Albertus Mandat
MENJADI DUTA MISIONER DI AMBANG KEPUNAHAN DUNIA
1. PENDAHULUAN
Gambaran dunia yang penuh dengan kedamaian dan sukacita
adalah harapan semua orang. Jika dihadapkan dengan realitas zaman sekarang yang
penuh dengan problematika-problematika yang menyerang secara langsung hakikat
atau esensi dasar hidup manuasia, apakah masih ada harapan perlu untuk diperjuangkan? Masihkah
ratio itu membumi menerjang segala
ketidaksesuaian terhadap nilai-nilai dan konsep-konsep yang telah dibangun? Dimanakah
peran setiap pribadi yang mengklaim bahwa bumi ini adalah ibu pertiwi?Atau sudah sampaikah dunia ini pada masa
kepunahan pada ambang kehancuran? Berkaitan dengan situasi yang sangat
memojokan ini, mendorong setiap kita untuk berpikir keras, berjuang demi
terwujudnya suatu kesepakatan final dalam misi menjadi duta missioner.
2. ISI
2.1 Gambaran dunia penciptaan
Esensi dasar kata mencipta (creator) berarti mengandung suatu pengertian: ”menjadi, mewujudkan”.
Dalam pandangan dunia Kekristenan term “mencipta” biasanya diidentikan dengan
pribadi Allah. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, pribadi Allah sebagai pencipta
terungkap jelas yakni: “pada
mulanya, ketika Allah mulai menciptakan langit dan bumi, bumi belum mempunyai
bentuk dan kosong…”, (Kejadian
1: 1-31). Karya besar ini (penciptaan), merupakan suatu hasil keputusan dalam sidang
surgawi yang dipimpin langsung oleh Allah sendiri. Allah dalam sidang hadir
sebagai Dia yang memutuskan dan pada sisi lainnya, Ia memposisikan diri sebagai
pihak yang melaksakan kepeutusan tersebut. Peryataan
ini mau menegaskan bahwa penciptaan ini merupakan, sebuah tanda anugerah
kehidupan baru yang Allah rancangkan dalam kehendak-NYA. Manifetasi dari
tindakan Allah ini, diimplementasikan secara nyata dalam setiap karya-Nya. Dia
tidak hanya bertindak sebagai pengada tetapi sekaligus pelaksana atas tindakan
itu. Dengan menciptakan dunia ini berarti Allah tidak hanya sekadar menyalur
apa yang ada dalam kehendak-Nya, tetapi segala substansi yang ada dalam diri
Allah juga tersalurkan secara bersamaan.
Substansi itu berupa substansi rohani yang mengandung
daya Ilahi. Dalam hal ini, secara intensif penciptaan dunia ini adalah sebuah
karya yang sakral dan mengandung daya ilahi, karena dalam menjalankan karya
ciptaan secara tidak langsung segala substansi Allah ikut serta dalam
penciptaan itu. Perwujudan dunia ini adalah hasil karya imajinasi Allah. Lewat
imajinasi-Nya yang aktif, Alah meciptakan dunia ini sedemikian rupa. Karya
imajinasi Allah cenderung bersifat Ilahi dan juga mengandung unsur yang tidak
bisa dirasionalisasikan. Unsur-unsur itu yang terdapat dalam Allah yang secara
eksplisit mengandung daya untuk menghidupkan. Dari sedemikian banyak cipataan
Allah, manusia adalah makluk yang paling istimewa dihadapan Allah.
Keistimewahan itu tergambar jelas pada kemampuan (ability), pengertian (budi pekerti), kehendak
bebas dan hati nurani. Beberapa substansi yang melekat kuat pada manusia
merupakan percikan api Ilahi yang keluar dari tangan Allah lewat hembusan nafas
Allah (Kejadian 2:7). Dengan demikian manusia pada hakikatnya mengandung unsur
atau daya Ilahi (spiritual) dan jasmani. Daya rohani membantu manusia untuk
mengenal Sang Pencipta yaitu pribadi Allah yang bersifat transendental. Daya
ilahi ini menghantar
manusia pada sebuah pandangan, bahwa dia secitra dengan Allah.
Dalam pemahaman ini, ungkapan kata secitra
mengandung makna “segambar, serupa” yang berarti manusia adalah gambar
Allah (imago Dei). Jadi imago diinterpretasikan sebagai esensi dari
manusia.
Tentulah sebagai pribadi yang serupa dengan Allah, manusia mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang harus diembani yakni: menjaga dan memelihara keutuhan
alam ciaptaan, berkuasa atas seluruh alam ciptaan dan yang lebih penting ialah
melestarikan alam ciptaan dengan penuh tanggung jawab, demi
kebahagiaan,kesejatraraan bersama. Jika dikaji dan ditelusuri berakaitan dengan
alam ciptaan berdasarkan penentuan eksitensinya, manusia adalah ciptaan
yang ada setelah Allah menciptakan alam. Boleh dikatakan bahwa manusia harus
menghargai atau menjadikan alam ciptaan Allah lainnya sebagai teman hidup, pendamping, pelengkap dan pemenuhan
keperluaan masing-masing ciptaan. dengan demikian tercapailah kesejateraan
bersama dan yang terpenting ialah bagi kemuliaan nama Allah.
2. Manusia sebagai gambaran
persekutuan (comunnio)
Dalam kancah dunia yang semakin
modern ini, ditelusuri penuh dengan realitas kemajemukan, berkaitan dengan hal ini
dibutuhkan peran serta dari tangan manusia. Sebagai yang adalah pribadi yang
dianugerahi karunia akal budi dan hati nurani, mengharuskan manusia untuk melampaui setiap
problem yang membelenggu bumi ini.
Setiap problem yang terjadi merupakan
akibat dari kesalahan persepsi dan perspektif manusia dalam memaknai kata kebebasan
yang Allah anugerahkan. Esensi kata kebebasan tidak hanya ditinjau atau
dimengerti secara eksplisit atupun secara sepihak, sebap dengan begitu akan
mengahasilkan kepincangan yang merujuk pada dosa. Dari kisah kejatuhan manusia
ke dalam dosa (kej 3), kita dapat menarik kesimpulan bahwa asal segala dosa
manusia bukanlah Allah, melainkan kebebasan manusia itu sendiri, sebap dengan
kebebasan yang dimiliki manusia bisa mengiginkan apa saja.
Dasar pengakuan ini, mengimplikasihkan manusia sebagai makluk terbatas.
Keterbatasan manusia mencakup kemampuan akal budi (ratio) dan unsur lainnya yang melekat kuat dalam pribadi manusia.
Namun substansi atau unsur-unsur ini sedemikian bersatu membentuk suatu
keputusan mutlak yang mamampukan manusia untuk berkreasi dan bertindak.
Dalam arti tindakan (action), manusia mampu menembus batas
yakni daya rasionalitasnya dengan menggunakan
kemampuan imajinasi dan penalaran yang tinggi. Sehingga tidak mengakibatkan suatu
kecenderungan untuk
terus mendekap dalam siklus atau rana pengimajinasian dan membuat manusia
enggan untuk kembali pada realitas sesunggunya.
Manusia pada hakikatnya bersatu
dengan Allah. Hakikat dasar persekutuan (communio)
manusia dengan Allah terungkap jelas dalam kisah penciptaan dalam kita Kejadian.
Hakikat dasar ini membentuk suatu persekutuan yang impersonal yakni dari
pribadi ke pribadi. Hubungan ini mendasari manusia, pada intinya beragantung
pada Allah. Seluruh kepenuhan eksitensi manusia hanya terarah pada karya dan
penyelenggaran kasih Allah. Kepenuhan hidup manuisa pada Allah merupakan tanda
ikatan persatuan yang intim. Dasar pendorong kesatuan ini adalah daya Ilahi
yaitu Roh Kudus yang Allah yang kita terima melalui sakramen permandian.
Melalui Roh Kudus ini, mendorong manusia untuk dapat bersatu dan mengenal Allah
yang transenden. Dasar persekutuan yang memampukan setiap orang untuk berbagi
dan terbuka satu samalain yaitu cinta. Seperti dalam hubungan ketiga pribadi
Tritunggal Mahakudus, di mana setiap pribadi ini dengan mesrah menjalin
hubungan persekutuan dalam satu ikatan cinta yakni Roh Kudus.
Dalam kancah peredaran dunia zaman
sekarang, dapat kita temukan banyak kepincangan yang mensublimasi ke arah
kehancuran. Esensi dasar dari perubahan ini adalah semakin meningkatnya arus
globalisasi yang mengakibatkan perubahan besar meliputi banyak bidang kehidupan
manusia. Bidang-bidang itu antaralain: bidang perekonomian, stabilitas alam
semesta atau keteraturan alam semesta, pertanian, sosial-budaya dan banyak
bidang lainnya yang merupakan dampak dari perkembangan arus globalisasi.
Dasar dari kepincangan itu adalah
kebebasan manusia itu sendiri. Kebebasan secara implisit mengutarakan tentang
kekurangan, kelemahan pada manusia itu sendiri dalam mengontrol ego atau hasrat
untuk mengubah. Faktor ini menandakan tidak adanya keseimbangan antara hal yang
bersifat rohani (spiritual) dan jasmani (kehendak bebas, akal budi) manusia.
Sehingga dampaknya sangat jelas yakni adanya faktor pendominasian oleh pihak
terhadap kelompok tertentu, seperti yang hangat sedang terjadi dewasa ini. Di
antaranya ada satu problem yang menjadi sorotan mata para kritikus adalah
perusakan alam semesta.
Pada esensinya alam semesta tidak
terlepas dari persatuan kodrati antara manusia dengan Allah sebagai Sang
Pengasal dari segala sesuatu yang ada.
Namun jika dihadapkan dengan peradaban dunia zaman sekarang pemahaman demikian
tidak lagi relevan, di mana manusia seakan menjadikan dirinya sebagai penguasa
mutlak. Hal ini tampak dalam tingkat keserakahan mengejar harta kekayaan yang
sangat membludak, demi kenikmatan pribadi semata, kepuasan diri, dan keuntungan
bersifat personal tanpa memperhatikan unsur solidaritas. Adapun hal lainnya
seperti: nafsu, keserakhan dan ego yang mendorong manusia untuk menguasai
pikiran dan hati nurani, bertindak tanpa ada rasa kepekaan dan penyadaran yang
mendalam.
Salah satu contoh adalah: penebangan liar
pohon dekat sumber mata air di Sumatra, penambangan liar terjadi di berbagai
wilayah yakni di Papua Nugini, dimana
banyak investor asing yang melakukan penambangan tanpa adanya surat izinan dari
pihak pemerintahan Indonesia. Berkenaan dengan problem yang sangat urgen ini,
di masa yang akan datang terjadi banyak kerugian, terutama di beberapa daerah
yang menjadi titik pertambangan dan penanaman usaha modal itu adalah tempat
warga atau masyarakat setempat mengusahkan hidup mereka. Dampak dari
problematika di atas antaralain: pencemaran populasi udara, laut yang
mengakibatkan matinya banyak ekosistem alam yang sedang bertumbuh dan
berkembang biak, pencemaran limbah pabrik, tanah longsor, kekurangan air,
banjir bandang, dan gempa bumi pada wilaya titik pertambangan. Terhadap
permasalahan ini, dimanakah sikap respektifitas atau tanggapan langsung dari
pihak manusia yang mengklaim sebagai makluk sekodratdengan alam ciptaan
lainnya?
Gereja Khatolik dalam menanggapi
permasalahan demikian, menghimbau agar setiap umat Kristiani kembali menyadari
sikap, pola tingkah laku mereka yang semakin jauh dari kehendak Allah. Karl
Rahner, sebagaimana dikutip oleh Georg Kirchberger (2012:88) mengatakan: “sebagai
makluk berhakikat transenden, memikul tanggung jawab dan memiliki kebebasan,
senantiasa terarah pada rahasiah Ilahi, berhakikat interkomunikatif, makluk
yang mendunia-hidup dalam waktu sejarah, makluk yang selalu berorientasi ke masa
depan, makluk yang dapat gagal dalam ziarah hidupnya, tetapi sekaligus dapat
berharap.” Meskipun pada hakikatnya adalah makluk yang memiliki banyak bidang
keterbatasan, tetapi Allah menjadikan
dia sebagai
agen untuk menjaga, merawat dan melestarikan alam semesta dengan penuh rasa
tanggung jawab. Pater Eman Wero, SVD dalam khotbanya (12/03/2019) mengatakan: “kita
sebagai kaum religius hendaknya menjadi tanda harapan (the sign of hope) bagi dunia zaman sekarang yang penuh dengan
percecokan dalam berbagai bidang kehidupan.” Tanda (sign) terealisasi dalam tindakan nyata, seperti punya rasa respek
terhadah problem dunia zaman sekarang.
Dunia ini adalah saudara-saudari kita
yang melalui mereka kita dapat bertahan hidup. Relasi antara manusia dan alam
semesta layaknya seperti adik dan kakak yang saling melengkapi dalam pemenuhan
kebutuhan masing-masing. Tidak hanya dalam hal demikian, manusia dan alam dapat
bekerja sama menjaga kelestarian lingkungan alam ciptaan agar tetap eksis dalam
dunia zaman sekarang maupun nanti, dalam setiap peradaban dunia selanjutnya.
A. PENUTUP
Pada
setiap moment, orang di tawarakan untuk masuk dan memperbaiki, apa yang menjadi
permasalahan dalam konteks, wilayah sosial tertentu. Pada moment yang berharga
ini setiap orang diajak untuk kembali merefleksikan ziarah hidup panggilannya masing-masing.
Kita diajak untuk merefleksikan kembali, melihat setiap tapak perjalanan hidup
kita entah dalam relasi atau hubungan dengan TUHAN, sesama (alam
ciptaan,sesaama manusia) dan dengan pribadi diri sendiri. Sebagai tanda
harapan, dunia zaman sekarang sangat membutuhkan kepedulian dari sesama ciptaan
lainnya. Allah telah menganugerahkan kita banyak kemampuan enta yang bersifat lahiriah
maupun transedental, dengan maksud agar kita dapat menggunakan untuk
kepentingan kemajuan kesejatraan hidup bersama dan juga bagi kemuliaan
nama-Nya. Marilah kita meningkatkan kepedulian kita terhadap alam ciptaan
dengan melakukan pereboisasian kembali setiap daerah atau lahan yang gundul dan
juga bagi setiap manusia yang hatinya masi dipenuhi dengan ketamakan dan
keserakahan.
Albertus Mandat
Mahasiswa semester 7 STFK Ledalero, Maumere, Flores-NTT. Aktif dalam menulis
Label: Artikel