Albertus Mandat Minggu
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pokok
bahasan dalam buku ini secara keseluruhan menguraikan tentang kebebasan yang
dibaharui menjadi “kebebasan dan tanggung
jawab” dengan membedakan antara kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial
yang merupakan tulisan yang sudah diterbitkan dalam buku yang berjudul “Etika
Umum” pada bab pengantar. Dengan adanya kehadiran suara hati menurutnya
ditempatkan dalam konteks yang lebih tepat tentang “mengasah pengertian moral”
serta tentang sikap “sepi ing pamrih” dan “rasa”. Etika normatif, penulis lebih
mengarahkan kepada teori-teori normatif yang lebih relevan pada masa sekarang,
dengan membuang hal-hal yang terlalu spesialistik: tentang prinsip-prinsip
dasar moral yang berkembang. Bagian penutup: berisikan tentang sikap-sikap
kepribadian moral yang kuat. Dan agar pemakaian buku ini lebih efektif dan
supaya cocok untuk pekerjaan kelompok, setiap abab pada bagian akhir akan
disertai dengan sejumlah pertanyaan untuk pendalaman dan pemantapan pengertian
serta dengan satu dan dua buah tugas agar apa yang dialami secara teoritis
dapat diterapkan pada kehidupan nyata.
1.2 Tujuan Penulisan
Menjadi alat
orientasi dari masa yang terdahulu menuju ke masa atau zaman sekarang. Kita
hidup dalam zaman di mana nilai-nilai dan norma-norma kelakuan tradisional
semakin dipersoalkan. Dengan kehadiran buku ini, sebenarnya penulis ingin
memberikan sumbangan yang sederhana agar para pembaca tidak mengalami
kebingungan atau terhanyut dalam proses pancaroba. Adapun tujuan lainnya yang
termuat, yakni untuk menyediakan sarana-sarana teoretis agar pembaca sendiri
dapat menghadapi masalah-masalah moral yang muncul dengan lebih positif, kritis
dan mantap.
II. ISI
2.1 Etika dan Moral
2.1.1 Etika
Etika adalah ilmu yang mencari orientasi. Pendominasian manusia
ialah ia selalu berorientasi pada ruang lingkup waktu dan zamannya yang mampu
membentuk pola dan jati dirinya yang otentik. Pemaknaan makna dari etika
sebagaimana digagaskan penulis dalam buku ini menguat
perihal manusia yang selalu berusaha untuk menjawab suatu bentuk pertanyaan yang amat fundamental; bagaimana saya harus bertindak dan hidup? Apakah suatu tindakan
membutuhkan tanggung jawab? Pada dasarnya etika adalah: pemikiran sistematis tentang moralitas. Yang dihasilkannya secara langsung
bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa etika pada zaman kita
semakin perlu, antaralain: pertama,
kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralitas, juga dalam bidang
moralitas. Pluralitas itu mencakup perbedaan suku, ras, budaya, bahasa dan
simbol-simbol tertentu. Kedua, kita
hidup dalam masa transformative masyarakat yang tanpa tanding. Dalam problem
sosial ini, etika tampil untuk membantu agar kita jangan kehilangan orientasi
dan memampukan kita untuk dapat membedakan apa yang hakiki yang menjadi maksud
awal yang mesti dicapai dan apa yang perlu diperhatikan. Tentulah semuanya ini
dituntut satu sikap tanggung jawab. Ketiga,
etika dapat membuat kita sanggup untuk menghadapi ideologi-ideologi itu dengan
kritis dan objektif untuk membentuk penilaian
sendiri, agar kita tidak terlalu mudah terpancing.
2.1.2 Moral
Dalam
pengertiannya, kata “moral '' selalu mengacu pada
baik-buruknya manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat
dari segi kebaikan sebagai manusia. Dan hal ini, termasuk norma-norma moral.
Norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan
tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan
sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma-norma umumnya dibagi dalam
tiga macam antara lain: pertama, norma-norma
sopan santun. Dalam tindakan mengungkapkan kata dalam perbuatan, manusia perlu
memperhatikan etiket dan etika dalam mengaplikasikan apa yang hendak dilakukan.
Dengan memperhatikan etiket dalam pergaulan manusia akan menjadi pribadi yang
taat akan kehendak dan kemauan pribadi. Seorang dapat mengontrol setia tindakan
dengan memperhatikan etiket dalam pergaulan. Membatasi ruang dan waktu dan
tindakan dan etiket yang benar menunjukan pribadi yang sungguh memahami pa rati
dari sebauh sikap sopan santun. Kedua, norma-norma
hukum. Setiap tindakan yang berdasarkan aturan
dan hukum memampukan manusia dapat
mengorganisir kehidupannya dengan baik dan benar serta selalu mengarah pada
sikap dan tanggung jawab. Hukum menjadi penentu arah kemana dan bagaimana
semesetinya seseorang mengaminkan setiap kebebasan dalam dirinya dalam
bertindak. Tindakan yang benar menurut hukum mendatangkan kebaikan yakni moral
dan budi yang baik dalam menbatasi setiap kebebasan yang ada. Dan ketiga, norma-norma moral itu sendiri.
Kehadiran normal moral menjadikan manusia agar bertindak baik dan benar yang mengarahkan seseorang
pada suatu kebijakasanaan. Norma moral yang mengatur setiap tindakan mengantar
manusia untuk mengerti dan memahami setiap kaida-kaida dalam tindakannya.
2.2 Kebebasan
Perihal
kebebasan dalam kaitannya sangat mengacu pada kehendak pribadi dan
subjektifitas atas dorongan dari pribadi sendiri tanpa adanya tekanan dari
pihak manapun. Namun pemutlakan kata kebebasan yang fundamental mempunyai asas
tertinggi hanya dapat disematkan pada otoritas yang transenden dan bukan pada
imanen. Kebebasan yang bersifat terbatas atau imanen hanya terdapat dalam
pribadi manusia. Di mana kebebasannya hanya berkecipung dalam zona waktu,
konteks dan ruang peradaban. Jika kebebasan ini disublimasikan sesuai dengan
otoritas dan kehendak yang baik akan memungkinkan kita dapat diterima
dimasyarakat luas dan dihargai. Dalam hal ini terdapat dua bentuk kebebasan,
antaralain: kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial.
2.2.1 Kebebasan eksistensial
Kebebasan
eksistensial pada hakikatnya terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan
dirinya sendiri. Manusia bebas berdasarkan kehendak dan kemauannya sendiri.
Kebebasan ini bersifat positif artinya kebebasan itu tidak menekan segi bebas
dari apa, melainkan bebas untuk apa. Pernyataan ini secara eksklusif
mensubjekan manusia sebagai patokan itu sendiri, dimana tindakan yang dilakukan
dengan maksud dan tujuan tertentu, dengan kesadaran bahwa tergantung pada
kitalah apakah kegiatan itu kita lakukan atau tidak. Maka, kebebasan
eksistensial adalah tanda dan ungkapan martabat manusia, karena kebebasannya,
manusia adalah makhluk yang otonom yang dapat menentukan dirinya sendiri dan
menentukan sikapnya sendiri.
2.2.2 Kebebasan sosial
Kebebasan
ini lebih mengimplikasikan kebebasan terbatas pada tataran sosial, dimana
subjek itu menetap atau berada. Kebebasan yang dimilikinya dibatasi dengan
kebebasan lainnya. Kebebasan dalam arti ini kemampuan untuk menentukan diri
kita sendiri sedemikian dapat kita andaikan hingga tidak kita pikirkan. Dalam
hal ini adanya kebebasan yang kita hayati mempunyai hubungan dengan orang lain.
Dan kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak secara tidak langsung dibatasi oleh
orang lain. Oleh sebab itu, secara hakiki dihayati dalam hubungan dengan orang
lain, kebebasan kita akan bersifat sosial.
2.3 Tanggung Jawab dan Kebebasan
2.3.1 Kebebasan sosial dan tanggung
jawab
Kebebasan
sosial pada umumnya terbatas, faktanya adapun kebebasan lain diluar dirinya.
Sebagai makhluk sosial tentulah manusia mempunyai hubungan dan keterikatan
dengan yang lainnya. Dalam hal ini, manusia harus hidup bersama dan
berdampingan dengan lainnya dalam konteks ruang dan waktu yang sama, dan dengan
semangat dan cita-cita bersama yang mendorong untuk dapat memenuhi kebutuhan
bersama. Hal ini menggambarkan bahwa dalam kebersamaan yang dilandaskan prinsip
di atas tidak adanya sistem persaingan antar anggota. Sebab setiap orang
bergerak berdasarkan kesepakatan bersama. Meskipun kebebasan itu secara
personal lahir dari pribadi sendiri, namun dalam hubungan sosial kebebasannya
harus bertanggung jawab. Pada dasarnya ada dua alasan untuk membatasi kebebasan
manusia yakni pertama, hak setiap
manusia atas kebebasn yangs sama. Dalam hal ini hak saya atas kebebasan
menemukan batasan pada hal yang sesamaku yang sama luasnya. Kedua, pembatas kebebasan saya adalah
saya sama semua dengan orang lain, merupakan anggota masyarakat. Saya mempunyai
ekstensi, hidup dan berkembang hanya karena pelayanan dan bantuan banyak orang
lain. Oleh sebab itu dalam mencapai suatu maksud dan tujuan hidup bersama,
secara tidak langsung saya harus mengikuti ketentuan hidup bersama.
2.3.2 Kebebasan eksistensial dan
tanggung jawab
Kebebasan eksistensial bukan hanya tanggung jawab, namun apa
yang kita putuskan tidak kita dilemparkan pada orang lain, melainkan keputusan
itu sendiri harus dipertanggung jawabkan. Sikap dan tindakan yang kita ambil
tidak berdiri di ruang kosong, melainkan harus dipertanggung jawabkan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya, terhadap tugas yang menjadikan kita
sebagai harapan orang lain. Perihal ini, sekaligus mau menegaskan bahwa
kebebasan eksistensial tidak mengharuskan kita untuk bertindak tanpa mengikuti
pola dan aturan mainnya. Karena pada intinya kebebasan eksistensial
mengaplikasikan peran yang diprakarsai kita sendiri dalam hal kita yang
memutuskan sendiri untuk bertindak. Namun batasan itu perlu ada yakni dengan
adanya tanggung jawab yang bukan untuk mengekang kebebasan personal, melainkan
apa yang lebih dari itu ialah kita harus menghargai kebebasan sosial lainnya
yang juga bereksistensi pada ruang dan waktu yang sama.
3. PENUTUP
3.1 Suara Hati
Suara hati
adalah kesadaran moral kita dalam situasi konkret. Kesadaran yang konkret
adalah kesadaran yang mujarab dimana, ia menampilkan maksud realitas itu
sendiri dan memberi gambaran atau objek kepada subjek agar dapat
mempertimbangkan dengan mengandalkan kekuatan budi dan memutuskan secara benar.
Dengan demikian, setiap manusia memiliki suatu kesadaran tentang apa yang menjadi
tanggung jawab dan kewajibannya. Kesadaran itu menggambarkan pengolahan suara
hati yang bagus, karena dia mengenal, mengetahui dan mengelolah suara hatinya
dengan baik. Adapun kesadaran lainnya yang mengartikan suara hati sebagai pusat
kemandirian manusia, dimana tuntutan-tuntutan lembaga-lembaga
normatif-masyarakat dengan pelbagai wakilnya, ideologi-ideologi dan juga
superego kita sendiri-tidak berhak mengikat hati kita begitu saja, karena kita
punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menentukan sendiri dengan mengikuti
pola dan aturan yang ada.
3.2 Tolak Ukur Pertanggungjawaban Moral
Sedemikian
Nya, permasalahan moral melingkupi ruang lingkup dan konteks dimana manusia
memposisikan dirinya sebagai subjek dan objek. Etika profesi yang fundamental
yang diharapkan menjadi fundamen pembentukan nilai norma lainnya, nyatanya
keaslian dan keabsahan semakin ditantang kemurnian nilai nya yang otentik.
Dalam menghadapi problem ini akan ditawarkan tiga teori atau pendekatan, yakni
etika peraturan, etika situasi dan relativisme moral. Pertama, etika aturan, ini merupakan pendekatan terhadap moralitas
yang ditemukan dalam lingkungan budaya, tradisi dan agama. Pendekatan moralitas
yang dimaksudkan ialah agar kita mencapai kebaikan kita sebagai manusia,
kemampuan untuk bertanggung jawab. Kedua,
etika situasi yang mengharuskan kita untuk bertanggung jawab karena etika ini
bersentuhan langsung dengan realitas atau hal yang konkret. Sebap dalam situasi konkret menjadikan
seseorang lebih berkewajiban dan mengharuskan keutamaan moral diutamakan. Ketiga, relativisme moral, etika
pendekatan ini terbatas atau moderat dan mengharuskan untuk diterima.
Relativisme ini mengatakan bahwa norma-norma moral yang berlaku dalam pelbagai
masyarakat dan kebudayaan tidak sama, melainkan berbeda satu sama lain.
Relativisme moral lebih mendasarkan dirinya pada hasil pelbagai ilmu, khususnya
ilmu etnologi, antropologi, sosiologi dan sejarah. Dengan demikian berbagai
etika pendekatan diatas memampukan manusia sebagai kompas atau arah untuk dapat
mewujudkan sikap tanggung jawab moralnya dalam kehidupan hariannya.
Label: Artikel