Senin, 13 Desember 2021

JUBAH YANG BERBAU DOMBA SEBAGAI KONKRETISASI PRINSIP KEADILAN JOHN RAWLS


                         Ilustrasi Pinterest

                      Albert Mandat

 

1.   PENDAHULUAN

Pada dasarnya panggilan hidup itu mengarahkan seseorang pada model dan sikap pembaktian diri yang khusus kepada yang ilahi melalui suatu model hidup dalam dunia spirtitual. Model dan arah pembaktian diri mengarah seseorang pada suatu visi dan misi yang mestinya dijalankan dan dihidupi. Visi dan misi yang ada, seakan menjadi kompas untuk menunjuk arah dan tujuan yang hendak dicapai. Mengenal dan menjalankan misi berarti mengenal dan memaknai panggilan itu sendiri. Panggilan itu harus terlahir dari suatu jawaban yang bebas tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Sebab pada dasarnya kebebasan itu menentukan jati diri seseorang dalam mengambil sikap dan tindakan mana yang baik dan berguna bagi kepentingan bersama. Keadilan menutut John Rawls adalah merupakan prinsip dari kebijakan rasional  yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejateraan kelompok  masyarakat.[1] Asalkan tindakan itu berasal dari motivasi yang murni.

Dasar pembetukan demikian menjadi modal awal bagi seseorang yang ingin berkarya dalam bidang misi. Namun jika dipastikan dalam term “panggilan” mengandung beberapa hal antara lain sebagai berikut: Pertama, Panggilan seseorang layaknya dapat dianalogikan seperti kita menerima pesan message dari teman atau kerabat kenalan. Hal ini menggambarkan suatu bentuk korelasi dalam jalinan relasi satu dengan yang lain demi suatu maksud yang dituju. Kedua, Kerabat atau kenalan yang dianalogikan diandaikan sebagai Tuhan yang memanggil. Ketiga, Pesan yang dikirim Tuhan mengharuskan kita untuk menyiapkan hati dan budi untuk mengikuti, berkomitmen dan selalu meyerahkan diri yang total kepada Allah.

Panggilan hidup untuk berkarya dalam konteksitas dunia zaman sekarang sungguh sangat diharapkan. Di mana jika dilihat dari berbagai problem yang ditimbulkan antara lain: penindasan, kekerasan, percecokan, manipulasi kepentingan sepihak dan aduan nalar politik yang serampangan demi pemungutan keuntungan pribadi sunggu sangat membumi dalam setiap sudut kehidupan manusia. Di mana pada umumnya, manusia yang hidup pada zaman modern ini lebih bersifat individual. Hal ini dapat dilihat dari tingkatnya sikap ego dalam diri dalam mengendepankan prestasi dan pretise tanpa mempedulihkan kelompok lainnya. Dengan adanya tindakan demikian, maka terjadi ketimpangan sosial dalam segala lapisan. Dan yang menjadi dampak dari tindakan yang ada ialah masyarakat akar rumput. Di mana menurut John Rawl bahwa dengan adanya tindakan ketidakadilan ditengah masyarakat maka, hak dan kewajiban masyarakat kecil akan dirampas dan dimanipulasi dengan mengedepankan kebebasan yang bercokol pada penetapan aturan yang mengikat. Hal ini akan berdampak buruk pada masyarakat kecil.

Oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis ingin mengulas kajian nalar pemikirannya dalam melihat dan mendalami prinsip keadilan John Rawls dalam kaitan dengan semagat misi yakni jubah yang berbau domba. Dengan tulisan yang ada penulis bermaksud sedikit menyumbang dasar pemikirannya dalam kaitan dengan semangat misi itu sendiri dalam terang pemikiran John Rawls tentang prinsip keadilan.

2.   ISI

2.1 Biografi John Rawls

            John Rawls merupakan seorang filsuf dari Amerika Serikat yang hidup pada abad ke-20. Dalam karya-karya dan tulisannya ia dikenal sebagai sosok yang melahirkan dan mencetuskan nilai-nilai, pikiran dan argumentasinya tentang keadilan. Ia dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada tanggal 21 Februari 1921 dari sebuah pasangan yakni dari Wiliam Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Pada masa kecilnya ia sering mengalami sakit akibat virus diphtheria dan pneumonia. Meskipun penyakit yang dideritanya sangat memprihatinkan, namun kakaknya selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk dirinya untuk masuk dalam sekolah.

            Setelah menyelesaikan sekolah dasaranya, kemudia ia melanjutkan sekolah di di Princeton University pada 1939. Dalam menempuh kuliah di Universitas ini, akhirnya dia sangat tertarik dengan dunia filsafat. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya.[2] Di universitas Princeton, Ia menyelesaikan studi untuk merai gelar doktoral dalam bidang filsafat moral. Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.).[3] Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya untukmemegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu PresidenAmerican Association of Politica  and  Legal  Philisopher  (1970-1972), Presiden the Eastern Division of the American Philosophical Association(1974), dan Professor Emeritus di James Bryant ConantUniversity,Harvard  (1979).  Selain  itu,  dirinya  juga  terlibat  aktif  dalam  theAmerican Philosophical Society, the British Academy, dan the NorwergianAcademy of Science.[4]

            Dalam perjuangannya untuk menegakan nilai keadilan, di telah berhasil menulis berbagai karya besarnya dalam berbagai teori dan argumentasi yang dihadirkan kepada para muridnya dan kepada semua orang pada zamannya.       Berbagai hasil karya dan pemikiran yang dihasilkannya sebagai berikut, antara lain: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip perbedaan  (two  principle  of  justices),  (2)  Posisi  asali  dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik (public reason).[5]

 

2.2    Keadilan sebagai Fairness

Keadilan sebagai fairness adalah sebuah prinsip keadilan yang secara umum menekankan prinsip keadilan yang semestinya diterima dan didasarkan dalam kehidupan masyarakat luas dalam kaitan dengan penentuan hak dan kewajiban. Di mana dalam penentuan hak dan kewajiban itu adanya suatu jalilan dan hubungan kerja sama antar masyarakat sosial. Dalam kerja sama antar sosial masyarakat diikat dengan adanya ketentuan hukum dan aturan totaliter yang mengikat sehingga masyarakat merasa kurang nyaman dalam berkerja sama. Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya (Rawls: 1971, h. 4-5).[6]

            Penekanan Rawls pada prinsip keadilan sebagai fairness juga merupakan suatu sikap keberpihakan Rawls terhadap kehidupan masyarakat akar rumput. Di mana kehidupan masyarakat akar rumput banyak mengalami tindakan ketidakadilan dari suatu kelompok tertentu yang sangat mengedepankan keuntungan sepihak dan tanpa memperhatikan kesejatraan kelompok atau masyarakat lainnya. Dan juga berkaitan dengan hak dan kewajiban banyak dimanipulasi dengan ketentuan hukum yang mengatur sehingga masyarakat kelas bawah banyak mengalami tindakan ketidakadilan. Dalam pandangannya Rawls mengatakan bahwa:

Penekanan terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja samasosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan secara nyata, serta menanggung beban yang sama Karenanya, agar menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial (Rawls: 1971, h. 4.).[7]

            Dalam kesepakatan teori prinsip fairness John Rawls agar tidak terjadi keberpihakan yang mengaraj pada kepentingan dan keuntungan pribadi. Namun sangat ditekankan keadilan prosedural murni sebagai prinsip dari keadilan fairness. Dengan berpegang pada prinsip yang ada akan adanya keadilan ditengah kehidupan masyarakat akar rumput. Di mana nilai dan kebebasan dalam kerja sama antar masyarakat dapat saling menguntungkan satu sama lain dan terciptanya kebebasan dalam keadilan demi tercapainya kesejateraan bersama.

 

2.2 Misi Sebagai Identitas Diri

Gambaran dari subjek yang memanggil yakni Tuhan, terurai dalam berbagai konteks dan model sikap laku hidup kita masing-masing. Penalaran akan makna dari setiap konteks yang hadir dalam pengalaman hidup seharian memampukan kita untuk mengiternalisir pesan Tuhan kepada semua ornag. Panggilan Tuhan yang anugerahkan kepada kita demi kepentingan suatu karya misi perutusan ketengah dunia yang sangat kompleks dan penuh dengan problem sosial kemasyarakatan. Pada setiap warna panggilan itu mengahadirkan suatu warta pesan yang hendaknya diinternalisir kepada yang lain enta dalam bentuk pewartaan atau lewat kesaksian hidup yang sepantasnya berdasarkan dorongan suara hati dan kehendak batin. Kenyataaab ini mengugkapkan arti karya misi itu sendri. Menurut John Verkuyl, seperti dikutip oleh Alex Jebadu dalam bukunya Dakwa Kristen bahwa misiologi adalah sebuah studi tentang karya keselamatan yang dilakukan oleh Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus dan ditujuka ke seluruh dunia untuk merealisasikan Kerajaan Allah di dalam kenyataan hidup manusia.[8]

Penulis menyadari bahwa panggilan suci yang sedang digeluti sekarang bukan sebuah kebetulan menanggapi suara hati, tetapi apa yang selebihnya dari itu sebagai anugerah Tuhan yang terindah. Melihat kenyataan ini, saya mencoba menentukan dan merumusakan satu tema yang menjadi fudamen dasar dan sekaligus sebagai komitmen dalam hidup panggilan dan perutusan yakni “ora et labora” atau “berdoa dan bekerja” sekaligus mengembangkan sikap kreatif dalam menjaga dan menghidupi panggilan dalam konteks hisud dengan orang yang terpinggirkan. Secara singkatnya dapat dikatakan demikian, saya melihat panggilan suci ini sebagai sebuah kesempatan yang berahmat selain mengenal Tuhan secara lebih mendalam, adapun hal lainnya yang dilihat sebagai motivasi dasar yakni sikap solider dan keberpihkan dengan orang pinggiran yakni orang miskin dan sengsara.

2.4 Misi sebagai Tindakan Pembebasan Seturut Prinsip Keadilan Fairness

Misi adalah sebuah tindakan pembebasan. Dalam tindakan pembebasan itu adanya suatu usaha dan perjuangan yang diupayahkan. Usaha ini dilihat sebagai sebuah masa kebangkitan baru dalam menata dan membentuk dunia baru yang di dalamnya terungkap suatu kesepakatan bersama yakni terungkapnya bonum commune. Dalam mengusahkan suatu kebaikan, seseorang membutuhkan visi dan misi serta model pemikiran baru yang dapat menjadi suluh dan api pemantik dalam melahirkan suatu keputusan yang muthakir bagi kepentingan bersama.

Tindakan misi pembebasan memang sangat dibutuhkan dalam konteksitas dunia zaman sekarang. Tindakan pembebasan itu harus dimulai dari masyarakat akar rumput, di mana dalam kehidupan mereka terjadi banyak ketimpangan sosial yang mengarah pada pemenuhan kepentingan pribadi. Ketimpangan sosial dapat berupa tindakan yang tidak mendatangkan keadilan. Hal ini dikarenakan hak dan kewajiban masyarakat akar rumput telah dimanipulasi dengan berbagai kepentingan pribadi. Sikap manipulasi demikian berkaitan erat dengan penetapan aturan dan hukum serta pemerintahan yang totaliter. Sehingga harkat dan martabat masyarakat akan rumput tidak mempunyai jiwa dalam kehidupannya.

Berdasarkan masalah demikian, John Rawls dalam posisi asali merumuskan prinsip umum dengan menekankan pada inti persamaan dalam sebuah tindakan keadilan. Prinsip umum yang dirumuskan John Rawls sebagai berikut: Semua nilai-nilai sosial-kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis harga diri harus   didistribusikan   secara  sama.  Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial tersebut  hanya diperbolehkan apabila hal  itu  memang  menguntungkan  orang-orang yang  paling  tidak beruntung (Rawls: 1971, h. 62).[9]

Dengan ada prinsip persamaan (equaliy) dan prinsip ketidaksamaan (unequality) yang ada, kita dapat menyimpulkan bahwa John Rawls sedang berusaha untuk memahami prinsip keadilan sosial di tengah masyarakat. Maksudnya ialah dengan kedua prinsip yang ada, bagaimana tidakan yang mesti diambil sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial di tengah konteks hidup masyarakat luas. Ketimpangan sosial dalam hal berhubungan erat dengan penerapan nilai keadilan yang seharusnya untuk menyikapi perbedaan dalam setiap kelompok masyarakat yang ada. Mengahadapi persoalan di atas, John Rawls menegaskan bahwa hak-hak dan  kebebasan-kebebasan  dasar  dalam konsep  keadilan khusus ini memiliki prioritas  utama atas keuntungan-keuntungan sosial  dan ekonomi (Rawls: 1971, h. 250).[10] Dalam perebedaan yang ada mestinya harus dihargai dengan mengedepankan sikap toleransi sehingga tidak menimbulkan pertentangan antara persamaan dan ketidaksamaan.

Prinsip keadilan yang sangat menekankan kerja sama akan melahirkan suatu keputusan dalam satu ikatan sosial. Di mana segala kekayaan, harta benda, barang-barang dimiliki secara bersama. Dengan adanya kerja sama demikian akan mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan bersama dalam hubungan antar kelompok sosial yang ada. Artinya, keadilan dipahami sebagai identik dengan tujuan memperbesar keuntungan sosial-ekonomi, sehingga ruang bagi perjuangan untuk kepentingan diri setiap orang menjadi sempit. Akibatnya, prinsip kebebasan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat dihalalkan.[11]

 

3.   PENUTUP

Muara pemikiran tentang misi harus menjadi dasar panggilan hidup manusia. Dalam panggilan itu manusia harus senantiasa mengungkapkan rasa keberpihakan dengan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu arah dan tujuan dalam misi yang diemban. Meskipun misi itu berada dalam masyarakat plural, namun dibutuhkan kebijakan dan kelihaian dalam pengambilan suatu keputusan. Sehingga dalam perebedaan yang ada mestinya harus dihargai dengan mengedepankan sikap toleransi sehingga tidak menimbulkan pertentangan antara persamaan dan ketidaksamaan. Semangat dan jiwa pembaharuan mesti dikibarkan dalam diri kaum miskin dan sederhana agar keadilan sebagai sebuah kesepakatan bersama dalam terungkap dalam setiap kehidupan masyarakat sosial.



[1]Dewi Setyowati, “Memahami Konsep Restorative Justice Sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana Menggapai Keadilan” dalam jurnal Pandecta, 15:1 (Surabaya, 15 Juni 2020), hlm. 122.

[2]Pan Mohammad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls” dalam Jurnal Konstitusi 6:1 (Indonesia, 1 April 2019), hlm. 136.

[3]Ibid.

[4]Ibid., hlm. 137.

[5]Ibid., hlm. 139.

[6]Iqbal Hasanuddin, “Keadilan Sosial: Telaah Atas Filsafat Politik John Rawls”, dalam jurnal Refleksi 17:2 (Universitas Bina Nusantara, Oktober 2018), hlm. 198.

[7]Ibid.

[8]Alex Jebadu, Hakekat Dakwah Kristen (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 37.

[9]Iqbal Hasanuddin, “Keadilan Sosial: Telaah Atas Filsafat Politik John Rawls”, dalam jurnal Refleksi 17:2 (Universitas Bina Nusantara, Oktober 2018), hlm. 198.

[10]Ibid., hlm. 198.

[11]Ibid., hlm. 182.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda