JUBAH YANG BERBAU DOMBA SEBAGAI KONKRETISASI PRINSIP KEADILAN JOHN RAWLS
Albert
Mandat
1.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya panggilan hidup itu mengarahkan seseorang pada model dan sikap pembaktian diri
yang khusus kepada yang ilahi melalui suatu
model hidup dalam dunia spirtitual. Model dan arah pembaktian diri mengarah seseorang pada
suatu visi dan misi yang mestinya dijalankan dan dihidupi. Visi dan misi yang
ada, seakan menjadi kompas untuk menunjuk arah dan tujuan yang hendak dicapai. Mengenal
dan menjalankan misi berarti mengenal dan memaknai panggilan itu sendiri.
Panggilan itu harus terlahir dari suatu jawaban yang bebas tanpa ada tekanan
dari pihak manapun. Sebab pada dasarnya kebebasan itu menentukan jati diri
seseorang dalam mengambil sikap dan tindakan mana yang baik dan berguna bagi
kepentingan bersama. Keadilan menutut John
Rawls adalah merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari
kesejateraan kelompok masyarakat.[1] Asalkan tindakan itu berasal dari motivasi yang murni.
Dasar pembetukan demikian menjadi modal awal bagi
seseorang yang ingin berkarya dalam bidang misi. Namun jika dipastikan dalam
term “panggilan” mengandung beberapa hal antara lain sebagai berikut: Pertama, Panggilan
seseorang layaknya
dapat dianalogikan seperti kita menerima
pesan message dari teman atau kerabat kenalan. Hal ini
menggambarkan
suatu bentuk korelasi dalam jalinan relasi satu
dengan yang lain demi suatu maksud yang dituju. Kedua, Kerabat
atau kenalan yang
dianalogikan diandaikan sebagai
Tuhan yang memanggil. Ketiga, Pesan
yang dikirim Tuhan mengharuskan kita untuk menyiapkan hati dan budi untuk mengikuti,
berkomitmen dan selalu meyerahkan
diri yang total kepada Allah.
Panggilan hidup untuk berkarya dalam konteksitas dunia
zaman sekarang sungguh sangat diharapkan. Di mana jika dilihat dari berbagai
problem yang ditimbulkan antara lain: penindasan, kekerasan, percecokan,
manipulasi kepentingan sepihak dan aduan nalar politik yang serampangan demi
pemungutan keuntungan pribadi sunggu sangat membumi dalam setiap sudut
kehidupan manusia. Di mana pada umumnya, manusia yang hidup pada zaman modern
ini lebih bersifat individual. Hal ini dapat dilihat dari tingkatnya sikap ego dalam diri dalam mengendepankan
prestasi dan pretise tanpa mempedulihkan kelompok lainnya. Dengan adanya
tindakan demikian, maka terjadi ketimpangan sosial dalam segala lapisan. Dan
yang menjadi dampak dari tindakan yang ada ialah masyarakat akar rumput. Di
mana menurut John Rawl bahwa dengan adanya tindakan ketidakadilan ditengah
masyarakat maka, hak dan kewajiban masyarakat kecil akan dirampas dan
dimanipulasi dengan mengedepankan kebebasan yang bercokol pada penetapan aturan
yang mengikat. Hal ini akan berdampak buruk pada masyarakat kecil.
Oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis ingin mengulas
kajian nalar pemikirannya dalam melihat dan mendalami prinsip keadilan John
Rawls dalam kaitan dengan semagat misi yakni jubah yang berbau domba. Dengan
tulisan yang ada penulis bermaksud sedikit menyumbang dasar pemikirannya dalam
kaitan dengan semangat misi itu sendiri dalam terang pemikiran John Rawls
tentang prinsip keadilan.
2.
ISI
2.1 Biografi John Rawls
John Rawls merupakan seorang filsuf
dari Amerika Serikat yang hidup pada abad ke-20. Dalam karya-karya dan
tulisannya ia dikenal sebagai sosok yang melahirkan dan mencetuskan
nilai-nilai, pikiran dan argumentasinya tentang keadilan. Ia dilahirkan di
Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada tanggal 21 Februari 1921 dari sebuah
pasangan yakni dari Wiliam Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Pada masa kecilnya ia
sering mengalami sakit akibat virus diphtheria dan pneumonia.
Meskipun penyakit yang dideritanya sangat memprihatinkan, namun kakaknya selalu
memberikan motivasi dan dorongan untuk dirinya untuk masuk dalam sekolah.
Setelah menyelesaikan sekolah
dasaranya, kemudia ia melanjutkan sekolah di di Princeton University pada 1939.
Dalam menempuh kuliah di Universitas ini, akhirnya dia sangat tertarik dengan
dunia filsafat. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada
ilmu filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club
yaitu sebuah kelompok elit akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John
Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi
bagian dari keanggotannya.[2] Di
universitas Princeton, Ia menyelesaikan studi untuk merai gelar doktoral dalam
bidang filsafat moral. Setelah sukses mempertahankan disertasi
doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference
to Judgment on the Moral Worth of
Character”, John Rawls akhirnya menyandang
gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.).[3] Selama
masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya untukmemegang beberapa
jabatan penting. Di antaranya, yaitu PresidenAmerican
Association of Politica and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the Eastern Division of the American
Philosophical Association(1974), dan Professor
Emeritus di James Bryant ConantUniversity,Harvard (1979). Selain itu,
dirinya
juga
terlibat
aktif
dalam
theAmerican
Philosophical Society, the British
Academy, dan the NorwergianAcademy
of Science.[4]
Dalam perjuangannya untuk menegakan
nilai keadilan, di telah berhasil menulis berbagai karya besarnya dalam
berbagai teori dan argumentasi yang dihadirkan kepada para muridnya dan kepada
semua orang pada zamannya. Berbagai
hasil karya dan pemikiran yang dihasilkannya sebagai berikut, antara lain: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber
dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip
perbedaan (two principle of
justices), (2) Posisi
asali dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance);
(3) Ekuilibrium reflektif (reflective
equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar
publik (public reason).[5]
2.2
Keadilan sebagai Fairness
Keadilan
sebagai fairness adalah sebuah
prinsip keadilan yang secara umum menekankan prinsip keadilan yang semestinya
diterima dan didasarkan dalam kehidupan masyarakat luas dalam kaitan dengan
penentuan hak dan kewajiban. Di mana dalam penentuan hak dan kewajiban itu adanya
suatu jalilan dan hubungan kerja sama antar masyarakat sosial. Dalam kerja sama
antar sosial masyarakat diikat dengan adanya ketentuan hukum dan aturan
totaliter yang mengikat sehingga masyarakat merasa kurang nyaman dalam berkerja
sama. Terhadap
pertanyaan-pertanyaan ini, Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap
anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang
ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai
fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan
institusi-institusi yang ada di dalamnya (Rawls: 1971, h. 4-5).[6]
Penekanan Rawls pada prinsip
keadilan sebagai fairness juga
merupakan suatu sikap keberpihakan Rawls terhadap kehidupan masyarakat akar
rumput. Di mana kehidupan masyarakat akar rumput banyak mengalami tindakan
ketidakadilan dari suatu kelompok tertentu yang sangat mengedepankan keuntungan
sepihak dan tanpa memperhatikan kesejatraan kelompok atau masyarakat lainnya.
Dan juga berkaitan dengan hak dan kewajiban banyak dimanipulasi dengan
ketentuan hukum yang mengatur sehingga masyarakat kelas bawah banyak mengalami
tindakan ketidakadilan. Dalam pandangannya Rawls mengatakan bahwa:
Penekanan
terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan
bagi suatu kerja samasosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan
perhatian pada bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di
dalam masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya
dan secara nyata, serta menanggung beban yang sama Karenanya, agar menjamin
distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan
pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya
kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial (Rawls: 1971, h. 4.).[7]
Dalam
kesepakatan teori prinsip fairness
John Rawls agar tidak terjadi keberpihakan yang mengaraj pada kepentingan dan
keuntungan pribadi. Namun sangat ditekankan keadilan prosedural murni sebagai
prinsip dari keadilan fairness. Dengan berpegang pada prinsip yang ada akan
adanya keadilan ditengah kehidupan masyarakat akar rumput. Di mana nilai dan
kebebasan dalam kerja sama antar masyarakat dapat saling menguntungkan satu
sama lain dan terciptanya kebebasan dalam keadilan demi tercapainya
kesejateraan bersama.
2.2 Misi Sebagai Identitas Diri
Gambaran dari subjek yang memanggil yakni Tuhan,
terurai dalam berbagai konteks
dan model sikap laku hidup kita masing-masing. Penalaran akan makna dari
setiap konteks yang
hadir dalam pengalaman hidup seharian
memampukan kita untuk mengiternalisir pesan Tuhan kepada semua ornag.
Panggilan Tuhan yang
anugerahkan kepada kita demi kepentingan suatu karya misi perutusan ketengah
dunia yang sangat kompleks dan penuh dengan problem sosial kemasyarakatan. Pada setiap warna
panggilan itu mengahadirkan
suatu warta pesan yang hendaknya diinternalisir kepada yang lain enta dalam
bentuk pewartaan atau lewat kesaksian hidup yang sepantasnya berdasarkan
dorongan suara hati dan kehendak batin.
Kenyataaab ini mengugkapkan arti karya misi itu sendri. Menurut John Verkuyl,
seperti dikutip oleh Alex Jebadu dalam bukunya Dakwa Kristen bahwa misiologi adalah sebuah studi tentang karya
keselamatan yang dilakukan oleh Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus
dan ditujuka ke seluruh dunia untuk merealisasikan Kerajaan Allah di dalam
kenyataan hidup manusia.[8]
Penulis menyadari bahwa panggilan suci yang sedang digeluti
sekarang bukan sebuah kebetulan
menanggapi suara hati, tetapi apa yang selebihnya dari itu sebagai anugerah
Tuhan yang terindah. Melihat kenyataan ini, saya mencoba menentukan dan merumusakan satu tema yang menjadi fudamen dasar dan sekaligus sebagai komitmen dalam hidup panggilan dan perutusan yakni
“ora et labora” atau “berdoa dan bekerja”
sekaligus mengembangkan
sikap kreatif dalam menjaga dan menghidupi panggilan
dalam konteks hisud dengan
orang yang terpinggirkan. Secara singkatnya dapat dikatakan demikian, saya
melihat panggilan suci ini sebagai
sebuah kesempatan yang berahmat
selain mengenal Tuhan secara lebih mendalam, adapun hal lainnya yang dilihat sebagai motivasi dasar yakni
sikap solider dan keberpihkan dengan orang pinggiran yakni orang miskin dan sengsara.
2.4 Misi sebagai
Tindakan Pembebasan Seturut Prinsip Keadilan Fairness
Misi adalah sebuah tindakan pembebasan. Dalam tindakan
pembebasan itu adanya suatu usaha dan perjuangan yang diupayahkan. Usaha ini
dilihat sebagai sebuah masa kebangkitan baru dalam menata dan membentuk dunia
baru yang di dalamnya terungkap suatu kesepakatan bersama yakni terungkapnya bonum commune. Dalam mengusahkan suatu
kebaikan, seseorang membutuhkan visi dan misi serta model pemikiran baru yang
dapat menjadi suluh dan api pemantik dalam melahirkan suatu keputusan yang
muthakir bagi kepentingan bersama.
Tindakan misi pembebasan memang sangat dibutuhkan dalam
konteksitas dunia zaman sekarang. Tindakan pembebasan itu harus dimulai dari
masyarakat akar rumput, di mana dalam kehidupan mereka terjadi banyak
ketimpangan sosial yang mengarah pada pemenuhan kepentingan pribadi.
Ketimpangan sosial dapat berupa tindakan yang tidak mendatangkan keadilan. Hal
ini dikarenakan hak dan kewajiban masyarakat akar rumput telah dimanipulasi
dengan berbagai kepentingan pribadi. Sikap manipulasi demikian berkaitan erat
dengan penetapan aturan dan hukum serta pemerintahan yang totaliter. Sehingga
harkat dan martabat masyarakat akan rumput tidak mempunyai jiwa dalam
kehidupannya.
Berdasarkan masalah demikian, John Rawls dalam
posisi asali merumuskan prinsip umum dengan menekankan pada inti persamaan
dalam sebuah tindakan keadilan. Prinsip umum yang dirumuskan John Rawls sebagai
berikut: Semua nilai-nilai sosial-kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan
kekayaan, dan basis harga diri harus didistribusikan secara sama.
Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal
itu memang
menguntungkan orang-orang yang
paling tidak
beruntung
(Rawls: 1971, h. 62).[9]
Dengan ada prinsip persamaan (equaliy) dan prinsip ketidaksamaan (unequality) yang ada, kita dapat
menyimpulkan bahwa John Rawls sedang berusaha untuk memahami prinsip keadilan
sosial di tengah masyarakat. Maksudnya ialah dengan kedua prinsip yang ada,
bagaimana tidakan yang mesti diambil sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial
di tengah konteks hidup masyarakat luas. Ketimpangan sosial dalam hal
berhubungan erat dengan penerapan nilai keadilan yang seharusnya untuk
menyikapi perbedaan dalam setiap kelompok masyarakat yang ada. Mengahadapi
persoalan di atas, John Rawls menegaskan bahwa
hak-hak dan
kebebasan-kebebasan
dasar
dalam konsep
keadilan khusus ini memiliki prioritas utama atas keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi (Rawls: 1971,
h. 250).[10]
Dalam perebedaan yang ada mestinya harus dihargai dengan mengedepankan sikap
toleransi sehingga tidak menimbulkan pertentangan antara persamaan dan
ketidaksamaan.
Prinsip keadilan yang
sangat menekankan kerja sama akan melahirkan suatu keputusan dalam satu ikatan
sosial. Di mana segala kekayaan, harta benda, barang-barang dimiliki secara
bersama. Dengan adanya kerja sama demikian akan mendatangkan keuntungan dan
kebahagiaan bersama dalam hubungan antar kelompok sosial yang ada. Artinya, keadilan
dipahami sebagai identik dengan tujuan memperbesar keuntungan sosial-ekonomi, sehingga
ruang bagi perjuangan untuk kepentingan diri setiap orang menjadi sempit. Akibatnya,
prinsip kebebasan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat dihalalkan.[11]
3.
PENUTUP
Muara pemikiran tentang misi harus menjadi dasar
panggilan hidup manusia. Dalam panggilan itu manusia harus senantiasa
mengungkapkan rasa keberpihakan dengan mengutamakan kepentingan bersama dalam
suatu arah dan tujuan dalam misi yang diemban. Meskipun misi itu berada dalam masyarakat plural, namun
dibutuhkan kebijakan dan kelihaian dalam pengambilan suatu keputusan. Sehingga dalam perebedaan yang ada mestinya
harus dihargai dengan mengedepankan sikap toleransi sehingga tidak menimbulkan
pertentangan antara persamaan dan ketidaksamaan. Semangat dan jiwa pembaharuan mesti dikibarkan dalam diri
kaum miskin dan sederhana agar keadilan sebagai sebuah kesepakatan bersama
dalam terungkap dalam setiap kehidupan masyarakat sosial.
[1]Dewi Setyowati,
“Memahami Konsep Restorative Justice Sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana
Menggapai Keadilan” dalam jurnal
Pandecta, 15:1 (Surabaya, 15 Juni 2020), hlm. 122.
[2]Pan Mohammad Faiz, “Teori
Keadilan John Rawls” dalam Jurnal
Konstitusi 6:1 (Indonesia, 1 April 2019), hlm. 136.
[3]Ibid.
[4]Ibid., hlm. 137.
[5]Ibid., hlm. 139.
[6]Iqbal Hasanuddin, “Keadilan
Sosial: Telaah Atas Filsafat Politik John Rawls”, dalam jurnal Refleksi 17:2 (Universitas Bina Nusantara, Oktober 2018),
hlm. 198.
[7]Ibid.
[8]Alex Jebadu, Hakekat Dakwah Kristen (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 37.
[9]Iqbal Hasanuddin, “Keadilan
Sosial: Telaah Atas Filsafat Politik John Rawls”, dalam jurnal Refleksi 17:2 (Universitas Bina Nusantara, Oktober 2018),
hlm. 198.
[10]Ibid., hlm. 198.
[11]Ibid.,
hlm.
182.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda