PERAN SUARA HATI DAN HUKUM MORAL DALAM MENENTUKAN KEBENARAN DAN KEKELIRUAN
ALBERTUS MANDAT
Dunia zaman sekarang sedang dilandah dengan berbagai
problem. Rasanya problem-problem itu mencekam berbagai nilai dan tata susila,
serta berbagai nilai moral dan norma-norma yang ada. Sedangkan keutamaan nilai
dan moral yang berlaku sekian lama diakui dan dihidupi masyarakat sosial
mempunyai faedah bagi keutuhan dan kesejahteraan
hidup bersama. Problem yang yang ada sedianya merupakan srataegi-strategi yang
diluncurkan mendatangkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan yang terjadi di tengah masyarakat sosial.
Masyarakat sebagai agen sosial seakan digoncangkan dengan model peradaban hidup
yang baru yang mempengaruh pada produktivitas tingkah laku yang berlainan dari nilai yang sudah dihidupi sebelumnya. Dari
perubahan ini mendatangkan kebingungan yang luar biasa dari masyarakat.
Keberlangsungan problem ini sudah menemukan titik
pencapaiannya, di mana
terjadi banyak ketimpangan nilai dan moral yang secara serampangan melanda ke permukaan kehidupan
masyarakat. Dalam menyikapi kenyataan ini mensti ada suatu peluang kemungkinan untuk ditindak lanjutki dalam menangkal segala
ketidakadilan yanga ada. Penulis mencoba menawarkan peran
dari suara hati dan moral hukum
dalam menyikapi kebenaran dan kekeliruan.
Peran Suara Hati
Suara hati pada dasarnya mempunyai peranan dalam
menyikapi berbagai problem sosial kemasyarakatan. Menurut Poespoproodjo mengartikan suara hati adalah intelek
sendiri dalam suatu fungsi istimewa, yakni dalam fugsi memutuskan kebenaran dan
kesalahan perbuatan-perbuatan individu.[1] Kebenaran dalam hal ini merupakan hasil dari pertimbangan moral
dan hati nurani berdasarkan pada suatu motif kebaikan yang hendak dicapai
secara bersama dalam penentuan sikap pembatinan yang benar. Suara
hati dalam hal ini tidak bersifat obyektif namun bersifat universal secara
terbuka menerima pembentukan dari pendidikan yang secara berlangsung dan
terus-menerus secarah
dengan pengolahan bathin.
Pengolahan bathin menujukan kematangan suara hati dalam
keterbukaan dan refleksi diri yang kritis merupakan suatu proses untuk
mengaktualkan komitmen pribadi di bidang moral dan pencarian terus-menerus
terhadap kebenaran dan makna yang lebih dalam yang didasarkan pada pengalaman
hidup.[2]
Begitupun dengan peranan dari moral hukum, dilihat sangat berkaitan erat dengan manusia.
Dalam nomenklatur dunia dewasa ini, hukum dilihat sebagai dasar yang menentukan
karya dalam bidang yuridis serta penegakan hukum (law enforcement) dan berbicara tentang hukum kebih diawali dengan
berbicara tentang kemanusian dan manusia.[3] Dalam hal ini hukum dilihat
sebagai bingkai untuk menegakan etika dan etiket manusia dalam kehidupan bersama. Penegakan hukum sama sekali
tidak membatasi manusia dalam mengambil tindakan, asalkan tindakan itu tidak
melanggar norma hukum namun mendatangkan kebaikan tertinggi dan kebaikan
bersama summum bonum demi
kesejahteraan bersama. Sebagaimana dikutip oleh Yohanes
Suhardin, Phillipe Nonet dan Phillip
Selzsnik memandang bahwa hukum itu hendakanya mencerminakan dinamika interaksi
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat dan janganlah hukum itu mempertahankan dan
memaksa-kan suatu konstruksi yang bertentangan dengan dinamika masyarakat.[4]
Hukum moral dan suara hati
dirangsangkan dengan berbagai nilai moral agar memperoleh kemutlakan di dalamnya. Sebab moral
pada dasarnya bersifat mutlak menurut Immanuel Kant. Dengan demikian suara hati dapat memperoleh
kebebasan dari setiap prasangka-prasangka yang dapat melemahkan nilai moral
yang sedang berakar dalam suara hati.
Menurut Frans Magnis-Suseno bahwa perasaan
moral (superego) dan
anggapan-anggapan itu sangat mempengaruhi
suara hati.[5]
Pengklarifikasian anggapan-anggapan itu dapat berupa
problem pemicu terjadi tudingan dan parsangka yang tidak sesuai dengan fakta
sebenarnya.
Dalam
menghadapi dan menamfikan masalah yang ada, manusia
pada umumnya secara personal
mengenal dan mengembangkan kepekaan suara hatinya melalui jalan pembatinan dalam penentuan nilai moral.
Sikap pembatinan yang dilangsungkan dapat menyentuh perasaan yang otentik yakni
menyikapi nilai moral yakni mengenai dimensi kognitif dan afektif. Dimana menurut
Franz Magnis-Suseno dalam bukunya “Etika Dasar” mengatakan bahwa: “Kita dalam
mencapai kematangan suara hati harus berusaha mencapai dimensi kognitif dan
afektis, sebap melalui dimensi kognitif kita harus berusaha agar suara hati
dapat memberikan penilaian-penilaian yang benar dan tepat”.
Dan adapun dimensi lainnya yakni keterbukaan dari subjek
terhadap keunikan nilai dan budaya dari lingkungan dimana seseorang berada. Sikap
keterbukaan tidak mengharuskan seseotang untuk
menerima dan mengakui unsur-unsur
pembangun diluar dirinya,
tetapi dari dimensi keterbukaan adanya proses pemilihan dan penentuan nilai
mana yang harus diterima pembentukan dan perkembangan
suara hati. Kepenuhan suara hati mempunyai
fungsi dari akal praktis memutuskan perbuatan konkret dari seseorang sebagai
mempunyai arti moral baik dan buruk. Penyimpulan yang yang digunakan akal budi
adalah suatu silogisme deduktif, prinsip minor adalah penerapan prinsip pada
kejadian yang sekarang sedang dihadapi, kesimpulannya adalah keputusan hati
nurani.[6] Suatu keputusan dapat
valid jika adanya kerja sama yang baik antara budi dan hati nurani. Namun
dibutuhkan tuntutan yang tegas dari hukum moral, agar dalam penerapan yakni
dalam melawan dan menangkal segala perbuatan buruk yang dalam hal ini berkaitan
dengan praktik ketidakadilan yang terjadi. Dengan tindakan moral dapat menjadi
senjata ampuh dalam merangsang peranan akal budi, hati nurani dan kehendak dalam
menangkar segala kekeliruan.
Dalam tindakan yang benar itu, seseorang harus
berlandasakan pada keputusan moral yang benar dan berdasarkan suara hati.
Sehingga dalam tindakan itu, seseorang dapat bertanggun jawab dan penuh
bijaksana dalam menyikapi segala realitas yang yang ada, baik di dalam dirinya
maupun di luar dirinya. Tindakan ini dilihat sebagai sebuah keputusan akhir
dari pengambilan tindakan yang benar dan berdasarkan dorongan yang benar.
Albert Mandat Mahasiswa Semester 7 STFK Ledalero,
Maumere, NTT-Flores, Sedang aktif dalam Menulis.
[1]Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan
Praktek (Bandung: Penerbit Remadja Karya, 1988), hlm. 228.
[2]Charles M.
Shelton, Moralitas Kaum Muda
(Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 18.
[3]Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum
dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat” dalam jurnal Hukum Pro Justitia, 25:3 (juli 2007), hlm. 275.
[4]Ibid., hlm. 272.
[5]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius,
2016), hlm. 77.
[6]Poespoprodjo, op. cit., hlm. 242.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda