Kamis, 25 November 2021

MANUSIA DALAM SEGALA KEBERADAANNYA

     Ilustrasi Pinterest


                          Albertus Mandat

 

Manusia adalah makluk yang unik sekaligus dinamis. Subjek pemikiran tentang manusia menghadirkan makna konotsai yang gamblang, bahwasannya manusia sekalipun unik dan dinamis namun tetap mistaeri. Hal ini mengukir fakta realitas para filsuf yang sedemikian rupa telah berusaha untuk memahami ”siapa itu manusia sendiri?” who is the human?”. Dalam penelusuran setiap kajian dan pendekatan yang telah dijalankan hanya menyangkut fakta empiris yakni berangkat dari pengalaman lahiria. Tentunya dengan ini, manusia adalah makluk rasional namun dalam berkaitan dengan essensi dan kodratnya sulit untuk ditelah dengan berbagai kajian ilmnu lainnya.

Penelusuran tentang siapa itu manusia dalam filsafat Yunani, istilah ini berkesinambungan dengan “filsafat manusia” atau “antropologi filosofis” yang menghadirkan manuisa adalah makluk sepeneuhnya, roh serta berbadan, jiwa serta daging. Hal ini menggambarkan tentang entitas manusia yang me-roh dalam berbadan yang memiliki keistimewahan dibandingkan dengan makluk lainnya. Para filsuf dengan berbagai disiplin ilmu telah berusaha mengkaji, mendalami lebih jau dan melakukan pendekatan dengan konsepsi- konsepsi yang mutahir. Disiplin ilimu itu antarlain mencakup biologi, embriologi, psikologi, sosiologi, antropologi, etnologi dan sebagainya. Pendekatan dengan berbagai bidang disiplin ilmu ini setidaknya membantu dan mengarahkan cakupan daya rasionalitas pada kebenaran yang otentik tentang manusia. Namun dari setiap konsepsi dan pandangan dari para filsuf terdapat pertentangan satusamalain.

Pertentangan itu terjadi karena perbedaan konsepsi dalam menalar manusia dalam segala keberadaannya. Bagi Plato dan Platonis, misalnya, manusia itu adalah suatu makluk Ilahi. Sedangkan bagi Epikurus dan Lukretius, sebaliknya manuisa adalah suatu nakluk yang berumur pendek, lahir karena kebetulan, dan akhirnya samasekali lenyap. Menurut Descartes, kebebasan manusia mirip dengan kebebasan Tuhan, padahal Voltaire yakin bahwa manusia tidak berbeda secra esensial dengan bintang-bintang yang paling tinggi, Hobbes yang memang hidup dalam pergolakan zaman, berpendapat bahwa manusia dalam daya geraknya bersifat agresif dan jahat, sedangkan Jecques Rousseau berpendapat bahwa manusia baik dalam kodrat dan jahat.[1] Lantunan pendapat para filsuf meyakinkan kemampuan manusia dalam berasionalisasi mencari hakikat dan essensi dari suatu forma atau bentuk dari suatu barang yang dikaji.

Kajian ini pada dasarnya bersifat multidimensional, beranekaragam dan bersifat paradoksal yang mengantar seseorang pada kajian pandanagn bersifat ontologis. Pendasaran ontologi dari fakta kebebasan nalar atau ratio manusia dalam mensubjekan satu distingsi khusus mengenai satu hakikat. Namun dalam hal ini tidak membatasi kemampuan nalar dalam berpikir. Kebaikan ontologi itu mengklaim fakta yang ­‘ada’, dimana menurut Aristoteles, dari yang tidak diadakan oleh yang lain yang kebenaran yang bersifat absolut. Kebaikan yang tak terbatas sebagai orientasi primodial, norma atau ‘standar’ dari kehendak manusia, dan melalui referensi kebaikan itulah bahwa semua kebaikan lain bisa dinilai atau dihargai sebagai ‘kurang lebih baik’ lebih baik dari pada. Ploreritas kepercayaan dari dinamisme bahwa manusia adalah makluk yang ber-roh, namun pengertian tentang roh dalam hal ini bersifat terbatas sehingga memungkinkan manusia berinteraksi secara bebas tanpa ada batasan yang ada.

Pendalaman tentang siapa itu manusia dirangkaikan dalam distingsi filsafat ilmu yakni filsafat manusia. Filasafat ini mengupas tentang manusia itu sendiri dengan segala komponen dan dimemsi pembentukannya. Manusia adalah makluk yang terdiri dari badan dan roh, badan yang indrawi diperlengkapi denagn anggota serta organ yang memungkinan mengubah materi untuk mengenal dan mengemukakan segala yang ada. Van Peursen menulis bahwa manusia adalah makluk bebadan,  berjiwa,ber-roh.[2] Jika orang membedakan jiwa dan roh, maka pengrtian jiwa biasanya diambil dari arti biologis, dimana menurut Aristoteles setiap makluk yang mempunyai daya hidup yang disebut jiwa (anima).[3]

Dalam filsafat Thomas Aquinas, jiwa dan roh satu kenyataan yang berdwifungsi yakni jiwa itu menjiwai badan (anima) dan jiwa yang sama itu juga menjadi prinsip kegiatan khas manusiawi (roh). Jiwa yang bersifat absolut sebagai entitas yang tak kelihatan tersublimasi ke dalam materi atau forma dalam suatu keadaan realistis. Kemapuan untuk bersinergis manusia ini mutlak menjadi materialistik karena peranan roh yang sudah tampak dalam tindakan. Pengsubordinasian ketiga dimensi ini dalam proses dan kajian bergerak dan beraktivitas bebas secara berlainan, namun dimensi-dimensi ini tergabung dalam satu forma yakni dalam tubuh psikologis manusia itu sendiri. Kajian ini mengartikan manusia sebagai makluk multidimensional karena dalam kodratnya manusia adalah makluk dwitunggal yakni berbadan dan berjiwa dalam satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan.

 



[1]Louis Leahy, Siapakah Manusia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 17.

[2]Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Serum (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 97.

[3]Ibib., hlm. 97.


Label:

Selasa, 23 November 2021

KERINDUAN SUKMA

 


Ilustrasi Pinterest


Albert Mandat

 

Di kala ku ingingkan sukmaku berteduh, ragaku menggerutu pada sebuah kisah

kisah yang mengukir tapak jejakku pada sebuah jalan buntu yang dilapisi dengan batu kekejaman,

aku ingin mengumandang pada Tuhan, bahwa aku tersiksa,

wa hai… Sang Kalik Agung, kumohonkan percikan cahaya pengampunan jika murka-Mu menghampiriku

 

Dalam kepenuhan iman, Engkau tetap mengasihi aku dan seluruhnya yang dapat menyejukkan jiwaku,

Engkau bagaikan sepoi angin, dan desiran ombak serta gemercik air yang seakan mengangkatku pada peraduan dengan makna mendalam

Tuhan…sanubariku aman, tenang dan damai dalam dekapan kasihMu yang Agung

Akupun tahu sekarang, bahwa Engkau begitu mengasihiku dan aku menanti SurgaMu dalam hidupku

 

Dalam nadar kepatuhan, kumohon berpalinglah menatap aku dalam keintiman hati batin

Sebab setiap tarikan nafas dan desahan kataku, aku akan selalu mengumandangkan pujian kepada-Mu

Ya Tuhan…Surgaku adalah kepunyaanMu, ku mohon sekali lagi dekapkan aku

Agar segala kegundaan hatiku menjadi telaga kebiruan yang penuh kedamaian dan kebahagian.

 

Tuhan, Engkau ada,

Sukmaku, damai

 

Albert Mandat Mahasiswa semester 7 STFK Ledalero, Maumere, Flores-NTT.

PERAN SUARA HATI DAN HUKUM MORAL DALAM MENENTUKAN KEBENARAN DAN KEKELIRUAN

ALBERTUS MANDAT

Dunia zaman sekarang sedang dilandah dengan berbagai problem. Rasanya problem-problem itu mencekam berbagai nilai dan tata susila, serta berbagai nilai moral dan norma-norma yang ada. Sedangkan keutamaan nilai dan moral yang berlaku sekian lama diakui dan dihidupi masyarakat sosial mempunyai faedah bagi keutuhan dan kesejahteraan hidup bersama. Problem yang yang ada sedianya merupakan srataegi-strategi yang diluncurkan mendatangkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan yang terjadi di tengah masyarakat sosial. Masyarakat sebagai agen sosial seakan digoncangkan dengan model peradaban hidup yang baru yang mempengaruh pada produktivitas tingkah laku yang berlainan dari nilai yang sudah dihidupi sebelumnya. Dari perubahan ini mendatangkan kebingungan yang luar biasa dari masyarakat.

Keberlangsungan problem ini sudah menemukan titik pencapaiannya, di mana terjadi banyak ketimpangan nilai dan moral yang secara serampangan melanda ke permukaan kehidupan masyarakat. Dalam menyikapi kenyataan ini mensti ada suatu peluang kemungkinan untuk ditindak lanjutki dalam menangkal segala ketidakadilan yanga ada. Penulis mencoba menawarkan peran dari suara hati dan moral hukum dalam menyikapi kebenaran dan kekeliruan.

 

Peran Suara Hati

Suara hati pada dasarnya mempunyai peranan dalam menyikapi berbagai problem sosial kemasyarakatan. Menurut Poespoproodjo mengartikan suara hati adalah intelek sendiri dalam suatu fungsi istimewa, yakni dalam fugsi memutuskan kebenaran dan kesalahan perbuatan-perbuatan individu.[1] Kebenaran dalam hal ini merupakan hasil dari pertimbangan moral dan hati nurani berdasarkan pada suatu motif kebaikan yang hendak dicapai secara bersama dalam penentuan sikap pembatinan yang benar. Suara hati dalam hal ini tidak bersifat obyektif namun bersifat universal secara terbuka menerima pembentukan dari pendidikan yang secara berlangsung dan terus-menerus secarah dengan pengolahan bathin. Pengolahan bathin menujukan kematangan suara hati dalam keterbukaan dan refleksi diri yang kritis merupakan suatu proses untuk mengaktualkan komitmen pribadi di bidang moral dan pencarian terus-menerus terhadap kebenaran dan makna yang lebih dalam yang didasarkan pada pengalaman hidup.[2]

Begitupun dengan peranan dari moral hukum, dilihat sangat berkaitan erat dengan manusia. Dalam nomenklatur dunia dewasa ini, hukum dilihat sebagai dasar yang menentukan karya dalam bidang yuridis serta penegakan hukum (law enforcement) dan berbicara tentang hukum kebih diawali dengan berbicara tentang kemanusian dan manusia.[3] Dalam hal ini hukum dilihat sebagai bingkai untuk menegakan etika dan etiket manusia dalam  kehidupan bersama. Penegakan hukum sama sekali tidak membatasi manusia dalam mengambil tindakan, asalkan tindakan itu tidak melanggar norma hukum namun mendatangkan kebaikan tertinggi dan kebaikan bersama summum bonum demi kesejahteraan bersama. Sebagaimana dikutip oleh Yohanes Suhardin, Phillipe Nonet dan Phillip Selzsnik memandang bahwa hukum itu hendakanya mencerminakan dinamika interaksi kekuatan-kekuatan dalam masyarakat dan janganlah hukum itu mempertahankan dan memaksa-kan suatu konstruksi yang bertentangan dengan dinamika masyarakat.[4]

Hukum moral dan suara hati dirangsangkan dengan berbagai nilai moral agar memperoleh kemutlakan di dalamnya. Sebab moral pada dasarnya bersifat mutlak menurut Immanuel Kant. Dengan demikian suara hati dapat memperoleh kebebasan dari setiap prasangka-prasangka yang dapat melemahkan nilai moral yang sedang berakar dalam suara hati. Menurut Frans Magnis-Suseno bahwa perasaan moral (superego) dan anggapan-anggapan itu sangat mempengaruhi suara hati.[5] Pengklarifikasian anggapan-anggapan itu dapat berupa problem pemicu terjadi tudingan dan parsangka yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

 Dalam menghadapi dan menamfikan masalah yang ada, manusia pada umumnya secara personal mengenal dan mengembangkan kepekaan suara hatinya melalui jalan pembatinan dalam penentuan nilai moral. Sikap pembatinan yang dilangsungkan dapat menyentuh perasaan yang otentik yakni menyikapi nilai moral yakni mengenai dimensi kognitif dan afektif. Dimana menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya “Etika Dasar” mengatakan bahwa: “Kita dalam mencapai kematangan suara hati harus berusaha mencapai dimensi kognitif dan afektis, sebap melalui dimensi kognitif kita harus berusaha agar suara hati dapat memberikan penilaian-penilaian yang benar dan tepat”.

Dan adapun dimensi lainnya yakni keterbukaan dari subjek terhadap keunikan nilai dan budaya dari lingkungan dimana seseorang berada. Sikap keterbukaan tidak mengharuskan seseotang untuk menerima dan mengakui unsur-unsur pembangun diluar dirinya, tetapi dari dimensi keterbukaan adanya proses pemilihan dan penentuan nilai mana yang harus diterima pembentukan dan perkembangan suara hati. Kepenuhan suara hati mempunyai fungsi dari akal praktis memutuskan perbuatan konkret dari seseorang sebagai mempunyai arti moral baik dan buruk. Penyimpulan yang yang digunakan akal budi adalah suatu silogisme deduktif, prinsip minor adalah penerapan prinsip pada kejadian yang sekarang sedang dihadapi, kesimpulannya adalah keputusan hati nurani.[6] Suatu keputusan dapat valid jika adanya kerja sama yang baik antara budi dan hati nurani. Namun dibutuhkan tuntutan yang tegas dari hukum moral, agar dalam penerapan yakni dalam melawan dan menangkal segala perbuatan buruk yang dalam hal ini berkaitan dengan praktik ketidakadilan yang terjadi. Dengan tindakan moral dapat menjadi senjata ampuh dalam merangsang peranan akal budi, hati nurani dan kehendak dalam menangkar segala kekeliruan.

Dalam tindakan yang benar itu, seseorang harus berlandasakan pada keputusan moral yang benar dan berdasarkan suara hati. Sehingga dalam tindakan itu, seseorang dapat bertanggun jawab dan penuh bijaksana dalam menyikapi segala realitas yang yang ada, baik di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Tindakan ini dilihat sebagai sebuah keputusan akhir dari pengambilan tindakan yang benar dan berdasarkan dorongan yang benar.


Albert Mandat Mahasiswa Semester 7 STFK Ledalero, Maumere, NTT-Flores, Sedang aktif dalam Menulis.



[1]Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: Penerbit Remadja Karya, 1988), hlm. 228.

[2]Charles M. Shelton, Moralitas Kaum Muda (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 18.

[3]Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat” dalam jurnal Hukum Pro Justitia, 25:3 (juli 2007), hlm. 275.

[4]Ibid., hlm. 272.

[5]Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hlm. 77.

[6]Poespoprodjo, op. cit., hlm. 242.

Label:

Senin, 22 November 2021

MANUSIA DAN KEBEBASAN II ALBERT

Ilustrasi Pinterest

 

Hidup merupakan ungkapan kebahagian dan kebanggaan yang tiada taranya.  Kata “kebanggaan” merujuk pada subjek yang berperan didalamnya yang secara aktif mengafirmasi hidup itu dalam tatatan sosial dan budaya. Kata “kebanggaan” mengandung artian kebahagiaan yang muncul dari kedalam hati yang melibatkan perasaan afeksi atau intuisi yang mendalam. Hal ini menggambarkan manusia yang mampu menyeimbangi dan mengola keutamaaan-keutamaan dalam diri yakni dalam dimensi rohani dan jasmani. Dia hadir sebagai manusia ideal dalam segala keberadaan.

Perputaran warna kehidupan selalu dirupai dengan berbagai rupa-rupa kehidupan yang sedemikian bersifat multidimensional. Rupa-rupa kehidupan yang ada sedianya selalu mempengaruhi dan membentuk manuisa untuk menmukan jati diri yang otentik. Rupa-rupa itu dapat mencakup situasi lingkungan hidup dari dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Dari keaneragaman ini mempunyai takaran dan strategi yang mantap untuk membantu manusia membentuk jati dirinya. Dalam hal ini dibutuhkan keterbukaan diri untuk menerima (receiver) serta didukung dengan sikap kebebasan.

Sikap kebebasan yang pantas yakni kebebasan dalam memberi ruang dan waktu untuk menyikapi segala realitas yang ada, enta realitas yang berasal dari dalam diri maupun dari luar diri dengan penuh sikap tanggung jawab dan bijaksana dalam menentukan setiap tindakan yang ada. Pengekspresian diri dalam kebebasan sama halnya melatih diri untuk peka, penuh kesadaran, mampu beradaptasi, bersosialisasi dan terbuka dalam menerima segala kemungkinan yang ada. Model pembentukan diri dalam kebebasan dilihat sebagai sebuah pembauran diri. Di mana, dalam kebebasan itu seseorang berproses dalam menyatuhkan segala kemauan, kedendak dan cita-cita dalam satu irama pembentukan dalam kebebasan yang ada.

Dalam kebebasan itu manusia dapat menghasilkan suatu keputusan yakni diri yang sejati dan ideal. Namun sebelumnya seseorang mesti mengetahui kebebasan itu. Kebebasan itu mencakup tiga hal utama yakni: kebebasan dari dalam diri sebagai kebebasan yang dasari yaitu: pertama, kebebasan untuk menentukan dan memilih serta memilah srtategi yang mana yang cocok dengan diri. Sehingga dalam proses lebih lanjut dalam pembetukan diri seseorang dapat dengan bebas dan leluarsa mengembangkan dan dapat pula bertahan dalam jangka waktu yang lama. Kedua, kebebasan sosialitas berkaitan dengan lingkungan sekitar yaitu: dimana seseorang dapat bersosialisai atau berelasi dengan lingkungan sekitar.

Oleh sebab itu, kebebasan dapat mengartikan seseorang jika seseorang dapat mengartikan kebebasan itu dalam keterbatasan dirinya. Sehingga dalam keterbatasan itu dia dapat berproses dengan sebaiknya.

 

Albert Mandat mahasiswa semester 7 STFK Ledalero, Maumere, Flores-NTT

 

Label:

AKU ADALAH SEKATAN JIWAMU YANG LAIN II ALBERT

Ilustrasi Pinterest

AKU ADALAH SEKATAN JIWA LAINNMU

 

Aku,

dalam satu sekatan jiwa, dalam luka sendi sembilu,

dalam isak tangis kepedihan,

tak ingin ku berkata,

bahwa diam Itu adalah  kesenanganku bagiku.

 

Hancur..hancur....hancur...pentanda bathinku sedang dicabik-cabik,

siapakah dia....dia ...ya dia itu...

dia yang menamakan dirinya kebaikan,

lekas....lekas...lekas..... hancurkan... hancurkan... hancurkan dia,

dalam situasi ini, rasa-rasanya...hanya ketaksangggupan itu...

 

Jika memang itu adalah tula dan karma bagiku,

Ku mohon setetes kasih darimu untukku,

Sebab meskipun kebencian itu ada dalam dirimu, ingatlah bahwa aku yang adalah bagian dari sekatan jiwamu yang lain,

Aku,

Kamu.

 

 

Albert Mandat Mahasiswa Semester 7 STFK Ledalero Maumere Flores-NTT

Label:

Sabtu, 20 November 2021

MENJADI DUTA MISIONER DI AMBANG KEPUNAHAN DUNIA

 

                                                                      

      

                                      Albertus Mandat

MENJADI DUTA MISIONER DI AMBANG                      KEPUNAHAN DUNIA

 1.   PENDAHULUAN

Gambaran dunia yang penuh dengan kedamaian dan sukacita adalah harapan semua orang. Jika dihadapkan dengan realitas zaman sekarang yang penuh dengan problematika-problematika yang menyerang secara langsung hakikat atau esensi dasar hidup manuasia, apakah masih ada harapan perlu untuk diperjuangkan? Masihkah ratio itu membumi menerjang segala ketidaksesuaian terhadap nilai-nilai dan konsep-konsep yang telah dibangun? Dimanakah peran setiap pribadi yang mengklaim bahwa bumi ini adalah ibu pertiwi?Atau sudah sampaikah dunia ini pada masa kepunahan pada ambang kehancuran? Berkaitan dengan situasi yang sangat memojokan ini, mendorong setiap kita untuk berpikir keras, berjuang demi terwujudnya suatu kesepakatan final dalam misi menjadi duta missioner.

 

2. ISI

2.1 Gambaran dunia penciptaan

Esensi dasar kata mencipta (creator) berarti mengandung suatu pengertian: ”menjadi, mewujudkan”. Dalam pandangan dunia Kekristenan term “mencipta” biasanya diidentikan dengan pribadi Allah. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, pribadi Allah sebagai pencipta terungkap jelas yakni: “pada mulanya, ketika Allah mulai menciptakan langit dan bumi, bumi belum mempunyai bentuk dan kosong…”, (Kejadian 1: 1-31). Karya besar ini (penciptaan), merupakan suatu hasil keputusan dalam sidang surgawi yang dipimpin langsung oleh Allah sendiri. Allah dalam sidang hadir sebagai Dia yang memutuskan dan pada sisi lainnya, Ia memposisikan diri sebagai pihak yang melaksakan kepeutusan tersebut[1]. Peryataan ini mau menegaskan bahwa penciptaan ini merupakan, sebuah tanda anugerah kehidupan baru yang Allah rancangkan dalam kehendak-NYA. Manifetasi dari tindakan Allah ini, diimplementasikan secara nyata dalam setiap karya-Nya. Dia tidak hanya bertindak sebagai pengada tetapi sekaligus pelaksana atas tindakan itu. Dengan menciptakan dunia ini berarti Allah tidak hanya sekadar menyalur apa yang ada dalam kehendak-Nya, tetapi segala substansi yang ada dalam diri Allah juga tersalurkan secara bersamaan.

Substansi itu berupa substansi rohani yang mengandung daya Ilahi. Dalam hal ini, secara intensif penciptaan dunia ini adalah sebuah karya yang sakral dan mengandung daya ilahi, karena dalam menjalankan karya ciptaan secara tidak langsung segala substansi Allah ikut serta dalam penciptaan itu. Perwujudan dunia ini adalah hasil karya imajinasi Allah. Lewat imajinasi-Nya yang aktif, Alah meciptakan dunia ini sedemikian rupa. Karya imajinasi Allah cenderung bersifat Ilahi dan juga mengandung unsur yang tidak bisa dirasionalisasikan. Unsur-unsur itu yang terdapat dalam Allah yang secara eksplisit mengandung daya untuk menghidupkan. Dari sedemikian banyak cipataan Allah, manusia adalah makluk yang paling istimewa dihadapan Allah.

Keistimewahan itu tergambar jelas pada kemampuan (ability), pengertian (budi pekerti), kehendak bebas dan hati nurani. Beberapa substansi yang melekat kuat pada manusia merupakan percikan api Ilahi yang keluar dari tangan Allah lewat hembusan nafas Allah (Kejadian 2:7). Dengan demikian manusia pada hakikatnya mengandung unsur atau daya Ilahi (spiritual) dan jasmani. Daya rohani membantu manusia untuk mengenal Sang Pencipta yaitu pribadi Allah yang bersifat transendental. Daya ilahi ini menghantar manusia pada sebuah pandangan, bahwa dia secitra dengan Allah.

Dalam pemahaman ini, ungkapan kata secitra mengandung makna “segambar, serupa” yang berarti manusia adalah gambar Allah (imago Dei). Jadi imago diinterpretasikan sebagai esensi dari manusia[2]. Tentulah sebagai pribadi yang serupa dengan Allah, manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus diembani yakni: menjaga dan memelihara keutuhan alam ciaptaan, berkuasa atas seluruh alam ciptaan dan yang lebih penting ialah melestarikan alam ciptaan dengan penuh tanggung jawab, demi kebahagiaan,kesejatraraan bersama. Jika dikaji dan ditelusuri berakaitan dengan alam ciptaan berdasarkan penentuan eksitensinya, manusia adalah ciptaan yang ada setelah Allah menciptakan alam. Boleh dikatakan bahwa manusia harus menghargai atau menjadikan alam ciptaan Allah lainnya sebagai teman hidup, pendamping, pelengkap dan pemenuhan keperluaan masing-masing ciptaan. dengan demikian tercapailah kesejateraan bersama dan yang terpenting ialah bagi kemuliaan nama Allah.

2. Manusia sebagai gambaran persekutuan (comunnio)

Dalam kancah dunia yang semakin modern ini, ditelusuri penuh dengan realitas kemajemukan, berkaitan dengan hal ini dibutuhkan peran serta dari tangan manusia. Sebagai yang adalah pribadi yang dianugerahi karunia akal budi dan hati nurani, mengharuskan manusia untuk melampaui setiap problem yang membelenggu bumi ini.

Setiap problem yang terjadi merupakan akibat dari kesalahan persepsi dan perspektif manusia dalam memaknai kata kebebasan yang Allah anugerahkan. Esensi kata kebebasan tidak hanya ditinjau atau dimengerti secara eksplisit atupun secara sepihak, sebap dengan begitu akan mengahasilkan kepincangan yang merujuk pada dosa. Dari kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa (kej 3), kita dapat menarik kesimpulan bahwa asal segala dosa manusia bukanlah Allah, melainkan kebebasan manusia itu sendiri, sebap dengan kebebasan yang dimiliki manusia bisa mengiginkan apa saja[3]. Dasar pengakuan ini, mengimplikasihkan manusia sebagai makluk terbatas. Keterbatasan manusia mencakup kemampuan akal budi (ratio) dan unsur lainnya yang melekat kuat dalam pribadi manusia. Namun substansi atau unsur-unsur ini sedemikian bersatu membentuk suatu keputusan mutlak yang mamampukan manusia untuk berkreasi dan bertindak.

Dalam arti tindakan (action), manusia mampu menembus batas yakni daya rasionalitasnya dengan menggunakan kemampuan imajinasi dan penalaran yang tinggi. Sehingga tidak mengakibatkan suatu kecenderungan untuk terus mendekap dalam siklus atau rana pengimajinasian dan membuat manusia enggan untuk kembali pada realitas sesunggunya.

Manusia pada hakikatnya bersatu dengan Allah. Hakikat dasar persekutuan (communio) manusia dengan Allah terungkap jelas dalam kisah penciptaan dalam kita Kejadian. Hakikat dasar ini membentuk suatu persekutuan yang impersonal yakni dari pribadi ke pribadi. Hubungan ini mendasari manusia, pada intinya beragantung pada Allah. Seluruh kepenuhan eksitensi manusia hanya terarah pada karya dan penyelenggaran kasih Allah. Kepenuhan hidup manuisa pada Allah merupakan tanda ikatan persatuan yang intim. Dasar pendorong kesatuan ini adalah daya Ilahi yaitu Roh Kudus yang Allah yang kita terima melalui sakramen permandian. Melalui Roh Kudus ini, mendorong manusia untuk dapat bersatu dan mengenal Allah yang transenden. Dasar persekutuan yang memampukan setiap orang untuk berbagi dan terbuka satu samalain yaitu cinta. Seperti dalam hubungan ketiga pribadi Tritunggal Mahakudus, di mana setiap pribadi ini dengan mesrah menjalin hubungan persekutuan dalam satu ikatan cinta yakni Roh Kudus.

Dalam kancah peredaran dunia zaman sekarang, dapat kita temukan banyak kepincangan yang mensublimasi ke arah kehancuran. Esensi dasar dari perubahan ini adalah semakin meningkatnya arus globalisasi yang mengakibatkan perubahan besar meliputi banyak bidang kehidupan manusia. Bidang-bidang itu antaralain: bidang perekonomian, stabilitas alam semesta atau keteraturan alam semesta, pertanian, sosial-budaya dan banyak bidang lainnya yang merupakan dampak dari perkembangan arus globalisasi.

Dasar dari kepincangan itu adalah kebebasan manusia itu sendiri. Kebebasan secara implisit mengutarakan tentang kekurangan, kelemahan pada manusia itu sendiri dalam mengontrol ego atau hasrat untuk mengubah. Faktor ini menandakan tidak adanya keseimbangan antara hal yang bersifat rohani (spiritual) dan jasmani (kehendak bebas, akal budi) manusia. Sehingga dampaknya sangat jelas yakni adanya faktor pendominasian oleh pihak terhadap kelompok tertentu, seperti yang hangat sedang terjadi dewasa ini. Di antaranya ada satu problem yang menjadi sorotan mata para kritikus adalah perusakan alam semesta.

Pada esensinya alam semesta tidak terlepas dari persatuan kodrati antara manusia dengan Allah sebagai Sang Pengasal dari segala sesuatu yang ada. Namun jika dihadapkan dengan peradaban dunia zaman sekarang pemahaman demikian tidak lagi relevan, di mana manusia seakan menjadikan dirinya sebagai penguasa mutlak. Hal ini tampak dalam tingkat keserakahan mengejar harta kekayaan yang sangat membludak, demi kenikmatan pribadi semata, kepuasan diri, dan keuntungan bersifat personal tanpa memperhatikan unsur solidaritas. Adapun hal lainnya seperti: nafsu, keserakhan dan ego yang mendorong manusia untuk menguasai pikiran dan hati nurani, bertindak tanpa ada rasa kepekaan dan penyadaran yang mendalam.

 Salah satu contoh adalah: penebangan liar pohon dekat sumber mata air di Sumatra, penambangan liar terjadi di berbagai wilayah yakni di Papua Nugini, dimana banyak investor asing yang melakukan penambangan tanpa adanya surat izinan dari pihak pemerintahan Indonesia. Berkenaan dengan problem yang sangat urgen ini, di masa yang akan datang terjadi banyak kerugian, terutama di beberapa daerah yang menjadi titik pertambangan dan penanaman usaha modal itu adalah tempat warga atau masyarakat setempat mengusahkan hidup mereka. Dampak dari problematika di atas antaralain: pencemaran populasi udara, laut yang mengakibatkan matinya banyak ekosistem alam yang sedang bertumbuh dan berkembang biak, pencemaran limbah pabrik, tanah longsor, kekurangan air, banjir bandang, dan gempa bumi pada wilaya titik pertambangan. Terhadap permasalahan ini, dimanakah sikap respektifitas atau tanggapan langsung dari pihak manusia yang mengklaim sebagai makluk sekodratdengan alam ciptaan lainnya?

Gereja Khatolik dalam menanggapi permasalahan demikian, menghimbau agar setiap umat Kristiani kembali menyadari sikap, pola tingkah laku mereka yang semakin jauh dari kehendak Allah. Karl Rahner, sebagaimana dikutip oleh Georg Kirchberger (2012:88) mengatakan: “sebagai makluk berhakikat transenden, memikul tanggung jawab dan memiliki kebebasan, senantiasa terarah pada rahasiah Ilahi, berhakikat interkomunikatif, makluk yang mendunia-hidup dalam waktu sejarah, makluk yang selalu berorientasi ke masa depan, makluk yang dapat gagal dalam ziarah hidupnya, tetapi sekaligus dapat berharap.” Meskipun pada hakikatnya adalah makluk yang memiliki banyak bidang keterbatasan, tetapi Allah menjadikan dia sebagai agen untuk menjaga, merawat dan melestarikan alam semesta dengan penuh rasa tanggung jawab. Pater Eman Wero, SVD dalam khotbanya (12/03/2019) mengatakan: “kita sebagai kaum religius hendaknya menjadi tanda harapan (the sign of hope) bagi dunia zaman sekarang yang penuh dengan percecokan dalam berbagai bidang kehidupan.” Tanda (sign) terealisasi dalam tindakan nyata, seperti punya rasa respek terhadah problem dunia zaman sekarang.

Dunia ini adalah saudara-saudari kita yang melalui mereka kita dapat bertahan hidup. Relasi antara manusia dan alam semesta layaknya seperti adik dan kakak yang saling melengkapi dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing. Tidak hanya dalam hal demikian, manusia dan alam dapat bekerja sama menjaga kelestarian lingkungan alam ciptaan agar tetap eksis dalam dunia zaman sekarang maupun nanti, dalam setiap peradaban dunia selanjutnya. 

 

A.    PENUTUP

Pada setiap moment, orang di tawarakan untuk masuk dan memperbaiki, apa yang menjadi permasalahan dalam konteks, wilayah sosial tertentu. Pada moment yang berharga ini setiap orang diajak untuk kembali merefleksikan ziarah hidup panggilannya masing-masing. Kita diajak untuk merefleksikan kembali, melihat setiap tapak perjalanan hidup kita entah dalam relasi atau hubungan dengan TUHAN, sesama (alam ciptaan,sesaama manusia) dan dengan pribadi diri sendiri. Sebagai tanda harapan, dunia zaman sekarang sangat membutuhkan kepedulian dari sesama ciptaan lainnya. Allah telah menganugerahkan kita banyak kemampuan enta yang bersifat lahiriah maupun transedental, dengan maksud agar kita dapat menggunakan untuk kepentingan kemajuan kesejatraan hidup bersama dan juga bagi kemuliaan nama-Nya. Marilah kita meningkatkan kepedulian kita terhadap alam ciptaan dengan melakukan pereboisasian kembali setiap daerah atau lahan yang gundul dan juga bagi setiap manusia yang hatinya masi dipenuhi dengan ketamakan dan keserakahan.

 

Albertus Mandat Mahasiswa semester 7 STFK Ledalero, Maumere, Flores-NTT. Aktif dalam menulis

 

 

 



[1]Sefri Juhani, Teologi Penciptaan (ms) Ledalero, 2017, hlm.30.

[2]Ibid., hlm. 29.

[3]Ibid., hlm. 60.

Label:

Jumat, 19 November 2021

MENELUSURI PEMIKIRAN GUTIERREZ: THE TRUTH SHALL MAKE YOU FREE





Albert Mandat 

 A. PENDAHULUAN 
 Pembicaraan dan pegkajian tentang teologi pembebasan sudah menjadi diskusi hangat yang sudah dimulai sejak Gutierrez. Ia menaruh keprihatian yang lebih kepada konteks kehiduapan masyarakat yang ditindas oleh berbagai etnik politik, kapitalisme dan para penguasa yang berkuasa dengan tangan besi. Melihat latar belakang problem diatas, Gutierres ingin mendobrak masalah yang maraknya sangat meresahkan konteks kehidupan masyararakat sosial dengan berbagai kajian teologis demi terwujudnya nilai-nilai Injili yang fundamental yakni: kasih, keadilan, kebenaran dan kedamaian. Nilai-nilai injil diatas yakni secara dan mendalam dengan kehadiran Gereja di tengah dunia. Kehadiaran dari gereja yang membesakan itu mengandaikan dua hal kegiatan penting (the second act): pertama, analisis sosial ilmiah dan cermat terhadap masalah kemiskinan guna menemukan akar-akar persoalannya dan arah-arah solusinya. Kedua, refleksi teologis sistematis yang menyediakan dasar-dasar biblis teologi yang autentik dalm menyoroti problem kemiskinan dan menunjukan perutusan pembebasan Gereja terhadapnya dalam terang iman Kristiani. Hanya melalui analisis sosial dan refleksi teologis yang akurat Gereja dapat melakukan praksis yang membebaskan dalam realitas kemiskinan dan penindasan. Dasar problem ini yang membawa dan meyakinkan Guitierrez mampu melahirkan Teologi Pembebasan. Jika dipastikan Teologi Guitierrez dibangun berdasarkan asas keprihatian, solidaritas, keterlibatan pribadi yang bersifat personalia mencakup dalam bidang kehidupan komunitas hidup umat beriman, dimana hampir semua pendasaran teologisnya bersumber dari Alkitab dan tradisi Gereja. Pendasaran atau sumber- sumber ini menggambarkan inti keimanannya pada pribadi Yesus kristus sebagai Sang Penyelamat umat beriman dan dalam misi-Nya di tengah dunia dalam keberpihakan dengan orang miskin dan sederhana. Dan sikap yang diambilnya sebagai bentuk perwujudan atau aplikasi nyata dari amanad Yesus Sang Guru dalam misi di tengah dunia. 
 B. MAKNA TEOLOGI DAN PEMBEBASAN Pemakanaan kata “Teologi” secara meyeluruh bertitik fokus pada Allah sebagai pengasal segala sesuatu. Secara etimelogis kata teologi mengandung arti, theo = Allah; logos = ilmu, pembicaraan. Secara harafia Teologi berarti sebuah konsep ilmu pengetahuan berbicara tentang Allah dan segala hal yang mendukung atau mewarnai model sikap kepercayaan pada Allah dalam bentuk iman. Gutierrez mendefenisikan teologi sebagai sebuah usaha lebih lanjut untuk merefleksikakn secara kritis penagalaman akan Allah (pengalaman praksis) dalam cahaya iman Kristen dalam terang sabda Allah. Berdasarkan pengertian diatas jika kata “teologi” disandingkan dengan kata “pembebasan” dapat mengungkapkan atau menggambarkan pada suatu obyek refleksi teologis. Refleksi teologis menyangkut gambaran atau panorama kehidupan umat beriman dalam konteks sosial kemasyarakatan dalam terang iman Kristen. Kehidupan umat Kristen yang menyejarah mengafirmasihkan keterlibatan atau keikutsertaan umat Kristen dalam mengikuti perkembnagan zaman dan selalu melakukan refleksi terhadap setiap problem berdasarkan Kitab Suci. Menurut Gutierrez ada tiga cara dalam berteologi, pertama, teologi sebagai sumber hidup rohani umat Kristen, kedua, teologi sebagai pengetahuan rasional dan yang ketiga, teologi sebagai refeleksi kritis dalam terang Sabda Allah atas praksis hidup orang Kristen. Dengan demikian kita dapat menarik kesimpulan bahwa titik fokus teologi pembebasan Gutierrez lebih kepada praksis kehidupan umat beriman dalam terang Sabda Allah. Dalam bukunya yang berjudul “A Theology of Liberation” ia mengungkapkan bahwa teologi harus mejadi refleksi kritis seseorang tentang dirinya, tentang prissip-prinsip dasarnya hanya dengan melakukan pendekatan kepada sebuah wacana yang sungguh-sungguh menyadari dalam kepemilikan yang penuh dengan unsur-unsur koseptual. Usaha pembebasan yang dilakukan Gutierrez sebenarnya mau mengungkapkan sebuah usaha atau tindakan perubahan yang radikal dalam konteks kehidupan masyarakat agar mereka dapat membebaskan diri dari model hidup kebergantung pada yang lain, dan semakin mengusahkan pembaharuan diri dengan menggunakan kemapuan ilmu pengetahuan dan teologi. 
 C. PERAN TEOLOGI PEMBEBASAN DALAM KONTEKS KEHIDUPAN MANUSIA KHUSUNYA UMAT KRISTIANI Pengaruh atau peranan teologi pembebasan dalam ruang lingkup kehidupan umat manusia, khususnya umat Kristiani mempunyai dampak positif yang sangat besar dalam segi pertumbuhan iman dan kesejateraan hidup bersama. Perihal ini mengungkapkan apakah tindakan perwujudan teologi pembebasan sudah mencapai titik klimax? Jika dikaitakan dengan konteks perkembangan zaman yang semakin mengglobal konsep teologi pembebasan masi dapat eksis atau masi mendapat tempat demi memperjuangkan kehidupan masyarakat umum? Berdasarkan pertanyaan diatas sebenarnya penulis ingin mendobrak dan menggarisbawahi konsep teologi pada konteks kehidupan sosial sekarang yang dalam arus perkembangan seakan menomorduakan konsep teologi. Penulis berani mengungkapkan problem ini berdasarkan realitas zaman sekarang yang sangat majemuk dalam segala bidang kehidupan terlebih dalam kaitan dengan iman. Beberapa kalimat lepas yang dirangkum penulis yang dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut antaralain: Konsep tentang Tuhan dengan segala karya dan misinya hanyalah menjadi baualan para pemikir teologis, konsep Tuhan hanya mau meninah bobohkan manusia dan untuk menakut-nakuti dengan segala dogma dan aturan yang sangat kakuh, kosep tentang Tuhan sudah diaplikasikan dalam bentuk materi demi memuaskan hasrat nafsu belaka, penujang kenikmatan. Problem - problem ini sedianya semakin mengurat akar dalam kehidupan manusia zaman sekarang dan sangat mengguncang akan esensi iman, khusunya iman Kristen. Berdsarkan problem iman diatas penulis akan menawarkan beberapa hal penting sebagai bentuk kajian kritis dan analisi penulis terhadap problem yang maraknya sangat memgguncang esensi keberadaan iman Kristen berdasarkan teologi pembebasan Gutavo Gutierrez. Beberapa hal yang mau penulis kajikan tentang teologi pembebasan antaralain menyagkut: hal yang pertama, arti atau makna kata pembebasan Kristiani, kedua, landasan teologi pembebasan Kristiani dan yang ketiga, tujuan pembebasan Kristiani. 
 1. ARTI ATAU MAKNA PEMBEBASAN KRISTIANI Perihal pembebasan mengartikulasikan sebagai sebuah masa pelepasan dari corak hidup atau kontek makna tertentu dalam hidup yang lama kepada corak hidup yang baru yang didambakan. Dalam konteks pemikiran Gutierrrez, ia memaknai kata pembebasan Kristiani memiliki dasar biblis yang fundamenatal yakni karya pembebasan Allah bagi umat-Nya dalam hal ini Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus bertindak membebaskan manusia dari dosa dengan segala akibatnya termasuk ketidakadilan sosial (kemiskinan). Maka istilah pembebasan dalam terang iman Katolik adalah sebuah kebangkitan dari keterpurukan berkat dimensi rahmat pengudusan dan keselamatan yang didorong oleh tekad , semangat serta iman yang tegu untuk berjuang mewujudkan diri yang autentik dalam seluruh dimensi kehidupan. Atapun hal lainnya dari makna pembebasan yakni dalam kaca mata iman katolik melihat sebagai sebuah karya penyelamatan. Dalam bukunya yang berjudul “A theology of liberation”, ia mengungkapkan bahwa bahwa penyelamatan-persatuan manusia dengan Allah dan dengan seluruh umat manusia adalah suatu hal yang mencakup seluruh realitas manusia, mentransformasihkannya dan menuntunnya menujuh kepenuhan dalam Kristus Yesus. Penyelamatan menjadi sebuah tanda rahmat bahwa Allah Bapa snagat mencintai dan memperhatikan seluruh sejarah konteks kehidupan umat beriman.
 2. LANDASAN TEOLOGI PEBEBASAN KRISTIAINI Dalam Gereje Katolik terdapat tiga kekhasasn yang menajadi dasar pengalaman iman Gereja Katolik antara lain mecakup Kitab Suci, Tradisi Para Rasul dan Magiterium Gereja. Ketiga komponen ini punya peranan penting dalam memprakarsai Gereja di tengah dunia. Dalam konteks ini, penulis lebih menekankan peranan Kitab Suci dalam kaitan dengan teologi pembebasan. Kitab Suci adalah suatu saran penunjang iman dimana di dalamnya diceritakan tentang pengalaman Allah bersama umat manusia yakni dalam karya penyelamatan manusia dalam sejarah. Gustierrez dalam bukunya yang berjudul “Teologi Gusatvo Guitierrez” mengungkapkan bahwa pokok pebicaraan tentang pembebasan umat Kristiani mencakup dua hal penting yakni: pertama, kaitan penyelamatan dan pembebasan yang menunjukan misteri kehadiran Allah yang membebaskna manusia dalam sejarah, kedua, kaitan pembebasan dan kaum miskin yang memperhatikan bagaimana misteri kehadiran Allah yang membebaskan dalam sejarah tersebut menjadi dasar bagi manusia untuk melaksanakan tindakan pembebasan bagi sesamanya, terutama bagi perjuangan pembebasan itu mesti mendahului kaum mikskin. Karya penyelamatan Allah dalam iman Kriten menjadi puncak seluruh karya pembebasan Kristiani. Gutierrez mengartikan pembebasan Kristiani sebagai seluruh proses perjuangan manusia dalam membangun masyarakat yang adil-bersaudara dan mewujudkan manusia baru berdasarkan karya penyelamatan Allah bagi manusia. Dan karya penyelamatan umat manusia berpucak pada pribadi hisoris yakni Kristus Yesus. Dia datang untuk menggenapkan seluruh Kitab Suci yang memuat tentang kedatang-Nya kedua. Dalam hal pembicaraan seperti yang dikisahkan dalam Kitab Perjanjian Lama tidak terlepas dari karya penyelamatan. Sebap kedua kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mengisahkan tentang kedatangan Mesias baru. Hal ini mau menggambarkan kesatuan sejarah penyelamtan Allah kepada umat manusia. Penekanan dalam dalam kitab Perjanjian Lama lebih kepada karya pencipataan, eksodus dan penebusan dalam kaitan dengan pembebasan Kristiani. Sedangkan dalam Kitab Suci Perjania Baru lebih kepada pribadi Hisrtois Yesus Kristus. Karya penyelamatan Allah selurunya terpenuh dalam pribadi Yesus Kristus. Yakni melalui peristiwa inkarnasi, wafat dan kebangkitan-Nya dari alam maut. Maksud dari karya pembebasan ini ialah Kristus ingin memulihkan kembali hubungan manusia dengan Allah akibat keretakan dosa. Melalui hidup, wafat dan kebangkitan mengartikan Yesus sebagai pembebas yang sejati dimana dengan dara-Nya ia menggenapkan seluruh kurban Perjanian Lama maupun Perjanjian Baru. Guiterrez mengatakan bahwa sebagai umat Kristiani kita tidak semestinya hanya menperhatikan hubungan personal kita dengan Allah tetapi dengan sesame umat manusia. Dalam pandangn Kristiani manusia adalah bait Allah, kenisah Allah dimana dalam kisah penciptaan Allah mengembunskan Roh-Nya kedalam tubuh manuisa. Secara pasti seluruh imajiansi ilahi tercurah bersamaan kedalam tubuh manuisa yakni segala kabaikan Allah membaur dengan seluruh karakteristik manuisa. Dalam Kitab Suci perjanjian baru mengisahkan perwujudan karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kistus. Arah misi karya pewartaan Yesus lebih terarah kepada kaum miskin, sederhana, menderita, tersingkirkan, terbuang, dan mereka yang tidak pernah terhitung dalam masyarakat. Hal ini mau menggambarkan bahwa dalam diri Yesus Allah sungguh hadir menujukan cinta-Nya untuk umat manusia, semakin itu mau menunjukan Allah begitu peduli dan solider dengan kaum miskin dan sederhana. 
 3. TUJUAN PEMBEBASAN KRISTIANI Seluruh karya pembebasan umat kristiani tentulah mempunyai tujuan yang murni yakni untuk memulihkan kembali hubungan manusia denag Allah akibat dosa. Menurut Gutirrez karya pembebasan Allah meliputi tiga hal penting antalain yakni pembebasan sosial, pembebasan personal, pembebasan sempurna dalam Yesus Kristus. Pertama pembebasan sosial, menyangkut praksis ketidakadilan dalam masyarakat sosial. Pembebasan sosial harus bersifat universal dan mengikat seluruh komponen yang ada dalam masyarakat untuk mecinptakan nilai keadilan dengan pemenuhan hidup bersama. Kedua, pembebasan personal (kemerdekaan manusia), menurut Gutirrez pembebasan individu mencakup pembebasan interior yakni dimensi individual dan intim dalam diri manuisa termasuk dimensi-dimensi yang belum atau yang diintegrasikan secarah penuh dalam ziarah kolektif dan histors. Jadi pembebasan Kritiani meliputi dua ruang dimensi kehidupan manusia yakni meliputi bidang sosiil dan bidang psikologi. Ketiga, pembebasan sempurna dalam Kristu Yesus. Dalam Kristus Yesus kita bebas bersatu dengan Allah. Menurut Gutirrez pembebasan yang dianugerahkan Yesus kepada umat manusia bukan hanya kebebasan dari dosa tetapi juga kebebasan untuk bersatu dengan Allah. Dalam diri-Nya, Ia telah memulihkam hubunga kita dengan Allah sekaligus memapukan manusia bebas dalam mencintai menuju kepenuhan kasih dalam Allah dan persaudaraan yang utuh dengan sesama manuisa.
 D. PENUTUP Dalam ruang dimensi kehidupan umat manusia yang sangat manjemuk perlu adanya perihal pembebasan dari segala ruang dimensi kehiduoan umat manusia. Pembebasan itu tidak hanya mencakup kelompok atau etnik tertentu teapi haru bersifat universal. Sehinggah semua manusia dapat memeknai keadilan dan kesejahteraan hidup bersama.

Albert Mandat Mahasiswa Semester 7 STFK Ledalero, Maumere, NTT-Flores, Sedang aktif dalam Menulis.

Kamis, 18 November 2021

PAKAIAN YANG KOYAK


 

                                                Albert Mandat

 (Syair bagi para Pemimpin)

 

Kasih...Kasih!!!Kasih???

Petuah gagah yang t’rus bersabda menggugah

Gambaran wajah syahdu nan indah

Sang Sabda berjubah putih dalam kemilau bersih

 

Tolong...Tolong!!!Tolong???

Nyanyian kemanusiaan yang kerap berkumandang

Menyapa dan menghibur mereka yang malang

Pesan yang sering dibawa penyair sekembalinya dari hening

Dan orasi para pencinta kehidupan menyisir jalanan yang lengang

 

Semuanya tak kunjung ampuh

Aku dicabik-cabik hingga koyak pakaian semua

Kebebasan musnah, kehidupan terrampas pula, aku terpasung ‘tuk bergerak

 

Kehidupan mungkin hanya tinggal nama bagi-ku

Ya...tak lebih dari sebuah nama

Karena aku lebih cinta pada kehancuran dan kematian

Mengabdi kekuasaan dan larut dalam keserakahan

 

 

Lihatlah mimbar yang bersabda lantang itu sering kali tak sanggup bersikap

Gambaran wajah Sang Sabda yang dinodai keraguan dan kebimbangan

Arahkan pula pandangan pada bahtera demokrasi berwajah gelap

Yang menista kebijaksanaan dengan mengabaikan kompas kerakyatan

 

Wahai Sang Waktu pada-Mu ku mengaduh

Engkaulah yang menganugerahkan cahya harap

Yang memang takkan padam dari pancar kehidupan

Dan yang ku tahu harap itu Kau letakkan pada setiap hati

Semoga segera terbit merekah bersama fajar

Membebaskan-ku dari kukung gelap keraguan dan keserakahan

Dan semua mata melihat diri-ku yang terkoyak, pula

Mengenakan pada-ku kebijaksanaan.

 

Albert Mandat Mahasiswa Semester 7 STFK Ledalero, Maumere, NTT-Flores, Sedang aktif dalam Menulis.

 

Label:

Selasa, 16 November 2021

NUANSA ROMANTIS DALAM KEHIDUPAN MEMBIARA


      

Albertus Mandat 

Cinta pada hakekatnya membungkamkan rasa pada satu irama keharmonisan. Dalam ruang dan waktu cinta itu seakan memikat sekaligus mendatang rasa yang terpenuhi dalam jiwa. Cinta adalah hakekat dari suatu rasa yang tidak mengenal batasan ketakberhinggaan. Model atau gagasan pemikiran demikian sebenarnya mau mengafirmasihkan cinta pada tatanan kehidupan membiara yang secara spesifik mengukir cinta dalam nuansa religius kepada suatu tatananan Ilahi. Paul Suparno dalam bukunya yang berjudul “Seksualitas Kaum Berjubah” menggagaskan bahwa: “Dimensi spiritual adalah membantu kita untuk menyadari relasi kita denagn Tuhan dalam kehadiran kita yang berseksulitas, bagaimana kita menjadi sadar bahwa seksualitas tidak bertentangan dengan aspek spiritualitas, tetapi justru saling membantu dan menguatkan, bagaimana menghadirkan Tuhan dalam misteri seksual dalam diri kita”.

Pada era abad ke- 20 ini, dalam lingkup Gereja Katolik bahwasannya banyak terjadi kasus kaum berjubah. Problem ini sangat mencoreng wajah dan kewibawaan Gereja. Dalam kajiannya, kasus ini meliputi berbagai konteks dan warna yang sedianya memanipulasi warta cinta kasih. Dari banyaknya kasus yang terjadi, sedikitnya terjadi pada anak-anak dibawa usia yakni kasus pedofilia.  Dimana seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu, beberapa imam yang melakukan pelecehan sesksual terhadap putra-putri altar sehingga beberapa imam ini dimasukan karantina karena melakukan sexsual abuse. Kasus ini seakan mempertanyakan dan mengkritik Gereja, berkaitan dengaan aturan dan ketetapan bagi kaum tertabis perihal untuk tidak menikah dan memilih untuk hidup selibat. Jungstifikasi pemikiran demikian sangat menyudutkan Gereja yakni apakah problem keanggotaan dapat mengklaim otoritas Gereja yang sedianya sudah lama terpelihara dan dihidupi ratusan tahun yang lalu? Pengkabaran problem ini memantik Gereja untuk kembali memutuskan dan mengambil sikap yang pantas untuk mencari solusi yang muthakitr dalam tahap penyelesaian. Sebap dengan adanya kasus-kasus ini, sangatlah merusak model karya kerasulan Gereja di tenga masyarkat dan umat beriman. Adapun hal lain yang memicu problem ini yakni budaya perempuan yang dianggap sebagai kelas dua dalam hal relasi, berkembanngnya budaya pornografi, penyalahgunaan kekuaasan atau otoritas, ketidakseimbangan antar aspek psikoemosinal dan aspek lainnya dan lemahnya penegak hukum dalam menyikapi problem yang ada.

 

 

Mengenal Keterbatasan Diri

Pada hakikatnya manusia adalah makluk yang dinamis dan unik. Menurut Adelbert Snijders dalam bukunya berjudul “Manusia dan Kebenaran” mengatakan bahwa: “Setiap manuisia bersifat unik. Dan dalam kebenaran dan segala keunikan terdapat kesamaan yang menjadi dasar sifat mutlak dan umum”. Manuisa mampu berkreasi dan megektifitaskan dirinya dalam banyak segi tau model kehidupan. Keunggulan ini mengklaim manusia adalah makluk yang paling istimewa yakni mempunyai akal budi, ratio. Hal ini ysang membedakan manuisa dengan makluk ciptaan yang lainnya.

Dalam kebaikan keunggulan ini tidak selamanya manuisa itu sempurna adanya, sebab adapun aspek-aspek keterbatasan yang ada dalam diri manuisa. Aspek keterbatasan itu melingkupi pertama seksualitas dan piskoemosional, kedua akal budi dan kehendak untuk memutuskan dan bertindak, ketiga seksualitas dan spiritual. Pertama aspek seksualitas dan psikoemosinal. Aspek ini adalah pintu masuk dalam mengenal ruang keterbatasan dalam diri manusia.

Pengulasan yang mutakhir akan disublimasikan dari pengertian seksualitas. Pengklaiman dari beberapa pihak manusia melihat seksualitas adalah suatu yang jahat sekaligus baik dan berguna yang tergantung pada konteks dan duduk kesalahannya dimana rasa itu diaplikasihkan. Dalam pengimajinasian tentang apa itu seksualitas mampu membawa kita pada penyesatan pemikiran. Dasar pemicu problem sesat ini, dimana daya rasionalitas yang tidak mampu mensubordinasikan satu solusi yang baik dalam hal keseimbnagan mengatur dan menjaga ketahanan dan keegohan dalam diri seseorang. Adapaun model penyempitan dalam mengelola daya rasional mampu mendatang problem ini.  

Pada dasarnya dengan adanya seksualitas berarti kita mengakui keberadaan kita sebagai makluk yang diciptakan Tuhan. Sebap dalam seksualitas bukan hanya menyangkut soal seks secra lahiria atau hubungan antara perempuan dan laki-laki tetapi meyangkut seluruh kepribadian diri kita. Sebagaimana menurut, Rolheiser dalam buku yang berjudul” Seksualitas Kaum berjubah” yang dikutip Paul Suparno mengatakan bahwa: “Sesksualitas adalah energi yang indah, baik, sangat kuat, dan suci yang diberikan Tuhan dan dialami dalam seluruh hidup kita, sebagai suatu dorongan yang tidak dapat ditekan, yang mendorong orang untuk mengatasi ketidaklengkapan, keterbatasan, menujuh kesatuan yang utuh.

Seksualitas adalah suatu energi dalam diri kita yang mendorong kita untuk dapat mencintai, berkomunikasih, membangun persahabatan, bergembira, mempunyai perasaan afeksi, compassion, membangun intimacy, dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain, alam semesta dan Tuhan”. Pandangan ini sekaligus memberi suatu wejangan yang sangat urgen bahwa seksualitas merupakan suatu yang bersifat utuh yang berproses dan terbentuk dalam Tuhan, Dia sebagai yang pengada. Selain aspek seksualitas adapun aspek psikoemosiaonal di dalamnya. Aspek ini sedianya dipengaruh oleh perkembangan tubuhnya. Menurut Delamater dan Friedrich bahwa manusia adalah makluk sesksual dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak dari dalam kadungan ibunya. Aspek psikoemosinal dalam tahap perkembanagan mengikuti beberapa ritme atau tahap perkembnagan dimana yang dimulai dari masa kanak- kanak, masa remaja hingga mencapai usia atau masa dewasa.

Dari rentetan perkembangannya masnusia selalu berproses searah dan sesuai dengan konteks sosial lingkungan dimana dia berada. Ruang dimensi diamana pribadi itu berproses megukuhan berbagai nilai positif guna untuk menjaga keseimbangan. Ruang dimensi-dimensi itu dapat mencakup dimensi biologi, emosi, sosial, moral, dan spiritual. Dimensi-simensi ini sedianya sangat membatu manusia dalam menemukan jati dirinya. Jika satu dimnesi ini hilang alhasilnya dapat menilbulkan suatu kofrontasi atau problem pemicu munculnya berbagai hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun berdasarkan kajian ini pobelm yang melanda kaum berjubah dengan berbagai masalah seksualitas karena kurang menjaga komitmen dan dalam tahap awal berproses kurang memperhatikan dimensi-dimeasi yang ada. Kedua aspek seksualitas dan spiritulitas. Menurut Rolheiser bahwa aspek seksualitas merupakan suatu energi yang bersifat suci dan kuat yang diberikan Tuhan, yang selalu mendorong kita untuk membangun hubungan kita dengan orang lain, alam dan Tuhan. Aspek ini jika dikaitkan dengan aspek spiritualitas seakan mengantar kita pada kompleksitas kepenuhan dalam suatu masa kajian tentang manuisa. Intimitasi aspek spiritualitas juga menyentuh pada rana Ilahi yakni yang sealau berhubungan dengan Tuhan.

Dalam ruang lingkup hidup membiara pemaknan aspek spiritulitas sangat penting. Karena aspek ini merupakan suatu kepenuhan batinia dimana seorang religius dalam mensubyekkan dirinya dalam relasi khusus dengan Tuhan. Relasi yang mendalam dengan Tuhan lewat pembentukan aspek ini layaknya sebuah jembatan yang menghubungkan dengan entitas dunia lainnya yakni dunia yang bersifat Ilahi. McBrien mengatakan bahwa apek spiritulitas berkaitan dengan gaya hidup sesorang yang dengan suatu cara mengalami Tuhan dan hidupnya diubah karena pengalaman dengan Tuhan. Peristiwa inkarnasi dalam perspektif penulis mengklaim kedua aspek ini, dimana Tuhan yang bersifat absolut mnejelma menjadi manuisa dalam keselurhan keutuhanya. Dalam proses penjelmaan ini daya spiritulitas disatupadukan dalam perkadungan Bunda Maria yang menjadi tubuh nyata yakni Yesus kristus. Pengintegrasian kedua aspek ini mampu melahirkan suatu makna keutuhan dalam kesempurnaan cinta dalam pribadi Yesus Kristus. Jika dilihat problem yang melingkupi kaum berjubah, penulis dapat membuat suatu kesimpulan nyata lewat sebuah pertanyaan yakni bagaimana kita dapat mewartakan luapan cinta kasih jika dalam diri kita tidak adanya keseimbangan antar aspek-aspek ini? 

Mengahadapi dorongan seksualitas

Gagasan ini dibangun karena adanya faktor negativ yang melatarbelakangi munculnya problem ini. Gereja dalam menyikapi beberapa kasus ini dengan terbuka menerima beberapa kritikan dan dialog guna melaburi kembali wajah dan kewibawaan Gereja yang tercoreng dengan problem ini. Dengan sikap Gereja menyampaikan permohonan maaf dan berusaha untuk memperbaharui kembali lewat rana pendekatan pastoral kepada setiap korban pelecehan seksul seperti yang disapaikan oleh Kardinal Roger Mahony dari California dalam artikelnya yang berjudul My Hope for Dallas (2002: 6-9). Dalam buku yang berjudul “Seksualitas Kaum Berjubah” Paul Suparno mengutip beberpa aksi nyata Gereja dalam menyikapi problem pelecehan kaum berjubah yakni: “Membentuk komisi nasional awam yang akan menangani dan memperlajari kasus miskonduk dan pelecehan seskual, menekankan zero toleransi tidak tempat bagi minismeter atau imam yang melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak, menentukan satndar proseduer nasional yang minimum termasuk hukum, menetapkan sisitem accountable untuk membantu para uskup, menguatkan para imam sekitar 98% agar tidak melakukan pelecehan seksual sehingga mereka ikut kena menaggung malu, meningkatkan usaha prevetif yakni lebih teliti dalam menerima calon imam dan memberikan pendidikan seksualitas yang sehat”. Selain beberapa hal diatas, membicarakan mengenai seksualitas dan spiritual menghadirkan suatu peranan Roh yang absolut dalam tubuh. Hal ini mau menegaskan bahwa ini adalah sebuah peritiwa mujizat dimana terjadinya inkarnasi Roh kedalam badan yang terus menerus terjadi. Dengan terjadinya peristiwa ini secara tidak langsung seluruh dimensi- dimensi dan strukturalis dalam diri manuisa turut terpengaruh dijiwai oleh daya Ilahi yakni Roh Allah. Kesatuan ini membentuk suatu relasi keintiman yang saling menjaga keseimbangan dan secara aktif dan kreatif salin mempengaruhi satu sama lain. Mgr. Andre Leonard dalam bukunya yang berjudul ­“Yesus dan Tubuhmu” mengungkapkan bahwa: “Relasi tubuh dan roh mengadung suatu benih kehidupan yang pada hakikatnya terjalin erat. Yang dimaksudkan ialah seksualitas sebagai alat komunikasi jiwa dan raga antar pribadi dan seksualitas sebagai pembiakan genital”. Esesnsi roh dan tubuh mengungkapkan suatu kemampuan yang memampukan menghasilkan kehidupan baru, dalam hal memberi cinta kasih dan kenikmatan dalam mengungkapkan keagungan dan martabat tubuh untuk dikomunikasihkan.

 

Cinta mengabadikankepenuhan total dalam Allah

Nuansa roamantisme dalam lingkup kehidupan membiara mengartikulasikan makna relasi cinta yang inti dan absolut. Keabsolutan meghadirkan otoritas yang Ilahi yakni Tuhan. Tuhan yang tidak kelihatan diyakini sebagai subjek kepenuhan total itu. Jika relasi ini ditelah melalui daya rasionallitas akan terasa akan sedikit ganjil dan aneh. Maka dalam mewujudkan cinta yang total kepada Allah, seorang calon religius mesti menjaga keseimbanagan anatara aspek seksualitas dan spiritualitas. Dalam mewujudkan keseimbnagn ini, Chen menawarkan beberapa hal yang membantu seorang untuk menjaga keseimbangan itu yakni pertama adanya intimacy yakni ada keinginan dihati untuk membangun relasi dengan orang lain lebih mendalam tidak menutup diri terhadap orang lain mau didekati, kedua bersyukur atas hidup dan cinta yang merupakan pemberian Tuhan yang mampu menghantar orang untuk menerima dirnya sepenuhnya termasuk kelemahan dalam dirinya, ketiga generosity murah hati yakni adanya keinginan untuk membagi cinta kepada yanglain layaknya seperti seorang Samaria yang murah hati, keempat compassion yakni perhatian terhadap kebaikan orang lain, pekah terhdap orang lain, merasakan pergulatan, penderitaan dan kebahagiaan mereka, kelima melakukan integritas seksual menurut kepercayaan mereka dan kesetiaan pada komitmen yang telah dibuat sebagai perintah besar yaitu cinta, keenam menghadirkan makna pengampunan, ketujuh hormat serta jujur terhadap relasi dengan orang lain, diri sendiri, dan kedelpan solitude yakni meyediakan waktu dan ruang untuk melakukan refleksi dan berdoa tentang seksualitas.

Sebagai seorang kaum religius dia harus terlebih dahulu menemukan jatidirinya dan mensubordinasikan dalam kepenuhan cinta dengan Tuhan. Kepenuhan itu tidak hanya dalam hal menuntut kerohanian yang tinggi tetapi dalam kesaksian dirinya dalam mengahdirkan diri ditengah dunia dalam setiap perbuatan yang merupakan aplikasi dari perasaan cinta Tuhan yang terinkarnasi.

Albert Mandat, Mahasiswa semester 7 STFK LEDALERO, Maumere, Flores-NTT

Label: