Selasa, 23 November 2021

PERAN SUARA HATI DAN HUKUM MORAL DALAM MENENTUKAN KEBENARAN DAN KEKELIRUAN

ALBERTUS MANDAT

Dunia zaman sekarang sedang dilandah dengan berbagai problem. Rasanya problem-problem itu mencekam berbagai nilai dan tata susila, serta berbagai nilai moral dan norma-norma yang ada. Sedangkan keutamaan nilai dan moral yang berlaku sekian lama diakui dan dihidupi masyarakat sosial mempunyai faedah bagi keutuhan dan kesejahteraan hidup bersama. Problem yang yang ada sedianya merupakan srataegi-strategi yang diluncurkan mendatangkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan yang terjadi di tengah masyarakat sosial. Masyarakat sebagai agen sosial seakan digoncangkan dengan model peradaban hidup yang baru yang mempengaruh pada produktivitas tingkah laku yang berlainan dari nilai yang sudah dihidupi sebelumnya. Dari perubahan ini mendatangkan kebingungan yang luar biasa dari masyarakat.

Keberlangsungan problem ini sudah menemukan titik pencapaiannya, di mana terjadi banyak ketimpangan nilai dan moral yang secara serampangan melanda ke permukaan kehidupan masyarakat. Dalam menyikapi kenyataan ini mensti ada suatu peluang kemungkinan untuk ditindak lanjutki dalam menangkal segala ketidakadilan yanga ada. Penulis mencoba menawarkan peran dari suara hati dan moral hukum dalam menyikapi kebenaran dan kekeliruan.

 

Peran Suara Hati

Suara hati pada dasarnya mempunyai peranan dalam menyikapi berbagai problem sosial kemasyarakatan. Menurut Poespoproodjo mengartikan suara hati adalah intelek sendiri dalam suatu fungsi istimewa, yakni dalam fugsi memutuskan kebenaran dan kesalahan perbuatan-perbuatan individu.[1] Kebenaran dalam hal ini merupakan hasil dari pertimbangan moral dan hati nurani berdasarkan pada suatu motif kebaikan yang hendak dicapai secara bersama dalam penentuan sikap pembatinan yang benar. Suara hati dalam hal ini tidak bersifat obyektif namun bersifat universal secara terbuka menerima pembentukan dari pendidikan yang secara berlangsung dan terus-menerus secarah dengan pengolahan bathin. Pengolahan bathin menujukan kematangan suara hati dalam keterbukaan dan refleksi diri yang kritis merupakan suatu proses untuk mengaktualkan komitmen pribadi di bidang moral dan pencarian terus-menerus terhadap kebenaran dan makna yang lebih dalam yang didasarkan pada pengalaman hidup.[2]

Begitupun dengan peranan dari moral hukum, dilihat sangat berkaitan erat dengan manusia. Dalam nomenklatur dunia dewasa ini, hukum dilihat sebagai dasar yang menentukan karya dalam bidang yuridis serta penegakan hukum (law enforcement) dan berbicara tentang hukum kebih diawali dengan berbicara tentang kemanusian dan manusia.[3] Dalam hal ini hukum dilihat sebagai bingkai untuk menegakan etika dan etiket manusia dalam  kehidupan bersama. Penegakan hukum sama sekali tidak membatasi manusia dalam mengambil tindakan, asalkan tindakan itu tidak melanggar norma hukum namun mendatangkan kebaikan tertinggi dan kebaikan bersama summum bonum demi kesejahteraan bersama. Sebagaimana dikutip oleh Yohanes Suhardin, Phillipe Nonet dan Phillip Selzsnik memandang bahwa hukum itu hendakanya mencerminakan dinamika interaksi kekuatan-kekuatan dalam masyarakat dan janganlah hukum itu mempertahankan dan memaksa-kan suatu konstruksi yang bertentangan dengan dinamika masyarakat.[4]

Hukum moral dan suara hati dirangsangkan dengan berbagai nilai moral agar memperoleh kemutlakan di dalamnya. Sebab moral pada dasarnya bersifat mutlak menurut Immanuel Kant. Dengan demikian suara hati dapat memperoleh kebebasan dari setiap prasangka-prasangka yang dapat melemahkan nilai moral yang sedang berakar dalam suara hati. Menurut Frans Magnis-Suseno bahwa perasaan moral (superego) dan anggapan-anggapan itu sangat mempengaruhi suara hati.[5] Pengklarifikasian anggapan-anggapan itu dapat berupa problem pemicu terjadi tudingan dan parsangka yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

 Dalam menghadapi dan menamfikan masalah yang ada, manusia pada umumnya secara personal mengenal dan mengembangkan kepekaan suara hatinya melalui jalan pembatinan dalam penentuan nilai moral. Sikap pembatinan yang dilangsungkan dapat menyentuh perasaan yang otentik yakni menyikapi nilai moral yakni mengenai dimensi kognitif dan afektif. Dimana menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya “Etika Dasar” mengatakan bahwa: “Kita dalam mencapai kematangan suara hati harus berusaha mencapai dimensi kognitif dan afektis, sebap melalui dimensi kognitif kita harus berusaha agar suara hati dapat memberikan penilaian-penilaian yang benar dan tepat”.

Dan adapun dimensi lainnya yakni keterbukaan dari subjek terhadap keunikan nilai dan budaya dari lingkungan dimana seseorang berada. Sikap keterbukaan tidak mengharuskan seseotang untuk menerima dan mengakui unsur-unsur pembangun diluar dirinya, tetapi dari dimensi keterbukaan adanya proses pemilihan dan penentuan nilai mana yang harus diterima pembentukan dan perkembangan suara hati. Kepenuhan suara hati mempunyai fungsi dari akal praktis memutuskan perbuatan konkret dari seseorang sebagai mempunyai arti moral baik dan buruk. Penyimpulan yang yang digunakan akal budi adalah suatu silogisme deduktif, prinsip minor adalah penerapan prinsip pada kejadian yang sekarang sedang dihadapi, kesimpulannya adalah keputusan hati nurani.[6] Suatu keputusan dapat valid jika adanya kerja sama yang baik antara budi dan hati nurani. Namun dibutuhkan tuntutan yang tegas dari hukum moral, agar dalam penerapan yakni dalam melawan dan menangkal segala perbuatan buruk yang dalam hal ini berkaitan dengan praktik ketidakadilan yang terjadi. Dengan tindakan moral dapat menjadi senjata ampuh dalam merangsang peranan akal budi, hati nurani dan kehendak dalam menangkar segala kekeliruan.

Dalam tindakan yang benar itu, seseorang harus berlandasakan pada keputusan moral yang benar dan berdasarkan suara hati. Sehingga dalam tindakan itu, seseorang dapat bertanggun jawab dan penuh bijaksana dalam menyikapi segala realitas yang yang ada, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Tindakan ini dilihat sebagai sebuah keputusan akhir dari pengambilan tindakan yang benar dan berdasarkan dorongan yang benar.


Albert Mandat Mahasiswa Semester 7 STFK Ledalero, Maumere, NTT-Flores, Sedang aktif dalam Menulis.



[1]Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: Penerbit Remadja Karya, 1988), hlm. 228.

[2]Charles M. Shelton, Moralitas Kaum Muda (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 18.

[3]Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat” dalam jurnal Hukum Pro Justitia, 25:3 (juli 2007), hlm. 275.

[4]Ibid., hlm. 272.

[5]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hlm. 77.

[6]Poespoprodjo, op. cit., hlm. 242.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda