Jumat, 26 April 2024

GOOD WILL HUNTING

GOOD WILL HUNTING

(Pokok pikiran dan ulasan dalam tulisan ini merupakan hasil penelusuran penulis dari film Good Will Hunting. Penulis terinspirasi dengan film ini, karena dari film ini  mengajarkan kepada dunia tentang arti dari bimbingan dan konseling kepada sesama sebagai perwujudan dari sikap kepedulian terhadap sesame. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan konseling psikoemosional)


Oleh: Albertus Mandat Minggu


A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Film ini pada umumnya mengisahkan dua sahabat yakni: Will dan Cukki. Kedua berasal dari latar belakang keluarga yang sederhana atau kurang mampu. Latar belakang keluarga demikian mendorong mereka untuk mengaduh nasib dengan berkerja sebagai kuli bangunan dan sebagai cleaning service di sekolah. Namun berkaitan dengan pengalaman masa lalu, kedua mempunyai kisah yang berberda- beda.

Kisah itu sangat berkaitan erat dengan masalah moral dan psikologi keduamya yang dikemudian hari terungkap dalam sepak terjang perjalanan hidup mereka. Masalah demimkian mengantar mereka pada suatu kesempatan untuk memulihkan jati diri dengan kisah menarik dalam perjumpaan dengan orang-orang disekitarnya. Dunia sangat terpukau dengan keunikan dari Will. Sehingga dari keunikan yang ada membawa perubahan pada teman-teman Will. Di mana sekarang mereka hidup dalam taraf yang lebih baik.

2. Isi Ringkasan Film “Good Will Hunting”

Film “Good Will Hunting” adalah salah satu serial film yang mengisahkan tentang kisah seorang pemuda yatim piatu yang malang. Pemuda itu bernama Will. Kemalangan itu hanya bersentuhan langsung dengan perjalanan kisah dimasa lalu. Kisahnya, dia pernah dijadikan tameng untuk meringkus kemarahan ayahnya kepada ibunda yang terkasih. Dan tidak hanya demikian, selepas kepergian kedua orangtuanya, ia mendapat banyak perlakuan kasar dari orang tua-orang tua angkatnya. Pengalaman demikian mengantar Will pada pengalaman luka batin yang luar biasa. Namun dilain pihak, Will adalah seorang yang boleh dikatakan jenius. Kejeniusannya diukur dalam kisahnya, ketika ia berhasil memecahkan soal matematika dari Prof. Lambo dalam satu unversitas tempat kerjanya.

Dalam kisah perjalanan selanjutnya, Will banyak menghabiskan waktunya di jalanan dan bekerja sebagai petugas kebersihan disalah satu kampus. Cuckie adalah sahabat setia dari Will yang selalu menjadi tempat bagi Will untuk membagi kisah hidupnya. Cuckie membantu Will dikalah, Will sedang dalam posisi ketidakseimbangan. Hal itu dapat dilihat dari pertama, bagaimana ia harus terbuka hati dan menerima Sean (seorang psikolog dan juga sebagai konseli) serta menjadi Sean sebagai ruang baginya dalam pergulatan batinnya. Kedua, berkaitan dengan Schaller, bagaimana ia harus menyakinkan pacarnya tentang kelurga dan terutama berkaitan dengan makna pengorbanan dalam percintaan mereka. Ketika keadaaan semakin genting, akhirnya Will menerima Sean sebagai bapak konseli. Di saat itu, mereka saling membagi pengalaman pahit dalam suasan konseli. Namun konseling yang di jalankan demikian: pada sesi pertama pertemuan; kelihatan keduanya hanya diam sambil menatap satu sama lain. Pada sesi kedua, akhirnya menjadi kazana yang melahirkan Will pada manusia yang punya komitmen dan tidak takut dalam menghadapi setiap masalah dalam hidupnya.

Akhir film ini, memperlihatkan Will yang dengan semangat baru dan komitmen membangun keberanian dalam dirinya untuk terus berjuang dalam model dan situasi yang baru bersama Schaler sang kekasihnya.

B. HASIL PEMBAHASAN

1. Konseptualisasi Masalah Sikap Atau Perilaku Yang Ditunjukan Oleh Konseli (Will)

Sikap atau perilaku yang ditunjukan Will, antaralain:

 Positif

 Will adalah seorang pribadi yang jenius

 Kesabaran dalam menerima perlakuan kasar dari ayahnya dan dari orangtua angkatnya.

 Ketika dalam berproses dalam konseling tersebut dengan satu butir pertanyaan dari Sean dan Cuckei akhirnya Will sadar dan membagi pengalamannya.

 Negatif

 Emosinal. Hal ini tampak dalam kisah ketika Sean berusaha untuk mencari tahu pengalaman pahit Will. Emosional itu terungkap dalam perbuatan dan perkataannya yang memojokan Sean tetang masalah lalu Sean.

 Dia kelihatan seorang yang tertutup dan susah untuk berbagi pengalaman hidupnya ketika Sean sedang berusaha masuk dalam pengalaman pahitnya.

 Will dengan kejeniusannya selalu berusaha membantah dan menolak setiap pendekatan yang dilakukan olek Schaler dan Sean tentang keluarga dan pengalaman masa lalunya.

2. Penanganan Yang Diberikan Konselor (Sean)

Penaganan yang diberikan Konselor Sean:

 Sikap yang sabar dalam menerima sikap dan tindakan Will yang selalu memojokannya dengan pengalaman masa lalu.

 Selalu menyediakan ruang dan waktu untuk Will, meskipun Will menyakitinya berkaitan dengan pengalaman masa silamnya yakni istrinya yang hilang tanpa kabar.

 Kreatif dan terbuka. Hal ini dimana dalam melakukan terapi yang ada, Will berusaha untuk masuk dalam dunai Will dengan terlebih dahulu menceritakan pengalaman pahit hidupnya.

 Sean adalah seorang figur bapak sekaligus ibu yang sangat memahami posisi Will, menjadi teman curhat dan mampu membimbing Will sehingga kembali ia menjadi pribadi yang punya komitmen dan tidak takut akan setiap pengalaman hidup mendatang.

3. Teknik Terapi Yang Diberikan Konselor (Sean)

Teknik terapi yang diberikan konselor yakni menggunakan teknik pendekatan konseling psikoanalisis. Beberapa hal yang dilalukan sebagai berikut:

 Sean mendorong Will untuk kembali kemasa lalu yang dialaminya dengan maksud agar Will mampu mencapai sikap kesadaran yang baik. Hal demikian dimaksudkan agar Will dapat terbuka hati untuk menceritakan pengalaman masa lalunya.

 Sean selalu kreatif dan sabar dalam menciptakan suasana atmosfir agar Will dapat mampu keluar dari kesulitan dan pengalaman masa lalunya.

 Dalam hal peningkatan kesadaran, Sean berusaha untuk masuk dalam suasana dan pengalaman pahit Will dengan menceritakan pengalaman masa lalunya.

 Ketika Will sudah terbuka untuk menceritakan pengalamanya terlihatlah sebuah kerjasama di mana, kedua akhirnya berhasil dalam menjalan teknik terapi ini. Sean menghabiskan waktunya untuk berlibur dan Will dengan kesadaran dan komitmen hidup yang baru, siap menghadapii setiap persoalan dalam hidupnya.

 Dengan melihat tujuan konseling dengan menggunakan pendekatan ini, sebagai mana terungkap dalam buku “Bimbingan dan Konseling”, oleh Maximus Manu yakni: “menggali kesadaran dan berkerja ke arah pengubahan kepribadian secara radikal”, penulis melihat bahwa, Will pada akhrinya mampu menyadari jati dirinya dengan membangun komitmen dan keberanian dalam menghadapi setiap masalah dalam hidupnya mendatang.

C. PENUTUP

1. Hal-Hal Yang Dipelajari Dari Film Ini Dalam Lingkungan Dengan Konseling

Hal-Hal Yang Dipelajari Dari Film Ini Dalam Lingkungan Dengan Konseling, antaralain:

 Sebagai Konseli

 Harus terbuka hati dalam menceritakan pengalaman kepada Konselor. Hal ini akan menjadi modal awal bagi konselor dalam memahami dan masuk dalam dunia dan situasi konseli.

 Membangun sikap kepercayaan diri kepada konselor, agar memampuhkan kita secara leluarsa dalam menceritakan pengalaman hidup.

 Membangun sikap penyadaran diri dan integritas diri yang kuat, sehingga konsleor lebih yakin dan tidak mengalami kesulitan dalam menanamkan nilai-nilai yang pantas dan berguna bagi seorang konseli.

 Sebagai Koselor

 Sebagai seorang konselor dibutuhkan sikap tenang, sabar, kreatif dalam maksud dan tujuan untuk memahami dan mecari tahu masalah yang terjadi pada konseli.

 Dalam menghadapi seorang konseli yang sulit untuk mengungkapkan dan menceritakan pengalamannya, dibutuhkan sikap kreatif yakni seperti dilakuakan Sean kepada Will. Di mana, Sean memantik Will dengan terlebih dahulu memahami kondisi psikologi Will dan kemudian menceritakan pengalamanya yang mirip dengan pengalaman Will. Teknik demikian berhasil, di mana, Will akhirnya menceritakan penagalaman pahitmya.

 Sabar dalam menerima perlakuan konseli yang terkadang memblok pertayaan konselor dengan mengeluarkan tindakan yang menyakitkan konselor. Hal demikian seperti dilakukan Sean terhadap Will yang selalu memojokannya dengan pengalaman masa lalu Sean.

2. Kesimpulan

Secara umum, penulis melihat bahwa film “Good Will Hunting”, adalah sebuah film yang menampilkan dan menggambarkan teknik pendekatan konseling psikoemosional. Di mana, seorang konseli dari film ini yakni Will yang mengalami luka batin yang luar biasa akibat pengalaman masa lalunya. Dengan situasi dan pengalaman demikian, penulis melihat bahwa model dan tekni yang dilakukan Sean bercirikan pendekatan konseling psikoemosional. Di mana, keberhasilan Sean dalam mendorong Will untuk menyadari kembali integritas dirinya, sikap penyadaran dirinya, keberanian diri dan komitmen Will dalam menjalani hidupnya yang baru


Label: ,

Kamis, 11 April 2024

MASTURBASI SEBAGAI AKTUS PENCEMARAN TUBUH DAN EGOSENTRISME

 

MASTURBASI SEBAGAI AKTUS PENCEMARAN TUBUH DAN EGOSENTRISME

(Masturbasi dalam Kacamata Penilaian Moral Kekristenan)

Albertus Mandat Minggu, S.Fil

 

I. PENDAHULUAN

Perkembangan pesat saat ini turut memberikan kemajuan yang berarti bagi kehidupan manusia. Kemajuan yang pesat dalam pelbagai bidang kehidupan perlu mendapat apresiasi yang tinggi dari kita, tetapi di sisi lain dari kemajuan itu ada juga membawa aneka persoalan dalam kehidupan manusia. Semakin marak dan kompleksnya permasalahan moral dalam kehidupan sosial termasuk di dalamnya persoalan mengenai masturbasi. Ada juga banya istilah lain mengenai masturbasi yang berada dan beredar sampai ke telinga kita seperti onani, kocok, maupun rancap.

Dalam masyarakat hingga abad ke-20 masturbasi dianggap sebagai hal yang tidak baik. Anggapan memalukan dan berdosa yang terlanjur tertanam disebabkan karena porsi "penyalahgunaan" pada kata itu hingga kini masih tetap ada dalam kehidupan masyarakat modern, walaupun para aparatur kesehatan telah sepakat bahwa masturbasi tidak mengakibatkan kerusakan fisik maupun mental. Tidak juga ditemukan bukti bahwa anak kecil yang melakukan perangsangan diri sendiri bisa mengalami celaka.

Yang terjadi adalah, sumber kepuasan seksual yang penting ini oleh beberapa kalangan masih ditanggapi dengan rasa bersalah dan kecemasan karena ketidaktahuan mereka bahwa masturbasi adalah kegiatan yang aman, juga karena pengajaran agama berabad-abad yang menganggapnya sebagai kegiatan yang berdosa. Terlebih lagi, banyak di antara kita telah menerima pesan-pesan negatif dari para orang tua kita, atau pernah dihukum ketika tertangkap basah melakukan masturbasi saat kanak-kanak. Pengaruh kumulatif dari kejadian-kejadian ini seringkali berwujud kebingungan dan rasa berdosa, yang juga seringkali sukar dipilah. Saat di mana masturbasi menjadi begitu berbahaya adalah ketika ia sudah merasuk jiwa (kompulsif). Masturbasi kompulsif - sebagaimana perilaku kejiwaan yang lain - adalah pertanda adanya masalah kejiwaan dan perlu mendapatkan penanganan dari dokter jiwa.

Untuk lebih jelasnya kita akan mencoba melihat, dan memberikan penilaian terhadap tindakan masturbasi itu dalam terang etika kekristenan yang dapat menjadi panduan dalam kehidupan dan afeksi seksual.

II. MELIHAT PERSOALAN MASTURBASI

Masturbasi, onani, atau rancap adalah perangsangan seksual yang sengaja dilakukan pada organ kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Perangsangan ini dapat dilakukan tanpa alat bantu ataupun menggunakan sesuatu objek atau alat, atau kombinasinya. Masturbasi merupakan suatu bentuk autoerotisisme yang paling umum, meskipun ia dapat pula dilakukan dengan bantuan pihak (orang) lain. Masturbasi memunculkan banyak mitos tentang akibatnya yang merusak dan memalukan. Citra negatif ini bisa dilacak jauh ke belakang ke kata asalnya dari bahasa Latin, mastubare, yang merupakan gabungan dua kata Latin manus (tangan) dan stuprare (penyalahgunaan), sehingga berarti "penyalahgunaan dengan tangan". Dalam bahasa Melayu, masturbasi dikenal sebagai merancap, namun kata ini dalam penggunaan sehari-hari di Indonesia jarang dipergunakan lagi. Kata-kata kiasan sering dipakai untuk menyebutkan kegiatan ini, seperti "mengocok", "main sabun", dan sebagainya. Dalam percakapan sehari-hari bahasa Indonesia, kata coli cukup sering dipakai.[1]

Kasus masturbasi menjadi sesuatu yang sangat memalukan karena telah menjadi suatu kebiasaan yang kerap dilakukan oleh kaum muda di sekitar kita. Parahnya lagi persoalan masturbasi ini telah menjadi sebuah kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi apabila keinginan itu timbul kapan saja dan di mana saja. Akibatnya dapat kita bayangkan bahwa orang lebih cenderung mencintai tubuhnnya sendiri dan tidak bahkan kurang mencintai orang lain. Fakta ini ada dan terjadi di sekitar kita yang membuat kita sulit untuk membantahnya begitu saja. Memang semua kita mengetahui bahwa pada usia remaja, pertumbuhan dan perkembangan organ seksual tumbuh dengan matang dan berkembang dengan baik. Organ-organ seksual mulai mengenal sensasi birahi. Remaja pada awalnya melakukan masturbasi karena fantasi seksual yang timbul dalam pikirannya.[2]

III. PENILAIAN TERHADAP PERMASALAHAN MASTURBASI DALAM KACAMATA ETIKA KEKRISTENAN

Dalam bagian ini kita coba melihat persoalan masturbasi dalam kacamata etika kekristenan, tentang apa saja pertimbangan-pertimbangan moral kekristenan mengenai persoalan masturbasi ini dalam kehidupan dan perkembangan moral anggota gereja terutama sebagai tuntunan bagi kaum muda dewasa ini.

3.1 Bertentangan dengan Perjanjian Cinta

Masturbasi pada dasarnya bertentangan dengan perjanjian cinta yang dihayati oleh gereja. Kita dapat mengatakan bahwa secara objektif masturbasi merupakan suatu bentuk penyimpangan serius yang sungguh bertentangan dengan pandangan manusiawi dan kristiani tentang seksualitas dan cinta. Sebab dengan masturbasi pelaku dengan sengaja merangsang bagian-bagian tertentu dari tubunya untuk memberikan rangsangan seksual yang mendatangkan kenikmatan atau kepuasan tersendiri bagi dirinya sendiri.

Perjanjian cinta yang dihayati oleh gereja ialah perjanjian di mana laki-laki dan perempuan saling memberikan rangsangan satu sama lain dalam sebuah perkawinan yang resmi dan sah. Suatu perjanjian cinta antara kedua insan yang saling mencintai satu sama lain, memberi cinta dari dalam dirinya kepada pasangannya itu dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab atas pemberian cinta itu. Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan masturbasi itu sendiri yang menjadikan orang atau pribadi untuk bertindak dan bersikap egosentris, cinta pada dirinya sendiri dan tidak membutuhkan orang lain, serta introvert atau lebih kepada dirinya sendiri.

Biasanya pelaku masturbasi, terutama pria akan mengalami krisis kepercayaan diri (self confidence). Masturbasi biasanya dilakukan secara ”terpaksa.”  Di mana pria akan berusaha memacu orgasmenya untuk mencapai kepuasan, akibatnya akan muncul perasaan akan takut gagal  berhubungan intim yang diakibatkan terlalu cepat keluar, perasaan takut tidak dapat memuaskan isterinya. Meminjam kata-kata Dedy Mizwar dalam film Naga Bonar yang mengatakan ”Apa kata dunia”  jika terjadi demikian pada laki-laki. Kepada orang-orang muda itu haruslah dikatakan bahwa mereka tidak usah menjadi malu, kalau sesekali berlangsung masturbasi dalam hidup mereka kalau ketegangan biologis menjadi sangat besar. Tetapi juga harus mengingatkan mereka untuk tidak membuat kebiasaan dari masturbasi itu. Jika demikian maka ia akan lupa bahwa kemampuan-kemampuan penghayatan seksual itu diberikan untuk persekutuan bersama antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan. Maka hendaklah kita bersabar dan menantikan waktunya, sampai nafsu itu dapat diarahkan pada tujuan tersebut.[3]

Kenikmatan seksual yang terjadi dengan melakukan masturbasi bukanlah sebuah kenikmatan yang menyeluruh dengan melibatkan pasangan satu sama lain tetapi hanya seorang diri saja yang berperan sebagai subjek, maupun berperan sebagai objek dari masturbasi itu sendiri. Dengan demikian benarlah bahwa masturbasi itu bertentangan dan berlawanan dengan ajaran moral kekristenan karena bersifat individualistik, egosentris, dan introvert dan bukannya komunal antara laki-laki dan perempuan.

3.2 Menodai Tubuh Sendiri

Almarhum Paus Yohanes Paulus II dalam Teologi Tubuh yang dibangunnya memberikan suatu horizon baru dalam melihat, memiliki, dan menilai tubuh kita sendiri. Tindakan masturbasi telah memberikan sebuah noda pada tubuh itu sendiri sehingga tubuh terasa lebih rendah nilainya di depan mata manusia.

Beliau mencoba menjelaskan bahwa tubuh bukanlah sekedar tubuh yang dimiliki oleh setiap manusia, melainkan tubuh merupakan sebuah simbol dari sebuah tubuh yang tidak kelihatan. Aspek yang tidak kelihatan ini dibangun berdasarkan suatu relasi intim dan personal antara pribadi dengan Allah sendiri. Tubuh menampilkan dua hal yang berbeda satu sama lain sekaligus, yang kelihatan (materi), dan yang tidak kelihatan (spiritual). Selain itu juga tubuh menghadirkan kepribadian manusia secara penuh sebagai pribadi atau persona yang meliputi jiwa dan raga sebagai satu kesatuan utuh.[4]

Dengan melakukan tindakan masturbasi itu, kita dengan sendirinya telah menodai tubuh baik secara sadar maupun tidak sadar. Dengan sadar kita mengetahui bahwa keluarnya air mani yang wajar cuma melalui persetubuhan (sebagai tanda kasih antara laki-laki dan perempuan), dan wet dreams atau mimpi basah. Dengan memaksakan keluarnya sperma dari dalam tubuh kita, maka dengan sendirinya kita telah menodai tubuh kita sendiri. Dengan tidak sadar kita juga telah menodai tubuh kita karena tidak menghargai tubuh kita sebagai sesuatu yang asali berasal dari Allah sendiri yang kudus. Dengan demikian kita telah menodai aspek spiritual tubuh kita yang kemudian dapat menimbulkan rasa muak pada diri dan tubuh kita sendiri.

3.3 Melawan Kodrat yang Sesungguhnya

           Paus Yohanes Paulus II dalam Teologi Tubuh mengatakan bahwa tubuh manusia itu nupsial, maksudnya bahwa tubuh manusia itu diperuntukkan untuk mencintai, itu diciptakan untuk persatuan, persahabatan yang kemudian pada akhirnya seorang pria dan seorang wanita mendapatkan diri tertarik terhadap satu sama lain. Inilah yang disebut ketertarikan fisik, namun ada juga di sana sebuah ketertarikan spiritual. Mereka menikah dan menjadi satu secara seksual.[5]

Masturbasi tidaklah demikian seperti yang dilukiskan di atas. Masturbasi menjadikan orang lebih cinta pada tubuhnya sendiri untuk mencapai apa yang diinginkan termasuk memperoleh kenikmatan seksual. Ini melawan kodrat yang sesungguhnya sebab manusia dengan tubuhnya bukan diciptakan untuk hanya tinggal tetap dalam dirinya sendiri dan hanya tahu menerima, melainkan diciptakan juga untuk mampu bergerak keluar dari dirinya supaya dapat mencintai orang lain dan memberi diri kepada sesama.[6]

           Tubuh manusia itu nupsial, karena dia tercipta untuk mengasihi, dan untuk sebuah relasi yang tetap. Dia bukannya tercipta hanya untuk kesenangan sensual, karena sesungguhnya ada yang lebih dari sekedar sensual sebab tubuh manusia bersifat simbolis dan semua yang dilakukan juga membawa dimensi spiritual sekaligus. Dalam dan melalui tubuh seseorang mengungkapkan cinta – realitas spiritualnya yang terdalam. Sehingga oleh karena tubuh manusia itu nupsial maka ketika seorang suami dan istri melakukan aktifitas seksual, mereka juga berkomunikasi tentang aspek yang kelihatan dan yang tak kelihatan dari tubuh mereka masing-masing.[7] Sedangkan masturbasi tidaklah demikian. Masturbasi cuma menampilkan manusia yang hanya mengikuti naluri seks belaka yang disalurkan secara tidak sehat tanpa bisa menampilkan bahasa spiritual. Masturbasi tidak menampilkan bahasa cinta melainkan egoisme belaka saja. Bahasa cinta hanya dapat terjadi antara pribadi dengan pribadi, antara suami dan isteri yang dapat mengungkapkannya baik secara sensual dan spiritual.

Masturbasi itu melawan kodrat kita. Dalam tubuh Allah telah memberikan manusia kemampuan-kemampuan seksualitas untuk mengembangkannya sepenuhnya dalam persekutuan antara laki-laki dan perempuan. Siapa yang menjadikan masturbasi menjadi kebiasaan ia memperkuat kecenderungannya untuk hidup buat dirinya sendiri dari pada buat orang lain di dalam cinta kasih kepada sesama manusia.[8]

3.4 Melawan Kehidupan

Kehidupan terbentuk dengan adanya pertemuan antara sel sperma dan sel indung telur sehingga menghasilkan sebuah kehidupan baru dalam dunia. Sel sperma dan sel indung telur bertemu melaui adanya tindakan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang mengasihi satu sama lain. Perbuatan atau tindakan masturbasi tidak dapat menghasilkan apa yang disebut sebagai sebuah kehidupan baru atau seorang bayi ke dalam dunia meskipun tindakan tersebut menghasilkan sel sperma atau sel indung telur.

Aktivitas masturbasi ialah sebuah aktus/tindakan yang melawan kehidupan karena dengan melakukan tindakan masturbasi secara sadar kita telah menggagalkan prokreasi dengan membuang begitu saja sel-sel yang penting dan berguna itu, masturbasi menjadikan kita menyia-yiakan sesuatu yang berguna dan penting dalam hidup kita menjadi sesuatu yang biasa saja, tidak penting, bahkan menjadi sesuatu beban dalam diri kita.

Allah telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai ciptaan yang unik dan khas dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Allah telah memberikan kemampuan untuk melakukan prokreasi sebagai cinta Allah pada manusia, kehidupan dari kehidupan baru. Karena itu, manusia harus menyadari kemampuan yang indah itu dalam dirinya untuk menciptakan suatu kehidupan yang baru lagi.

IV. Akhir Kata

Tindakan masturbasi mengalami perkembangan seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Masturbasi yang praktisnya dapat dilakukan sendirian sekarang telah mendapat berbagai bantuan sebagai sebuah sentuhan dari luar. Banyak sekali alat-alat bantu untuk merangsang diri sendiri dengan berbagai model alat-alat modern seperti vibrator, dildo. Awalnya Cuma digunakan sebagai alat bantu seksual tetapi sekarang telah luas digunakan sebagai sarana masturbasi.

Permasalahan masturbasi telah menjadikan sesuatu yang pada awalnya baik menjadi sesuatu yang bernilai rendah. Tubuh manusia sebagai sebuah kenyataan dan pemberian yang bernilai dan indah telah memperoleh kesuraman pada potretnya. Tindakan masturbasi telah memberi noda baru dalam tubuh yang menampilkan persekutuan cinta antara sesama manusia, dan manusia dengan Allah. Manusia memiliki cinta dari kedalaman dirinya dan bergerak menuju cinta pada sesuatu di luar dirinya, sesama manusia, sesama ciptaan yang lain, dan kepada allah sendiri sehingga menjadikan diri kita sebagai persona yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab atas aktivitas seksual yang kita lakukan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Leonard, Andre. Yesus dan Tubuhmu Tuntunan Moral Seksual bagi Kaum Muda. Jakarta: Obor, 2002.

Ramadhani, Deshi. Lihatlah Tubuhku Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. Yogyakarta: Kanisius. 2009.

Verkuyl, J. Etika Kristen Seksuil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.

http://id.wikipedia.org/wiki/Masturbasi, diakses pada tanggal, 20 April 2010.

http://www.pancarananugerah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=29:masturbasi-oleh-sy-rogers&catid=22:-masturbasi, diakses pada tanggal, 20 April 2010.

***

 



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Masturbasi, diakses pada tanggal 20 April 2010.

[3] DR. J. Verkuyl, Etika kristen seksuil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), p. 128.

[4]  Paskalis Lina, SVD, Teologi Moral Seksual (ms), Ledalero, 2010.

[5] Ibid.

[6] Mgr. Andre Leonard, Yesus dan Tubuhmu, (Jakarta: Obor, 2002), p. 38.

[7] Deshi Ramadhani, Lihatlah Tubuhku Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. (Yogyakarta: Kanisius. 2009), pp. 56-57.

[8]  DR. J. Verkuyl, Op.cit., p. 127.

Label:

MENELISIK PEMIKIRAN HABERMAS TENTANG AGAMA DAN RUANG PUBLIK: ANALISIS TERHADAP PRAKSIS BERAGAMA DI INDONESIA


 

MENELISIK PEMIKIRAN HABERMAS TENTANG AGAMA DAN RUANG PUBLIK:

ANALISIS TERHADAP PRAKSIS BERAGAMA DI INDONESIA

Albertus Mandat Minggu, S.Fil

 

Abstrak:

Tulisan ini bertujuan untuk mendiskripsikan tentang fakta ruang publik adalah sebuah teori yang dikemukan oleh Habermas. Pandangan ini dikumadangkan dan diciptakan Habermas dengan maksud untuk mengkritisi realitas kehidupan sosial yang dalam hal ini berkaitan dengan dunia perpolitikan, dan fitur kebudayaan serta dalam tingkat keagamaan yang pertanyakan eksitensi dan statusnya dalam sepakterjang di ruang publik. Agama dalam peranannya dilihat sangat mendominasi berbagai bidang dan sektor kehidupan dengan praktik mempertahankan ekstitensi sebagai yang perlu diteladani. Melihat motif dan peran agama dalam ruang publik, Jurgen Habermas dalam kajian kritisnya melihat agama sebagai faktor penghambat dalam negara demokratis yang dengan ketat mepertahankan kebenaran ajarannya. Melihat konteksitas akan peran agama dalam ruang publik, penulis akan mengagaskan peran tersebut dalam kajian pemikiran Habermas sebagai tolak ukur untuk menghasilkan sautu jalan penemuan yang baru dalam model timbal balik hubungan agama dalam ruang publik.   

Kata Kunci: agama, ruang publik

Abstract:

This text describes the public sphere is a theory proposed by Jurgen Habermas. This view heralded and invented by Habermas. To criticize the realities of social life that are in this respect to the political world and culture features and at a religious level that maintain its existence and status in public sphere. Religion in its role is seen as dominating various areas and sector of life by practicing to maintain existence as a necessary example. Noting the motive for the role of religion in public sphere, Jurgen Habermas in his critical study saw religion as an obstacle to a democratic state strictly defended its truths. Given the density of the role of religion in public sphere, the author would confine the role Jurgen Habermas as a measure of producing a new pathway of discovery in the alternating model between religion and public sphere.

Key Words:  religion, public sphere

 

    I.      PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Dunia zaman sekarang sangat dipengaruhi dengan berbagai ide-ide dan cara pandangan yang sangat bersebrangan dengan konsep dan nilai yang sudah dibakukan sebagai suatu ketetapan yang mesti dipatuhi dan disegani. Konsep dan pandangan yang dibangun pada umumnya berbaur klaim-klaim otoritas tertentu yang berusaha mensublimasikan konsep yang ada sebagai sebuah kebenaran yang perlu dihidupi.

Indonesia sebagai salah negara yang tata aturan dan hukumnya banyak dipengaruhi oleh ide-ide dan cara pandang dari otoritas agama. Problem-problem yang ada berlandaskan politik yang terjadi dalam ruang perpolitikan demi kecapaian dan kekuasaan yang bermantolkan nilai-nilai agama. Dalam tulisan ini, penulis menyampaikan sikap kritis terhadap otoritas agama dalam kelompok-kelompok radikal yang berargument di ruang publik dengan mengedapankan dan mencampuradukan nilai-nilai agama dengan norma-norma dan tata aturan yang ada di negara Indonesia. Hal ini tentulah menjadi masalah yang sangat serius yang mesti dikritisi dan dibersihkan. Dalam menelah masalah ini, penulis menggunakan konsep pemikiran Jurgen Habermas yakni “Peran Agama dalam Ruang Publik” sebagai upaya dalam menanggapi permasalah demikian.

    II.            SEKILAS TENTANG JURGEN HABERMAS

2.1           Hidup Dan Karya Jurgen Habermas[1]

Habermas lahir pada tahun 1929 di Gummersbach. Dalam bidang akademik, dia meraih “Doktor filsafat” pada tahun 1956 di Universitas Bonn dalam usianya yang kedua puluh tujuh. Habermas baru berkenalan dengan Lembaga Penelitihan Sosial di Frankfurt dan secara resmi menjadi asisten Adorno pada tahun 1956. Ia menjadi popular dikalangan mahasiswa Jerman dan bahkan menjadi “idola” untuk kalangan tertentu pada tahun 1960-an.

Habermas begitu kritis dan, akhirnya, menentang aksi-aksi kemahasiswaaan yang melewati batas dengan menggunakan kekerasan. Beberapa karyanya yang terkenal, antara lain: “Gerekan Oposisi dan Pembaharuan di Perguruan Tinggi” (1969), “Teori dan Praksis” (1961). “Tentang Logika Ilmu Pengertahuan Sosial” (1967), “Teknik dan Ilmu Pengetahuan sebgai Ideologi” (1988), “Pengenalan dan Kepentingan Manusiawi” (1968), “Teori Masyarakat atau Teknologi Sosial” (1971), “Kebudayaan dan Kritik” (1973), serta “Rekostruksi Materialisme Hidtoris” (1976).

2.2  Ruang Publik Menurut Jurgen Habermas

Pada dasarnya berbicara tentang ruang publik muara pemikiran dan cara pandang yang sangat menekankan tindakan komunikatif. Dalam tindakan komunikatif memungkinkan terjadinya perdebatan, pertarungan ide dan gagasan, dan kritikan dalam mengungkapkan pendapat yang beguna bagi suatu tindakan komunikatif. Menurut Habermas ruang publik merupakan suatu bentuk elemen dasar yang menekankan tentang pentingnnya konstruksi politik deliberatif. Adapun menurutnya kekhasan dari ruang publik ialah sebagai arena diskursif, yang berbeda dan terpisah dari ekonomi dan negara, di mana melalui para warga berpartisipasi dan bertindak melalui dialog dan debat.[2]

Kehadiran ruang publik melahirkan ide-ide dan pikiran-pikiran yang bersifat memberdayakan kekayaan intelektual dalam tahap penentuan sebuah visi dan misi. Habermas mengatakan bahwa ruang publik sebagai arena di mana argumentasi terjadi, tidak dapat diklaim sebagai teori oleh suatu tradisi apa pun sebaliknya ruang publik harus bisa menjadi locus tempat penyatuan yang dapat mendamaikan konflik-konflik, kalim-klaim yang bersaingan, dan perbedaan-prebedaan yang tidak dapat diselesaikan.[3]

Penyelesaian di ruang publik mengantar pola pikir dan tindakan seseorang untuk senantiasa berpartisipasi dalam mengedepankan sikap saling menghargai dan menerima setiap perbedaan dalam keputusan dengan penuh kebebasan yang dilandasakan apada sikap kritis. Bebas berarti setiap pihak dapat bebicara di mana pun, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik dan kritis artinya siap dan mampu secara adil dan bertanggung jawab menyoroti proses-proses pengambilan keputusan yang bersifat publik.[4] Dalam hal ini ruang publik mengahadirkan komunikasi ideal, di mana semua orang yang hadir secara partisipasi berdiskusi tanpa ada tindakan diskriminasi dari pihak lain yang berusaha menjatuhkan. Jadi ruang publik bagi Habermas berguna untuk menyambungkan suara rakyat dalam suatu proses legitimasi hukum atau tata aturan dalam suatu wilayah perpolitikan.

    III.   KONTRIBUSI AGAMA DI RUANG PUBLIK DALAM KONSEP PEMIKIRAN JURGEN HABERMAS

3.1    Agama Dalam Sikap Pertisipasi

Dalam tolak ukur pemikiran Habermas, agama dibagi atas tiga fase. Ketiga face ini mengungkapkan keterkaitan agama dalam perannya sebagai otoritas yang mempunyai nilai kebenaran tersendiri.  Pertama, Habermas memandang agama sebagai bagian dari elemen lebenswelt yang harus diteliti atau dilampaui, Kedua, Habermas mulai memandang agama sebagai bagian dari good life yang diperhitungkan oleh liberalisme publik. Ketiga, pada bagian fase terakhirlah peran agama sangat relevan, di mana agama sebagai “weltanschauung”.[5]

 Dalam fase pertama, Habermas melihat bahwa peran-peran agama akan hilang jika terlalu dipengaruhi oleh tindakan masyarakat yang secara bebas menafikan kebenaran agama dan hanya berpegang teguh pada sumber-sumber rasionalitas komutatif atau komunikatif yang dipengaruhi oleh dasar-dasar prinsip yang kurang mempengaruhi dalam dunia sekular. Hal ini tentunya menjadi penyekat sekaligus menyesatkan agama dalam peran dan fungsinya. Agama sebagai yang sakral yang menggaungkan Yang Sakral dan Yang Kudus, diporakporandakan oleh dasar-dasar prinsip demikian. Habermas sangat kritis terhadap agama di mana, ia sangat yakin bahwa agama akan hilang dan dengan demikian masyarakat bebas dari metafisikan tradisional (agama) dan hanya percaya kepada sumber-sumber rasionalitas komunikatif, yang dibangun atas dasar-dasar prinsip etika tanggung jawab yang sekuler.[6]

Dalam fase kedua, di mana peran agama yang mau ditonjolkan ialah peran agama sebagai suatu kebutuhan yang sangat penting yang mesti dipertahankan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang penting yang mau dilihat bahwa agama merupakaan suatu lembaga yang dilengkapi dengan kebenaran-kebenaran filosofis dan diperkuat dengan legitimasi religius yang sakral dan kudus. Dengan argument demikian, sebenarnya Habermas mau menegaskan perbedaan yang sangat signifikan antara masyarakat modern dan liberal. Dalam penegasan ini sebenarnya, Habermas mengafirmasikan agama dalam lingkup sosial namun ia menegaskan bahwa orang-orang beragama tidak boleh membawa keyakinan-keyakinan mereka dalam urusan politik.[7]

Pada fase terakhir, Habermas menekankan tentang peran agama tidak bisa dibatasi dengan alam ruang privat, sebaliknya, agama harus menginterpretasi ruang publik dengan memanfaatkan dokumen-dokumen dan tradisi-tradisinya untuk menghadirkan instituti-instituti moralnya.[8] Habermas berpendapat demikian sebenarnya mau menegaskan dan menghadirkan peraran nilai moral dalam setiap hubungan antar agama dalam ruang publik. Nilai moral merupakan bagian dari seruah dan ajaran yang dijaga dan dipegang teguh oleh masyarakat tertentu.

3.2 Melihat Pola Hubungan Timbal Balik antara Agama dan Ruang Publik

Ada beberapa pola hubungan saling belajar yang ditawarkan oleh Habermas mengutarakan beberapa pola hubungan timbal balik antara agama dan negara dalam beberapa berikut ini: Pertama, terkait dengan warga sekular ataupun mereka yang indeferen terhadap doktrin dan praktik keagamaan, Kedua, terkait hubungan di antara berbagai kelompok agama. Berbagai agama harus menerjemahkan bahasa teologis partikular mereka ke dalam ungkapan rasional yang dapat diterima secara publik, Ketiga, terkait hubungan agama ketika berhadapan dengan otoritas ilmu pengetahuan.[9] Berkenaan dengan pola timbal balik pada point pertama, di mana agama dan ruang publik mestinya dapat saling bertukar pikiran demi menghasilkan model dan tolak ukur akan kehadirannya dalam suatu negara.

Nilai moral dan politik mesti berajalan seimbang saling mempengaruhi dan saling mengutungkan warga negara yang sekular dan indeferen. Maksudanya agar menghidari sikap kompromi dari kelompok-kelompok radikal lainnya yang sangat konserfatif membenarnya nilai-nilai intrinsik yang ada. Sikap warga sekular terhadap otoritas dilihat agama sebagai artefak pra-modern yang menyimpan banyak makna yang sulit dipahami dan diterima dan bersifat irasional. Agama dengan konsep-konsep religiusnya, seakan terkurung dalam jalur pemikiran yang sempit.

Habermas menolak asumsi perkembangan linear menuju modernitas yang di dalamnya agama lama-kelamaan akan ditinggalkan masyarakat yang menjadi modern dan warga sekular perlu bersikap terbuka dan perlu melihat nilai kognitif dalam agama agar mereka bebas dari penjara ketidaktahuan.[10] Warga sekuler dan warga agama harus bertemu dalam penggunaan akal budi mereka di mata umum.[11]

Dalam point kedua, hubungan diantara kelompok beragama mesti dilandaskan pada semangat saling menguntungkan, mengedepankan sikap saling menghargai perbedaan, saling melakukan dialog-dialog perundingan demi suatu keputusan yang sangat relevan bagi perkembangan agama. Namun dipastikan bahwa, adapun terdapat sikap dominasi yang dari agama-agama tersebut. Hal ini mendatangkan sikap pelanggaran terhadap nilai etis dan moral dalam beragama. Berbagai agama harus menerjemahkan bahasa teologis partikular mereka ke dalam ungkapan rasional yang dapat diterima secara publik.[12] Hal ini merupakan kendala terbesar bagi setiap agama dalam mengembangkan ideologinya.

Yang terakhir berkaitan dengan, hubungan agama berkaitan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Di mana, proses ini dapat dikatakan berhasil apabila hubungan antara isi dogmatis agamanya dengan pengetahuan sekular sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pertentangan antara hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang terus canggih dengan pandangan iman mengenai hal yang bersangkutan.[13] Oleh sebab itu dibutuhkan sikap saling kritis dalam suatu dialog terbuka guna mengedapankan sikap toleransi dan sikap saling menjaga kebenaran-kebenaran yang ada.

3.4      Menelisik Peran Agama Dalam Ruang Publik

Peran agama dalam ruang publik banyak menyimpan kesan negatif. Persoalan ini banyak memicu terjadinya konflik dan kritikan antar ide-ide yang bersembrangan. Kritikan kaum komunitarian melalbelisasi ideologi politik dalam suatu perkumpulan masyarakat yang plural. Agama adalah suatu lembaga pebentukan iman berusaha memajukan teori dan diskursusnya tentang keyakinan religious dalam ruang publik, terkadang sangat mengesampingkan peran kehadiran ruang publik. Di mana dalam sebagai belahan bumi ini, banyak kaum-kaum kosefatif dan liberal berusaha mengajukan aspirasi-aspirasi mereka dengan mengedepankan dominasi politik.

Terhadap permasalah demikian, Habermas menggaungkan seruan yang berisikan kritikan atas peran agama dalam ruang publik guna menghasilkan suatu pemikiran atau cara pandang baru yang lebih efisien. Menurut Habremas, kita sekarang berada dalam masyarakat “pasca-sekular” (postsakulare Gesellshaft) yang di dalamnya warga beriman sangat memiliki hak komunitas dengan warga sekular, maka alasan-alasan religius juga merupakan bagian pemakaian akal secara publik (offentlicher Gabrauch der Vernunft).[14]

Namun yang terjadi malahan sebaliknya, agama sangat berambisi mengedepankan konsep dan cara pandangnya di ruang publik. Hal ini tentunya menodahi nilai etis akan sikap saling menghargai perbedaan akan pola dan konsep yang ada. Kehadirna agama sepertinya mengeliminasikan pusaran ide-ide dalam ruang ruang publik. Konsep pemikiran agamamis yang mendesak agar nilai-nilai intrinsik agama harus menjadi pion utama kebenaran yang mutlak dan menjadi hukum dasar sebuah negara. Oleh sebab itu, negara tidak boleh membendung sejak awal alasan-alasan religius sebagai tema dalam ruang publik, tetapi dalam hal prosedur deliberative negera juga harus tetap mempertahankan ketidakberpihakan terhadap kelompok-kelompok religious yang bersaing dalam masyarakat.[15]

Terhadap persoalan demikian, Habermas menyumbangkan beberapa batasan normative kepada pihak kelompok agama, pihak kelompok secular, pihaknegara dan pihak mayoritas agama yakni pertama, dia menuntut ‘penerjemahan’ kontribusi-kontribusi keolompok agama dari bahasa religious particular mereka ke dalam bahasa yang dapat diterima oleh publik karena dalam delibersai resmi parlemen kementrian dan peradilan, kedua, tuntutan yang tujukan Habermas kepada para warga secular atau yang beragama lain, ketiga, sikap neraga sendiri dalam deliberative harus seperti neraca yang seimbang.[16]

 IV.   KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, penulis melihat secara garis besar, bahwa Jurgen Habermas sangat menghendaki kehadiran agama dalam ruang publik demi mendukung ide-ide dan konsep-konsep yang digaungkan secara bersama-sama. Setiap agama harus menumbuhkan sikap saling menghargai dan saling belajara dalam menelaah setiap problem yang terjadi dalam ruang publik. Agama dan ruang publik harus saling berkerja sama dalam suatu negara agar dapat menjaga nilai keseimbangan yang ada demi perwujudan keadilan, keharmonisan dan komitmen bersama dalam membangun hidup bersama.

 

 

 

 

 

 

 



[1]Aholiab Watloly, Sosio-Epistemologi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), hlm.197-205

 [2] Kapoor, dalam Alterbatives, 461. Dikutip dari buku, Gusti A. B. Menoh, Agama Dalam Ruang Publik (Yogyakrta: Penerbit Kanisius, 2015), hlm. 84.

[3] Nicholas Adams, Habermas and Theology (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), hlm.5. Dikutip dari buku, Gusti A. B. Menoh, Agama Dalam Ruang Publik (Yogyakrta: Penerbit Kanisius, 2015), hlm. 85.

[4] Reza A. a. Wattimena, Melampauhi Negara Hukum Klasik (Yogyakrta: Kanisius, 2007), hlm. 126-127. Ibid., hlm. 87.

[5] Philippe Portier, Religion and Democracy in the Thougt of Jurgen Habernas, dalam Springer Science+Business Media (LLC, 2011), 426. Ibid., hlm. 95-96.

[6] Ibid., hlm. 97.

[7] Ibid., hlm. 102.

[8] Ibid., hlm. 103.

[9] Gora B. Redemptus. “Melacak Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1 (2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>

[10] Gora B. Redemptus. “Melacak Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1 (2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>

[11] Jurgen Habermas, “The Political; The Rational Meaning of a Questionable Inheritance of Political Theology”, dalam Eduardo Mendieta dan Jonathan (ed.), The Power of Religion in The Public Sphere (Columbia: Columbia University Press, 2011), hlm.

[12] Gora B. Redemptus. “Melacak Peran Agama dalam Ruang Publik” LOGOS 165.1 (2019) <http://ejournal. Ust.ac.ic/imdex.php/LOGOS/article/view/562-htm>

[13]Dikutip dari juonal Gora B. Redemptus dalam pandangan: A. Sunarko, “Ruang Publik dan Agama menurut Habermas” dalam F. Budi Hardiman (ed), Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius,2010), hlm. 235

[14] Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm.158

[15] Ibid., hlm. 158.

[16] Ibid., hlm. 159.

Label: