MANUSIA DALAM SEGALA KEBERADAANNYA
Albertus Mandat
Manusia adalah makluk yang unik sekaligus dinamis.
Subjek pemikiran tentang manusia menghadirkan makna konotsai yang gamblang, bahwasannya manusia
sekalipun unik dan dinamis namun tetap mistaeri. Hal ini mengukir fakta
realitas para filsuf yang sedemikian
rupa telah berusaha untuk memahami ”siapa itu manusia
sendiri?” who is the human?”. Dalam
penelusuran setiap kajian dan pendekatan
yang telah dijalankan hanya menyangkut fakta empiris
yakni berangkat dari pengalaman lahiria. Tentunya dengan ini, manusia adalah
makluk rasional namun dalam berkaitan dengan essensi dan kodratnya sulit untuk
ditelah dengan
berbagai kajian ilmnu lainnya.
Penelusuran tentang siapa itu manusia dalam filsafat
Yunani, istilah ini berkesinambungan dengan “filsafat manusia” atau
“antropologi filosofis” yang menghadirkan manuisa adalah makluk sepeneuhnya, roh serta
berbadan, jiwa serta daging. Hal ini menggambarkan tentang entitas manusia yang
me-roh dalam berbadan yang memiliki keistimewahan dibandingkan dengan makluk lainnya.
Para filsuf dengan
berbagai disiplin ilmu telah
berusaha mengkaji, mendalami lebih jau dan melakukan pendekatan dengan konsepsi- konsepsi yang
mutahir. Disiplin ilimu itu antarlain mencakup biologi, embriologi, psikologi,
sosiologi, antropologi, etnologi dan sebagainya. Pendekatan dengan berbagai bidang disiplin ilmu
ini setidaknya membantu dan mengarahkan cakupan daya rasionalitas pada kebenaran
yang otentik tentang manusia. Namun
dari setiap konsepsi
dan pandangan dari para filsuf terdapat pertentangan satusamalain.
Pertentangan itu terjadi karena perbedaan konsepsi dalam
menalar manusia dalam segala keberadaannya. Bagi
Plato dan Platonis, misalnya, manusia
itu adalah suatu makluk Ilahi. Sedangkan bagi
Epikurus dan Lukretius, sebaliknya manuisa adalah suatu nakluk yang berumur pendek, lahir
karena kebetulan, dan akhirnya
samasekali lenyap. Menurut Descartes, kebebasan manusia mirip dengan kebebasan
Tuhan, padahal Voltaire yakin bahwa
manusia tidak berbeda secra esensial dengan bintang-bintang yang paling tinggi,
Hobbes yang memang hidup dalam pergolakan zaman, berpendapat bahwa manusia
dalam daya
geraknya bersifat agresif dan jahat, sedangkan Jecques Rousseau berpendapat bahwa manusia baik dalam
kodrat dan jahat.[1]
Lantunan pendapat para filsuf meyakinkan kemampuan manusia dalam
berasionalisasi mencari hakikat dan essensi dari suatu forma atau bentuk dari suatu barang yang dikaji.
Kajian ini
pada dasarnya bersifat multidimensional, beranekaragam
dan bersifat paradoksal yang mengantar seseorang pada kajian pandanagn
bersifat ontologis. Pendasaran
ontologi dari fakta kebebasan nalar
atau ratio manusia dalam mensubjekan
satu distingsi
khusus mengenai
satu hakikat. Namun dalam hal ini tidak membatasi kemampuan nalar dalam
berpikir. Kebaikan ontologi itu mengklaim fakta yang ‘ada’, dimana menurut
Aristoteles, dari yang tidak diadakan
oleh yang lain yang kebenaran yang bersifat absolut. Kebaikan yang tak terbatas
sebagai orientasi primodial, norma atau ‘standar’ dari kehendak manusia, dan melalui referensi
kebaikan itulah bahwa
semua kebaikan lain bisa dinilai atau dihargai sebagai ‘kurang lebih baik’ lebih baik dari pada.
Ploreritas kepercayaan dari dinamisme bahwa manusia adalah makluk yang ber-roh,
namun pengertian tentang roh dalam hal ini
bersifat terbatas sehingga memungkinkan manusia berinteraksi secara bebas tanpa
ada batasan yang ada.
Pendalaman tentang siapa itu manusia dirangkaikan
dalam distingsi filsafat ilmu yakni filsafat manusia. Filasafat ini mengupas tentang manusia itu sendiri
dengan segala komponen dan dimemsi pembentukannya. Manusia adalah makluk yang terdiri dari
badan dan roh, badan yang indrawi diperlengkapi denagn anggota serta organ yang
memungkinan mengubah materi untuk mengenal dan mengemukakan segala yang ada. Van
Peursen menulis bahwa manusia adalah makluk bebadan, berjiwa,ber-roh.[2] Jika
orang membedakan jiwa dan roh, maka pengrtian jiwa biasanya diambil dari arti
biologis, dimana menurut Aristoteles setiap makluk yang mempunyai daya hidup
yang disebut jiwa (anima).[3]
Dalam filsafat Thomas Aquinas, jiwa dan roh satu
kenyataan yang berdwifungsi yakni jiwa itu menjiwai badan (anima) dan jiwa yang
sama itu juga menjadi prinsip kegiatan khas manusiawi (roh). Jiwa yang bersifat
absolut sebagai entitas yang tak kelihatan tersublimasi ke dalam materi atau forma
dalam suatu keadaan realistis. Kemapuan untuk bersinergis manusia ini mutlak
menjadi materialistik karena peranan roh yang
sudah tampak dalam tindakan. Pengsubordinasian ketiga dimensi ini dalam
proses dan kajian bergerak dan beraktivitas bebas secara berlainan, namun
dimensi-dimensi ini tergabung dalam satu forma yakni dalam tubuh psikologis
manusia itu sendiri. Kajian ini mengartikan manusia sebagai makluk multidimensional
karena dalam kodratnya manusia adalah makluk dwitunggal yakni berbadan dan
berjiwa dalam satu kesatuan
yang utuh dan tak terpisahkan.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda