Kamis, 25 November 2021

MANUSIA DALAM SEGALA KEBERADAANNYA

     Ilustrasi Pinterest


                          Albertus Mandat

 

Manusia adalah makluk yang unik sekaligus dinamis. Subjek pemikiran tentang manusia menghadirkan makna konotsai yang gamblang, bahwasannya manusia sekalipun unik dan dinamis namun tetap mistaeri. Hal ini mengukir fakta realitas para filsuf yang sedemikian rupa telah berusaha untuk memahami ”siapa itu manusia sendiri?” who is the human?”. Dalam penelusuran setiap kajian dan pendekatan yang telah dijalankan hanya menyangkut fakta empiris yakni berangkat dari pengalaman lahiria. Tentunya dengan ini, manusia adalah makluk rasional namun dalam berkaitan dengan essensi dan kodratnya sulit untuk ditelah dengan berbagai kajian ilmnu lainnya.

Penelusuran tentang siapa itu manusia dalam filsafat Yunani, istilah ini berkesinambungan dengan “filsafat manusia” atau “antropologi filosofis” yang menghadirkan manuisa adalah makluk sepeneuhnya, roh serta berbadan, jiwa serta daging. Hal ini menggambarkan tentang entitas manusia yang me-roh dalam berbadan yang memiliki keistimewahan dibandingkan dengan makluk lainnya. Para filsuf dengan berbagai disiplin ilmu telah berusaha mengkaji, mendalami lebih jau dan melakukan pendekatan dengan konsepsi- konsepsi yang mutahir. Disiplin ilimu itu antarlain mencakup biologi, embriologi, psikologi, sosiologi, antropologi, etnologi dan sebagainya. Pendekatan dengan berbagai bidang disiplin ilmu ini setidaknya membantu dan mengarahkan cakupan daya rasionalitas pada kebenaran yang otentik tentang manusia. Namun dari setiap konsepsi dan pandangan dari para filsuf terdapat pertentangan satusamalain.

Pertentangan itu terjadi karena perbedaan konsepsi dalam menalar manusia dalam segala keberadaannya. Bagi Plato dan Platonis, misalnya, manusia itu adalah suatu makluk Ilahi. Sedangkan bagi Epikurus dan Lukretius, sebaliknya manuisa adalah suatu nakluk yang berumur pendek, lahir karena kebetulan, dan akhirnya samasekali lenyap. Menurut Descartes, kebebasan manusia mirip dengan kebebasan Tuhan, padahal Voltaire yakin bahwa manusia tidak berbeda secra esensial dengan bintang-bintang yang paling tinggi, Hobbes yang memang hidup dalam pergolakan zaman, berpendapat bahwa manusia dalam daya geraknya bersifat agresif dan jahat, sedangkan Jecques Rousseau berpendapat bahwa manusia baik dalam kodrat dan jahat.[1] Lantunan pendapat para filsuf meyakinkan kemampuan manusia dalam berasionalisasi mencari hakikat dan essensi dari suatu forma atau bentuk dari suatu barang yang dikaji.

Kajian ini pada dasarnya bersifat multidimensional, beranekaragam dan bersifat paradoksal yang mengantar seseorang pada kajian pandanagn bersifat ontologis. Pendasaran ontologi dari fakta kebebasan nalar atau ratio manusia dalam mensubjekan satu distingsi khusus mengenai satu hakikat. Namun dalam hal ini tidak membatasi kemampuan nalar dalam berpikir. Kebaikan ontologi itu mengklaim fakta yang ­‘ada’, dimana menurut Aristoteles, dari yang tidak diadakan oleh yang lain yang kebenaran yang bersifat absolut. Kebaikan yang tak terbatas sebagai orientasi primodial, norma atau ‘standar’ dari kehendak manusia, dan melalui referensi kebaikan itulah bahwa semua kebaikan lain bisa dinilai atau dihargai sebagai ‘kurang lebih baik’ lebih baik dari pada. Ploreritas kepercayaan dari dinamisme bahwa manusia adalah makluk yang ber-roh, namun pengertian tentang roh dalam hal ini bersifat terbatas sehingga memungkinkan manusia berinteraksi secara bebas tanpa ada batasan yang ada.

Pendalaman tentang siapa itu manusia dirangkaikan dalam distingsi filsafat ilmu yakni filsafat manusia. Filasafat ini mengupas tentang manusia itu sendiri dengan segala komponen dan dimemsi pembentukannya. Manusia adalah makluk yang terdiri dari badan dan roh, badan yang indrawi diperlengkapi denagn anggota serta organ yang memungkinan mengubah materi untuk mengenal dan mengemukakan segala yang ada. Van Peursen menulis bahwa manusia adalah makluk bebadan,  berjiwa,ber-roh.[2] Jika orang membedakan jiwa dan roh, maka pengrtian jiwa biasanya diambil dari arti biologis, dimana menurut Aristoteles setiap makluk yang mempunyai daya hidup yang disebut jiwa (anima).[3]

Dalam filsafat Thomas Aquinas, jiwa dan roh satu kenyataan yang berdwifungsi yakni jiwa itu menjiwai badan (anima) dan jiwa yang sama itu juga menjadi prinsip kegiatan khas manusiawi (roh). Jiwa yang bersifat absolut sebagai entitas yang tak kelihatan tersublimasi ke dalam materi atau forma dalam suatu keadaan realistis. Kemapuan untuk bersinergis manusia ini mutlak menjadi materialistik karena peranan roh yang sudah tampak dalam tindakan. Pengsubordinasian ketiga dimensi ini dalam proses dan kajian bergerak dan beraktivitas bebas secara berlainan, namun dimensi-dimensi ini tergabung dalam satu forma yakni dalam tubuh psikologis manusia itu sendiri. Kajian ini mengartikan manusia sebagai makluk multidimensional karena dalam kodratnya manusia adalah makluk dwitunggal yakni berbadan dan berjiwa dalam satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan.

 



[1]Louis Leahy, Siapakah Manusia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 17.

[2]Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Serum (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 97.

[3]Ibib., hlm. 97.


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda