Kamis, 30 Desember 2021

MARIA SEBAGAI TELADAN DAN MODEL KERENDAHAN HATI

 

                



Albertus Mandat Minggu

 

Diskursus pemahaman tentang kepadatan makna kata ‘’Marialogi’’ secara etimelogis berasal dari bahasa Yunani dari Mariam adalah ibu yang yang mengandung dan melahirkan Yesus, dan logos yang berarti ilmu atau ajaran diskursus. Jadi padanan kata Marialogi adalah diskursus mengenai Maria dan refleksi teologis mengenai Maria, ibu Yesus, kedudukan dan perananya dalam karya penyelamatan Allah.[1] Gereja dalam hal ini, para bapa konsilinaris mencoba merumuskan dan menetapkan suatu doktrin yang valid dengan maksud agar umat beriman dapat mengenal dan memahami Bunda Maria dalam terang iman dan dalam suatu tatanan nalar ratio yang benar.

Dalam tatanan iman Katolik, sosok Bunda Maria dikenal sebagai perantara (mediatrix) akan doa – doa kepada Yesus Kristus sebagai manifestasi Allah. Dalam istilah Latin dikenal dengan ungkapan ‘’ Per Mariam ad Jesum’’yang menyandang arti ‘’dari Maria kepada Yesus’’. Perihal ungkapan ini, sebenarnya mau mengungkapkan suatu relasi yang mendalam yakni relasi yang absolut atau intim antara kedua tokoh penting ini. secara pribadi penulis melihat hal ini sebagai sebuah relasi yang Ilahi dalam persatuan yang mesra dengan Allah Bapa dan Roh Kudus dalam merealisasikan maksud dan rencana Allah dalam menyelamatkan umat manusia.

Soal untuk mencapai kekudusan dan kesalehan yang otentik tidaklah semestinya hanya dengan berkanjang dalam tapa dan doa namun lewat kesaksian hidup dan perilaku moral, etiket sosial mampuh mengantar orang pada wahana kekudusan yang sebenarnya. Pemaknaan soal aksi dan reaksi dalam bahasa Latin yakni dalam ramalan “ora et la bora’’artinya berdoa dan bekerja.  Dalam kekudusan dan kesalehan Bunda Maria, Ia telah menyatakan kedua hal ini. Dimana, setelah menerima kabar dari malekat Gabriel, ia denagn keseluruan iman yang total menaruh semua itu dalam iman akan karya dan penyelenggaraan Kasih Allah. Tidak hanya demikian, ia mampu merealisasikan warta kekudusan itu sampai wafatnya Puteranya dikayu salib.

Berkaitan dengan kekudusan dan kesalehannya tidak hanya berkecimpung para rana peristiwa kelahiran sampai wafat Putranya, namun kekudusan Bunda Maria sudah terpenuhi dan terjaga sejak masih mudahnya. Dalam masyarakat Yahudi ia dikenal sebagai wanita yang saleh dan terhormat. Biografinya mengungkapkan, ia seorang wanita saleh yang mengahabiskan seluruh hidupnya di dalam Bait Allah sebagai penjahit kain. Dalam hal ini, ia dikenal kudus karena cara hidupnya dan keasaksian hidupnya sebagai anak Abraham dan bukan soal bnyaknya doa dan sujud sembah yang dibaktikan.  Sebagai orang Kristen sejati kita hendaknya mengrahkan hidup pada model dan kesaksian demikian yang bukan untuk kepentingan ego kesucian semata, tetapi untuk pebenaran makan hidup yang otentik sebgai makluk yang istimewa.

 

 

 

 

 



[1] Sefri Juhani, Eklesiologi – Misteri Gereja dan Maria (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), hlm. 74.

Label:

Rabu, 29 Desember 2021

DUNIA SEBAGAI GAMBARAN REALITAS YANG ADA

 


Albertus Mandat

Pertalihan dunia ilmu pengetahuan dalam peredaran zaman semakin memanas dalam tolak ukur mencari dan menemukan dimensi transenden. Pertarungan para filsuf dan para sejarawan dalam bidang intelektual mengikhtiarkan bahwa yang “Ada”itu belum menemukan titik pencapaian. Dalam tulisan ini penulis ingin mengulas sedikit lebih jauh apa itu “dunia sebagai gambaran realitas yang ada”. Penulis tidak bermaksud untuk membatasi ruang lingkup tentang “ada” namun ingin mengembangkan lebih jauh dalam konteksitas dan perspektif tentang tema di atas. Apa yang kan penulis gagaskan merupakan hasil dari kajian refleksi dan penobservasian penulis tentang “ada”. Demikianlah pandangan itu bahwa: “dunia merupakan kumpulan gagasan dan ide yang memuat kumpulan materi hylle yang disubordinasikan ke dalam beragam bentuk dan nilai. Dalam setiap kekhasannya dari kumpulan itu adalah merupakan transformasi dari Sang Ada yakni Dia yang tidak terpikirkan dan tidak terjangkau oleh daya power intelek rasio manusia”. Dia yang adalah Sang Ada itu tidak bersubjek dan berbentuk dan diluar rana pemikiran manusia yang terbatas. Seperti yang digagaskan para filsuf bahwa manusia hanya mampu sampai pada pengalaman bersifat indrawi atau pengalaman empiris dan berdasarkan pandangan ini adapun filsuf lainnya yang menganggapnya demikian yakni sebenarnya manusia sampai pada pengalaman yang bersifat transenden yakni melalui penelusuran jiwa yang terdapat dalam tubuh manusia.

Manusia pada dasarnya termuat oleh tiga unsur pembangun yakni adanya dimensi tubuh,jiwa dan roh. Dari ketiga dimensi ini mempunyai peranan masing-masing yakni tubuh sebagai realitas yang kelihatan yang merupakan gambaran dari materi yang ada dan jiwa psyche merupakan suatu dimensi tranceden yang tidak mampu dijangkau oleh akall budi dia hanya mampu sampai melalui pengalaman kontemplasi dan refleksi yang mendalam dan roh adalah sesuatu yang mutlak karena tidak berbentuk dan roh merupakan gambaran kesatuan materai yang terungkap dan tertekan dalam tubuh dan jiwa. Ketiga dimensi ini saling berhubungan membentuk suatu kesatuan yang otentik. Namun dalam penulisan ini penulis hanya menekankan peranan jiwa. Dan jiwa itu hanya ada pada manusia semata. Dunia yang penulis maksudkan lebih kepada manusia, karena dalam manusia terdapat unsur perlengkapan yakni unsur ilahi dan duniawi. Dalam pendominasian dalam berbagai bidang sebagainnya dari fakta realitas manusia mempunyai peran dominan melalui pemersatu dengan yang lainnya. Pemersatuan itu dengan alam nature dan realitas yang lainnya yang tidak berbentuk dan berbentuk morfisne.

Label:

Kamis, 23 Desember 2021

WASIAT JEMARIKU UNTUKMU BUNDA MARIA

     ilustrasi pinterest

By: All

Mama...

Mama...dalam kesunyian kata aku memanggil mu, wahai Bunda Sang Khalik kalimat,

Selaksa kata, seciut surat kasihku, kini semakin menemukan dermaga pengharapan di ujung Senjaku,

Mama, serapal doa dan seuntaian kata sukma dari mada pujian hariku, engkau selalu ada,

Aku adalah jiwamu yang lain yang sedang merangkai kata dalam ziarah suci ini,

 

Mama...

Aku adalah namamu dan engkau adalah Sang Khalik kalimat bagiku,

Keagungan namamu adalah sukacita bagiku, karena Sang Pangeran Surya Keadilan junjunganku,

Dia dari sediakalah telah menetapkan aku dalam guratan jemari-Nya,

Dari perawalan waktu akupun selalu dan sudah ada karena namamu, mama

Aku dan mama adalah kepenuhan dalam kasih-Nya

 

Mama...

Selaska dunia ini seakan semakin menyimpulkan kata pada makna yang tersembunyi,

Namun guratan kata namaku adalah misteri dalam keabadian namamu,

Kini mama, aku telah menyulam namaku dalam getaran kisah dan kasih hidupku,

Sulam itu adalah rentetan kisah sembilumu yang lalu bersama Sang Pangeran,

 

Dan kini mama...

Akupun bersama Sang Pangeran Senja sedang meniti kisah kami,

Kisah kami dalam seuntaian jeritan pergalamamu di masa lalu,

Kini namaku yang adalah sekatan jiwamu yang telah berarti bersama Sang Senja,

Namaku adalah namamu mama,

Aku hanyalah namamu, Bunda.

 

Label:

Kamis, 16 Desember 2021

PEMBANGUNAN MASYARAKAT AKAR RUMPUTSEBAGAI SEBUAH PRINSIP KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS


 

    Ilustrasi Pinterest

PEMBANGUNAN MASYARAKAT AKAR RUMPUT

SEBAGAI SEBUAH PRINSIP KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS

oleh:

Albertus Mandat Minggu

Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

Email: albertmandat@gmail.com

Abstrak

Produktivitas perwujudan masyarakat yang adil dan sejahtera menjadi suatu problem yang hangat di era globalisasi ini. Perwujudan nilai keadilan sosial dalam pandangan John Rawls dicekam dengan berbagai tantangan dari berbagai sudut lapisan kapitalisme, para pemikir demokrasi liberal, dan paham utilitarianisme. Penekanannya ialah pada sikap manipulasi dan sikap yang kompromistis yakni melegalkan perbuatan ketidakadilan dengan mengatasnamakan sebagai kaum penegak dan pejuang keadilan dalam sebuah sistem totaliter. Di mana dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat akar rumput banyak terjadi perlakuan ketidakadilan antara lain kekerasan, diskriminasi, melegalkan keadilan dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat umum. Problem ini dikritik oleh John Rawls atas kegagalan dari perjuangan paham utilitarianisme tentang keadilan sosial. John Rawls menawarkan dua prinsip keadilan demi terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat akar rumput, antara lain: prinsip pertama ialah The Greatest Equal Principle yaitu prinsip yang mengedepankan persamaan hak, dan prinsip kedua ialah The Different Principle atau dikenal dengan The Principle of Equality of Opportunity.

Kata-kata Kunci: pembangunan, masyarakat akar rumput, keadilan sosial, prinsip keadilan

 

1.   PENDAHULUAN

 

Negara yang bersistem demokrasi dibangun dari masyarakat yang plural dalam bidang keyakinan, dalam bidang ideologi, dan agama, mempunyai tingkatan pendidikan yang bervariasi, mempunyai tingkatan ekonomi dan strata sosial yang dihidupi. Berbagai lapisan yang ada mengungkapkan suatu sistem yang berbeda dari lapisan masyarakat yang ada. Lapisan masyarakat yang berbeda akan berpengaruh pada tingkat dan lapisan sosial masyarakat, pada pendapatan dan penghasilan, pada lapisan kelas sosial dalam bidang ekonomi, dan berpengaruh pada tingkah laku masyarakat. Dengan perbedaan yang akan melahirkan suatu pandangan yang bersifat memisahkan diri atau kelompok dari kelompok lainnya yang kurang berpengaruh dan berkembang dalam berbagai lapisan yang ada. Hal ini akan berdampak buruk pada tindakan kebebasan dalam hal mengekspresikan diri.

Tingkatan perbedaan yang ada sangat berpengaruh pada tindakan kebebasan dalam bidang keadilan dalam lingkup kehidupan masyarakat akar rumput. Sementara keadilan itu adalah suatu hasil kesepakatan bersama dalam suatu bangsa atau negara demi tercapainya kesejateraan dan kebahagian hidup bersama. Keadilan menurut John Rawls adalah prinsip dari kebijakan rasional  yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan kelompok  masyarakat.[1] Jika dipastikan bahwa keadilan dalam dunia zaman sekarang hanya sebagai sebuah slogan tanpa mengenal dan mengetahui keadaan masyarakat dalam suatu bangsa, maka keadilan yang ada hanya bersifat instrumentalisasi. Hal ini akan berdampak buruk pada masyarakat akar rumput. Terhadap masalah demikian John Rawls menegaskan bahwa penegakan nilai keadilan itu harus dihasilkan dari posisi asali.

Dalam mencapai model keadilan demikian, rakyat harus berperan sebagai subjek pembentukan yang terungkap dalam kehidupan berkomunitas demi mencapai kesepakatan bersama. Menurut Rawls dalam keadilan itu harus berlaku suatu sistem yang dikembangkan menjadi suatu konsep kesepakatan yang sama sebagai prinsip keadilan.[2]

2.   ISI

2.1    Biografi John Rawls

            John Rawls merupakan seorang filsuf dari Amerika Serikat yang hidup pada abad ke-20. Dalam karya-karya dan tulisannya ia dikenal sebagai sosok yang melahirkan dan mencetuskan nilai-nilai, pikiran dan argumentasinya tentang keadilan. Ia dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada tanggal 21 Februari 1921 dari sebuah pasangan yakni dari Wiliam Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Pada masa kecilnya ia sering mengalami sakit akibat virus diphtheria dan pneumonia. Meskipun penyakit yang dideritanya sangat memprihatinkan, namun kakaknya selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk dirinya untuk masuk dalam sekolah. Setelah menyelesaikan sekolah dasaranya, kemudia ia melanjutkan sekolah di di Princeton University pada 1939. Dalam menempuh kuliah di Universitas ini, akhirnya dia sangat tertarik dengan dunia filsafat. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya. [3]Di universitas Princeton, Ia menyelesaikan studi untuk merai gelar doktoral dalam bidang filsafat moral. Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “Astudyin the Grounds of Ethical Knowledge:Consideredwith Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.).[4]Selama masa hidupnya, John Rawls ssempat dipercaya untuk memegang beberapa jabatan penting. Diantaranya, yaitu Presiden American Association of Political and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the Eastern Division of the American Philosophical Association (1974), dan Professor Emeritusdi James Bryant Conant University, Harvard (1979). Selain itu, dirinya juga terlibat aktif dalam the American Philosophical Society, the British Academy, dan the Norwergian Academy of Science.[5]

            Dalam perjuangannya untuk menegakan nilai keadilan, di telah berhasil menulis berbagai karya besarnya dalam berbagai teori dan argumentasi yang dihadirkan kepada para muridnya dan kepada semua orang pada zamannya.       Berbagai hasil karya dan pemikiran yang dihasilkannya sebagai berikut, antara lain: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip perbedaan  (two  principle  of  justices),  (2)  Posisi  asali  dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik (public reason).[6]

      

2.2    Dua Prinsip Keadilan John Rawls

2.2.1   Prinsip Keadilan Umum

Dalam posisi asali John Rawls merumuskan prinsip umum dengan menekankan pada inti persamaan dalam sebuah tindakan keadilan. Prinsip umum yang dirumuskan John Rawls sebagai berikut: Semua nilai-nilai sosial-kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis hargadiri-harus  didistribusikan secara  sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang menguntungkan orang-orang yang  paling tidak beruntung (Rawls:1971,h.62).[7]

Kosepsi umum dari prinsip keadilan yang dirumuskan oleh Rawls mau mengungkap tentang jati dirinya sebaga seorang egalitarian yang tidak radikal, di mana Jonh Rawls menerima kedua prinsip yang ada yakni sebagai prinsip persamaan (equality) dan ketidaksamaan (unequality). Di mana dari kedua prinsip yang ada terdapat nilai-niali sosial yang berguna dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sosial dari prinsip persamaan dan ada pengakuan ketidaksamaan namun tetap diterima sebagai adanya sikap saling menghargai perbedaaan dalam sebuah kesatuan dalam masyarakat sosial. Dari kedua konsepsi prinsip keadilan yang dikemukakan John Rawls pada dasarnya menyinggung tentang kedua hal ini yakni mengenai prinsip persamaan dan ketidaksamaan dalam penerapan prinsiip keadilan di tengah masyarakat sosial.

Dengan ada prinsip persamaan (equaliy) dan prinsip ketidaksamaan (unequality) yang ada, kita dapat menyimpulkan bahwa John Rawls sedang berusaha untuk memahami prinsip keadilan sosial di tengah masyarakat. Maksudnya ialah dengan kedua prinsip yang ada, bagaimana tidakan yang mesti diambil sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial di tengah konteks hidup masyarakat luas. Ketimpangan sosial dalam hal berhubungan erat dengan penerapan nilai keadilan yang seharusnya untuk menyikapi perbedaan dalam setiap kelompok masyarakat yang ada. Mengahadapi persoalan di atas, John Rawls menegaskan bahwa hak-hak dan  kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep keadilan khusus ini memiliki prioritas  utama atas keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi (Rawls:1971, h.250).[8] Dalam perebedaan yang ada mestinya harus dihargai dengan mengedepankan sikap toleransi sehingga tidak menimbulkan pertentangan antara persamaan dan ketidaksamaan.

2.2.2   Prinsip Keadilan Khusus

Dalam kaitan dengan prinsip keadilan khusus John Rawls mengemukakan dua buah pikirannya yang mengarah pada keadilan distribusi sebagai prinsip keadilan di tengah persamaan. Rawls mengatakan bahwa 1. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang;2. Ketidaksamaan  sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memberi keuntungan  bagi bagi orang-oang yang paling tidak beruntung, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang (Rawls:1971, h. 60).[9]

Prinsip kebebasan harus mendatangkan kesetaraan dalam memperoleh hak dan kewajiban yang sama lingkup masyarakat luas. Dalam hal ini, John Rawls sangat menekankan prinsip keadilan yang mesti harus diterapkan dalam setiap kebebasan-kebebasan yang ada dalam masyarakat.

Artinya dengan prinsip yang ada berarti Rawls  tidak  mengharuskan bagian  semua orang  adalah sama, seperti kekayaan,  status, pekerjaan dan lainnya, karena hal itu tidak mungkin, melainkan bagaimana ketidaksaaman tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan, kerja sama dan kaitan saling menguntungkan juga  membutuhkan di antara mereka.[10] Sehingga masyarakast sosial dapat mengekspresikan kebebasannya dalam keadilan yang ada. Prinsip kebebasan harus mendasari keadilan agar terciptalah suatu sistem yang mengatur tentang hak dan kewajiban yang mesti dihidupi dan dijaga dalam kehidupan masyarakat.

Prinsip keadilan yang sangat menekankan kerja sama akan melahirkan suatu keputusan dalam satu ikatan sosial. Di mana segala kekayaan, harta benda, barang-barang dimiliki secara bersama. Dengan adanya kerja sama demikian akan mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan bersama dalam hubungan antar kelompok sosial yang ada. Artinya, keadilan dipahami sebagai identik dengan tujuan memperbesar keuntungan sosial-ekonomi,sehingga ruang bagi perjuangan untuk kepentingan diri setiap orang menjadi sempit. Akibatnya, prinsip kebebasan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat dihalalkan.[11]

2.3    Keadilan sebagai Fairness

Keadilan sebagai fairness adalah sebuah prinsip keadilan yang secara umum menekankan prinsip keadilan yang semestinya diterima dan didasarkan dalam kehidupan masyarakat luas dalam kaitan dengan penentuan hak dan kewajiban. Di mana dalam penentuan hak dan kewajiban itu adanya suatu jalilan dan hubungan kerja sama antar sosial masyarakat.

Dalam kerja sama antar sosial masyarakat diikat dengan adanya ketentuan hukum dan aturan totaliter yang mengikat sehingga masyarakat merasa kurang nyaman dalam berkerja sama. Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya (Rawls: 1971, h. 4-5).[12]

            Penekanan Rawls pada prinsip keadilan sebagai fairnessjuga merupakan suatu sikap keberpihakan Rawls terhadap kehidupan masyarakat akar rumput. Di mana, kehidupan masyarakat akar rumput banyak mengalami tindakan ketidakadilan dari suatu kelompok tertentu yang sangat mengedepankan keuntungan sepihak dan tanpa memperhatikan kesejatraan kelompok atau masyarakat lainnya. Dan juga berkaitan dengan hak dan kewajiban banyak dimanipulasi dengan ketentuan hukum yang mengatur sehingga masyarakat kelas bawah banyak mengalami tindakan ketidakadilan. Dalam pandangannya Rawls mengatakan bahwa:

Penekanan terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja samasosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan secara nyata, serta menanggung beban yang sama Karenanya, agar menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial (Rawls: 1971, h. 4.).[13]

            Dalam kesepakatan teori prinsip fairness John Rawls agar tidak terjadi keberpihakan yang mengarah pada kepentingan dan keuntungan pribadi. Namun sangat ditekankan keadilan prosedural murni sebagai prinsip dari keadilan fairness. Dengan berpegang pada prinsip yang ada akan adanya keadilan ditengah kehidupan masyarakat akar rumput. Di mana nilai dan kebebasan dalam kerja sama antar masyarakat dapat saling menguntungkan satu sama lain dan terciptanya kebebasan dalam keadilan demi tercapainya kesejateraan bersama.

2.4    Keadilan dalam Penataan Masalah Ketidakadilan terhadap Masyarakat Akar Rumput

            Pandangan Rawls tentang keadilan langsung berhubungan dengan masyarakat sosial dalam usaha kerja sama demi kepentingan bersama. Kendatinya ada hubungan kerja sama ini akan mendatangkan keutungan dan kesejateraan bersama. Prinsip keadilan John Rawls berkontribusi terhadap upaya politik untuk pemberdayaan masyarakat akar rumput.

            Secara politik masyarakat akar rumput adalah kelompok yang aspirasi politiknya tidak terwakilkan dalam perumusan kebijakan publik. Secara ekonomi masyarakat akar rumput adalah kelompok masyarakat yng memiliki rata-rata pendapatan yang begitu rendah. Secara kultural, mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup dengan pandangan dunia (worldview) yang jauh dari klaim modernitas. Lagi pula sekarang ini, ancaman nyata perubahan iklim (climate change) sangat berdampak pada eksitensi masyarakat akar rumput. Selain ruang hidup mereka yang dekat dengan alam, tetapi karena kondisi hidup mereka terus menurun diakibatkan oleh pencemaran lingkungan pada wilayah dunia lain.

            Dalam konteksitas demikian, prinsip keadilan John Rawls menjadi sangat urgen dan relevan. Pertama, prinsip keadilan Jonh Rawls  ialah “setiap orang harus memiliki hak sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang”. Dengan adanya prinsip ini, hendak ditegaskan bahwa masyarakat akar rumput berhak atas kondisi kehidupan yang lebih layak kepada arah kesejahteraan. Dan bahwa mereka berhak menutut persamaan yaitu hak didepan sistem politik ekonomi dan hukum, sebagaimana orang-orang kaya lainnya. Mereka juga berhak atas distribusi kekayaan negara, subsidi pemerintahan, atau bentuk tanggung jawab negara lainnya yang mesti dialami secara konkret oleh masyarakat akar rumput. Dalam hal ini, kebebasan politik baik untuk menyuarakan kehendak politis mereka maupun untuk memperoleh jaminan politis yang sama adalah deretan hak masyarakat sipil harus dipenuhi oleh negara.

            Kedua, prinsip kedua John Rawls mengatakan bahwa distribusi kekayaan negara mesti menguntungkan kelompok yang paling rentan, dan bahwa jabatan politik mesti terbuka secara fair. Masyarakat akar rumput mengalami keterbelakangan dan ketimpangan dalam hal penerimaan distribusi kekayaan negara. Di mana pada umumnya uang negara dikorupsi oelh elit politik ekonomiyang menguntungkan diri mereka sendiri. Hal lainnya adalah sistem ekonomi trickle down effect yang menegaskan bahwa masyarakat misikin akan makmur jika kelas elit terlebih dahulu makmur. Dan ini merupakan suatu penipuan publik. Berkaitan dengan jabatan publik, masyarakat akar rumput tidak memiliki aksesyang terbuka dan setara. Mereka rentan ditolak atau diasingkan dari kontestasi jabatan politis. Lagi pula, biaya demokrasi begitu mahal sehingga mereka hanmpir tidak dapat masuk ke dalamnya.

 

2.5    Catantan Kritis

Hemat saya, dua prinsip keadilan menurut Rawls ini sangat penting dan relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, dua prinsip keadilan menurut Rawls ini tentunya berangkat dari realitas-realitas yang terjadi selama ini di berbagai Negara di dunia. Rawls sendiri juga ingin “mengembalikan” dua prinsip keadilan itu kepada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara di mana pun dan kapan pun. Tujuannya jelas ialah untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih bermartabat di dalam kehidupan bersama sebagai satu bangsa dan Negara. Konkretnya, dua prinsip keadilan menurut Rawls ini bertujuan menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur, dan sejahtera untuk seluruh elemen masyarakat, bukan hanya untuk segelintir orang.

Namun, berdasarkan realitas sosial yang terjadi selama ini, refleksi dan pemikiran Rawls tentang dua prinsip keadilan itu hemat saya akan berfaedah jika Negara (dalam hal ini pemerintah pusat, pemerintah daerah, sampai pada tingkat pemerintahan yang paling bawah) sadar dan tahu diri. Sebab, dua prinsip keadilan Rawls ini sangat bergantung pada “belaskasihan” negara kepada masyarakat akar rumput. Negara yang memiliki opsi untuk menghadirkan keadilan bagi masyarakat akar rumput sebagai masyarakat yang paling tidak beruntung. Dalam hal ini, keadilan terhadap masyarakat akar rumput ditentukan oleh Negara. Masyarakat akar rumput tidak punya daya dan kekuatan untuk menentukan sendiri keadilan bagi mereka jika Negara tidak peduli dan tidak berpihak kepada mereka.

Kondisi ini makin diperparah oleh kenyataan bahwa Negara saat ini justru sedang mempertontonkan keegoisan dan keserakahan mereka. Negara melakukan ketidakadilan terhadap masyarakat kecil lewat “perselingkuhan yang mesra” bersama kaum oligark dan kaum kapitalis. Mereka menikmati perselingkuhan itu sembari mengabaikan teriakan dan tangisan masyarakat akar rumput. Akibatnya, Negara melupakan tugas utamanya untuk mengayomi, merangkul, dan menyejahterakan rakyat seluruhnya dan malah lebih mengutamakan “kesejahteraan yang overdosis” dari kaum oligark dan kaum kapitalis.

Hal ini hampir terjadi di seluruh Negara di dunia. Di Indonesia, hal ini juga sudah menjadi hal yang lumrah. Menurut saya, berdasarkan fakta historis dari Negara Indonesia sejak berdirinya sampai saat ini, perselingkuhan yang mesra antara Negara dengan kaum oligark dan kaum kapitalis itu sudah mulai terjadi di Indonesia sejak zaman Orde Baru sampai saat ini. Ada banyak realitas yang menunjukkan konspirasi Negara dengan kaum oligark maupun kaum kapitalis di pelbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial-budaya, olahraga, lingkungan hidup, dan lain-lain. Di dalam “permainan” mereka, masyarakat sebagai basis eksistensi dari sebuah Negara hanya menjadi alat, sarana, budak, penonton, dan penghibur yang menghibur mereka di saat mereka sedang membutuhkan kehadiran masyarakat. Pada titik ini, saya bisa katakana bahwa Negara dengan begitu gagah dan percaya diri menunjukkan dan mempertontonkan perilaku dan tindakan picik di hadapan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat kecil yang kian hari makin parah dan memprihatinkan.

Oleh karena itu, menurut saya, dua prinsip keadilan Rawls akan berfaedah jika dua prinsip keadilan itu diketahui dan dipahami oleh Negara. Jika Negara tahu dan paham dengan prinsip keadilan Rawls, hemat saya, keadilan bagi masyarakat kecil itu perlahan-lahan ada dan menjadi milik masyarakat kecil. Sebab dengan demikian, Negara akan sadar bahwa eksistensinya bukan untuk kaum oligark dan kaum kapitalis, melainkan untuk masyarakat yang sedang membutuhkannya, khususnya masyarakat yang paling tidak beruntung.

Ketika Negara bisa sadar dan mengerti dengan semuanya itu, kebijakan politik dan pelbagai keputusan yang diambil oleh Negara akan berpihak kepada terwujudnya keadilan dan kesejahteraan hidup bagi masyarakat kecil, bukan keadilan dan kesejahteraan hidup kaum oligark dan kaum kapitalis. Dalam hal ini, Negara akan lebih dengar dan peka dengan teriakan dan jeritan masyarakat kecil daripara rayuan dan bujukan kaum oligark dan kaum kapitalis yang sudah sering menghancurkan Negara pada umumnya dan kehidupan masyarakat kecil pada khususnya. Konkretnya, ketika Negara paham dan mengerti dengan dua prinsip keadilan Rawls itu, pelbagai kebijakan dan keputusan politik diambil dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kecil, bukan kebutuhan “perut” kaum oligark dan kapitalis yang sesungguhnya sudah penuh bahkan sesak. Dengan demikian, Negara tidak lagi menyembah kepada kaum oligark dan kaum kapitalis, tetapi mengabdikan diri kepada masyarakat dengan sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan masyarakat kecil.

Akhirnya, hemat saya, pemikiran Rawls tetap relevan dan penting. Syaratnya, pemikiran semacam itu pertama-tama mesti diketahui dan dipahami oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mengambil kebijakan dan menentukan tujuan dan arah kehidupan Negara, yaitu Negara itu sendiri. Sebab, keputusan-keputusan mereka sangat menentukan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan sebuah Negara ke arah yang lebih baik saat ini dan di masa-masa yang akan datang. Dalam hal ini, nasib masyarakat kecil sangat bergantung pada keberpihakan Negara, walaupun sesungguhnya masyarakat kecil juga memiliki kemampuan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Namun, dalam konteks ini, masyarakat kecil sudah memberikan kepercayaan kepada Negara untuk menentukan nasib mereka juga secara struktural dan prosedural. Makanya, Negara memiliki daya dan kekuatan untuk menentukan nasib masyarakat seluruhnya.

 

3.   PENUTUP

Berdasarkan ulasan-ulasan di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa keadilan bagi masyarakat yang paling tidak beruntung merupakan sebuah idaman atau mimpi atau cita-cita yang harus terus diperjuangkan. Memang tidak mudah, tetapi teori, pemikiran, dan pelbagai pengetahuan seperti pemikiran Rawls memiliki makna penting bagi perjuangan itu. Asalkan, teori, pemikiran, dan pengetahuan semacam itu terus disosialisasikan, dikembangkan, bahkan direproduksi dalam kehidupan bersama. Agar dengan demikian, perjuangan untuk mencapai keadilan itu tidak akan pernah berhenti, tetapi terus berlanjut sampai keadilan bagi masyarakat yang paling tidak beruntung itu benar-benar terwujud.

 



[1]Dewi Setyowati, “Memahami Konsep Restorative Justice Sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana Menggapai Keadilan” dalam jurnal Pandecta, 15:1 (Surabaya, 15 Juni 2020), hlm. 122.

[2]Oinike Natalia Harefa, “Ketika Keadilan Bertemu dengan Kasih” dalam jurnal ilmiah Teologi, Pendidikan Sains, Humaniora dan Kebudayaan, 31:13 (Philipphines, 06 May 2020), hlm. 40.

[3]Pan Mohammad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls” dalam Jurnal Konstitusi 6:1 (Indonesia, 1 April 2019), hlm. 136.

[4]Ibid.

[5]Ibid., hlm. 137.

[6]Ibid., hlm. 139.

[7]Iqbal Hasanuddin, “Keadilan Sosial: Telaah Atas Filsafat Politik John Rawls”, dalam jurnal Refleksi 17:2 (Universitas Bina Nusantara, Oktober 2018), hlm. 198.

[8]Ibid., hlm.198.

[9]Ibid.

[10]A. Khuadori Saleh, “Mencermati Teori Keadilan Sosial John Rawls”, dalam jurnal Ulul Albad 5:1 ()

[11]Ibid., hlm. 182.

[12]Iqbal Hasanuddin,op. cit., hlm.195.

[13]Ibid.

Label:

Senin, 13 Desember 2021

JUBAH YANG BERBAU DOMBA SEBAGAI KONKRETISASI PRINSIP KEADILAN JOHN RAWLS


                         Ilustrasi Pinterest

                      Albert Mandat

 

1.   PENDAHULUAN

Pada dasarnya panggilan hidup itu mengarahkan seseorang pada model dan sikap pembaktian diri yang khusus kepada yang ilahi melalui suatu model hidup dalam dunia spirtitual. Model dan arah pembaktian diri mengarah seseorang pada suatu visi dan misi yang mestinya dijalankan dan dihidupi. Visi dan misi yang ada, seakan menjadi kompas untuk menunjuk arah dan tujuan yang hendak dicapai. Mengenal dan menjalankan misi berarti mengenal dan memaknai panggilan itu sendiri. Panggilan itu harus terlahir dari suatu jawaban yang bebas tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Sebab pada dasarnya kebebasan itu menentukan jati diri seseorang dalam mengambil sikap dan tindakan mana yang baik dan berguna bagi kepentingan bersama. Keadilan menutut John Rawls adalah merupakan prinsip dari kebijakan rasional  yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejateraan kelompok  masyarakat.[1] Asalkan tindakan itu berasal dari motivasi yang murni.

Dasar pembetukan demikian menjadi modal awal bagi seseorang yang ingin berkarya dalam bidang misi. Namun jika dipastikan dalam term “panggilan” mengandung beberapa hal antara lain sebagai berikut: Pertama, Panggilan seseorang layaknya dapat dianalogikan seperti kita menerima pesan message dari teman atau kerabat kenalan. Hal ini menggambarkan suatu bentuk korelasi dalam jalinan relasi satu dengan yang lain demi suatu maksud yang dituju. Kedua, Kerabat atau kenalan yang dianalogikan diandaikan sebagai Tuhan yang memanggil. Ketiga, Pesan yang dikirim Tuhan mengharuskan kita untuk menyiapkan hati dan budi untuk mengikuti, berkomitmen dan selalu meyerahkan diri yang total kepada Allah.

Panggilan hidup untuk berkarya dalam konteksitas dunia zaman sekarang sungguh sangat diharapkan. Di mana jika dilihat dari berbagai problem yang ditimbulkan antara lain: penindasan, kekerasan, percecokan, manipulasi kepentingan sepihak dan aduan nalar politik yang serampangan demi pemungutan keuntungan pribadi sunggu sangat membumi dalam setiap sudut kehidupan manusia. Di mana pada umumnya, manusia yang hidup pada zaman modern ini lebih bersifat individual. Hal ini dapat dilihat dari tingkatnya sikap ego dalam diri dalam mengendepankan prestasi dan pretise tanpa mempedulihkan kelompok lainnya. Dengan adanya tindakan demikian, maka terjadi ketimpangan sosial dalam segala lapisan. Dan yang menjadi dampak dari tindakan yang ada ialah masyarakat akar rumput. Di mana menurut John Rawl bahwa dengan adanya tindakan ketidakadilan ditengah masyarakat maka, hak dan kewajiban masyarakat kecil akan dirampas dan dimanipulasi dengan mengedepankan kebebasan yang bercokol pada penetapan aturan yang mengikat. Hal ini akan berdampak buruk pada masyarakat kecil.

Oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis ingin mengulas kajian nalar pemikirannya dalam melihat dan mendalami prinsip keadilan John Rawls dalam kaitan dengan semagat misi yakni jubah yang berbau domba. Dengan tulisan yang ada penulis bermaksud sedikit menyumbang dasar pemikirannya dalam kaitan dengan semangat misi itu sendiri dalam terang pemikiran John Rawls tentang prinsip keadilan.

2.   ISI

2.1 Biografi John Rawls

            John Rawls merupakan seorang filsuf dari Amerika Serikat yang hidup pada abad ke-20. Dalam karya-karya dan tulisannya ia dikenal sebagai sosok yang melahirkan dan mencetuskan nilai-nilai, pikiran dan argumentasinya tentang keadilan. Ia dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada tanggal 21 Februari 1921 dari sebuah pasangan yakni dari Wiliam Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Pada masa kecilnya ia sering mengalami sakit akibat virus diphtheria dan pneumonia. Meskipun penyakit yang dideritanya sangat memprihatinkan, namun kakaknya selalu memberikan motivasi dan dorongan untuk dirinya untuk masuk dalam sekolah.

            Setelah menyelesaikan sekolah dasaranya, kemudia ia melanjutkan sekolah di di Princeton University pada 1939. Dalam menempuh kuliah di Universitas ini, akhirnya dia sangat tertarik dengan dunia filsafat. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya.[2] Di universitas Princeton, Ia menyelesaikan studi untuk merai gelar doktoral dalam bidang filsafat moral. Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.).[3] Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya untukmemegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu PresidenAmerican Association of Politica  and  Legal  Philisopher  (1970-1972), Presiden the Eastern Division of the American Philosophical Association(1974), dan Professor Emeritus di James Bryant ConantUniversity,Harvard  (1979).  Selain  itu,  dirinya  juga  terlibat  aktif  dalam  theAmerican Philosophical Society, the British Academy, dan the NorwergianAcademy of Science.[4]

            Dalam perjuangannya untuk menegakan nilai keadilan, di telah berhasil menulis berbagai karya besarnya dalam berbagai teori dan argumentasi yang dihadirkan kepada para muridnya dan kepada semua orang pada zamannya.       Berbagai hasil karya dan pemikiran yang dihasilkannya sebagai berikut, antara lain: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip perbedaan  (two  principle  of  justices),  (2)  Posisi  asali  dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik (public reason).[5]

 

2.2    Keadilan sebagai Fairness

Keadilan sebagai fairness adalah sebuah prinsip keadilan yang secara umum menekankan prinsip keadilan yang semestinya diterima dan didasarkan dalam kehidupan masyarakat luas dalam kaitan dengan penentuan hak dan kewajiban. Di mana dalam penentuan hak dan kewajiban itu adanya suatu jalilan dan hubungan kerja sama antar masyarakat sosial. Dalam kerja sama antar sosial masyarakat diikat dengan adanya ketentuan hukum dan aturan totaliter yang mengikat sehingga masyarakat merasa kurang nyaman dalam berkerja sama. Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya (Rawls: 1971, h. 4-5).[6]

            Penekanan Rawls pada prinsip keadilan sebagai fairness juga merupakan suatu sikap keberpihakan Rawls terhadap kehidupan masyarakat akar rumput. Di mana kehidupan masyarakat akar rumput banyak mengalami tindakan ketidakadilan dari suatu kelompok tertentu yang sangat mengedepankan keuntungan sepihak dan tanpa memperhatikan kesejatraan kelompok atau masyarakat lainnya. Dan juga berkaitan dengan hak dan kewajiban banyak dimanipulasi dengan ketentuan hukum yang mengatur sehingga masyarakat kelas bawah banyak mengalami tindakan ketidakadilan. Dalam pandangannya Rawls mengatakan bahwa:

Penekanan terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja samasosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan secara nyata, serta menanggung beban yang sama Karenanya, agar menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial (Rawls: 1971, h. 4.).[7]

            Dalam kesepakatan teori prinsip fairness John Rawls agar tidak terjadi keberpihakan yang mengaraj pada kepentingan dan keuntungan pribadi. Namun sangat ditekankan keadilan prosedural murni sebagai prinsip dari keadilan fairness. Dengan berpegang pada prinsip yang ada akan adanya keadilan ditengah kehidupan masyarakat akar rumput. Di mana nilai dan kebebasan dalam kerja sama antar masyarakat dapat saling menguntungkan satu sama lain dan terciptanya kebebasan dalam keadilan demi tercapainya kesejateraan bersama.

 

2.2 Misi Sebagai Identitas Diri

Gambaran dari subjek yang memanggil yakni Tuhan, terurai dalam berbagai konteks dan model sikap laku hidup kita masing-masing. Penalaran akan makna dari setiap konteks yang hadir dalam pengalaman hidup seharian memampukan kita untuk mengiternalisir pesan Tuhan kepada semua ornag. Panggilan Tuhan yang anugerahkan kepada kita demi kepentingan suatu karya misi perutusan ketengah dunia yang sangat kompleks dan penuh dengan problem sosial kemasyarakatan. Pada setiap warna panggilan itu mengahadirkan suatu warta pesan yang hendaknya diinternalisir kepada yang lain enta dalam bentuk pewartaan atau lewat kesaksian hidup yang sepantasnya berdasarkan dorongan suara hati dan kehendak batin. Kenyataaab ini mengugkapkan arti karya misi itu sendri. Menurut John Verkuyl, seperti dikutip oleh Alex Jebadu dalam bukunya Dakwa Kristen bahwa misiologi adalah sebuah studi tentang karya keselamatan yang dilakukan oleh Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus dan ditujuka ke seluruh dunia untuk merealisasikan Kerajaan Allah di dalam kenyataan hidup manusia.[8]

Penulis menyadari bahwa panggilan suci yang sedang digeluti sekarang bukan sebuah kebetulan menanggapi suara hati, tetapi apa yang selebihnya dari itu sebagai anugerah Tuhan yang terindah. Melihat kenyataan ini, saya mencoba menentukan dan merumusakan satu tema yang menjadi fudamen dasar dan sekaligus sebagai komitmen dalam hidup panggilan dan perutusan yakni “ora et labora” atau “berdoa dan bekerja” sekaligus mengembangkan sikap kreatif dalam menjaga dan menghidupi panggilan dalam konteks hisud dengan orang yang terpinggirkan. Secara singkatnya dapat dikatakan demikian, saya melihat panggilan suci ini sebagai sebuah kesempatan yang berahmat selain mengenal Tuhan secara lebih mendalam, adapun hal lainnya yang dilihat sebagai motivasi dasar yakni sikap solider dan keberpihkan dengan orang pinggiran yakni orang miskin dan sengsara.

2.4 Misi sebagai Tindakan Pembebasan Seturut Prinsip Keadilan Fairness

Misi adalah sebuah tindakan pembebasan. Dalam tindakan pembebasan itu adanya suatu usaha dan perjuangan yang diupayahkan. Usaha ini dilihat sebagai sebuah masa kebangkitan baru dalam menata dan membentuk dunia baru yang di dalamnya terungkap suatu kesepakatan bersama yakni terungkapnya bonum commune. Dalam mengusahkan suatu kebaikan, seseorang membutuhkan visi dan misi serta model pemikiran baru yang dapat menjadi suluh dan api pemantik dalam melahirkan suatu keputusan yang muthakir bagi kepentingan bersama.

Tindakan misi pembebasan memang sangat dibutuhkan dalam konteksitas dunia zaman sekarang. Tindakan pembebasan itu harus dimulai dari masyarakat akar rumput, di mana dalam kehidupan mereka terjadi banyak ketimpangan sosial yang mengarah pada pemenuhan kepentingan pribadi. Ketimpangan sosial dapat berupa tindakan yang tidak mendatangkan keadilan. Hal ini dikarenakan hak dan kewajiban masyarakat akar rumput telah dimanipulasi dengan berbagai kepentingan pribadi. Sikap manipulasi demikian berkaitan erat dengan penetapan aturan dan hukum serta pemerintahan yang totaliter. Sehingga harkat dan martabat masyarakat akan rumput tidak mempunyai jiwa dalam kehidupannya.

Berdasarkan masalah demikian, John Rawls dalam posisi asali merumuskan prinsip umum dengan menekankan pada inti persamaan dalam sebuah tindakan keadilan. Prinsip umum yang dirumuskan John Rawls sebagai berikut: Semua nilai-nilai sosial-kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis harga diri harus   didistribusikan   secara  sama.  Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial tersebut  hanya diperbolehkan apabila hal  itu  memang  menguntungkan  orang-orang yang  paling  tidak beruntung (Rawls: 1971, h. 62).[9]

Dengan ada prinsip persamaan (equaliy) dan prinsip ketidaksamaan (unequality) yang ada, kita dapat menyimpulkan bahwa John Rawls sedang berusaha untuk memahami prinsip keadilan sosial di tengah masyarakat. Maksudnya ialah dengan kedua prinsip yang ada, bagaimana tidakan yang mesti diambil sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial di tengah konteks hidup masyarakat luas. Ketimpangan sosial dalam hal berhubungan erat dengan penerapan nilai keadilan yang seharusnya untuk menyikapi perbedaan dalam setiap kelompok masyarakat yang ada. Mengahadapi persoalan di atas, John Rawls menegaskan bahwa hak-hak dan  kebebasan-kebebasan  dasar  dalam konsep  keadilan khusus ini memiliki prioritas  utama atas keuntungan-keuntungan sosial  dan ekonomi (Rawls: 1971, h. 250).[10] Dalam perebedaan yang ada mestinya harus dihargai dengan mengedepankan sikap toleransi sehingga tidak menimbulkan pertentangan antara persamaan dan ketidaksamaan.

Prinsip keadilan yang sangat menekankan kerja sama akan melahirkan suatu keputusan dalam satu ikatan sosial. Di mana segala kekayaan, harta benda, barang-barang dimiliki secara bersama. Dengan adanya kerja sama demikian akan mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan bersama dalam hubungan antar kelompok sosial yang ada. Artinya, keadilan dipahami sebagai identik dengan tujuan memperbesar keuntungan sosial-ekonomi, sehingga ruang bagi perjuangan untuk kepentingan diri setiap orang menjadi sempit. Akibatnya, prinsip kebebasan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat dihalalkan.[11]

 

3.   PENUTUP

Muara pemikiran tentang misi harus menjadi dasar panggilan hidup manusia. Dalam panggilan itu manusia harus senantiasa mengungkapkan rasa keberpihakan dengan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu arah dan tujuan dalam misi yang diemban. Meskipun misi itu berada dalam masyarakat plural, namun dibutuhkan kebijakan dan kelihaian dalam pengambilan suatu keputusan. Sehingga dalam perebedaan yang ada mestinya harus dihargai dengan mengedepankan sikap toleransi sehingga tidak menimbulkan pertentangan antara persamaan dan ketidaksamaan. Semangat dan jiwa pembaharuan mesti dikibarkan dalam diri kaum miskin dan sederhana agar keadilan sebagai sebuah kesepakatan bersama dalam terungkap dalam setiap kehidupan masyarakat sosial.



[1]Dewi Setyowati, “Memahami Konsep Restorative Justice Sebagai Upaya Sistem Peradilan Pidana Menggapai Keadilan” dalam jurnal Pandecta, 15:1 (Surabaya, 15 Juni 2020), hlm. 122.

[2]Pan Mohammad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls” dalam Jurnal Konstitusi 6:1 (Indonesia, 1 April 2019), hlm. 136.

[3]Ibid.

[4]Ibid., hlm. 137.

[5]Ibid., hlm. 139.

[6]Iqbal Hasanuddin, “Keadilan Sosial: Telaah Atas Filsafat Politik John Rawls”, dalam jurnal Refleksi 17:2 (Universitas Bina Nusantara, Oktober 2018), hlm. 198.

[7]Ibid.

[8]Alex Jebadu, Hakekat Dakwah Kristen (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 37.

[9]Iqbal Hasanuddin, “Keadilan Sosial: Telaah Atas Filsafat Politik John Rawls”, dalam jurnal Refleksi 17:2 (Universitas Bina Nusantara, Oktober 2018), hlm. 198.

[10]Ibid., hlm. 198.

[11]Ibid., hlm. 182.

Label:

Sabtu, 04 Desember 2021

PENALARAN ARISTOTELES TENTANG PENYEBAB UTAMA (Persoalan Mengenai Apa Yang Tampak dan Tidak Bisa Diindrai)





ilustrasi pinterest

Albertus Mandat Minggu

 

1.       PENDAHULUAN

Segala entitas yang ada dan tampak secara lahiria dipermukaan bumi ini mempunyai faktor penyebap utama. Faktor yang ada seakan menjadi api pemantik setiap entitas yang ada berasal dari satu entitas (either one) yang terlahir dalam banyaknya entitas (more than one). Di mana setiap entitas yang ada bergerak, berada, berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dalam kajian ilmu metafisika tentang ada dan tidak ada, hal itu dilihat sebagai suatu status keberadaan, sifat-sifat keberadaan dan ada menurut maksud keberadaannya. Namun dari semua yang ada munculah suatu argumentasi yang  mempertanyakan mengenai faktor apa yang menjadi penyebab dari segala yang ada.

Asritoteles dalam penalarannya mengatakan bahwa substansi yang merupakan satu unsur menyebabkan yang lain ada. Secara gamblang Aristoteles mengatakan bahwa sesuatu sungguh ada yakni benar dan sesuatu tidak sungguh tidak ada adalah benar. Substansi pada dasarnya ialah apa yang esensi dari sesuatu.  Substansi dalam artiannya ada sebagai yang ada (being qua being). Dalam kajian pendalamannya ada satu disiplin ilmu yang meneliti tentang segala sesuatu ialah it is being. Dan pada hakekatnya substansi adalah satu atau united-itself. Di mana masalah terhadap sebab-sebab segala sesuatu yang dicari ialah substansi yang terdapat dalam satu ilmu pengetahuan (being-it self) dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam banyaknya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan forma (keberadaan atau eksitensi yang bersifat plural). Dan yang menjadi persoalan dalam kajian ilmu pengetahuan tentang penyebab utama, Aristoteles mempertanyakan bahwa apakah hal-hal yangg tampak atau tidak bisa diindrai ini benar ada? Dan jikalau benar ada, apa penyebab utama yang mendasari segala yang ada? Sebab menurutnya segalanya tidak bisa diindrai itu sama halnya tidak ada dan merupakan hasil abstraksi  dan rekonstruksi pemikiran manusia semata.

2.       ISI

Arsitoteles pada umumnya selain dikenal sebagai seorang filsuf yang mempelajari secara khusus tentang dunia metafisis, namun dia juga dikenal sebagai seorang biolog dalam sebuah kajian dan penelitian tentang ilmu sains. Dalam sepak terjangnya sebagai seorang filsuf besar umumnya dalam dunia ilmu pengetahuan, Aristoteles berusaha untuk memahami secara mendetail tentang keberadaannya di dalam dunia dalam sebuah usaha untuk mengakaji dan mendalami tentang dunianya. Dia memahami dunia merupakan suatu substansi yang ada sebagaimana adanya atau ada sebagai yang ada (being qua being). Dalam hal ini, faktor fundamen apa yang mendasari penyebab dari segala yang ada? Dalam dunia metafisikan, Aristoteles mempertanyakan tentang penyebab apa yang mendasari segala yang ada sehingga dalam realitas yang tampak dalam suatu proses pengindraan di sana terjadi banyak perbedaan-perbedaan yang tampak dan muncul. Dari perbedaan yang ada menggambarkan suatu entitas  yang kompleks dari yang ada sebagai penyebab segala yang ada.

Dalam kajian penalaran tentang dunia metafisis, Aristoteles mempertanyakan bahwa apakah hal-hal yang tampak atau tidak bisa diindrai ini benar ada? Dan apakah sesuatu yang tidak bisa diindrai itu sama halnya tidak ada atau merupakan hasil abstraksi pemikiran manusia belaka? Hal yang tampak merupakan sebuah pengalaman empiris yang menyediakan beranekaragam bentuk yang ditampilkan. Dalam pengalaman empiris itu ada suatu forma yang selalu berlawanan dengan materi  dan tidak ada sesuatu yang berlawanan dengan  forma (biasa disebut dengan convincing)  berbeda dengan matrei yang oleh Aristoteles diposisikan sebagai lawan dari jiwa.  Forma inilah materi menjadi suatu yang tertentu dan sesuatu itu disebut materi dan jiwalah yang menyebabkan tubuh menjadi sesuatu yang memiliki kesatuan dan tujuan.

Dan terhadap keanegaraman demikian tamapk secara lahiria yang digerakan oleh suatu penyebab dan sutu prinsip yang berisifat unversal yang berasal dari “ada sebagai mana ada”  itu. Akhirnya berkat refleksi dan kontemplasinya, Aristoteles sampai pada suatu keputusan yakni penyebab utama dari segala keanegaraman yang ada ialah “suatu penggerakan yang berasal dari dirinya sendiri” atau “menggerakan dirinya”. Yang menggerakan dirinya merupakan suatu yang berasal dari forma substansial dan merupakan sutu prinsip otonomi dalam padangan kaum skolastik biasa dikenal dengan causa imanen. Causa imanen adalah penyebab yang dari dari sang ada itu sendiri yang merupakan substansi dari segala keanekaragaman yang ada.

Pada dasarnya causa imanen bergerak dan selalu menuju kearah kesempurnaan. Kesempurnaan itu merupakan kodrat alami yang adalah substansi dari segala yang ada. Dan kesempurnaan itu adalah hakikat kebenaran dari suatu prinsip substansi yang berfisat satu (united-itself) dan being-itself yang merupakan kebenaran dan eksitensi dari keanekaragaman yang ada dari satu jalan jenis (in kind only). Being merupakan keberadaaan dan unity merupakan satu hakikat yang merupakan substansi dari segala sesuatu. Being dalam penalaran Aristoteles yang dimaksudkan ialah esse-ada yaitu dar sien dalm pengertian sebenarnya dan lebih kompleks tentang “ada”. Yang dalam hal ini dikenal dengan being qua being yaitu ada sebagai yang ada. Dan suatu disiplin ilmu yang meneliti secara khusus tentang segala yang ada sebagai yang ada ialah it is being.

Rekonstruksi pemikiran aristoteles tentang “ada” merupakan suatu unsur yang fundamen yang “menggerakan dirinya”. Di mana dalam penalarannya, Aristoteles mengatakan bahwa “sesuatu ada sungguh ada itu benar” dan “sesuatu tidak sungguh tidak ada adalah benar”. Pemikiran demikian merupakan teori kebenaran dari Aristoteles. Dan teori kebenaran Aristoteles harus dilihat titik kebenaran yang dikajidan kontemplasi dai sudut ilmu empiris.

Terhadap pemkiran Aristoteles di atas sebagaimana sudah diuraikan tentang ada dan tidak ada, secara umum gagasan pokok dan inti dari segala pergumulan Aristoteles dalam dunia ilmu metafisikan secara gamblang Arsitoteles mengatakan bahwa jadi semua yang tampak itu tidak semuanya benar. Sebab sesuatu yang tidak bisa diindrai atai dilihat dengan menggunakan mata secara lahiria itu adalah tidak ada  dan merupakan hasil abstraksi dan manipulasi pemikiran manusia belaka. Dan terhadap pernyataan ini, Aristoteles mengatakan bahwa pesan indrawi manusia (sensible) itu nyata atau rill adanya (real). Dan yang rill itu hanya being yang ada esse-ada yaitu dar sein.

Berdasarkan kajian filosofis Aristoteles tentang “ada-esse-dar sein”, penulis dapat merefleksikan dan mengontemplasikan bahwa yang “ada dan tidak ada” itu dapat dilihat disimbolisasikan dengan kata “hitam pekat yaitu kegelapan”. Di mana sifat “hitam pekat atau malam gelap dan tidak ada cahaya sedikitpun” merupakan keadaan caos atau kosong dari cosmos yang tersembunyi yang menformulasikan tentang yang “ada dan tidak ada”. Penulis menggunakan kata “hitam pekat atau dunia yang diselimuti dengan kegelapan” sebagai lambang kehadiran “ada” yang tidak dapat diindrai. Namun adapun simbolisasi lainnya yakni “angin sepoi-sepoi” merupakan lambang kehadiran “sang ada”. Di mana, angin hanya bisa dirasakan (sensible things), namun tidak bisa diindrai melalui penglihatan. Dua simbolisasi dari sudut pemikiran dan hasil refleksi serta kontemplasi penulis sekiranya dapat memberikan subangsi pemikiran dalam dunia filsafat tentang “ada  dan tidak ada” seturut hasil pemikiran Aristoteles. 

 

3.       PENUTUP

Penalaran tentang “ada  dan tidak ada” adalah sebuah usaha menemukan, merefleksikan serta mengontemplasikan tentang substansi keberadaan dari penggerak utama atau penyebab utama. Penalaran yang bersifat metodis dan sistematis dalam sepak terjang akal budi (ratio) hanya bersifat terbatas, sebab berkaitan dengan “ada dan tidak ada” atau “esse-ada-dar sein” adalah sebuah ketidakmungkinan untuk dijangkau dalam terang akal budi dan semuanya hanya bersifat pengandaian berkat karya imajinasi dan kontemplasi dalam fakta dunia empiris yang tampak secara lahiria seturut sudut pemikiran Aristoteles tentang “ada dan tidak ada” yakni “semua yang tampak itu adalah tidak semuanya benar”.

 

 

Label: