Lio believe that Du’a Ngga’e not a budding and growing trust in the heart and confidence of every human whose life firmly rooted in God. The Cathoic churc, therefore, must continue this work of faith by enlightening and reinforcing it by establishing the basis of this faith by using a horizontal method of dialogue through the concept of inculturation.
In this writing, researchers use qualitative decrip tive methods with a phenomenon approaches model directly to the object being studied. The authors also use various literature studies such as journals, articles that deal specifically with subjects that are studied by researchers. In this study, there are two significant factor, (1) The concept of Du’a Ngga’e in the people’s belief system of Ende Lio-Flores that relate to Christian faith. (2) Local church and cultural relatioships in the growth and development of the Christian faith.
Key Word: Du'a Ngga'e, Ultimate Reality, Church, Culture, Faith.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perihal budaya atau kebudayaan merupakan karakteristik, identitas, perilaku dan nilai-nilai kehidupan yang dipertahankan dalam suatu masyarakat yang merupakan karya dan hasil ciptaan sekelompok manusia yang ingin mempertahan diri dari kelompok budaya lainnya. Pemahaman ini jika dilihat dari sudut etimelogisnya berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah berarti daya atau kemampuan. Sebagaimana dikutip oleh Bernard Raho (2016: 124) dalam bukunya “Sosiologi”, Hendropuspito mengartikan kebudayaan merupakan kekuatan budi yang dihasilkan oleh kekuatan budi manusia yang tidak hanya berkerja melalui kekuatan budi melainkan juga dengan perasaan kehendak, yang secara lengkap kebudayaan diartikan sebagai hasil karya budi, karsa dan kehendak. Kemudian menururt pemikir klasik Edward Taylor (1871) mengartikan kebudayaan, sebagai kompleksitas keseluruhan penegetahuan, keyakinan, kesenian, moral, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat (Dikutip oleh Bernard Raho dalam tulisan Horton dan Hunt, 1984:58). Oleh sebab itu, secara etimelogis kata kebudayaan atau budaya berkaitan dengan kegiatan berakal.
1.2 Metode Penelitian
Dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan dengan mencari berbagai informasi berkaitan dengan tema yang ada. Selain itu, penulis juga menggunakan metode lapangan yakni metode deskriptif kualitatif dengan model pendekatan fenomenologis guna melihat fenomena atau gejala-gejala yang tampak dalam suatu wilayah. Peneliti menggunakan pendekatan ini guna meneliti hubungan penghayatan kepada Tuhan dalam keyakinan budaya Ende Lio dalam kaitan dengan iman Kristiani. Penulis mengumpulkan data melalui wawancara dengan masyarakat budaya Kelitembu suku Ende-Lio, budaya Kelitembu, Flores. Dalam pengambilan data-data kuantitatif, peneliti mengenal dengan reponden dalam penelitian ini. Wawancara mendalam dilakukan beberapa kali guna mendapatkan data yang semakin lengkap dan mendalam dengan menemukan sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data bersifat akurat yakni wawancara dengan masyarakat budaya Kelitembu suku Ende-Lio. Sedangkan data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari berbagai suber lainnya.
Dalam proses penelitian, penulis mengumpulkan data dengan teknik wawancara yakni wawancara langsung dengan para informan spesialis dan informan kunci yakni para mosalaki atau tua adat, kepala suku, para sesepu, dan beberapa masyarakat setempat. Berbagai dari informan kunci dan informan spesialis guna memperoleh data yang valid tentang wujud kepercayaan akan wujud tertinggi dalam kebudayaan Desa Kelitembu. Demi memperoleh data yang valid dalam menggarap masalah yang ada, penulis menggunakan berbagai pertanyaan yang sedianya dapat membantu responden dan penulis dalam menemukan latar belakang masalah dan informasi-informasi terhadap kajian dan kaitan antara kepercayaan adat budaya Kelitembu dalam hubungan dengan iman kepercayaan iman Kristen Katolik. Adapun dalam metode ini, penulis memanfaatkan jasa handphone dan kamera yang digunakan untuk mendokumentasi dan merekam berbagai informasi dari para informan spesialis dan informan kunci.
Selaian metode wawacara dengan para informan, penulis melihat hubungan kepercayaan budaya Kelitembu dan iman Katolik dengan menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder dan data primer dari penelitian ini adalah referensi tentang pandangan Gereja dalam hubungannya dengan budaya.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Singkat Inkulturasi dan Pengertian Inkulturasi
Kita perlu sadar bahwa pada umumnya pertemuan pengertian akan tingkat kepercayaan antara budaya dan agama sering mengalami perdebatan berkaitan dengan pengakuan doktrim kepada Tuhan.
Dalam penelitian dan penyelidikan, dari berbagai sumber, adanya tingkat superioritas dari budaya barat terhadap budaya timur. Budaya barat pada waktu itu sangat menekankan peran serta agama dalam segala bidang kehidupan. Di mana, ajaran iman Kristen sebagai agama yang sangat dihormati dan mempunyai banyak pemeluknya. Berdasarkan klaim dan situasi demikian, gereja melahirkan dan mencetuskan suatu adagium doktrim ialah “Di luar Gereja tidak ada keselamatan” (Extra Ecclesiam nulla salus). Implikasinya, munculnya suatu adagium bahwa Gereja Katolik merupakan agama yang benar dan membawa keselamatan bagi semua orang. Maka berdasarkan ajaran Kitab Suci Matius, 28:19, mendorong, mengutus dan memobilisasi para misionaris untuk mewartakan kabar baik tentang keselamatan dalam Kristus ke seluruh dunia.
Dalam misi perutusan ini, para misionaris mengalami berbagai tantangan yang salah satunya berkaitan dengan, bagaimana menginjil di tengah masyarakat yang berbeda budaya dengan syarat dan sistem kepercayaan yang dalam satu posisi masih terikat kuat dengan model penghormatan dan kepercayaan akan realitas tertinggi. Ruang ini menjadi pertemuan yang sangat interen dan signifikan untuk ditelusuri. Ruang pertemuan antara budaya asing dalam hal ini agama Kristen dengan budaya pribumi. Medan ini menjadi medan diskusi untuk mecari keterkaitan antara kepercayaan budaya dengan iman Kristen. Sebagaimana dikutip oleh Simon Arief Herdian Putra Tama, Martasudjita, mengatakan, di daerah koloni yang memiliki beragam kebudayaan yang berbeda dengan Eropa, para misionaris ditantang untuk bernegosiasi mencari bentuk ekspresi iman bagi orang pribumi. Menyadari kenyataan demikian, gereja melahirkan dan menerapkan model komunikasi yang kreatif dan tepat yakni budaya kreatif dan akomodasi (inkulutirasi).
Pertama kali kata “Inkulturasi” dipublikasikan dan oleh P. Charles pada tahun 1893- 1954 dan oleh J. Masson pada tahun 1953. Pada pembukaan Konsili Vatikan II, 1962 Masson menulis (Shorter 1988: 10; Hu-Chun 1996: 16), “Today there is a more urgent need for a Catholicism that is inculturated in a variety of forms (d'une facon polymorphe)”. Dengan adanya konsep inkuluturasi terjadi pertemuan antar budaya yakni dua kultur yang berebeda yang kemudian atas dasar penyelidikan dan pembaharuan yang dilakukan maka dilahirkan suatu budaya baru atau kultur baru.
Dalam seruan aggiornamento, Konsili Vatikan II membuat Gereja Katolik Indonesia turut bergerak dalam arus kebudayaan inkulturasi. Proyek pribumisasi yang sudah lama dikerjakan beberapa misionaris semakin mendapat maknanya secara resmi sebagai geliat ekspresi Gereja muda.14 Konsili Vatikan II mengundang Gereja-Gereja muda untuk menunjukkan inisiatif dan kreativitasnya dalam problem benturan budaya di wilayahnya (AG. 15) termasuk dalam bidang liturgi (SC. 37-40).15 Banyak Gereja setempat kemudian berupaya agar identitas mereka tampak Roma sekaligus mengakar dalam budaya setempat. Mengingat urgensi dari masalah inkulturasi, Paus Paulus VI mengajak Gereja untuk serius memperhatikan evangelisasi budaya setempat.
Inkulturasi sebagai istilah baru pada mulanya dipakai pada tahun 1973 oleh G.L.Barney dalam bidang missiologi dan bukan pertama-tama dalam bidang liturgi. Barney mengatakan bahwa di tanah misi nilai-nilai Injil yang adi-budaya (mengatasi kultur) dan mau diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan dalam budaya orang setempat itu sehingga dapat terbentuk satu budaya baru yang bersifat kristen.
Sebagai peristiwa budaya, Konsili Vatikan II mengajarkan kemendesakan masalah inkulturasi16 seperti tampak dalam Ad Gentes (art. 9, 10, 11, 21, 22), Gaudium et Spes (art. 44-58), Lumen Gentium (art. 13, 17, 23), Nostra Aetate art. 2 dan Sacrosanctum Concilium art. 37. Konsili Vatikan II memang tidak menggunakan istilah inkulturasi secara langsung. Tetapi Konsili Vatikan II mendorong agar Injil diwartakan melalui pelbagai bentuk pendekatan budaya setempat. Konsili Vatikan II yakin bahwa kebudayaan tiap bangsa justru disempurnakan dengan misteri inkarnasi dan penebusan Kristus (AG. 9). Untuk mewartakan Injil, Gereja perlu melakukan gerak seperti Kristus sendiri dalam penjelmaan, masuk kepada keadaan sosial budaya dan keseharian orang yang dijumpai-Nya (AG. 10).
Rentetan pertemuan ide dan gagasan serta doktrim mengenai realitas tertinggi telah membingkai makna pertemuan makna inkulturasi yang tidak saling merugikan. Sebab dari konsep inkulturasi sebenarnya gereja mau mengakarkan dalam budaya sambil terus menerus melakukan pembaharuan. Maksud lain ialah untuk memberikan pembaharuan, pemurnian dan pertautan antar budaya akan sistem kepercayaan yang di anut dalam budaya masing-masing. Pertemuan antar budaya melahirkan konsep inkulturasi. Konsep inkulturasi yang digaungkan dengan maksud agar Gereja dapat membaharui sistem kepercayaan budaya dalam peristiwa inkarnasi yaitu pemenuhan seluruh sistem kepercyaan dalam Kristus Yesus. Dalam inkulturasi tersebut termuat gagasan bahwa dalam perjumpaan dengan budaya lain, Gereja perlu melakukan gerakan inkarnasi masuk ke budaya mereka tetapi juga sekaligus membaharui budaya tersebut lewat penebusan Kristus (AG. 9).
Inkulturasi berasal dari bahasa Latin in dan cultura artinya budaya atau kebudayaan. Pengertian kebudayaan adalah segala hasil karya yang membantu kehidupan manusia. Sinonim kata lainnya adalah budaya dari budidaya dan peradaban dari bahasa Arab adaba, yang berarti mendidik (Komisi Liturgi MAWI, 1985).
Istilah inkulturasi pertama kali muncul dalam literatur misionaris pada tahun 1960, ketika diperkenalkan dalam artikel L'eglise ouverte sur Le Monde oleh Masson, seorang https://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/kamaya 31 dosen di Universitas Gregorio. Dengan istilah ini, Masson berharap dapat mengungkapkan pesan keselamatan kekristenan atau fakta bahwa Gereja terintegrasi ke dalam budaya kelompok tertentu. Istilah ini pertama kali digunakan dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977. Ungkapan itu digunakan oleh Konferensi Katekese Para Uskup Roma, yang menerbitkan teks terakhir dari pesan kepada umat Allah (Komisi Liturgi MAWI, 1985).
Istilah inkulturasi sebenarnya adalah istilah yang baru dalam Gereja Katolik yang dipakai tahun 1973 oleh G.L Barney, yang mengatakan bahwa di tanah misi nilai-nilai Injil yang adibudaya dan mau diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan ke dalam budaya orang setempat sehingga menghasilkan budaya baru yang bersifat Kristen.
Secara etimelogis, kata inkulturasi mengandung dua du akata yakni “in” dan “cultural”. Kata “in” artinya dalam dan “cultural” artinya kebudayaan atau budaya. Jika kedua kata digabungkan, maka mengandung ke dalam budaya. Atau dengan kata lain, istilah inkulturasi adalah tindakan atau usaha gereja untuk mengenal dan mengetahui sambil membaharui dari dalam tentang konsep dan pemahaman suatu budaya. Dengan cara ini, konsep inkulturasi mempunyai porsi yang melegatimasi tindakan evangelisasi akan peristiwa inkarnasi dalam suatu budaya.
2.2 Konsep Pemahaman Orang Ende-Lio akan Du’a Ngga’e
Koentjaraningrat mendefinisikan pengertian tentang kebudayaan sebagai keseluruhan sistem ide-ide dan gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka menyatukan kehidupan masyarakat dan dijadikan milik bersama yang diwariskan secara terus-menerus sebagai suatu norma atau nilai. Hal ini terdapat dalam kebudayaan Ende Lio sebagai sebuah sistem kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun. Warisan itu dapat mencakup hal religious dan insani.
Pada dasarnya semua manusia adalah makluk religious. Makna religious ini terungkap dari setiap perotowa dan pengalaman manusia dalam penziarahan mencari wujud yang transenden. Hal itu, timbul dari kekaguman dan keheranan manusia akan segala tampak dalam alam semesta yang didahului dengan pertanyaan. Tentulah apa yang dipertanyakan dan dikagumi itu merupakan symbol ketaksampaian manusia dalam mempertanyakan tentang realitas tertinggi. Hal itu pun yang dialami nenek moyang kebudayaan Desa Kelitembu yang pada umumnya berkebudayaan Ende Lio. Terhadap realitas yang berhingga itu, nenek moyang Ende Lio dalam kesempakatan menyebut dengan nama Du’a Ngga’e. Nama Du’a Ngga’e dalam agama Abrahamik biasanya disapa dengan Tuhan, Allah, God, Elohim, Yahwe, Adonai, dst. Nama-nama yang digaungkan dan dilahirkan mau mengungkapkan manusia dalam peziarahan hidupnya merupakan makluk religious. Pengalaman religious ini kemudian diakumulasi dalam rangkain model ritual budaya local dalam kebudayaan masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar relasi iman religious dalam kebudayaan local yang telah terbentuk menjadi kepercayaan bersama. Relasi ini mengungkapkan pengakuan iman dasar Ende Lio akan realitas tertinggi atau wujud ilahi yang melampauhi manusia dalam segala keberadaan.
Warisan kebudayaan ini tidak hanya terungkap dalam keyakinan akan realitas tertinggi atau wujud tertinggi, melainkan terungkap pula dalam tarian (gawi dan rokatenda), bahasa, tingkah laku, doa, nyanyian, dan ritus-ritus kebudayaan yang mempunyai kekhasan dan corak tertentu. Tentulah semua bentuk kreasi dan kreatifitas ini merupakan hasil yang mahakarya yang telah ditinggal dan diwariskan oleh nenek moyang. Semua ini diwariskan secara turun-temurun kepada anak cucu (ana kalo fai walu).
Sistem kebudayaan yang dasari dengan keyakinan akan wujud tertinggi ini dapat pula ditemukan dalam berbagai tempat locus pemujaan antara lain: tubuh kangan, sa’o ria tenda bewa yang di dalamnya terdapat ruang khusus atau ruang sakral. Kehadiran tempat ini sebagai bentuk penghormatan masyarakat Ende Lio akan wujud tertinggi Du’a Ngga’e. Penyediaan tempat ini hanya sebagai simbol yang melegitimasi keyakinan mereka kepada Tuhan yang Mahakuasa (Du’a gheta lulu wula o Bhisa Gia) yang sedianya selalu hadir dalam kehidupan mereka. Dan kehadiran seorang kepada suku mosalaki pu’u atau mosalaki weri sangat berpengaruh dalam mewakili masyarakat setempat dalam melantukan permohonan dan ucapan syukur kepada Du’a Ngga’e. Ungkapan perwakilan oleh seorang tuan adat atau mosalaki weri mengungkapakan adanya nilai kebersamaan yang disimbolisasikan dengan kehadiran Kuwu Keda . Kehadiran Kuwu Keda mengaplikasikan makna persatuan di mana, dalam setiap urusan adat dan urusan lainnya, masyarakat berkumpul bersama bhou mondo benu untuk mempertimbangkan dan menghasilkan suatu keputusan yang mutakhir untuk kehidupan bersama. Kuwu Keda menjadi simbol persatuan yang memungkinkan masyarakat Desa Kelitembu merumuskan dan menghasilkan suatu pemikiran dan keputusan yang mutakhir bagi kelangsungan hidup ana kalo fai walu.
Masyarakat Ende Lio pada umumnya telah memiliki sistem kepercayaan tradisional yang sudah ada sebelum para misionaris Katolik berkarya di Flores, Ende Lio. Sebelumnya masyarakat Kelitembu melihat dan meyakini kehadiran Tuhan Allah lewat peristiwa besar seperti bencana alam. Bahkan sistem kepercayaan tradisional bertahan hingga sekarang meskipun tradisi iman Katolik sudah mulai dihidupkan di daerah ini. Sistem kepercayaan ini dapat dilihat dari setiap kegiatan seremonial yang mengungkapkan kepercayaan masyarakat terhadap Wujud Tertinggi. Masyarakat Ende Lio meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan oleh Wujud Tertinggi yang dalam bahasa mereka yakni Du’a Ngga’e, eo kema nena liru no tana. Namun setelah para misionaris Serikat Sabda Allah berkarya di Desa Kelitembu, akhirnya masyarakat Desa Kelitembu menerima dan mengakui Wujud Tertinggi yakni Du’a Gheta Lulu Wula, mengartikan dan menghadirkan makna dan eksistensi Tuhan seperti yang terungkap dalam ajaran dan iman Kristen tetapi masih bersifat tradisional. Maka orang Ende Lio membuat tubu kanga sebagai tempat kehadiran Du’a Ngga’e.
Berdasarkan karakteristik dari bentuk dan keberadaan tubu kanga berbentuk persegi sama sisi dengan di tengah-tengah terdapat sebuah kayu atau batu lonjong. Pada bagian atas kayu atau batu menjadi simbol Allah Du’a Ngheta lulu wula yang tinggal di langit dan bagian bawa diakui sebagai ibu bumi Ngga’e Ghale wena tana (ibu yang melahirkan segala keturunan). Pada tubu kanga ini, seorang mosalaki pu’u, kepala suku melakukan pemujaan kepada Du’a Ngga’e dengan bahasa adat pujian yang selingi dengan untaian doa permohonan. Ritual demikian biasanya dilakukan stahun sekali oleh para mosalaki. Umumnya mosalaki yang melakukan pemujaan ialah kepala suku yang mempunyai peran penting atau sebagai pemilik sah suatu kebudayaan tertentu. Misalnya dilakukan saat upacara sewu api, tiwu lowo, pera bera, dan nggua bapu nggo lamba.
Tubu kanga sebagai tempat sakral. Kesakralan tempat ini dapat dilihat dari simbol dan lambangnya sebagai kehadiran Du’a Ngga’e namun di sisi lain tubu kanga tidak bisa disentu dan diraba ataupun jika ada orang yang lewat tempat harus memberikan rasa respek sebagai bentuk sopan santun. Dan berkaitan dengan segala peran penting yang berhubungan dengan tubu kanga ini, mosalaki yang sangat berperan penting di dalamnya. Hal itu dapat dilihat juga dari keputusan mosalaki untuk melakukan perbaikan pada tubu kangan yang sudah rusak selain sikap pemujaan yang dilakukan. Menurut Iki bahwa segala macam fungsi, kegunaan, dan seluruh persoalan yang berkaitan dengan hanga, hanya diketahui oleh seorang mosalaki.
Pada umumnya, warga masyarakat Desa Kelitembu menganut sistem kepercayaan terhadap para leluhur nenek moyang. Sistem kepercayaan ini tetap dipertahankan dan dihidupi dalam kehidupan sehari-hari dan dalam acara-acara besar adat. Adapun hal yang menarik adalah pada saat kedatangan agama Katolik melalui para misionaris Serikat Sabda Allah, masyarakat Desa Kelitembu mencoba menghubungkan sistem kepercayaan mereka dengan keyakinan dalam iman agama Katolik. Hal itu kemudian terungkap dalam acara-acara letak batu, dalam seremoni-seremoni adat dan dalam perayaan Ekaristi. Pembaruan sistem kepercayaan masyarakat ini mengungkapkan model inkulturasi yakni pembaruan sistem kepercayaan adat dengan keyakinan dalam agama Katolik. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa dalam menjaga keberlangsungan kebudayaan yang bersangkutan, lazimnya terjadi interaksi antara sistem religi, sistem budaya yang diwujudkan dalam upaya-upaya kelompok pendukungnya.
Penghormatan dan keyakinan akan Wujud Tertinggi terungkap dalam bahasa masyarakat setempat yakni ooo, Du’a Gheta Lulu Wula, Ngga’e Ghale Wena Tana. Sebutan penghormatan kepada Wujud Tertinggi kemudian diyakini sebagai Tuhan Allah yang menciptakan segala sesuatu (Du’a Gheta Lulu Wula) dan penghormatan akan nenek moyang (Ngga’e Ghale Wena Tana). Model keyakinan ini dapat dilihat dalam simbol sebuah tiang kecil yang berukuran pendek dan batu yang mengitari tiang tersebut yang dalam bahasa masyarakat setempat disebut dengan Tubu Kanga eo mase. Keyakinan ini akan terinternalisasi secara baik dalam acara-acara adat dan dalam bahasa setempat yang mengungkapkan keberadaan Tuhan dan nenek moyang yakni seperti dalam acara pelepasan dengan orang meninggal:
Du’a Gheta Lulu Wula, Ngga’e ghale wena tana, kami rina ria oso masa pati ana kami o mata, mbana si leka jala eo masa, leta si leka wolo eo molo, ndu leka Ngga’e Ema pera aja no eo seso neno liru no tana so miu ata mata, tage si Sa’o Ria, Tenda Bewa mo mera padhi no ana Kai Yesu soli no Raju Ria Bhisa Dhika.
Masyarakat Desa Kelitembu sangat yakin dan percaya bahwa nenek moyang atau orang yang sudah meninggal, selalu bersama mereka dan selalu mendoakan mereka. Sikap penghormatan kepada nenek moyang hanya sebatas penghormatan dan kepada Wujud Tertinggi sebagai keyakinan total masyarakat setempat yang didorong dengan keyakinan sebagai pencipta matahari, bulan, bintang dan bumi. Secara tradisional dahulu orang Lio mengenal dua simbol laki-laki dan perempuan dalam satu ketuhanan (Du’a Ngga’e), yang di satu pihak dapat dihubungkan dengan bulan dan di pihak lain dengan bumi.
Pada sisi lain selain sistem kepercayaan kepada Du’a Ngga’e sebagai realitas tertingg masyarakat Ende Lio juga mengakui keberadaan roh-roh para leluhur dan sistem kepercayaan yang dibangun merupakan suatu fenomena sosial yang kerap kali dijumpai dalam sebuah kebudayaan. Kehadiran roh-roh para leluhur mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat terkhususnya dalam diri setiap orang. Pengungkapan relasi timbal balik dengan para leluhur mengungkapkan suatu jalinan relasi yang tidak terputuskan, meskipun kematian memang memisahkan. Menurut Herbert Spencer, seperti dikutip oleh Alex Jebadu dalam bukunya “Bukan Berhala”, mengatakan:
Bahwa dengan menggunakan ungkapan “penghormatan kepada roh-roh leluhur” dalam arti yang luas, yang di dalamnya semua bentuk penghormatan kepada roh-roh leluhur di mengerti, entah mereka mempunyai hubungan darah atau tidak, kita dapat menyimpulkan dan menegaskan bahwa penghormatan kepada roh-roh leluhur merupakan akar dari semua agama.
Sistem penghormatan kepada arwah para
leluhur merujuk pada pemberian sesajen, dan kepada Tuhan sebagai Wujud Tertinggi dilakukan dalam bentuk doa-doa permohonan. Dengan demikian terdapat pemisahan dan pembagian yang benar berkaitan dengan praktik penghormatan kepada leluhur. Praktik penghormatan kepada leluhur ini, sekaligus menjadi gambaran umum akan praktik penghormatan kepada arwah para leluhur di kebudayaan Kelitembu.
Kepercayaan kepada arwah leluhur (embu mamo, nggae ghale wena tana) merupakan hal yang lazim dihidupi di daerah ini. Hal ini dapat dilihat dari praktik memberi makan para leluhur ketika acara-acara besar seperti sewu api, letak batu pertama, Tiwu Mbojo dan dalam sikap permohonan minta restu nenek moyang dengan mengunjungi dan memberi makan nenek moyang di tempat pemakaman. Pada umumnya, memberi makan nenek moyang merupakan tugas khas dari seorang mosalaki. Dan biasanya para mosalaki memberi makan nenek moyang di rumah adat, di tubu mase (tugu kayu), dan di tempat bersejarah.
Dalam perkembangan zaman ekstitensi tubu kanga sebagai tempat sentral telah mengalami perubahan dan pergeseran dalam pola pikir masyarakat. Menurut penelitian Mathias Jebaru Adon, Siklus Rikardus Depa dan Vinsensius Rixnaldi Masut (2022:259-260),
mereka mengungkapkan ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kemunduran tersebut. Pertama, pengaruh ilmu pengetahuan modern yang menekankan rasionalitas dan nalar kritis. Di sini, ritual-ritual adat dinilai “kurang nyata”, bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai mitos dan legenda. Kedua, faktor migrasi. Banyak orang Ende-Lio yang meninggalkan kampung halaman dan menetap di kota, bahkan menjadi tenaga kerja di luar negeri. Dampaknya sistem tradisi melalui pewarisan budaya ke generasi selanjutnya menjadi lambat atau bahkan mulai terputus. Ketiga, masuknya agama Katolik di daratan Flores. Faktor ketiga inilah yang mendapat penekanan khusus dalam studi ini. Bahwa masuknya agama Katolik ke dalam kebudayaan Ende-Lio beriringan dengan memudarnya ritual-ritual adat daerah setempat.
Berhadapan dengan kepercayaan lokal budaya Ende Lio, apakah mesti dipahami, direfleksikan, disiasati, dimurnikan dan model penghayatan yang bagaimana semestinya diinkulturasikan? Sebab pada umumnya sebelumnya gaungan inkulturasi dikumandangkan, gereja melihat dan memandangi bahwa kepercayaan budaya lokal pada umumnya dipandang sebagai model penyembahan berhala. Point pentingkan dalam menyikapi masalah hubungan antara kepercayaan budaya setempat kepada wujud tertinggi atau realitas tertinggi dan iman Kristiani harus mencapai jaln dialog dalam model inkulturasi dengan konsep pemurnian kepercayaan. Meskipun dalam satu pihak sikap demikian akan menimbulkan dan mendatangkan dampak yang luar biasa terhadap sistem kepercayaan budaya stempat. Oleh sebab itu, Martasudjita berpendapat bahwa beberapa ritus lokal pun dihapus atau “dimodifikasi” sedemikian rupa sehingga sejalan dengan inti ajaran iman Kristiani (Martasudjita, 2013).
Namun dilain pihak, jika diliaht dari semua unsur budaya tidak sama sekali tidak bertentangan ajaran Kristiani. Hal ini dapat dilihat dari, antara lain, pertama, kehadiran tubu hanga yang dihubungkan dengan kehadiran Du’a Ngga’e. Gambaran ini jika dilihat dari sepihak akan bentuk dan simbol tubu kanga sangat bertentangan dengan iman Kristiani yang mewartakan Allah berdasarkan refleksi dan terang Kitab Suci.
Menurut Hanna Arendt berpendapat bahwa padahal tidak semua unsur budaya bertentangan dengan ajaran Kristiani, misalnya hanga dan Du’a Ngga’e yang merupakan ekspresi iman orang Ende-Lio akan eksistensi realitas tertinggi atau Yang Mahakudus (Arendt, 2002). Oleh sebab itu, kehadiran tubu kanga hanya sebagai simbol. Namun nilai dibalik simbol ini ialah adanya pengakuan iman akan wujud teringgi yakni Tuhan Yang Mahakuasa, Tuhan yang menyejarah dalam seluruh elemen dan sistem kehidupan manusia. Bukti pengakuan Kemahakuasaan Allah diungkapkan dengan kata-kata, syair-syair, tarian dan nyanyian sebagai ungkapan pujian praise, bersyukur, Du’a Ngga’e (Yang Mahakudus). Kedua, syair-syair dan bahasa adat yang bercirikan dan bermakna pujian kepada Du’a Ngga’e (Tuhan Allah). Ketiga, kehadiran mosalaki. Keempat, persatuan ana kalo fai walu (masyarakat) sebagai lambang persatuan communio dalam tubuh mistik Yesus Kristus. Kelima, mengedepankan kasih dan cinta.
Berdasarkan kenyataan yang ada, penulis melihat Gereja harus mengedankan nilai inkulturasi dengan maksud adanya suatu penghargaan terhadap perjuangan para leluuhur y ang telah memprakarsai iman kepada Tuhan. Dalam hal ini gereja mesti mengahargai bahwa budaya lokal merupakan pintu atau gerbang iman.
Menurut Pareira, (Pareira 2002), baginya adalah suatu kegagalan terbesar agama Katolik jika hanya membatasi kehadiran Allah dalam institusi Gereja dan menolak kehadiran Allah yang telah mewahyukan diri terlebih dahulu dalam kebudayaan lokal setempat. Sebab Roh Kudus tidak hanya berkarya dalam orang dan agama tertentu tetapi juga dalam adat istiadat.
2.3 Model Inkulturasi Dalam Hubungan Iman Gereja Katolik dengan Model Kepercayaan Masyarkat Kebudayaan Ende Lio di Desa Kelitembu
Ajaran Gereja dalam dokumen Konsili Vatikan II, Ad Gentes no. 22 yang berbicara mengenai inkarnasi sebagai titik awal pertautan iman dan budaya. Ada tiga hal penting yang ditekankan di sana, yaitu: (1) Ada pergesaran dari Kristologi atas menuju Kristologi bawah. Allah Putra berinkarnasi dengan mengambil sebuah budaya manusia sebagai suatu kewajiban kodrati-Nya. (2) Kristus membutuhkan kebudayaan-kebudayaan untuk mewartakan Kabar BaikNya mengenai Kerajaan Allah dan untuk membagi kehidupan-Nya bersama orang lain. (3) Pendidikan yang Yesus terima melalui kebudayaan Yahudi memasukkanNya ke dalam keseluruhan proses historis komunikasi antar budaya.
Dalam dokumen Konsili Vatikan II ini hendak mau menegaskan hubungan pertautan antara budaya dan agama tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dasar klaim ini ialah manusia yang memaikan peranan penting dalam menghdupi budaya dan agama. Karena manusia sebagai subjek utama dari dua segi kehidupan ini harus mampu berbudaya dan beragama dalam model, dan konsep yang sama. Sehingga iman yang itu dapat membudaya dalam kehidupan manusia setiap hari. Dengan demikian, misi Gereja sama sekali tidak mengubah religiusitas masyarakat lokal yang telah mengenal Yang Adikodrati. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan oleh Du’a Ngga’e sebagai realitas tertinggi. Masyarakat Ende-Lio sadar bahwa Du’a Ngga’e adalah Allah yang mengusai kehidupan mereka sebagaimana yang diyakini oleh iman Kristiani.
Model pertautan antara budaya dan agama merupakan ciri khas utama dari model dialog ayang inkulturasi, dimana adanya proses dinamika kebudayaan dan agama yang mempunyai tujuan akan anugerah keselamatan bagi semua orang. Hal pertama yang perlu disadari dalam hubungan antara budaya dan agama dapat dilihal dalam pertama, peristiwa inkarnasi. inkarnasi berasal dari bahasa latin, in dan caro artinya menjadi manusia. Firman itu telah menjadi manusia: “Verbum caro factum est …”. Inkarnasi merupakan ajaran Gereja Katolik yang satu, kudus, Katolik dan apostolik karena merujuk pada peristiwa Yesus Kristus Sang Firman, Firman Allah yang menjadi manusia. Dalam Yohanes 1:14: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”.
Dasar iman dalam peristiwa inkarnasi merupakan karya agung Allah bagi keselamatan manusia yang terjadi dalam bangsa Israel dan dalam satu kebudayaan Yahudi, namun diperuntukan bagi semua bangsa dan budaya. Karya Agung ini pun diperuntukan bagi masyarakat Ende Lio yang mengakui dan mengimani Du’a Ngga’e yang telah menjelma dalam pribadi Yesus Kristus. Di mana jika kita melihat dari nilai penghormatan dan penghayatan akan pribadi Yesus Kristus, orang Ende Lio memandang-Nya sebagai “Ana”. Kata “Ana” sangat berhubungan dengan iman Katolik yang melihat Kristus sebagai Anak Tunggal Allah atau sebagai Sang Firman yang menjelma dalam pribadi Yesus Kristus. Dalam pengakuan kata “Ana” bagi orang Ende Lio dari budaya Kelitembu sama hal pengakuan akan pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus. Hal itu terungkap dalam rumusan formula tanda salib dalam bahsa Lio: “Noo Naja Ema, Soli Ana, Soli Ngai Santo”.
Kedua, misteri Paskah. Misteri Paskah sebagai perayaan dimana mengenang wafat dan kebangkitan Yesus Kristus dari alam maut untuk keselamatan umat manusia dan pemulihan seluruh alam semesta dalam darah Yesus Kristus. Nilai pemulihan dan pembaharuan ini meliputi segala konteks kehidupan manusia dan alam semesta entah dalam dimensi religius, sosiologis, antropologis, budaya, ekonomi, sosial, dan ekologi. Titik pemulihan ini membuka dan ruang refleksi iman dari orang Kelitembu yang menganut budaya Ende Lio bahwa “Sang Ana” sebagai wujud dari Firman Allah yang Kekal yakni Yesus Kristus yang merupakan gambaran dan rupa Allah atau Du’a Ngga’e yang tidak kelihatan itu. Pada umumnya, orang Ende Lio melihat peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus dalam rapalan kalimat yakni: “Yesu ana atau so’i sala dosa manusia, mo manusia ngala tage leka sa’o ria tenda bewa”.
Karena pada dasarnya, dalam memahami dan menghayati ajaran Kristen itu fundamental, Who is Jesus? Sebelum Yesus datang sebagai manusia, Yesus itu adalah Firman Allah. Sebagai Sang Friman, Yesus sudah ada sebelum segala abad, sebelum langit dan bumi ini ada, maka Gereja melalui ilham Roh Kudus di bawah tuntunan Apostolik Katekese dari ajaran Para Rasul dari dua belas Rasul sa,pai ke Bapa-Bapa Rasuli yang mengadakan konsili-konsili sampai pada Gereja sekarang ajaran tentang Kristus Yesus sangat kontinuitas di mana Kristus sepenuhnya ilahi “Perfect and God”, Dia sempurna dalam kemanusian-Nya sebagai the Word of God “Firman Allah” dan pada saat yang sama Yesus perfect the whom son of Marry atau sempurna putera Maria. Dengan pendasaran demikian, menegaskan Yesus adalah Tuhan sebagaimana yang diakui dalam setiap peradaban budaya karena karya keselamatan yang mengatasi langit dan bumi dalam pederiataan, wafat dan kebangkitan.
Ketiga, Roh Kudus turun atas para rasul pada peristiwa Pentakosta. Dalam 1 Kor, 2:11:11, “Roh Allah ada dalam diri Allah”. Dalam Yoh, 15:26, “Apabila Roh Kudus: “Faraqleta: Paracletos” yang diutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku”. Roh Kudus merupakan merujuk pada Roh yang ada dalam diri Allah, Roh ayang memebri daya hidup kepada segala alam ciptaan, dan meruapakan kasih sejati yang disalurkan Allah kepada semua makluk hidup. Dalam Rm 8:15: “Rohlah yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu, kita berseru: ‘Ya Abba, ya Bapa”. Dalam Roh Kebenaran ini membawa setiap orang untuk bersatu dengan Allah berkat penderitaan, wafat dan kebangkitan Krsitus dalam sakramen Pembaptisan. Roh Allah ini mau mempertegas dan memperjelaskan iman dan penghayatan Ende Lio-Kelitembu akan pengakuan mereka terhadap Roh Kudus “Ngai Santo, Raju Ria Bhisa Dhika” sebagai Roh yang berasal dari Bapa yang menguduskan mereka dalam segala hal termasuk dalam karya pewartaan dalam kebudayaan Ende Lio. Sehingga dalam hal ini, Ende Lio pun terpanggil dalam karya misi perutusan, Matius, 29:19: “Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-KU, dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa. Putera dan Roh Kudus” dalam basaha Ibrani: “Estu Unu, Mato Patros, Ketu Lu, Ketu Aguiliu Promatos”. Baptisan dalam nama Yesus “Estu Unu Mato Christo” dan jika baptisan ditenggelamkan dalam Eis, maka, “Eis To Onoma” Bapa, Putera dan Roh Kudus. Epi (di atas) To Unu Mato Iesou “di atas nama Yesus artinya di atas pengorbanan Yesus, kita dibenarkan supaya kita menjadi umat-Nya” (Kis, 2:38).
3. KESIMPULAN
Berdasarkan penelurusan dan pengkajian dalam tulisan ini, sistem kepercayaan masyarakat Kelitembu yang berkebudayaan Ende Lio tidak mendatangkan penyesatan berkaitan dengan iman Allah Du’a Nggae dalam keimanan Kristen. Karena pada dasarnya, masyarakat Ende Lio hidup berdasarkan pada nilai religiusitas dalam berbagai segi pengakuan akan iman yang sejati.
Bentuk penghormatan masyarakat Ende Lio yang dikonsepkan dalam berbagai dalam berabagai praktik dan ritual merujuk pada Allah sebagai sumber daya sejati orang Ende Lio. Namun meskipun demikian, Gereja mesti melakukan dialog secara terus-menerus sehingga misi pewartaan Gereja semakin kontekstual terhadap perubahan, pertumbuhan dan perkembangan setiap pola kehidupan dalam masyarakat yang berbudaya. Sehingga iman akan Yesus Kristus semakin membudaya dalam kehidupan setiap manusia.
Label: Artikel, coretan nilai