Rabu, 05 Januari 2022

MASALAH-MASALAH POKOK DALAM FILSAFAT MORAL: TELAAH BUKU FRANZ MAGNIS-SUSENO (Penerbit: Penerbit Kanisius Tahun Terbit: 1987)

 

 




Albertus Mandat Minggu 

I.  PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pokok bahasan dalam buku ini secara keseluruhan menguraikan tentang kebebasan yang dibaharui menjadi “kebebasan dan tanggung jawab” dengan membedakan antara kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial yang merupakan tulisan yang sudah diterbitkan dalam buku yang berjudul “Etika Umum” pada bab pengantar. Dengan adanya kehadiran suara hati menurutnya ditempatkan dalam konteks yang lebih tepat tentang “mengasah pengertian moral” serta tentang sikap “sepi ing pamrih” dan “rasa”. Etika normatif, penulis lebih mengarahkan kepada teori-teori normatif yang lebih relevan pada masa sekarang, dengan membuang hal-hal yang terlalu spesialistik: tentang prinsip-prinsip dasar moral yang berkembang. Bagian penutup: berisikan tentang sikap-sikap kepribadian moral yang kuat. Dan agar pemakaian buku ini lebih efektif dan supaya cocok untuk pekerjaan kelompok, setiap abab pada bagian akhir akan disertai dengan sejumlah pertanyaan untuk pendalaman dan pemantapan pengertian serta dengan satu dan dua buah tugas agar apa yang dialami secara teoritis dapat diterapkan pada kehidupan nyata.

1.2 Tujuan Penulisan

Menjadi alat orientasi dari masa yang terdahulu menuju ke masa atau zaman sekarang. Kita hidup dalam zaman di mana nilai-nilai dan norma-norma kelakuan tradisional semakin dipersoalkan. Dengan kehadiran buku ini, sebenarnya penulis ingin memberikan sumbangan yang sederhana agar para pembaca tidak mengalami kebingungan atau terhanyut dalam proses pancaroba. Adapun tujuan lainnya yang termuat, yakni untuk menyediakan sarana-sarana teoretis agar pembaca sendiri dapat menghadapi masalah-masalah moral yang muncul dengan lebih positif, kritis dan mantap.

II. ISI

2.1  Etika dan Moral

2.1.1 Etika

Etika adalah ilmu yang mencari orientasi. Pendominasian manusia ialah ia selalu berorientasi pada ruang lingkup waktu dan zamannya yang mampu membentuk pola dan jati dirinya yang otentik. Pemaknaan makna dari etika sebagaimana digagaskan penulis dalam buku ini menguat perihal manusia yang selalu berusaha untuk menjawab suatu bentuk pertanyaan yang amat fundamental; bagaimana saya harus bertindak dan hidup? Apakah suatu tindakan membutuhkan tanggung jawab? Pada dasarnya etika adalah: pemikiran sistematis tentang moralitas. Yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa etika pada zaman kita semakin perlu, antaralain: pertama, kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralitas, juga dalam bidang moralitas. Pluralitas itu mencakup perbedaan suku, ras, budaya, bahasa dan simbol-simbol tertentu. Kedua, kita hidup dalam masa transformative masyarakat yang tanpa tanding. Dalam problem sosial ini, etika tampil untuk membantu agar kita jangan kehilangan orientasi dan memampukan kita untuk dapat membedakan apa yang hakiki yang menjadi maksud awal yang mesti dicapai dan apa yang perlu diperhatikan. Tentulah semuanya ini dituntut satu sikap tanggung jawab. Ketiga, etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan objektif untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing. 

 

2.1.2      Moral

Dalam pengertiannya, kata “moral '' selalu mengacu pada baik-buruknya manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan sebagai manusia. Dan hal ini, termasuk norma-norma moral. Norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma-norma umumnya dibagi dalam tiga macam antara lain: pertama, norma-norma sopan santun. Dalam tindakan mengungkapkan kata dalam perbuatan, manusia perlu memperhatikan etiket dan etika dalam mengaplikasikan apa yang hendak dilakukan. Dengan memperhatikan etiket dalam pergaulan manusia akan menjadi pribadi yang taat akan kehendak dan kemauan pribadi. Seorang dapat mengontrol setia tindakan dengan memperhatikan etiket dalam pergaulan. Membatasi ruang dan waktu dan tindakan dan etiket yang benar menunjukan pribadi yang sungguh memahami pa rati dari sebauh sikap sopan santun. Kedua, norma-norma hukum. Setiap tindakan yang berdasarkan aturan dan hukum memampukan manusia dapat mengorganisir kehidupannya dengan baik dan benar serta selalu mengarah pada sikap dan tanggung jawab. Hukum menjadi penentu arah kemana dan bagaimana semesetinya seseorang mengaminkan setiap kebebasan dalam dirinya dalam bertindak. Tindakan yang benar menurut hukum mendatangkan kebaikan yakni moral dan budi yang baik dalam menbatasi setiap kebebasan yang ada. Dan ketiga, norma-norma moral itu sendiri. Kehadiran normal moral menjadikan manusia agar bertindak baik dan benar yang mengarahkan seseorang pada suatu kebijakasanaan. Norma moral yang mengatur setiap tindakan mengantar manusia untuk mengerti dan memahami setiap kaida-kaida dalam tindakannya.

2.2 Kebebasan

Perihal kebebasan dalam kaitannya sangat mengacu pada kehendak pribadi dan subjektifitas atas dorongan dari pribadi sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Namun pemutlakan kata kebebasan yang fundamental mempunyai asas tertinggi hanya dapat disematkan pada otoritas yang transenden dan bukan pada imanen. Kebebasan yang bersifat terbatas atau imanen hanya terdapat dalam pribadi manusia. Di mana kebebasannya hanya berkecipung dalam zona waktu, konteks dan ruang peradaban. Jika kebebasan ini disublimasikan sesuai dengan otoritas dan kehendak yang baik akan memungkinkan kita dapat diterima dimasyarakat luas dan dihargai. Dalam hal ini terdapat dua bentuk kebebasan, antaralain: kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial.

2.2.1 Kebebasan eksistensial

Kebebasan eksistensial pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Manusia bebas berdasarkan kehendak dan kemauannya sendiri. Kebebasan ini bersifat positif artinya kebebasan itu tidak menekan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Pernyataan ini secara eksklusif mensubjekan manusia sebagai patokan itu sendiri, dimana tindakan yang dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu, dengan kesadaran bahwa tergantung pada kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak. Maka, kebebasan eksistensial adalah tanda dan ungkapan martabat manusia, karena kebebasannya, manusia adalah makhluk yang otonom yang dapat menentukan dirinya sendiri dan menentukan sikapnya sendiri. 

 

2.2.2 Kebebasan sosial

Kebebasan ini lebih mengimplikasikan kebebasan terbatas pada tataran sosial, dimana subjek itu menetap atau berada. Kebebasan yang dimilikinya dibatasi dengan kebebasan lainnya. Kebebasan dalam arti ini kemampuan untuk menentukan diri kita sendiri sedemikian dapat kita andaikan hingga tidak kita pikirkan. Dalam hal ini adanya kebebasan yang kita hayati mempunyai hubungan dengan orang lain. Dan kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak secara tidak langsung dibatasi oleh orang lain. Oleh sebab itu, secara hakiki dihayati dalam hubungan dengan orang lain, kebebasan kita akan bersifat sosial.

2.3 Tanggung Jawab dan Kebebasan

2.3.1 Kebebasan sosial dan tanggung jawab

Kebebasan sosial pada umumnya terbatas, faktanya adapun kebebasan lain diluar dirinya. Sebagai makhluk sosial tentulah manusia mempunyai hubungan dan keterikatan dengan yang lainnya. Dalam hal ini, manusia harus hidup bersama dan berdampingan dengan lainnya dalam konteks ruang dan waktu yang sama, dan dengan semangat dan cita-cita bersama yang mendorong untuk dapat memenuhi kebutuhan bersama. Hal ini menggambarkan bahwa dalam kebersamaan yang dilandaskan prinsip di atas tidak adanya sistem persaingan antar anggota. Sebab setiap orang bergerak berdasarkan kesepakatan bersama. Meskipun kebebasan itu secara personal lahir dari pribadi sendiri, namun dalam hubungan sosial kebebasannya harus bertanggung jawab. Pada dasarnya ada dua alasan untuk membatasi kebebasan manusia yakni pertama, hak setiap manusia atas kebebasn yangs sama. Dalam hal ini hak saya atas kebebasan menemukan batasan pada hal yang sesamaku yang sama luasnya. Kedua, pembatas kebebasan saya adalah saya sama semua dengan orang lain, merupakan anggota masyarakat. Saya mempunyai ekstensi, hidup dan berkembang hanya karena pelayanan dan bantuan banyak orang lain. Oleh sebab itu dalam mencapai suatu maksud dan tujuan hidup bersama, secara tidak langsung saya harus mengikuti ketentuan hidup bersama.

2.3.2 Kebebasan eksistensial dan tanggung jawab

Kebebasan eksistensial bukan hanya tanggung jawab, namun apa yang kita putuskan tidak kita dilemparkan pada orang lain, melainkan keputusan itu sendiri harus dipertanggung jawabkan. Sikap dan tindakan yang kita ambil tidak berdiri di ruang kosong, melainkan harus dipertanggung jawabkan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya, terhadap tugas yang menjadikan kita sebagai harapan orang lain. Perihal ini, sekaligus mau menegaskan bahwa kebebasan eksistensial tidak mengharuskan kita untuk bertindak tanpa mengikuti pola dan aturan mainnya. Karena pada intinya kebebasan eksistensial mengaplikasikan peran yang diprakarsai kita sendiri dalam hal kita yang memutuskan sendiri untuk bertindak. Namun batasan itu perlu ada yakni dengan adanya tanggung jawab yang bukan untuk mengekang kebebasan personal, melainkan apa yang lebih dari itu ialah kita harus menghargai kebebasan sosial lainnya yang juga bereksistensi pada ruang dan waktu yang sama.

3.  PENUTUP

3.1 Suara Hati

Suara hati adalah kesadaran moral kita dalam situasi konkret. Kesadaran yang konkret adalah kesadaran yang mujarab dimana, ia menampilkan maksud realitas itu sendiri dan memberi gambaran atau objek kepada subjek agar dapat mempertimbangkan dengan mengandalkan kekuatan budi dan memutuskan secara benar. Dengan demikian, setiap manusia memiliki suatu kesadaran tentang apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Kesadaran itu menggambarkan pengolahan suara hati yang bagus, karena dia mengenal, mengetahui dan mengelolah suara hatinya dengan baik. Adapun kesadaran lainnya yang mengartikan suara hati sebagai pusat kemandirian manusia, dimana tuntutan-tuntutan lembaga-lembaga normatif-masyarakat dengan pelbagai wakilnya, ideologi-ideologi dan juga superego kita sendiri-tidak berhak mengikat hati kita begitu saja, karena kita punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menentukan sendiri dengan mengikuti pola dan aturan yang ada.

3.2 Tolak Ukur Pertanggungjawaban Moral

Sedemikian Nya, permasalahan moral melingkupi ruang lingkup dan konteks dimana manusia memposisikan dirinya sebagai subjek dan objek. Etika profesi yang fundamental yang diharapkan menjadi fundamen pembentukan nilai norma lainnya, nyatanya keaslian dan keabsahan semakin ditantang kemurnian nilai nya yang otentik. Dalam menghadapi problem ini akan ditawarkan tiga teori atau pendekatan, yakni etika peraturan, etika situasi dan relativisme moral. Pertama, etika aturan, ini merupakan pendekatan terhadap moralitas yang ditemukan dalam lingkungan budaya, tradisi dan agama. Pendekatan moralitas yang dimaksudkan ialah agar kita mencapai kebaikan kita sebagai manusia, kemampuan untuk bertanggung jawab. Kedua, etika situasi yang mengharuskan kita untuk bertanggung jawab karena etika ini bersentuhan langsung dengan realitas atau hal yang konkret.  Sebap dalam situasi konkret menjadikan seseorang lebih berkewajiban dan mengharuskan keutamaan moral diutamakan. Ketiga, relativisme moral, etika pendekatan ini terbatas atau moderat dan mengharuskan untuk diterima. Relativisme ini mengatakan bahwa norma-norma moral yang berlaku dalam pelbagai masyarakat dan kebudayaan tidak sama, melainkan berbeda satu sama lain. Relativisme moral lebih mendasarkan dirinya pada hasil pelbagai ilmu, khususnya ilmu etnologi, antropologi, sosiologi dan sejarah. Dengan demikian berbagai etika pendekatan diatas memampukan manusia sebagai kompas atau arah untuk dapat mewujudkan sikap tanggung jawab moralnya dalam kehidupan hariannya.

 

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda